Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Hukum Mengeraskan Bacaan Shalawat

Mengeraskan Bacaan Shalawat untuk Nabi Saw

Mengeraskan bacaan shalawat untuk Nabi Saw setelah adzan atau sebelumnya telah menjadi kebiasaan para muadzin di negeri-negeri Islam selain Arab Saudi.


Bagaimana hukumnya menurut syari'at?

Mengeraskan bacaan shalawat untuk Nabi Saw setelah adzan ataupun sebelumnya sama sekali tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para muadzin pada zaman beliau, yaitu Bilal, Abu Mahdzurah dan selain keduanya.

Tidak pula dilakukan oleh para Sahabat, Khulafaur Rasyidin dan para Tabi'in, seandainya mengeraskan bacaan shalawat sebelum atau setelah adzan itu baik, tentunya mereka telah mendahului kita mengamalkannya.

Shalawat adalah ibadah yang dibangun di atas taufiq (terima apa adanya) hingga adanya dalil yang menjelaskannya, sedangkan dalam hal ini tidak ada dalil yang memerintahkan untuk mengeraskan bacaan shalawat, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

Adzan adalah rangkaian kalimat yang telah diketahui, dimulai dari ucapan muadzin, "Allaahu Akbar" dan diakhiri dengan ucapan, "Laa ilaaha illallaah."

Mengeraskan bacaan shalawat untuk Nabi Saw belum pernah dilakukan oleh Imam Empat Madzhab, tidak pula oleh orang-orang setelah mereka dan generasi yang Allah Ta'ala utamakan.

Mengeraskan bacaan shalawat untuk Nabi Saw setelah adzan dapat mengganggu para jama'ah yang tengah mengerjakan shalat sunnah setelah adzan.

Rasulullah Saw pernah memasuki masjid, kemudian beliau melihat sekelompok orang sedang shalat dan sekelompok lainnya sedang membaca Al-Qur’an, maka beliau bersabda, "Wahai manusia! Masing-masing dari kalian tengah bermunajat kepada Rabb-nya. Janganlah sebagian dari kalian mengeraskan bacaan Al-Qur’annya atas sebagian lainnya." (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad).

Apabila pembaca Al-Qur’an saja dilarang oleh Rasulullah Saw untuk mengeraskan bacaannya agar tidak mengganggu orang yang sedang shalat, lantas bagaimana halnya dengan mengeraskan bacaan shalawat untuk Nabi? Tentunya hal itu lebih layak untuk dilarang daripada mengeraskan bacaan Al-Qur’an.

Kebiasaan para muadzin di akhir zaman ini adalah mengeraskan bacaan shalawat untuk Nabi Saw sebelum shalat Jum'at dan shalat Fajar (Shubuh), adapun setelah adzan Maghrib, mereka tidak mengeraskannya. Lalu, apa sebabnya? Dalil apa yang digunakan untuk (pembedaan) ini? Terkadang sebelum adzan, terkadang setelahnya atau tidak sama sekali?

Di sana ada orang yang menambah-nambah lafazh adzan dengan ucapan, "Marilah menuju amal yang paling baik." Ucapan ini dibuat-buat oleh orang-orang Fathimiyyun (Ad-Daruuz), hingga akhirnya datang seorang penguasa yang bernama Shalahuddin Al-Ayyubi, lalu membatalkan (menghilangkan) ucapan itu setelah ia berhasil menumpas Daulah Fathimiyyun di Mesir.

Telah jelas bagi para pembaca bahwa mengeraskan suara dalam bershalawat untuk Nabi Saw tidak memiliki dalil sama sekali, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, ini hanyalah perbuatan bid'ah yang diada-adakan oleh orang-orang belakangan, sesungguhnya Allah Ta'ala telah mengingkari perbuatan bid'ah orang-orang musyrik dalam firman-Nya, "Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?" (Q.S. Asy-Syuuraa: 21).

Rasulullah Saw memberikan peringatan keras terhadap orang-orang yang membuat-buat bid'ah. Beliau bersabda, "Barangsiapa yang mengada-ada dalam (perkara) agama kami ini sesuatu yang tidak ada tuntunan darinya, maka hal itu tertolak." (H.R. Muttafaq 'alaih).

"Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak ada perintah (contoh)nya dari kami, maka amalan itu tertolak." (H.R. Imam Muslim). Makna raddun adalah tertolak atas pelakunya dan tidak diterima. Ibnu 'Umar Ra mengatakan, "Setiap bid'ah adalah sesat meskipun orang-orang menganggapnya baik."

Hudzaifah Ra mengatakan, "Setiap ibadah yang tidak pernah dikerjakan oleh para Sahabat Nabi Muhammad Saw, maka janganlah kalian mengerjakannya."

Ghudhaif Ra seorang Tabi'in, mengatakan, "Tidak-lah satu bid'ah muncul (dikerjakan) melainkan Sunnah yang sepertinya telah ditinggalkan."

Imam Malik bin Anas Ra mengatakan, "Barang-siapa mengada-adakan suatu bid'ah dalam Islam lalu menganggapnya baik, maka sungguh ia telah menuduh bahwa Nabi Muhammad Saw telah berkhianat dalam menyampaikan risalah, karena Allah Ta'ala telah berfirman, 'Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan bagimu nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agamamu.' (Q.S. Al-Maa-idah:3).

Maka (amalan) apa saja yang tidak menjadi agama ketika itu, sekarangpun tidak dianggap sebagai agama." Imam Asy-Syafi'i mengatakan, "Barangsiapa beristihsan (menganggap baik suatu hal (dalam masalah agama) tanpa adanya dalil), maka ia telah membuat syari'at, seandainya istihsan dalam agama itu dibolehkan, maka hal itu boleh dilakukan oleh setiap orang yang memiliki akal tanpa memiliki iman, dan boleh dijadikan syari'at dalam setiap bab dan setiap orang boleh untuk membuat syari'at baru."



Merendahkan Suara Ketika Mengucapkan Shalawat Untuk Nabi Saw

1. Yang disyari'atkan adalah bershalawat kepada Nabi Saw dengan suara pelan. Rasulullah Saw bersabda, "Apabila kalian mendengar (seruan) muadzin, maka ucapkanlah seperti apa yang ia ucapkan, kemudian bershalawatlah untukku, karena siapa yang bershalawat untukku satu kali, Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali, kemudian mohonkanlah Al-wasilah untukku karena ia adalah manzilah (kedudukan) di Surga yang tidak layak diberikan kecuali kepada seorang hamba diantara hamba-hamba Allah dan aku berharap, akulah hamba yang akan memperolehnya, maka siapa saja yang memohonkan Al-wasilah kepada Allah untukku, ia berhak memperoleh syafa'atku." (H.R. Imam Muslim).

Tidak pernah ada satu riwayat pun yang menyebutkan bahwa para Sahabat dan para muadzin mengeraskan bacaan shalawat setelah mengumandangkan adzan, oleh karena itu yang benar adalah mengucapkannya dengan suara yang pelan.

2. Rasulullah Saw bersabda tentang permohonan Al-Wasilah yang telah disebutkan di atas : "Ya Allah, Rabb (Pemilik) seruan (adzan) yang sempurna ini dan shalat wajib yang didirikan, berikanlah Al-wasilah (kedudukan di Surga) dan keutamaan kepada Muhammad, serta bangkitkanlah beliau sehingga menempati maqam terpuji yang telah Engkau janjikan." (H.R. Al-Bukhari).

Do'a ini diucapkan oleh kaum muslimin dengan suara yang pelan setelah bershalawat untuk Nabi Saw yang juga diucapkan dengan suara yang pelan, keduanya tereantum dalam satu hadits, maka mengapa para muadzin mengeraskan suaranya ketika bershalawat untuk Nabi, akan tetapi tidak mengeraskan suara ketika memohonkan Al-wasilah untuk beliau? Seharusnya para muadzin itu mengucapkannya dengan suara yang pelan.

3. Shalawat untuk Nabi Saw adalah do'a, sedangkan Allah Ta'ala memerintahkan untuk merendahkan suara ketika berdo'a. Allah Ta'ala berfirman, "Berdo'alah kepada Rabb-mu dengan berendah diri dan suara yang lembut (pelan). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (Q.S. AlA'raaf: 55).

Maknanya, Allah Ta'ala tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas dalam berdo'a, yaitu dengan melebarkan mulut dan mengangkat suara dalam melakukannya. (Disebutkan oleh Al-Jalalain).

Rasulullah Saw bersabda, "Wahai manusia, kasihanilah diri-diri kalian dan rendahkanlah suara kalian, karena kalian tidak berdo'a kepada Rabb yang tuli dan tidak juga jauh. Sesungguhnya Dia bersama kalian, dan sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat."(H.R. Muttafaq 'alaih).



Perkataan Para Imam Tentang Hukum Mengeraskan Suara Dalam Bershalawat

Bagaimana hukum bershalawat untuk Nabi Saw dengan suara yang keras setelah adzan, apakah haram atau halal? Syaikh Abu Yusuf 'Abdurrahman bin 'Abdish Shamad berkata, "Dengan memohon taufiq kepada Allah. Sebelum memulai jawaban, saya ingin melihat pandangan dua orang Syaikh, yaitu Syaikh Husain dan Syaikh Adib Al-Kailani. Dan pendapat mereka sebagai jawaban tentang hal ini ketika ditanya di Dewan Fatwa daerah Hammah di hadapan Mufti, yaitu ada seorang muadzin yang mengeraskan bacaan shalawat untuk Nabi Saw setelah adzan seperti halnya mengumandangkan adzan, bagaimana hukum mengeraskan suara dalam hal ini, apakah halal atau haram?

Maka di jawab: Muadzin ini tidak lepas dari dua keadaan, yaitu:
Pertama: la adalah seorang yang mengetahui bahwa Al-Mushthafa (Rasulullah) Saw Khulafaur Rasyidin, para Sahabat, Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in, termasuk di dalamnya Imam Empat Madzhab-ridhwaanullaah 'alaihim ajma'iin-sama sekali tidak pernah mengeraskan suara ketika bershalawat selama tiga abad lamanya, bahkan lima abad.

Dan ia pun mengetahui bahwa yang pertarma kali mengada-adakan pembacaan shalawat dengan suara keras adalah Rafidhah Al-'Ubaidiyyun (Pengikut 'Ubaid Al-Qaddah) di Mesir, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Asy-Sya'rani, kemudian ia berkata dengan isyarat atau ucapannya langsung, 'Merendahkan suara dalam bershalawat tidaklah cukup, karena waktu dan keadaan manusia telah berubah.'

Bagaimana seandainya jika kita mengeraskan suara dalam bershalawat, mendorong orang-orang agar bershalawat untuk Nabi dan kila mengingatkan mereka dengan cara seperti itu? Saya jawab: Celakalah dirinya! Sungguh ia telah menyimpang dari Ash-Shirath Al-Mustaqim, menjauhi jalan yang lurus, membenci Sunnah Abul Qasim dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, serta menyimpang dari apa yang telah dijalani oleh para Sahabat, Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in, termasuk di dalamnya Empat Imam Madzhab yang masyhur.

Cukuplah dosa atasnya karena telah mengutamakan petunjuk (bimbingan) kaum Rafidhah daripada petunjuk beliau dan apa yang pernah dijalani oleh tiga generasi yang Allah utamakan dan cukuplah dosa atasnya disebabkan pendapatnya, bahwa mengamalkan petunjuk Rafidhah lebih bermanfaat daripada mengamalkan petunjuk beliau, padahal seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, maka, ia lebih mengutamakan seburuk-buruk amal daripada sebaik-baik amal. Mudah-mudahan Allah melindungi kita semua dari hal itu.

Adapun keadaan orang yang Kedua, maka ia termasuk di antara orang-orang yang 'membeo' (taqlid buta) terhadap pendapat setiap orang, mereka mengeraskan suara dalam bershalawat, sedangkan seluruh Syaikh (ulama) yang ada diam, bahkan menganjurkannya, mengajak kepadanya, memusuhi orang yang enggan mengeraskan bacaan shalawat, mencelanya dengan tuduhan Wahabi, bahkan terkadang dengan tuduhan mengingkari madzhab-madzhab yang sudah ada, serta menganggap para Imam telah melakukan pengurangan dengan melakukan kebohongan dan kedustaan.

Maka dikatakan, apabila telah sampai kepadanya bahwa mengeraskan bacaan shalawat setelah adzan sebagaimana kerasnya adzan tidak termasuk petunjuk tiga generasi yang diutamakan, yang benar bahwa hal itu adalah tuntunan kaum Rafidhah, serta telah sampai kepadanya bahwa merekalah yang pertama kali mengada-adakannya, namun ia tetap mengeraskan suara ketika bershalawat, maka hukumnya adalah hukum yang pertama.

Perselisihan dalam mengeraskan bacaan, keduanya hanya terjadi dalam cara yang telah diketahui, yang benar, bahwa itu adalah bid'ah tercela jika dilakukan dengan cara seperti itu, sebagaimana kebiasaan para muadzin yang terus berlangsung demikian, yaitu dengan mengeraskan bacaan keduanya seperti layaknya adzan, memanjangkan suaranya dan melagukannya.

Sesungguhnya perbuatan tersebut berarti mengada-adakan syi'ar agama yang menyelisihi apa yang telah berlaku di zaman Nabi Saw para Sahabat dan Salafush Shalih dari kalangan para Imam kaum muslimin dan tidak pula dilakukan oleh orang-orang setelah mereka.

Karena ibadah haruslah berdasarkan perintah yang datang dari beliau menurut kesepakatan kaum muslimin, ibadah tidak boleh ditetapkan dengan ihtihsan seorang pun, tidak pula dengan mengada-ada seperti yang dilakukan oleh para penguasa, baik yang adil maupun yang jahat.

Dan yang sangat mengherankan, mereka melakukannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala, padahal telah dinukil dengan shahih dan jelas bahwa bertaqarrub kepada Allah Ta'ala hanya boleh dilakukan dengan amal shalih dan menurut cara yang disyari'atkan.

2. Ibnu Hajar Asy-Syafi’i berkata dalam Fatawaa Al-Kubraa, "Para Syaikh kami dan selain mereka dimintai fatwa tentang bershalawat dan mengucapkan salam untuk Nabi Saw setelah adzan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para muadzin, maka mereka mengeluarkan fatwa, bahwa shalawat itu adalah Sunnah, sedangkan tata caranya bid'ah."

Imam Asy-Sya'rani berkata menukil ucapan Syaikhnya, "Ucapan salam (dengan mengeraskannya) yang biasa dilakukan oleh para muadzin belum pemah ada pada masa Rasulullah Saw tidak juga pada masa Khulafaur Rasyidin, bahkan hal itu baru ada pada masa Rafidhah di Mesir."

3. Adapun adzan, ia tidak dikumandangkan untuk selain shalat fardhu. Menurut kami, adzan adalah kalimat yang tersusun dari lima belas kata yang diakhiri dengan ucapan: 'Laa ilaaha illallaah.' Sedangkan apa yang diucapkan sebelum dan setelahnya adalah amalan yang diada-adakan dan bid'ah.

Hal itu semata-mata untuk menyalahi, tidak ada selain itu, seorang pun tidak boleh mengatakan dibolehkannya 'penyalahan' ini, tidak juga dengan ibarat yang mengatakan bahwa amalan itu (menambah-nambah kalimat adzan) adalah bid'ah hasanah (bid'ah yang baik).

Sebab, setiap bid'ah dalam ibadah seperti ini adalah buruk atau tercela. Barangsiapa yang menyangka atau menganggap bahwa dalam perbuatan tersebut tidak ada 'penyalahan' maka ia dusta."

4. Ibnu Hajar Asy-Syafi’i berkata dalam Fatawa Al-Kubraa, "Barangsiapa bershalawat untuk Nabi Saw sebelum adzan dan mengucapkan, 'Muhammad Rasulullah' setelahnya, serta meyakini hal itu sebagai Sunnah, maka ia harus dilarang dan dicegah darinya, karena ia telah membuat syari'at tanpa dalil dan barangsiapa membuat syari'at, maka ia wajib dicegah dan dilarang."(Dinukil dari Kitab Al-lbdaa' fii Madhaarit Ibtidaa', hal. 174).

Posting Komentar untuk "Hukum Mengeraskan Bacaan Shalawat"