TENTANG (HAKIKAT) RIYA'
Pada fitrahnya, secara umum manusia memiliki kecenderungan ingin di puji dan takut di cela apalagi di kritik, hal ini salah satu penyebab kemunculannya ria, penyakit ini ada yang sangat samar dan sangat tersembunyi tetapi ada juga yang terang-terangan, terkadang, seseorang merasa telah berbuat atas sesuatu dengan dasar ikhlas karena Allah, namun ternyata secara tak sadar ia telah terjerumus kedalam penyakit ria, apalagi selalu bersikap dengan sesuatu perbuatan yang bias mengarah kepada ria. Rasulullah Saw bersabda,”Kesyirikan itu lebih samar dari langkah kaki semut.” Lalu Abu Bakar Ra bertanya,“Wahai Rasulullah Saw, bukankah kesyirikan itu ialah menyembah selain Allah atau berdo’a kepada selain Allah di samping berdo’a kepada selain Allah?” maka beliau bersabda,”Bagaimana engkau ini, kesyirikan pada kalian lebih samar dari langkah kaki semut.” (H.R. Muttaffaqun ‘Alaihi).
Tidak Selayaknya bagi seorang yang berilmu untuk tidak mengajarkan ilmunya kepada seseorang dengan alasan karena niat orang yang belajar tersebut belum benar, karena sesungguhnya dia masih di harapkan agar baik niatnya, terkadang di rasakan berat oleh kebanyakan para pemula dari kalangan para penuntut ilmu masalah perbaikan niat karena lemahnya jiwa-jiwa mereka dan sedikitnya kesenangan mereka terhadap kewajiban memperbaiki niat apalagi definisinya.
Sesungguhnya beribadah kepada Allah adalah wajib atas umat manusia (hamba Allah Swt), dalam menjalani kehidupan di dunia ini memang sudah semestinya kita beribadah kepada Allah, seleuruh tata cara ibadah ini sudah di atur dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Al-Hadist, hal ini lebih di kenal sekarang dengan ilmu muamalah (fiqh), sendi-sendi aturan ini sudah lengkap dan inilah yang membuat umat manusia (muslim) selamat di dunia dan akhirat, tetapi ada batasan-batasan seseorang hamba dalam melaksanakan ibadah ini, usahakan jangan sampai kepada kategori ibadah yang ria, karena hal ini adalah menghancurkan faedah ibadah itu sendiri. “Sungguh Iblis telah memberikan tipu dayanya kepada seorang pemberi nasihat yang ikhlas, maka Iblispun berkata kepadanya : “Orang sepertimu tidaklah memberi nasehat dan akan tetapi kamu hanya pura-pura memberi nasihat.” Akhirnya diapun diam dan berhenti dari memberi nasehat. Itulah di antara makar Iblis, karena dia menginginkan menghalangi perbuatan yang baik…. Iblispun juga berkata : “Sesungguhnya kamu ingin bernikmat-nikmat dengan apa yang kamu sampaikan dan kamu akan mendapatkan kesenangan karena hal itu, dan kadang-kadang akan muncul perasaan riya` pada ucapanmu, dan menyendiri itu lebih selamat.” Maksud dari perkataan ini adalah menghalangi dari berbagai kebaikan”.
Apabila seseorang mendapatkan dalam dirinya kecenderungan kepada sifat ria dan senang untuk berbangga-bangga dengan maksud tertentu, maka wajib baginya untuk menyibukkan diri dengan memperbaiki niat, bersungguh-sungguh melatih jiwanya agar tetap di atas keikhlasan dan jaga agar tidak tampil sifat sedemikian, hilangkan was-was syaithan, berlindung diri dari kejahatan dan kejelekannya sampai niatnya kembali menjadi bersih dari berbagai kotoran ria dan yang lainnya, dan tertutuplah pintu-pintu masuk iblis dan syaithan yang biasa menyusup dari sela-sela jiwa manusia. "Sesungguhnya semua amal itu harus di sertai dengan niat (ikhlas karena Allah), dan setiap orang di nilai menurut niatnya." (H.R. Riwayat Bukhari). Jaga jangan sampai ibadah tergolong kepada kategori ria, sekalipun niat kita pada awalnya adalah murni untuk melaksanakan ibadah karena Allah, namun jaga jangan sampai menjelma menjadi ria, karena iblis dan syaithan tidak pernah lalai, tidur ataupun lupa uuntuk menjerumuskan manusia, ria biasa muncul dari sesuatu perkataan, walaupun pada awalnya adalah dengan niat yang baik tetapi karena lama kelamaan tanpa kita sadari mulai merambah penyakit ria di dalamnya, oleh karena itu hindarilah sifat-sifat, perkataan-perkataan dan perbuatan yang dapat menghela kepada perbuatan nifaq, ria dan sifat buruk lainnya, walaupun awalnya niat adalah baik, tetapi kalau sudah terbiasa maka ini sangat berbahaya atas faedah amal ibadah seseorang hamba tersebut. Allah melarang atas sesuatu perbuatan walaupun pada awalnya adalah dengan niat yang baik, tetapi bisa membahayakan dan mengarahkan kejurang kesia-siaan, yaitu Ria, oleh karena itu, hindari hal-hal yang dapat menghela kepada perbuatan yang mungkar.
Hakikat ria adalah mencari ‘posisi’ dalam hati manusia melalui amalan ibadah dan amalan kebajikan (thalab al-manzilah fi qulub al-nas bil ibadat wa a‘mal al-khayr).
Pelaku ria terdiri dari :
Pertama, ria dari segi fisik (ar-riya’ min jihat al-badan), tandanya yaitu menampakkan wajah pucat agar di sangka sedang berpuasa, atau menunjukkan kesedihan agar di sangka peduli dengan urusan agama, atau menampakkan rambut yang kusut agar di sangka tenggelam dengan urusan agama dan tidak memikirkan dirinya sendiri, atau menampakkan mulut yang bau agar di sangka sedang berpuasa, atau merendahkan suara agar di sangka sedang serius ber-mujahadah.
Kedua, ria dari segi gaya (ar-riya’ bil hay’ah), tandanya yaitu seperti memendekkan kumis, menundukkan kepala ketika berjalan, menampakkan ketenangan ketika berjalan, meninggalkan bekas sujud di wajah (maksudnya: tanda hitam di jidat), memejamkan mata agar di sangka sedang terkena tarikan rohani (al-wajd) dan penampakan rohani (mukasyafah) atau sedang tenggelam memikirkan sesuatu persoalan (gha’ish fil fikr).
Ketiga, ria dari segi pakaian (ar-riya’ fi al-tsiyab), tandanya yaitu seperti memakai pakaian ala sufi, pakaian kasar, memendekkan pakaian sampai setengah betis, membiarkan pakaian terlihat compang-camping dan kumal, semuanya itu agar di sangka ia tidak punya waktu untuk mengurusi yang demikian. Tanda lainnya shalat di atas sajadah agar di sangka seorang ahli ibadah, padahal ia tidak tahu siapa hakikat ibadah yang sebenarnya. Tanda lainnya adalah memakai jubah, selendang, dan melebarkan lengan baju, agar di sangka ia orang alim ulama. Tanda lainnya adalah memakai kaos tangan/kaki agar di sangka ia orang yang hidup sederhana karena begitu hati-hatinya dengan debu jalanan.
Keempat, ria dari segi perkataan (ar-riya’ bil qawl), tandanya yaitu seperti seorang pemberi nasihat dan peringatan yang membagus-baguskan perkataannya dan mengungkapkannya dengan kalimat puitis, atau berbicara dengan ungkapan-ungkapan hikmah dan ucapan para salaf sambil melembutkan suara dan menampakkan kepiluan, padahal batinnya kosong dari ketulusan dan keikhlasan, namun ia melakukan semua itu agar disangka begitu. Orang seperti ini juga menampakkan kesedihan di tengah orang banyak, namun ketika sendiri ia bermaksiat kepada Allah. Tanda lainnya seperti orang yang mengklaim hapal hadits dan bertemu dengan banyak guru, dan ia dengan mudah mengatakan bahwa hadits ini shahih, hadits itu cacat, agar ia di sangka pakar dalam soal ilmu hadits. Tanda lainnya adalah seperti orang yang menggerak-gerakan bibir dengan dzikir dan melakukan amar makruf nahi munkar di tengah masyarakat, padahal hatinya tidak merasa sakit ketika melakukan maksiat. Tanda lainnya adalah seperti orang yang menampakkan rasa marah dengan kemaksiatan yang terjadi, namun ketika ia melakukan maksiat, hatinya tidak merasakan pedih.
Kelima, ria dari segi perbuatan (ar-riya’ bil amal), tandanya yaitu seperti berlama-lama berdiri ketika shalat, membagus-baguskan ruku‘ dan sujud, menundukkan kepala, tidak banyak bergerak, gemar bersedekah, berpuasa, berhaji, pelan dalam berjalan, mengendurkan kelopak mata, padahal Allah Swt tahu seandainya ia dalam kesendirian, ia tidak akan melakukan semua itu, bahkan, ia akan malas-malasan ketika shalat, cepat-cepat ketika berjalan, namun ketika muncul orang lain, ia kembali bersikap tenang, agar di sangka khusyu‘.
Keenam, ria dari segi memperbanyak murid dan sahabat dan memperbanyak menyebut nama para guru (ar-riya’ bi katsrat al-talamidzat wal ashhab wa katsrat dzikr al-syuyukh), agar di sangka ia banyak bertemu dengan para guru, atau seperti orang yang senang di datangi para ulama dan penguasa, agar di sangka sebagai orang yang di minta keberkahannya.
Semua tanda yang di sebutkan di atas adalah yang menyangkut urusan agama. Hukum semuanya adalah haram, bahkan termasuk dosa besar, namun, jika mencari ‘posisi’ di hati orang lain dengan perbuatan-perbuatan yang tidak termasuk ibadat dan amalan-amalan agama, maka hal itu tidaklah haram, sepanjang di dalamnya tidak ada talbis (campur aduk), sebagaimana telah di nyatakan dalam pembahasan tentang ‘Mencari Kedudukan’ (thalab al-jah). Para ahli dunia mencari kedudukan dengan memperbanyak harta dan anak, membaguskan pakaian kebanggaan, menghapal syair, ilmu kedokteran, ilmu hisab, ilmu nahwu dan bahasa, dan lain sebagainya, yang demikian itu tidaklah haram sepanjang tidak berhenti (di maksudkan) untuk menyakiti orang lain, menunjukkan kesombongan, dan menunjukkan akhlak tercela lainnya.
Di lain tempat, menurut bahasa ria berarti pamer, memperlihatkan, memamerkan, atau ingin memperlihatkan yang bukan sebenarnya. Sedangkan menurut istilah ria dapat di definisikan “memperlihatkan suatu ibadah dan amal shalih kepada orang lain, bukan karena Allah Swt tetapi karena sesuatu selain Allah, dengan harapan agar mendapat pujian atau penghargaan dari orang lain.” Hal ini juga sangat berbahaya, walaupun pada awalnya niat untuk memperkatakan sesuatu perbuatan ibadah, namun ini bias jadi kebiasaan dan menghela kepada sifat buruk seperti ria, karena iblis dan syaithan selalu berusaha untuk menggoda umat manusia supaya terjerumus bersamanya keneraka, makanya hindari sifat-sifat dan perbuatan yang bias menghela dan mengarah kepada perbuatan ria, karena sudah sifat manusia adalah mempunyai kadar iman yang naik dan turun, dan ini merupakan sesuatu sasaran empuk bagi iblis dan syaithan untuk masuk kedalam hati manusia dan menyesatkan ibadahnya yang segunung tersebut. Sementara memperdengarkan ucapan tentang ibadah dan amal salehnya kepada orang lain di sebut sum’ah (ingin di dengar).
Ria dan Sum’ah merupakan perbuatan tercela dan merupakan syirik kecil yang hukumnya haram, ria sebagai salah satu sifat orang munafik yang seharusnya di jauhi oleh orang mu’min, mari kitas simak pada Al-Qur’an Surah An-Nisa’ Ayat 142 : “Sesungguhnya orang-rang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka." Dan jika mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas, mereka bermaksud ria (dengan shalat itu) di hadapan manusia, dan tidaklah mereka dzikir kepada Allah kecuali sedikit sekali.” Dalam sebuah hadist, Rasulullah Saw bercerita,”Di hari kiamat nanti ada orang yang mati syahid di perintahkan oleh Allah untuk masuk ke neraka. Lalu orang itu melakukan protes,”Wahai Tuhanku, aku ini telah mati syahid dalam perjuangan membela agama-Mu, mengapa aku di masukkan ke neraka?” Allah menjawab,”Kamu berdusta dalam berjuang. Kamu hanya ingin mendapatkan pujian dari orang lain, agar dirimu di katakan sebagai pemberani. Dan, apabila pujian itu telah di katakan oleh mereka, maka itulah sebagai balasan dari perjuanganmu.”
Orang yang berjuang atau beribadah demi sesuatu yang bukan ikhlas karena Allah, dalam agama di sebut ria, sepintas, sifat ria merupakan perkara yang sepele, namun akibatnya sangat fatal, sifat ria dapat memberangus seluruh amal kebaikan, bagaikan air hujan yang menimpa debu di atas bebatuan.
Allah berfirman : ”Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (Q.S. Al-Furqan : 23).
Abu Hurairah Ra juga pernah mendengar Rasulullah bersabda : ”Banyak orang yang berpuasa, namun tidak memperoleh sesuatu dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga, dan banyak pula orang yang melakukan shalat malam yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali tidak tidur semalaman.”
Begitu dahsyatnya penyakit ria ini, hingga pernah seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw,”Apakah keselamatan itu?” Jawab Rasulullah Saw,”Apabila kamu tidak menipu Allah.” Orang tersebut bertanya lagi,”Bagaimana menipu Allah itu?” Rasulullah Saw menjawab,”Apabila kamu melakukan suatu amal yang telah di perintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepadamu, maka kamu menghendaki amal itu untuk selain Allah.”
Meskipun ria sangat berbahaya, tidak sedikit di antara kita yang terperdaya oleh penyakit hati ini, kini tidak mudah untuk menemukan orang yang benar-benar ikhlas beribadah kepada Allah tanpa adanya pamrih dari manusia atau tujuan lainnya, baik dalam masalah ibadah, muamalah, ataupun perjuangan, meskipun kadarnya berbeda-beda antara satu dan lainnya, tujuannya tetap sama, ingin menunjukkan amaliyahnya, ibadah, dan segala aktivitasnya di hadapan manusia, hal ini karena dalam kehidupan sehari-hari di biasakan setiap perkataan dan perbuatan yang mengarahkan dan menghela kepada penyakit ria.
Secara tegas Rasulullah Saw pernah bersabda,”Takutlah kamu kepada syirik kecil.” Para shahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, apa yang di maksud dengan syirik kecil?” Rasulullah Saw berkata,”Yaitu sifat ria, kelak di hari pembalasan, Allah mengatakan kepada mereka yang memiliki sifat ria, “Pergilah kalian kepada mereka, di mana kalian pernah memperlihatkan amal kalian kepada mereka semasa di dunia, lihatlah apakah kalian memperoleh imbalan pahala dari mereka.”
Antara amal perbuatan yang di ridhai oleh Allah Swt dengan amal perbuatan ria dapat di bedakan sebagai berikut :
Amal perbuatan yang di ridhai Allah
a. Niat karena Allah;
b. Ikhlas;
c. Sesuai dengan kemampuan dan tidak di paksakan;
d. Tidak pilih kasih;
e. Rahmat bagi seluruh alam.
Amal perbuatan ria
a. Niat bukan karena Allah;
b. Tidak ikhlas;
c. Mengada-ada;
d. Pilih kasih;
e. Ingin di puji;
f. Mengharap imbalan.
Ria dapat di golongkan 2 (dua) macam, yaitu :
a. Ria dalam niat
Ria yang berkaitan dengan hati, maksud ria dalam niat, yaitu sejak awal perbuatan bahkan yang di lakukannya tidak di dasari ikhlas sebelumnya sudah di dasari ria, yang mengetahui hanya Allah dan dirinya saja. Apabila seseorang ingin melakukan amal perbuatan baik atau tidak tergantung pada niat, dan Rasulullah Saw sehubungan dengan ini bersabda : Umar bin Al-Khaththab berkata di atas mimbar,” aku mendengar Rasulullah Saw bersabda : “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang memperoleh sesuai apa yang ia niatkan.” (H.R. Bukhari Muslim).
Ini adalah permulaan sesuatu niat dalam beribadah, namun kita juga di larang untuk berbuat segala sesuatu yang dapat menghela kepada perbuatan mungkar.
b. Ria dalam perbuatan
Secara kasar adalah memamerkan atau menunjukkan perbuatan di depan orang banyak, agar perbuatan tersebut di puji, di perhatikan, dan di sanjung orang lain, beberapa penjelasan Allah dalam Al-Qur’an sehubungan dengan ria dalam perbuatan antara lain :
a). Melakukan ibadah shalat dan ibadah lainnya tidak untuk mencapai keridlaan Allah, tetapi mengharapkan pujian, popularitas di masyarakat. Allah berfirman dalam : “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya.” (Q.S. Al-Ma’un : 4-6).
b). Bershadaqah dengan di dasari ria, maka hal ini adalah laksana batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu di timpa hujan lebat, lalu menjadilah ia bersih kembali (maksudnya adalah hasil ibadah tersebut). Firman Allah,"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfaqkan hartanya karena ria (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu di timpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (Q.S. Al Baqarah : 264).
c). Allah melarang pergi berperang di dasari ria dan menghalangi (orang) lain menempuh jalan Allah (sabilillah). Allah berfirman dalam : “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang keluar dari kampung halamannya dengan rasa angkuh dan ingin di puji orang (ria) serta menghalang-halangi (orang) dari jalan Allah. Allah meliputi segala yang mereka kerjakan.” (Q.S. Al-Anfaal : 47).
Beberapa ciri orang yang mempunyai sifat ria dalam perbuatan :
a. Tidak akan berbuat baik jika tidak di lihat orang lain atau tidak ada imbalan baginya;
b. Melakukan amal saleh tanpa dasar, hanya ikut-ikutan;
c. Tampak rajin penuh semangat jika amal perbuatannya di lihat atau di puji-puji orang;
d. Ucapannya selalu menunjukkan bahwa dia yang paling hebat, paling tinggi dan paling mampu;
e. Tidak mau dan tertutup untuk mendengar pendapat orang lain, bertahan pada pendapat sendiri dan selalu merasa benar, padahal belum tentu benar dan sebaiknya adalah musyawarah dan mufakat berdasarkan hukum yang ada.
Bahaya-bahaya yang di timbulkan dari sikap ria adalah :
a. Terhadap diri sendiri :
1) Selalu tidak ada puasnya, sekalipun hidupnya sudah berkecukupan sehingga berpotensi untuk korupsi dan mengambil hak orang lain;
2) Selalu ingin di puji dan di hormati dan ingin di perhatikan;
3) Ketidakpuasan, sakit hati dan penyesalan ketika lain tidak di hargai;
4) Sombong dan membanggakan diri;
5)Tidak dapat bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah dan dalam berinteraksi dengan sesama manusia;
6) Menyesal jika telah melakukan perbuatan baik hanya karena tidak ada orang lain yang melihatnya atau tidak ada imbalannya;
7) Jiwanya akan terganggu karena kegelisahan dan keluh kesah yang tiada henti;
8) Di akhirat akan di campakkan ke dalam api neraka.
b. Terhadap orang lain
1) Berpotensi saling bermusuhan, karena ia mengungkit apa yang yang di berikannya kepada orang lain;
2) Memamerkan amalnya kepada orang lain, sehingga orang lain menjadi benci dan tidak senang terhadapnya;
3) Sikap dan perilakunya yang ria akan berpotensi menimbulkan pertikaian dan akhirnya menimbulkan pengrusakan
Tanda-tanda riya’
Tanda-tanda penyakit hati ini pernah di nyatakan oleh Ali bin Abi Thalib Ra, kata beliau,”Orang yang ria itu memiliki tiga ciri, yaitu malas beramal ketika sendirian dan giat beramal ketika berada di tengah-tengah orang ramai, menambah amaliyahnya ketika dirinya di puji, dan mengurangi amaliyahnya ketika dirinya di cela.”
Kebiasaan yang dapat menghindari perbuatan ria
1) Memfokuskan niat ibadah (ikhlas) hanya semata-mata karena Allah;
2) Membiasakan diri membaca basmallah sebelum memulai pekerjaan;
3) Membiasakan menjaga lisan saat bekerja;
4) Membiasakan diri menolong atau membantu pekerjaan orang lain tanpa harus di suruh dan meminta imbalan;
5) Membiasakan bershadaqah atau mengeluarkan infaknya setiap mendapat rezeki atau kesenangan;
6) Membiasakan diri untuk bersyukur kepada Allah;
7) Menghindari sifat-sifat dan perbuatan yang dapat menghela kepada perbuatan ria.
“Ingatkanlah orang lain, karena pengingatan itu bermanfaat buat orang-orang beriman.” (Q.S. Adz-Dzariyat Ayat 51:55).
Beberapa tips mengobati penyakit ria
Setiap insan atau manusia tidak akan pernah lepas dari kesalahan, sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah yang bertaubat kepada Allah atas kesalahan yang pernah di lakukannya, hati begitu mudah dan cepat berubah-rubah, jika saat ini beribadah dengan ikhlas, bisa jadi beberapa saat kemudian ikhlas tersebut berganti dengan ria, pagi ikhlas, mungkin sore sudah tidak, hari ini ikhlas, mungkin esok tidak, ini di sebabkan atas pengaruh iblis dan syaithan dan hanya kepada Allah kita memohon agar hati kita di teguhkan dalam hal ini. Selain itu, hendaknya kita berusaha untuk menjaga hati agar terhidar dari penyakit ria dan penyebab-penyebabnya, inilah beberapa kiat yang dapat kita lakukan agar terhindar dari sifat ria yang menghancurkan :
1. Memohon dan selalu berlindung kepada Allah agar mengobati penyakit ria.
Ria adalah penyakit kronis dan berbahaya, ia membutuhkan pengobatan dan terapi serta bermujahadah (bersungguh-sungguh) supaya bisa menolak bisikan ria, sambil tetap meminta pertolongan Allah untuk menolaknya, karena seorang hamba selalu membutuhkan pertolongan dan bantuan dari Allah, seorang hamba tidak akan mampu melakukan sesuatu kecuali dengan bantuan dan anugerah Allah, oleh karena itu, untuk mengobati ria, seorang selalu membutuhkan pertolongan dan memohon perlindungan kepada-Nya dari penyakit ria dan sum’ah, demikian yang di ajarkan Rasulullah Saw dalam sabda beliau : “Wahai sekalian manusia, peliharalah diri dari kesyirikan karena ia lebih samar dari langkah kaki semut.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara kami memelihara diri darinya padahal ia lebih samar dari langkah kaki semut?” beliau menjawab,“Katakanlah : ‘Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang kami ketahui, dan kami mohon ampunan kepada-Mu dari apa yang tidak kami ketahui." (H.R. Imam Ahmad).
2. Mengenal ria dan penyebabnya serta berusaha menghindarinya
Kesamaran ria menuntut seseorang yang ingin menghindarinya agar mengetahui dan mengenal dengan baik ria dan penyebabnya, selanjutnya, berusaha menghindarinya, adakalanya seorang itu terjangkit penyakit ria di sebabkan ketidak tahuan dan adakalanya karena keteledoran dan kurang hati-hati.
3. Mengingat akibat jelek perbuatan ria di dunia dan akhirat
Sifat ria tidaklah memberikan manfaat sedikitpun, bahkan memberikan mudharat yang banyak di dunia dan akhirat, ria dapat membuat kemurkaan dan kemarahan Allah, sehingga seseorang yang ria akan mendapatkan kerugian di dunia dan akhirat.
4. Menyembunyikan dan merahasiakan ibadah
Salah satu upaya mengekang ria adalah dengan menyembunyikan amalan, hal ini di lakukan oleh para ulama sehingga amalan yang di lakukan tidak tercampuri ria, mereka tidak memberikan kesempatan kepada syaithan untuk mengganggunya, para ulama menegaskan bahwa menyembunyikan amalan hanya di anjurkan untuk amalan yang bersifat sunnah, sedangkan amalan yang wajib tetap di tampakkan, menampakkan amalan sunnah agar di jadikan contoh dan di ikuti manusia namun tidak di perkatakan.
Kita sekalian berlindung kepada Allah dari penyakit ria, semoga Allah menjadikan kita seorang hamba yang beriman tanpa adanya ibadah yang di sertai dengan sifat kejahilan.
Tidak Selayaknya bagi seorang yang berilmu untuk tidak mengajarkan ilmunya kepada seseorang dengan alasan karena niat orang yang belajar tersebut belum benar, karena sesungguhnya dia masih di harapkan agar baik niatnya, terkadang di rasakan berat oleh kebanyakan para pemula dari kalangan para penuntut ilmu masalah perbaikan niat karena lemahnya jiwa-jiwa mereka dan sedikitnya kesenangan mereka terhadap kewajiban memperbaiki niat apalagi definisinya.
Sesungguhnya beribadah kepada Allah adalah wajib atas umat manusia (hamba Allah Swt), dalam menjalani kehidupan di dunia ini memang sudah semestinya kita beribadah kepada Allah, seleuruh tata cara ibadah ini sudah di atur dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Al-Hadist, hal ini lebih di kenal sekarang dengan ilmu muamalah (fiqh), sendi-sendi aturan ini sudah lengkap dan inilah yang membuat umat manusia (muslim) selamat di dunia dan akhirat, tetapi ada batasan-batasan seseorang hamba dalam melaksanakan ibadah ini, usahakan jangan sampai kepada kategori ibadah yang ria, karena hal ini adalah menghancurkan faedah ibadah itu sendiri. “Sungguh Iblis telah memberikan tipu dayanya kepada seorang pemberi nasihat yang ikhlas, maka Iblispun berkata kepadanya : “Orang sepertimu tidaklah memberi nasehat dan akan tetapi kamu hanya pura-pura memberi nasihat.” Akhirnya diapun diam dan berhenti dari memberi nasehat. Itulah di antara makar Iblis, karena dia menginginkan menghalangi perbuatan yang baik…. Iblispun juga berkata : “Sesungguhnya kamu ingin bernikmat-nikmat dengan apa yang kamu sampaikan dan kamu akan mendapatkan kesenangan karena hal itu, dan kadang-kadang akan muncul perasaan riya` pada ucapanmu, dan menyendiri itu lebih selamat.” Maksud dari perkataan ini adalah menghalangi dari berbagai kebaikan”.
Apabila seseorang mendapatkan dalam dirinya kecenderungan kepada sifat ria dan senang untuk berbangga-bangga dengan maksud tertentu, maka wajib baginya untuk menyibukkan diri dengan memperbaiki niat, bersungguh-sungguh melatih jiwanya agar tetap di atas keikhlasan dan jaga agar tidak tampil sifat sedemikian, hilangkan was-was syaithan, berlindung diri dari kejahatan dan kejelekannya sampai niatnya kembali menjadi bersih dari berbagai kotoran ria dan yang lainnya, dan tertutuplah pintu-pintu masuk iblis dan syaithan yang biasa menyusup dari sela-sela jiwa manusia. "Sesungguhnya semua amal itu harus di sertai dengan niat (ikhlas karena Allah), dan setiap orang di nilai menurut niatnya." (H.R. Riwayat Bukhari). Jaga jangan sampai ibadah tergolong kepada kategori ria, sekalipun niat kita pada awalnya adalah murni untuk melaksanakan ibadah karena Allah, namun jaga jangan sampai menjelma menjadi ria, karena iblis dan syaithan tidak pernah lalai, tidur ataupun lupa uuntuk menjerumuskan manusia, ria biasa muncul dari sesuatu perkataan, walaupun pada awalnya adalah dengan niat yang baik tetapi karena lama kelamaan tanpa kita sadari mulai merambah penyakit ria di dalamnya, oleh karena itu hindarilah sifat-sifat, perkataan-perkataan dan perbuatan yang dapat menghela kepada perbuatan nifaq, ria dan sifat buruk lainnya, walaupun awalnya niat adalah baik, tetapi kalau sudah terbiasa maka ini sangat berbahaya atas faedah amal ibadah seseorang hamba tersebut. Allah melarang atas sesuatu perbuatan walaupun pada awalnya adalah dengan niat yang baik, tetapi bisa membahayakan dan mengarahkan kejurang kesia-siaan, yaitu Ria, oleh karena itu, hindari hal-hal yang dapat menghela kepada perbuatan yang mungkar.
Hakikat ria adalah mencari ‘posisi’ dalam hati manusia melalui amalan ibadah dan amalan kebajikan (thalab al-manzilah fi qulub al-nas bil ibadat wa a‘mal al-khayr).
Pelaku ria terdiri dari :
Pertama, ria dari segi fisik (ar-riya’ min jihat al-badan), tandanya yaitu menampakkan wajah pucat agar di sangka sedang berpuasa, atau menunjukkan kesedihan agar di sangka peduli dengan urusan agama, atau menampakkan rambut yang kusut agar di sangka tenggelam dengan urusan agama dan tidak memikirkan dirinya sendiri, atau menampakkan mulut yang bau agar di sangka sedang berpuasa, atau merendahkan suara agar di sangka sedang serius ber-mujahadah.
Kedua, ria dari segi gaya (ar-riya’ bil hay’ah), tandanya yaitu seperti memendekkan kumis, menundukkan kepala ketika berjalan, menampakkan ketenangan ketika berjalan, meninggalkan bekas sujud di wajah (maksudnya: tanda hitam di jidat), memejamkan mata agar di sangka sedang terkena tarikan rohani (al-wajd) dan penampakan rohani (mukasyafah) atau sedang tenggelam memikirkan sesuatu persoalan (gha’ish fil fikr).
Ketiga, ria dari segi pakaian (ar-riya’ fi al-tsiyab), tandanya yaitu seperti memakai pakaian ala sufi, pakaian kasar, memendekkan pakaian sampai setengah betis, membiarkan pakaian terlihat compang-camping dan kumal, semuanya itu agar di sangka ia tidak punya waktu untuk mengurusi yang demikian. Tanda lainnya shalat di atas sajadah agar di sangka seorang ahli ibadah, padahal ia tidak tahu siapa hakikat ibadah yang sebenarnya. Tanda lainnya adalah memakai jubah, selendang, dan melebarkan lengan baju, agar di sangka ia orang alim ulama. Tanda lainnya adalah memakai kaos tangan/kaki agar di sangka ia orang yang hidup sederhana karena begitu hati-hatinya dengan debu jalanan.
Keempat, ria dari segi perkataan (ar-riya’ bil qawl), tandanya yaitu seperti seorang pemberi nasihat dan peringatan yang membagus-baguskan perkataannya dan mengungkapkannya dengan kalimat puitis, atau berbicara dengan ungkapan-ungkapan hikmah dan ucapan para salaf sambil melembutkan suara dan menampakkan kepiluan, padahal batinnya kosong dari ketulusan dan keikhlasan, namun ia melakukan semua itu agar disangka begitu. Orang seperti ini juga menampakkan kesedihan di tengah orang banyak, namun ketika sendiri ia bermaksiat kepada Allah. Tanda lainnya seperti orang yang mengklaim hapal hadits dan bertemu dengan banyak guru, dan ia dengan mudah mengatakan bahwa hadits ini shahih, hadits itu cacat, agar ia di sangka pakar dalam soal ilmu hadits. Tanda lainnya adalah seperti orang yang menggerak-gerakan bibir dengan dzikir dan melakukan amar makruf nahi munkar di tengah masyarakat, padahal hatinya tidak merasa sakit ketika melakukan maksiat. Tanda lainnya adalah seperti orang yang menampakkan rasa marah dengan kemaksiatan yang terjadi, namun ketika ia melakukan maksiat, hatinya tidak merasakan pedih.
Kelima, ria dari segi perbuatan (ar-riya’ bil amal), tandanya yaitu seperti berlama-lama berdiri ketika shalat, membagus-baguskan ruku‘ dan sujud, menundukkan kepala, tidak banyak bergerak, gemar bersedekah, berpuasa, berhaji, pelan dalam berjalan, mengendurkan kelopak mata, padahal Allah Swt tahu seandainya ia dalam kesendirian, ia tidak akan melakukan semua itu, bahkan, ia akan malas-malasan ketika shalat, cepat-cepat ketika berjalan, namun ketika muncul orang lain, ia kembali bersikap tenang, agar di sangka khusyu‘.
Keenam, ria dari segi memperbanyak murid dan sahabat dan memperbanyak menyebut nama para guru (ar-riya’ bi katsrat al-talamidzat wal ashhab wa katsrat dzikr al-syuyukh), agar di sangka ia banyak bertemu dengan para guru, atau seperti orang yang senang di datangi para ulama dan penguasa, agar di sangka sebagai orang yang di minta keberkahannya.
Semua tanda yang di sebutkan di atas adalah yang menyangkut urusan agama. Hukum semuanya adalah haram, bahkan termasuk dosa besar, namun, jika mencari ‘posisi’ di hati orang lain dengan perbuatan-perbuatan yang tidak termasuk ibadat dan amalan-amalan agama, maka hal itu tidaklah haram, sepanjang di dalamnya tidak ada talbis (campur aduk), sebagaimana telah di nyatakan dalam pembahasan tentang ‘Mencari Kedudukan’ (thalab al-jah). Para ahli dunia mencari kedudukan dengan memperbanyak harta dan anak, membaguskan pakaian kebanggaan, menghapal syair, ilmu kedokteran, ilmu hisab, ilmu nahwu dan bahasa, dan lain sebagainya, yang demikian itu tidaklah haram sepanjang tidak berhenti (di maksudkan) untuk menyakiti orang lain, menunjukkan kesombongan, dan menunjukkan akhlak tercela lainnya.
Di lain tempat, menurut bahasa ria berarti pamer, memperlihatkan, memamerkan, atau ingin memperlihatkan yang bukan sebenarnya. Sedangkan menurut istilah ria dapat di definisikan “memperlihatkan suatu ibadah dan amal shalih kepada orang lain, bukan karena Allah Swt tetapi karena sesuatu selain Allah, dengan harapan agar mendapat pujian atau penghargaan dari orang lain.” Hal ini juga sangat berbahaya, walaupun pada awalnya niat untuk memperkatakan sesuatu perbuatan ibadah, namun ini bias jadi kebiasaan dan menghela kepada sifat buruk seperti ria, karena iblis dan syaithan selalu berusaha untuk menggoda umat manusia supaya terjerumus bersamanya keneraka, makanya hindari sifat-sifat dan perbuatan yang bias menghela dan mengarah kepada perbuatan ria, karena sudah sifat manusia adalah mempunyai kadar iman yang naik dan turun, dan ini merupakan sesuatu sasaran empuk bagi iblis dan syaithan untuk masuk kedalam hati manusia dan menyesatkan ibadahnya yang segunung tersebut. Sementara memperdengarkan ucapan tentang ibadah dan amal salehnya kepada orang lain di sebut sum’ah (ingin di dengar).
Ria dan Sum’ah merupakan perbuatan tercela dan merupakan syirik kecil yang hukumnya haram, ria sebagai salah satu sifat orang munafik yang seharusnya di jauhi oleh orang mu’min, mari kitas simak pada Al-Qur’an Surah An-Nisa’ Ayat 142 : “Sesungguhnya orang-rang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka." Dan jika mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas, mereka bermaksud ria (dengan shalat itu) di hadapan manusia, dan tidaklah mereka dzikir kepada Allah kecuali sedikit sekali.” Dalam sebuah hadist, Rasulullah Saw bercerita,”Di hari kiamat nanti ada orang yang mati syahid di perintahkan oleh Allah untuk masuk ke neraka. Lalu orang itu melakukan protes,”Wahai Tuhanku, aku ini telah mati syahid dalam perjuangan membela agama-Mu, mengapa aku di masukkan ke neraka?” Allah menjawab,”Kamu berdusta dalam berjuang. Kamu hanya ingin mendapatkan pujian dari orang lain, agar dirimu di katakan sebagai pemberani. Dan, apabila pujian itu telah di katakan oleh mereka, maka itulah sebagai balasan dari perjuanganmu.”
Orang yang berjuang atau beribadah demi sesuatu yang bukan ikhlas karena Allah, dalam agama di sebut ria, sepintas, sifat ria merupakan perkara yang sepele, namun akibatnya sangat fatal, sifat ria dapat memberangus seluruh amal kebaikan, bagaikan air hujan yang menimpa debu di atas bebatuan.
Allah berfirman : ”Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (Q.S. Al-Furqan : 23).
Abu Hurairah Ra juga pernah mendengar Rasulullah bersabda : ”Banyak orang yang berpuasa, namun tidak memperoleh sesuatu dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga, dan banyak pula orang yang melakukan shalat malam yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali tidak tidur semalaman.”
Begitu dahsyatnya penyakit ria ini, hingga pernah seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw,”Apakah keselamatan itu?” Jawab Rasulullah Saw,”Apabila kamu tidak menipu Allah.” Orang tersebut bertanya lagi,”Bagaimana menipu Allah itu?” Rasulullah Saw menjawab,”Apabila kamu melakukan suatu amal yang telah di perintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepadamu, maka kamu menghendaki amal itu untuk selain Allah.”
Meskipun ria sangat berbahaya, tidak sedikit di antara kita yang terperdaya oleh penyakit hati ini, kini tidak mudah untuk menemukan orang yang benar-benar ikhlas beribadah kepada Allah tanpa adanya pamrih dari manusia atau tujuan lainnya, baik dalam masalah ibadah, muamalah, ataupun perjuangan, meskipun kadarnya berbeda-beda antara satu dan lainnya, tujuannya tetap sama, ingin menunjukkan amaliyahnya, ibadah, dan segala aktivitasnya di hadapan manusia, hal ini karena dalam kehidupan sehari-hari di biasakan setiap perkataan dan perbuatan yang mengarahkan dan menghela kepada penyakit ria.
Secara tegas Rasulullah Saw pernah bersabda,”Takutlah kamu kepada syirik kecil.” Para shahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, apa yang di maksud dengan syirik kecil?” Rasulullah Saw berkata,”Yaitu sifat ria, kelak di hari pembalasan, Allah mengatakan kepada mereka yang memiliki sifat ria, “Pergilah kalian kepada mereka, di mana kalian pernah memperlihatkan amal kalian kepada mereka semasa di dunia, lihatlah apakah kalian memperoleh imbalan pahala dari mereka.”
Antara amal perbuatan yang di ridhai oleh Allah Swt dengan amal perbuatan ria dapat di bedakan sebagai berikut :
Amal perbuatan yang di ridhai Allah
a. Niat karena Allah;
b. Ikhlas;
c. Sesuai dengan kemampuan dan tidak di paksakan;
d. Tidak pilih kasih;
e. Rahmat bagi seluruh alam.
Amal perbuatan ria
a. Niat bukan karena Allah;
b. Tidak ikhlas;
c. Mengada-ada;
d. Pilih kasih;
e. Ingin di puji;
f. Mengharap imbalan.
Ria dapat di golongkan 2 (dua) macam, yaitu :
a. Ria dalam niat
Ria yang berkaitan dengan hati, maksud ria dalam niat, yaitu sejak awal perbuatan bahkan yang di lakukannya tidak di dasari ikhlas sebelumnya sudah di dasari ria, yang mengetahui hanya Allah dan dirinya saja. Apabila seseorang ingin melakukan amal perbuatan baik atau tidak tergantung pada niat, dan Rasulullah Saw sehubungan dengan ini bersabda : Umar bin Al-Khaththab berkata di atas mimbar,” aku mendengar Rasulullah Saw bersabda : “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang memperoleh sesuai apa yang ia niatkan.” (H.R. Bukhari Muslim).
Ini adalah permulaan sesuatu niat dalam beribadah, namun kita juga di larang untuk berbuat segala sesuatu yang dapat menghela kepada perbuatan mungkar.
b. Ria dalam perbuatan
Secara kasar adalah memamerkan atau menunjukkan perbuatan di depan orang banyak, agar perbuatan tersebut di puji, di perhatikan, dan di sanjung orang lain, beberapa penjelasan Allah dalam Al-Qur’an sehubungan dengan ria dalam perbuatan antara lain :
a). Melakukan ibadah shalat dan ibadah lainnya tidak untuk mencapai keridlaan Allah, tetapi mengharapkan pujian, popularitas di masyarakat. Allah berfirman dalam : “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya.” (Q.S. Al-Ma’un : 4-6).
b). Bershadaqah dengan di dasari ria, maka hal ini adalah laksana batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu di timpa hujan lebat, lalu menjadilah ia bersih kembali (maksudnya adalah hasil ibadah tersebut). Firman Allah,"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfaqkan hartanya karena ria (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu di timpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (Q.S. Al Baqarah : 264).
c). Allah melarang pergi berperang di dasari ria dan menghalangi (orang) lain menempuh jalan Allah (sabilillah). Allah berfirman dalam : “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang keluar dari kampung halamannya dengan rasa angkuh dan ingin di puji orang (ria) serta menghalang-halangi (orang) dari jalan Allah. Allah meliputi segala yang mereka kerjakan.” (Q.S. Al-Anfaal : 47).
Beberapa ciri orang yang mempunyai sifat ria dalam perbuatan :
a. Tidak akan berbuat baik jika tidak di lihat orang lain atau tidak ada imbalan baginya;
b. Melakukan amal saleh tanpa dasar, hanya ikut-ikutan;
c. Tampak rajin penuh semangat jika amal perbuatannya di lihat atau di puji-puji orang;
d. Ucapannya selalu menunjukkan bahwa dia yang paling hebat, paling tinggi dan paling mampu;
e. Tidak mau dan tertutup untuk mendengar pendapat orang lain, bertahan pada pendapat sendiri dan selalu merasa benar, padahal belum tentu benar dan sebaiknya adalah musyawarah dan mufakat berdasarkan hukum yang ada.
Bahaya-bahaya yang di timbulkan dari sikap ria adalah :
a. Terhadap diri sendiri :
1) Selalu tidak ada puasnya, sekalipun hidupnya sudah berkecukupan sehingga berpotensi untuk korupsi dan mengambil hak orang lain;
2) Selalu ingin di puji dan di hormati dan ingin di perhatikan;
3) Ketidakpuasan, sakit hati dan penyesalan ketika lain tidak di hargai;
4) Sombong dan membanggakan diri;
5)Tidak dapat bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah dan dalam berinteraksi dengan sesama manusia;
6) Menyesal jika telah melakukan perbuatan baik hanya karena tidak ada orang lain yang melihatnya atau tidak ada imbalannya;
7) Jiwanya akan terganggu karena kegelisahan dan keluh kesah yang tiada henti;
8) Di akhirat akan di campakkan ke dalam api neraka.
b. Terhadap orang lain
1) Berpotensi saling bermusuhan, karena ia mengungkit apa yang yang di berikannya kepada orang lain;
2) Memamerkan amalnya kepada orang lain, sehingga orang lain menjadi benci dan tidak senang terhadapnya;
3) Sikap dan perilakunya yang ria akan berpotensi menimbulkan pertikaian dan akhirnya menimbulkan pengrusakan
Tanda-tanda riya’
Tanda-tanda penyakit hati ini pernah di nyatakan oleh Ali bin Abi Thalib Ra, kata beliau,”Orang yang ria itu memiliki tiga ciri, yaitu malas beramal ketika sendirian dan giat beramal ketika berada di tengah-tengah orang ramai, menambah amaliyahnya ketika dirinya di puji, dan mengurangi amaliyahnya ketika dirinya di cela.”
Kebiasaan yang dapat menghindari perbuatan ria
1) Memfokuskan niat ibadah (ikhlas) hanya semata-mata karena Allah;
2) Membiasakan diri membaca basmallah sebelum memulai pekerjaan;
3) Membiasakan menjaga lisan saat bekerja;
4) Membiasakan diri menolong atau membantu pekerjaan orang lain tanpa harus di suruh dan meminta imbalan;
5) Membiasakan bershadaqah atau mengeluarkan infaknya setiap mendapat rezeki atau kesenangan;
6) Membiasakan diri untuk bersyukur kepada Allah;
7) Menghindari sifat-sifat dan perbuatan yang dapat menghela kepada perbuatan ria.
“Ingatkanlah orang lain, karena pengingatan itu bermanfaat buat orang-orang beriman.” (Q.S. Adz-Dzariyat Ayat 51:55).
Beberapa tips mengobati penyakit ria
Setiap insan atau manusia tidak akan pernah lepas dari kesalahan, sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah yang bertaubat kepada Allah atas kesalahan yang pernah di lakukannya, hati begitu mudah dan cepat berubah-rubah, jika saat ini beribadah dengan ikhlas, bisa jadi beberapa saat kemudian ikhlas tersebut berganti dengan ria, pagi ikhlas, mungkin sore sudah tidak, hari ini ikhlas, mungkin esok tidak, ini di sebabkan atas pengaruh iblis dan syaithan dan hanya kepada Allah kita memohon agar hati kita di teguhkan dalam hal ini. Selain itu, hendaknya kita berusaha untuk menjaga hati agar terhidar dari penyakit ria dan penyebab-penyebabnya, inilah beberapa kiat yang dapat kita lakukan agar terhindar dari sifat ria yang menghancurkan :
1. Memohon dan selalu berlindung kepada Allah agar mengobati penyakit ria.
Ria adalah penyakit kronis dan berbahaya, ia membutuhkan pengobatan dan terapi serta bermujahadah (bersungguh-sungguh) supaya bisa menolak bisikan ria, sambil tetap meminta pertolongan Allah untuk menolaknya, karena seorang hamba selalu membutuhkan pertolongan dan bantuan dari Allah, seorang hamba tidak akan mampu melakukan sesuatu kecuali dengan bantuan dan anugerah Allah, oleh karena itu, untuk mengobati ria, seorang selalu membutuhkan pertolongan dan memohon perlindungan kepada-Nya dari penyakit ria dan sum’ah, demikian yang di ajarkan Rasulullah Saw dalam sabda beliau : “Wahai sekalian manusia, peliharalah diri dari kesyirikan karena ia lebih samar dari langkah kaki semut.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara kami memelihara diri darinya padahal ia lebih samar dari langkah kaki semut?” beliau menjawab,“Katakanlah : ‘Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang kami ketahui, dan kami mohon ampunan kepada-Mu dari apa yang tidak kami ketahui." (H.R. Imam Ahmad).
2. Mengenal ria dan penyebabnya serta berusaha menghindarinya
Kesamaran ria menuntut seseorang yang ingin menghindarinya agar mengetahui dan mengenal dengan baik ria dan penyebabnya, selanjutnya, berusaha menghindarinya, adakalanya seorang itu terjangkit penyakit ria di sebabkan ketidak tahuan dan adakalanya karena keteledoran dan kurang hati-hati.
3. Mengingat akibat jelek perbuatan ria di dunia dan akhirat
Sifat ria tidaklah memberikan manfaat sedikitpun, bahkan memberikan mudharat yang banyak di dunia dan akhirat, ria dapat membuat kemurkaan dan kemarahan Allah, sehingga seseorang yang ria akan mendapatkan kerugian di dunia dan akhirat.
4. Menyembunyikan dan merahasiakan ibadah
Salah satu upaya mengekang ria adalah dengan menyembunyikan amalan, hal ini di lakukan oleh para ulama sehingga amalan yang di lakukan tidak tercampuri ria, mereka tidak memberikan kesempatan kepada syaithan untuk mengganggunya, para ulama menegaskan bahwa menyembunyikan amalan hanya di anjurkan untuk amalan yang bersifat sunnah, sedangkan amalan yang wajib tetap di tampakkan, menampakkan amalan sunnah agar di jadikan contoh dan di ikuti manusia namun tidak di perkatakan.
Kita sekalian berlindung kepada Allah dari penyakit ria, semoga Allah menjadikan kita seorang hamba yang beriman tanpa adanya ibadah yang di sertai dengan sifat kejahilan.
Posting Komentar untuk "TENTANG (HAKIKAT) RIYA'"
Terimakasih atas kunjungan anda...