Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Hukum Air Daur Ulang Dalam Islam

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan perkembangan dunia industri, kebutuhan air bersih di Indonesia semakin lama semakin meningkat, terbukti pada saat ini, krisis air terjadi dimana-mana karena makin langkanya sumber air bersih.

Teknologi terkini memungkinkan proses daur ulang air, maksudnya air yang semula dari air limbah bercampur dengan kotoran, benda najis dan komponen lain menjadi air yang layak pakai, lalu bagaimanakah status fiqh air yang telah bercampur dengan berbagai benda najis tersebut setelah didaur ulang?" Mari temui jawabannya di dalam ulasan ringkas berikut ini.

Hukum Asal Air

Ketahuilah bahwa hukum asal air adalah suci dan menyucikan, tidak boleh bagi siapa pun menghukumi najisnya air tertentu kecuali benar-benar yakin bahwa kesuciannya telah hilang karena kemasukan benda-benda najis.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata, "Ketahuilah, bahwasanya asal pada benda-benda yang ada dengan segala perbedaan bentuk dan sifatnya adalah halal secara mutlak dan suci, tidak haram untuk dipakai dan disentuh, inilah kaidah umum, hukum yang sangat agung, besar manfaatnya dan luas keberkahannya." (Majmu' Fatawa 21/535).

Al-Imam Asy-Syaukani Rahimahullah berkata, "Asal segala sesuatu adalah suci, karena ucapan tentang najisnya sesuatu melazimkan seorang hamba beribadah dengan hukum tersebut dan asalnya tidak demikian. Hukum asalnya, seorang hamba terbebas tidak ada beban dengan sesuatu yang masih mengandung kemungkinan, hingga jelas dalilnya." ( Adh-Dhurari Al-Mudhiyyah 1/19-20).

Setelah jelas tentang hukum asalnya air, lantas bagaimana dengan air hasil daur ulang, air limbah, air najis, air kotor yang didaur ulang sehingga menjadi bersih kembali, apakah air ini suci dan halal dikonsumsi?

Untuk menjawab masalah ini, pahamilah terlebih dahulu pembagian macam-macam air berikut ini :


Macam-Macam Air

Air terbagi menjadi dua macam, yaitu :

A. Air Mutlak
Air mutlak adalah air asli dari sumbernya atau bisa diartikan bahwa air ini belum disandarkan padanya sesuatu apa pun, masih asli menurut penciptaannya.

Air mutlak hukumnya suci dan menyucikan, baik ia berasa panas, dingin, tawar, ataupun asin, sama saja, baik ia yang turun dari langit maupun yang keluar dari bumi, sama saja, contohnya: air hujan, air laut, air sungai, air telaga, air sumur atau selain dari itu.

Di antara dalil-dalil yang menunjukkan keterangan di atas adalah :

1. Dalil Al-Qur'an Allah Azza wa Jalla berfirman : "Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu." (Q.S. Al-Anfal[8] : 11).

Allah Azza wa Jalla juga berfirman : "Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih. (Q.S. Al-Furqan [25] : 48).

2. Dalil dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang hukum air laut, beliau bersabda : "Air laut itu airnya suci dan bangkainya halal." (Shahih. Lihat Ash-Shahihah, Al-Albani, No. 480).

Al-Imam Shiddiq Hasan Khan Rahimahullah berkata, "Tidak ada perselisihan bahwa air mutlak adalah suci dan menyucikan sebagaimana ketegasan Al-Qur'an, As-Sunnah dan ijma' serta hukum asal." Inilah yang disebut dengan air mutlak.

B. Air Muqayyad
Adalah air yang telah bercampur dengan sesuatu, bila demikian maka wajib menyandarkan nama air ini kepada sesuatu yang mencampurinya tersebut, contohnya: air teh, air kopi, air minyak wangi dan lain-lain.

Adapun hukum air muqayyad, penjelasannya ialah sebagai berikut :
1. Apabila air tercampur dengan benda suci, apabila air tercampur dengan benda-benda suci seperti sabun, tepung dan lain-lain, maka tidak lepas dari dua keadaan, yaitu :

Pertama : Kemutlakan air masih terjaga, yaitu dengan masuknya benda suci tersebut ke dalam air tidak mengubah air dari namanya. Hukum air semacam ini suci dan menyucikan, ia boleh dipakai untuk berwudhu' dan mandi besar, tanpa ada perselisihan di antara para ulama tentangnya.

Dasarnya ialah hadits Ummu Hani', dia berkata, "Saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Maimunah Radhiyallahu ‘Anha pernah mandi bersama dari satu bejana yang tercampur tepung.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : "Mandikanlah tiga kali atau lima kali atau lebih, jika kalian memandang perlu, dengan air dan daun bidara dan campurlah basuhan terakhir dengan kafur (sejenis minyak wangi)." (H.R. Al-Bukhari: 1258 dan Muslim: 939).

Kedua : Kemutlakan air sudah hilang dan tidak terjaga, apabila air sudah hilang kemutlakannya, sehingga dinamakan air teh, air susu, air kelapa, air kopi dan lainnya, maka hukum air ini suci tetapi tidak menyucikan, yaitu tidak boleh dipakai wudhu' dan mandi jinabat.

Al-Imam Ibnul Mundzir Rahimahullah berkata, "Para ulama yang ucapannya kami hafal telah sepakat bahwa wudhu' tidak boleh dengan air bunga, air pohon dan lainnya, thaharah tidak boleh kecuali dengan air mutlak yang dengannya nama 'air' disebutkan."

2. Apabila air tercampur dengan benda najis, apabila air tercampur dengan sesuatu yang najis maka tidak lepas dari dua keadaan juga.

a. Air tersebut berubah rasa, bau, dan warnanya.
Apabila demikian maka air tersebut najis dan tidak boleh bersuci dengan air tersebut.

b. Air tersebut tidak berubah warna, rasa dan baunya.
Apabila demikian maka hukum air tersebut suci dan menyucikan, ia bisa dipakai berwudhu' dan mandi jinabat.

Dasarnya ialah hadits :
Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya, "Bolehkah kita berwudhu' dari sumur Budha'ah yang padanya terdapat kain darah haid, kotoran dan daging anjing?" Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, "Air itu suci, tidak dinajiskan oleh sesuatu apa pun." (Shahih H.R. Abu Dawud: 66, At-Tirmidzi: 66).

Perhatian : Air mutlak yang tercampur dengan sesuatu yang najis, sedang ia tidak berubah rasa, warna dan baunya, hukumnya suci dan menyucikan, sama saja baik air tersebut banyak maupun yang sedikit dan inilah pendapat yang dipilih oleh Al-Imam Malik didalam salah satu riwayatnya, salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad dan sebagian pengikut Syafi'iyyah dan ini merupakan pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin.


Hukum Air Daur Ulang

Sebagian perusahaan, dengan segala peralatan yang canggih, dapat mensterilkan air yang najis atau air yang kotor hingga bersih, air yang dihasilkannya telah dibersihkan dari kotoran air kencing, kotoran manusia, dan jenis-jenis najis lainnya.

Apa status hukum air tersebut?
Jawabnya : Status hukumnya adalah suci dan bisa dipakai didalam bersuci, bisa menghilangkan najis dan membersihkan dari hadats atau dengan kata lain, ia bisa dipakai untuk thaharah (bersuci) dan halal dikonsumsi selama tidak membahayakan kesehatan.

Argumentasinya ialah sebagai berikut :

Pertama : Pengaruh najisnya sudah hilang. Air hasil daur ulang, pengaruh najisnya baik rasa, warna, maupun baunya sudah hilang sama sekali dan jika air tersebut sudah kembali pada asal penciptaannya maka hukumnya suci dan menyucikan, inilah yang diisyaratkan di dalam hadits : "Sesungguhnya air itu tidak bisa dinajiskan dengan sesuatu apa pun kecuali jika najisnya mengalahkan bau, rasa dan warnanya."

Kedua : Air yang suci tidak boleh dikatakan najis kecuali jika berubah bau, rasa dan warnanya, kenyataannya, yang kita lihat pada air daur ulang ini, sudah tidak berbau, rasanya kembali seperti air dan warnanya juga seperti asal penciptaan; maka dari itu, ia hukumnya suci dan dasarnya ialah hadits riwayat Abu Dawud: 66 dan At-Tirmidzi: 66 diatas.

Ketiga : Para ulama telah menyebutkan bahwa air yang banyak yang berubah karena najis, bisa menjadi suci jika air tersebut berubah dengan sendirinya atau dengan menambahkan air suci yang lebih banyak atau najisnya hilang sendiri karena telah mengendap lama atau pengaruh sinar matahari, hembusan angin, atau yang lainnya, maka air itu menjadi suci karena telah hilang sebab najisnya.

Keempat : Sesuai dengan kaidah agama Islam yang menghilangkan rasa berat dari umat (pemeluk)nya, termasuk didalam tujuan besar syari'at Islam, Allah Azza wa Jalla berfirman : "Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan." (Q.S. Al-Hajj [22] : 78).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : "Sesungguhnya agama Islam ini mudah." (H.R. Al-Bukhari : 39).

Al-Imam Asy-Syathibi Rahimahullah berkata, "Dalil-dalil yang menunjukkan menghilangkan rasa berat dan kesempitan dari umat ini sampai pada derajat keyakinan yang pasti." Allahu A'lam.


Fatwa Ulama Tentang Air Daur Ulang

1. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan sebuah fatwa mengenai air daur ulang ini pada tanggal 11 Shafar 1431 H/27 Januari 2010 M, yaitu Fatwa No. 02 Tahun 2010, sebagai berikut :

Ketentuan Umum :
1. Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan air daur ulang adalah air hasil olahan (rekayasa teknologi) dari air yang telah digunakan (musta'mal), terkena najis (mutanajjis) dari air yang telah digunakan salah satu sifatnya, yakni rasa, warna dan bau (mustaghayyir) sehingga dapat dimanfaatkan kembali.

2. Air dua kuliah adalah air yang volumenya mencapai paling kurang 270 liter.
Ketentuan Hukum :
1. Air daur ulang adalah suci mensucikan (thahir muthahhir), jika diproses sesuai ketentuan fiqh.
2. Ketentuan fiqh sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Nomor 1 adalah dengan salah satu dari tiga cara berikut :

a. Thariqat An-Nazh : yaitu dengan cara menguras air yang terkena najis atau yang telah berubah sifatnya tersebut, sehingga yang tersisa tinggal air yang aman dari najis dan yang tidak berubah salah satu sifatnya.

b. Thariqah Al-Mukatsarah : yaitu dengan cara menambah air suci lagi mensucikan (thahir mutanajjis) pada air yang terkena najis (mutanajjis) atau yang berubah (mustaghayyir) tersebut, sehingga mencapai volume paling kurang dua kulah serta unsur najis dan semua sifat yang menyebabkan air itu berubah menjadi hilang.

c. Thariqah Taghyir : yaitu dengan cara mengubah air yang terkena najis atau yang telah berubah sifatnya tersebut dengan menggunakan alat bantu yang dapat mengembalikan sifat-sifat asli air itu menjadi suci lagi mensucikan (thahir muthahhir), dengan syarat : Volume airnya lebih dari dua kulah.

3. Alat bantu yang digunakan harus suci.
Air daur ulang sebagaimana dimaksud dalam angka 1 boleh digunakan berwudhu, mandi, mensucikan najis dan istinja', serta halal diminum, digunakan untuk memasak dan untuk kepentingan lainnya, selama tidak membahayakan kesehatan.

2. Lembaga Fatwa Arab Saudi
"Dari keterangan yang telah lalu, jelaslah bahwa air yang banyak yang berubah karena benda najis, maka bisa menjadi suci jika telah berubah dengan menambahkan air yang suci atau telah lama mengendap atau pengaruh sinar matahari atau terkena hembusan angin atau dengan memasukkan debu dan selainnya menurut pendapat yang kuat dari kalangan ahli fiqh, karena telah hilang hukum najisnya dengan hilang sebabnya.

Oleh karena itu, air yang terkena najis, tanpa kita ragukan air yang banyak ini bisa hilang najisnya dengan teknologi masa kini, maka bisa kita hukumi bahwa air tersebut suci karena telah hilang sebab najisnya, dengan demikian, air ini kembali pada asalnya, yaitu suci, ia boleh digunakan untuk minum dan selainnya, juga boleh digunakan untuk menghilangkan hadats, najis dan hukumnya sah.

Kecuali jika air yang telah didaur ulang ini bisa berbahaya dari sisi kesehatan maka tidak boleh digunakan, sebagai bentuk penjagaan jiwa, menjauhi bahaya bukan karena najisnya." (Fatwa Lajnah Da'imah 5/79 No. 2468).

3. Fatwa Asy-Syaikh Muhammad Ibn Shalih Al-Utsaimin
Asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah pernah ditanya tentang air yang terkotori najis kemudian didaur ulang sehingga air itu bersih kembali, tidak menyisakan bau menjijikkan dan tidak pula menyisakan bekas-bekas najis pada warna ataupun rasa.

Tentang hukum memanfaatkan air daur ulang ini untuk mengairi sawah dan kebun serta pemanfaatannya untuk bersuci dan diminum, beliau menjawab : "Tentang proses daur ulang yang bisa menghilangkan pengaruh najis sehingga bisa bersih kembali, tidak menyisakan bau-bau menjijikkan, bisa menghilangkan pengaruh najis pada rasa dan warna air serta aman dari sisi kesehatan, dalam keadaan seperti ini, air hasil daur ulang tersebut tidak diragukan lagi kesuciannya, air tersebut bisa dimanfaatkan untuk bersuci dan bisa dikomsumsi serta bisa dimanfaatkan dengan cara-cara lain, sebab, air itu telah suci kembali dengan hilangnya pengaruh najis dari air tersebut baik pada rasa, bau, ataupun warna."

Di dalam sebuah hadits dari Abu Umamah Al-Bahili Radhiyallahu ‘Anhu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : 'Sesungguhnya air itu tidak bisa dinajiskan oleh (benda najis) apa pun kecuali (jika) najis itu bisa mengalahkan bau, rasa dan warna air.'

Di dalam riwayat lain disebutkan, 'Sesungguhnya air itu suci kecuali jika bau, rasa atau warnanya berubah dengan sebab benda najis.' Hadits ini dha'if (lemah) dari sisi sanad (jalur periwayatan) serta kebanyakan ahli ilmu menetapkan bahwa hadits ini tidak marfu' sampai ke Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata, para ulama ahli hadits sepakat menyatakan hadits ini dha'if, namun hadits ini shahih dari segi makna karena didukung oleh hadits-hadits yang menunjukkan, bahwa jika pengaruh najis itu telah hilang dengan cara dicuci maka benda yang terkena najis itu telah suci kembali, juga karena para ulama telah berijma' (bersepakat), bahwa jika ada air yang terkena najis lalu bau, rasa atau warnanya berubah, maka air tersebut menjadi air najis, jika tidak berubah (salah satu dari tiga sifat tersebut), maka air itu tetap suci, kecuali jika air yang tidak berubah itu kurang dari dua qullah.

Sebagian ulama berpendapat bahwa air (yang kurang dari dua qullah) itu menjadi air najis, meski tidak berubah, pendapat yang benar, air itu tidak najis kecuali jika berubah (salah satu dari tiga sifat diatas), karena analisis dan qiyas (analogi) mengarah pada kesimpulan ini.

Sebab, jika air itu berubah dikarenakan benda najis, berarti najis tersebut telah memberikan pengaruh buruk padanya, jika air tidak berubah, bagaimana mungkin kita menetapkan hukum najis pada air tersebut? Jika sudah jelas bahwa hukum kenajisan air tergantung pada perubahan air itu, maka kalau perubahan (akibat benda najis tersebut) itu telah hilang melalui metode apa saja, berarti air itu telah suci kembali.

Alasannya, hukum sesuatu tergantung pada ada atau tidak adanya sebab para ulama (semoga Allah merahmati mereka) menyatakan, air yang banyak yaitu mencapai dua qullah, jika perubahannya (akibat benda najis) telah hilang, meski berubah sendiri tanpa usaha apa pun, maka air itu kembali suci, tentang daur ulang air, baik yang pertanian ataupun yang berikutnya, namun tidak menghilangkan pengaruh najis, maka tidak boleh dimanfaatkan untuk bersuci atau dikonsumsi, karena pengaruh najis masih tersisa, kecuali jika yang tersisa ini tidak mempengaruhi bau, rasa dan warna air sama sekali, ketika itu, air tersebut kembali suci dan bisa dimanfaatkan untuk bersuci dan konsumsi." (Majmu Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin).

Dan fatwa yang lain yang semisal di dalam masalah ini telah datang pula dari Majma' Fiqih Islami di dalam daurahnya yang kesebelas di Makkah, pada 13 Rajab 1409 H. Allahu A’lam.

Posting Komentar untuk "Hukum Air Daur Ulang Dalam Islam"