APA ITU HUKUM ZHIHAR?
Dalam kehidupan sehari-hari pada zaman dahulu (jahiliyah) maupun sekarang, hal ini sudah terjadi dan merupakan suatu kemungkaran yang di perbaiki tatanan aturannya dalam ajaran Agama Islam yang sangat sempurna ini, kita sering menemui di tengah-tengah lingkungan masyarakat dan kehidupan sehari-hari yang terkecil ruang lingkupnya, yaitu adalah suatu komunitas keluarga, yang di mulai dari Kakek dan Nenek, Ayah dan Ibu terus turun pada anak-anak dalam lingkungan keluarga serta meluas kepada kerabat tetangga sampai kepada lingkungan masyarakat ramai hingga menjadi suatu komunitas yang namanya negara bahkan dunia, maksudnya di sinilah adalah cara memanggil satu sama lainnya, seperti jika anak memanggil ayahnya adalah ayah atau papa juga bapak, ibunya di panggil dengan ibu atau mama, kakek di panggil kakek dan nenek di panggil nenek (contohnya cara panggilan ini hanya di sampaikan dalam bahasa indonesia).
Pembicaraan kita di sini adalah masalah cara suami dan isteri saling memanggil satu sama lainnya, sekarang banyak di jumpai seorang suami memanggil isterinya dengan istilah keren, yaitu “mama” dan seorang isteri memanggil suaminya juga dengan istilah yang keren yaitu “papa.” Hal ini dalam Islam nampaknya pernah jadi suatu persoalan pada masa awal Islam, yaitu di masa Rasulullah Saw menyampaikan risalah penyempurnaan ajaran Allah Swt di muka bumi pada beberapa ribu tahun yang silam.
SEBAB TURUNNYA AYAT DAN ARTI TENTANG ZHIHAR
Persoalan adab dalam panggilan satu sama lainnya antara suami dan isteri ini ada terdapat kalimat Allah Swt dalam Al-Qur’an terdiri dari 5 (lima) Ayat, baik pertama kita uraikan dulu ayat yang pertama mengenai hal ini, yaitu pada Surah Al-Mujaadilah Ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut : “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua, Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat [1].”
[1] Asbabaun nuzul (sebab turunnya ayat) ini ialah berhubungan dengan persoalan seorang wanita bernama Khaulah binti Tsa´labah yang telah di zhihar oleh suaminya Aus ibn Shamit, yaitu dengan mengatakan kepada isterinya : “Kamu bagiku seperti punggung ibuku” dengan maksudnya bahwa dia tidak mau lagi menggauli isterinya, sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibunya, menurut adat jahiliyah, kalimat Zhihar seperti itu sudah sama dengan menthalak isteri (cerai), maka Khaulah mengadukan hal itu kepada Rasulullah Saw, dan Rasulullah Saw menjawab, bahwa dalam hal ini belum ada keputusan dari Allah, dan pada riwayat yang lain Rasulullah Saw juga mengatakan : “Engkau telah di haramkan bersetubuh dengan Dia.” lalu Khaulah berkata : “Suamiku belum menyebutkan kata-kata thalak.” Kemudian Khaulah berulang kali mendesak Rasulullah Saw supaya menetapkan suatu keputusan dalam hal ini, sehingga kemudian turunlah ayat ini dan ayat - ayat berikutnya yang selanjutnya akan kita kupas juga satu persatu.
Ayat di atas menyatakan dengan jelas bahwa arti “ZHIHAR” adalah “MENYERUPAKAN “ , yakni seseorang suami tidak boleh mengatakan kepada isterinya bahwa salah satu dari anggota tubuh ada yang serupa dengan ibunya, contoh seperti riwayat di atas adalah “Kamu bagiku seperti punggung ibuku” maka dengan perkataan ini berarti seorang suami telah menyamakan isterinya dengan ibunya yang berarti adalah haram untuk di jadikan isteri, contoh lain adalah seperti di katakan kepada isteri “Hidungmu atau bibirmu mirip dengan hidung atau bibir ibuku” jadi perkataan ini sama saja dengan yang di maksud pada ayat di atas, nah, begitu juga sebaliknya bagi isteri kepada suaminya adalah hukumnya sama saja berdasarkan dalil ayat di atas, ini adalah dasar turunnya hukum zihar bagi umat manusia dari Allah Swt melalui RasulNya.
HUKUM ZHIHAR
Mari pula kita lihat pada ayat ini, yaitu Al-Qur’an Surah Al-Ahzab Ayat 4, yaitu : “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar[2] itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri), yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja, dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).”
[2] Zhihar ialah Perkataan seorang suami kepada istrinya : “Punggungmu haram bagiku seperti punggung ibuku atau perkataan lain yang sama saja maksudnya sebagaimana contoh di atas.
Menjadi adat kebiasaan bagi orang Arab Jahiliyah, bahwa bila dia berkata demikian kepada isterinya, maka Isterinya itu haramnya baginya untuk selama-lamanya, tetapi setelah Islam datang, maka yang haram untuk selama-lamanya itu di hapuskan dan istri-istri itu kembali halal baginya dengan membayar kaffarat (denda).
Di sini terjadi pencerahan hukum bagi adat jahiliyah bahwa jika seseorang tidak sudi lagi pada isterinya, maka dia menceraikannya dengan jalan hukum zhihar, dan menurut aturan hukum mereka ini, apabila telah di zhihar seseorang isteri, maka menjadi haram selama-lamanya bagi dia untuk kembali lagi (ruju’), namun Allah Swt meletakkan perbaikan pada hukum zhihar dalam Islam bukanlah menjadi selama-lamanya ia bercerai dengan akibat zhihar tadi, tetapi boleh kembali lagi menjadi pasangan suami isteri setelah membayar suatu denda atau kaffarat sebagaimana ukuran yang telah di buat hukumnya oleh Allah Swt dalam Al-Qur’an, demikianlah Allah Swt meletakkan keadilanNya di muka bumi bagi kaum wanita yang teraniaya di sebabkan oleh hukum zhihar yang terjadi di tengah umat manusia pada zaman itu, namun hukum ini berlaku bukan pada umat itu saja, tetapi bagi seluruh umat pemeluk Islam.
Berikutnya kita ikuti pula ayat ketiga dalam masalah ini untuk dapat pencerahan letak situasi hukum zhihar yang tercantum dalam Al-Qur’an Surah Al-Mujaadilah Ayat 2, yaitu : "Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka, ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka, dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta, dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
Ayat di atas menyatakan bahwa apa yang mereka katakan pada isterinya dan menganggap isterinya seperti ibunya adalah sesungguhnya bagi mereka itu adalah suatu perkataan yang mungkar dan di murkai Allah Swt, tidaklah layak seorang laki-laki jika ingin menceraikan isterinya dengan memakai jalan perkataan zhihar tadi, ini merupakan suatu pendurhakaan terselubung terhadap ibunya dan dengan teganya menyerupakan isterinya dengan ibunya, sedangkan taraf ibu adalah sangat di hormati dan suatu dosa besar jika sempat menyalahinya atau berkata menyinggungnya walau sekecil apapun perkataan tersebut, lain lagi dengan perkataan zhihar ini, maka ini adalah bukanlah suatu perkataan yang mudah dan ringan, sebab jika sudah sama status seseorang ibu dengan isteri, maka sungguhlah tidak layak sikap seseorang anak sedemikian, karena kita tahu bahwasanya kedudukan seseorang isteri pada umumnya di buat oleh laki-laki sama halnya dengan budak, kalau zaman sekarang kita contohkan dengan mudah adalah sudah biasa seseorang suami menghardik isterinya, membuatnya sibuk bekerja laksana seorang pembantu saja, sering di khianati dan lain sebagainya sifat buruk yang merendahkan seorang isteri.
Allah Swt mengatakan pada ayat di atas adalah ibu merupakan orang yang melahirkan mereka dan harus di hargai dan di hormati, jika mereka telah melakukan perkataan zhihar maka adalah tergolong kepada perkataan dusta dan mungkar serta adalah dosa besar di sisi Allah Swt.
KAFFARAT (DENDA) ZHIHAR
Allah Swt mengatakan dalam Al-Qur’an pada Surah Al-Mujaadilah Ayat 3 dan 4 mengenai bagaimana hukumnya dan denda atas seseorang hamba yang telah berbuat zhihar ini agar menjadi halal lagi hubungan suatu suami dan isteri untuk membina rumah tangga kembali, berikut kita kupas pula ayat tersebut.
Ayat 3. “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang di ajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Seseorang yang telah menzhihar kemudian dia cepat sadar dan ingin segera menarik kembali perkataannya (taubat), maka Allah Swt telah membuat suatu aturan berupa denda atau kaffarat sebagai sarana penerimaan taubat bagi seseorang tersebut, yaitu hukumnya adalah “Wajib” atasnya memerdekakan seorang budak dengan catatan denda ini di tunaikan sebelum keduanya (suami dan isteri) bercampur kembali, artinya apabila telah di ucapkan suatu perkataan zhihar tersebut, maka secara otomatis tidak boleh lagi satu rumah atau seranjang selayaknya biasa kehidupan suami dan isteri sebelum denda atau kaffarat di tunaikan serta di sertai dengan mengharapkan ampunan dari Allah Swt.
Timbul dua persoalan dalam hal denda atau kaffarat ini, yaitu Allah Swt membuat aturan bahwa dendanya adalah memerdekakan seorang budak, namun persoalannya adalah pertama tidak mempunyai biaya untuk itu dan kedua adalah pada zaman sekarang tidak ada lagi perbudakan, namun lagi-lagi Allah Swt menurunkan rahman dan rahimNya atas hambaNya yang mau bertaubat dan menyadari akan kesalahannya, yaitu pada Surah Al-Mujaadilah Ayat 4, yaitu : “Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampurm, maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.”
Allah Swt memberikan keringanan bagi yang tidak mendapatkan budak untuk di merdekakan, maka boleh di ganti dengan melaksanakan ibadah puasa selama 2 (dua) bulan berturut-turut sebelum keduanya berkumpul lagi, dengaan maksud adalah apabila telah di lakukan pelanggaran dengan perkataan zhihar tersebut, maka setelah perkataan tersebut keluar maka tidak boleh lagi hidup bersama layaknya suami dan isteri sebelum membayar denda atau kaffarat dengan jalan memerdekakan seorang budak atau berpuasa selama 2 (dua) bulan berturut-turut, nah di sinilah letak kemungkaran yang cukup banyak dan populer di zaman sekarang, rata-rata pelanggaran yang mirip hukumnya dengan zhihar ini banyaak di temui dalam kehidupan lingkungan masyarakaat sehari-hari zaman sekarang ini.
Jika hal sedemikian terjadi pada lingkungan keluarga dan masyarakat, maka hendaklah di peringatkan dengan sedini mungkin, sebab jika hal ini di langgar, maka berarti sama saja hidup sebagai suami dan isteri dalam kategori zina alias kumpul kebo, karena dengan rendahnya pemahaman hukum agama dan sikap yang tidak mau belajar bagaimana kehidupan akhlak dalam lingkungan sehari-hari yang benar sesuai dengan tuntunan Islam kita selalu bergelimang dalam lumpur dosa yang tiada di sadari, tetapi sungguh besar resiko dosanya di sisi Allah Swt.
Perhatikan dalam hubungan suami dam isteri beberapa point yang mana hukumnya adalah sama dengan “Zhihar” yaitu sebagai berikut :
1) Janganlah seseorang suami mengatakan kepada isterinya sama atas sesuatunya dengan sesuatu ibunya atau bapaknya, juga atas keluarga ibunya atau keluarga bapaknya yang tidak boleh di nikahinya lagi menurut syara’, hal ini juga berlaku untuk sebaliknya, yaitu bagaimana seorang isteri pula kepada suaminya;
2) Janganlah seseorang suami memanggil isterinya dengan panggilan ibu atau mama atau yang searti dengan itu, tetapi hendaklah panggil dengan namanya saja secara langsung;
3) Sebaliknya juga seorang isteri jangan memanggil suaminya dengan ayah atau papa atau yang searti dengan itu, tetapi hendaklah panggil dengan umpamanya “Ayah si anu” kalau merasa ragu juga maka lebih baik panggil namanya saja secara langsung daripada di khawatirkan terkena pada baunya hukum zhihar yang berat resiko kaffaratnya;
Segala yang tersebut pada contoh di atas janganlah merasa kampungan atau mengatakan tidak keren dengan dalih kurang sopan dan dengan dalih alasan lain sebagainya, tetapi lebih perhatikanlah adab yang di atur oleh Allah Swt dalam Al-Qur’an daripada mengikuti cara aturan di dunia ini yang banyak sumbernya atas dasar pengaruh bisikan iblis, jin dan syaithan yang menyesatkan, walau sekalipun kelihatannya adalah baik dan tidak buruk adab tersebut, ingat, apakah sanggup untuk melaksanakan denda atau kaffaratnya yang berat tersebut baru bisa bebas dari dosa? Wallahu’alambissawwab…
Nah, jika memang seseorang tersebut menganut ajaran Islam, maka ikutilah sesuai dengan petunjuk Islam itu sendiri mengenai persoalan ini, permasalahan ini sudah mengakar tumbuh subur di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan sangat jarang di kemukakan oleh para ulama sejauh mana status hukumnya atas cara pergaulan suami dan isteri zaman sekarang ini pada masalah zhihar ini, sedangkan segala sesuatu kehidupan di dunia dan untuk di akhirat telah di atur kesempurnaan risalahnya oleh Al-Qur’an dan atas bimbingan dari RasulNya yaitu Nabi Muhammad Saw, mulai dari cara thaharah (berak dan kencing) sampai kepada haji dan umrah, rukun iman, nikah, thalaq, ruju’ hudud dan fiqh lain sebagainya untuk meraih kesempurnaan ibadah secara syar’i guna meraih keridhaan dari Allah Swt kelak di akhirat, bahkan di dunia ini terkadang Allah Swt memberikan maanfaatnya, apalagi kelak di akhirat tentu ada balasannya, walau sebesar biji dzarrah kebaikan dan walaupun sebesar biji dzarrah suatu keburukan, semuanya di perhitungkan kelak dengan seadil-adilnya.
Pembicaraan kita di sini adalah masalah cara suami dan isteri saling memanggil satu sama lainnya, sekarang banyak di jumpai seorang suami memanggil isterinya dengan istilah keren, yaitu “mama” dan seorang isteri memanggil suaminya juga dengan istilah yang keren yaitu “papa.” Hal ini dalam Islam nampaknya pernah jadi suatu persoalan pada masa awal Islam, yaitu di masa Rasulullah Saw menyampaikan risalah penyempurnaan ajaran Allah Swt di muka bumi pada beberapa ribu tahun yang silam.
SEBAB TURUNNYA AYAT DAN ARTI TENTANG ZHIHAR
Persoalan adab dalam panggilan satu sama lainnya antara suami dan isteri ini ada terdapat kalimat Allah Swt dalam Al-Qur’an terdiri dari 5 (lima) Ayat, baik pertama kita uraikan dulu ayat yang pertama mengenai hal ini, yaitu pada Surah Al-Mujaadilah Ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut : “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua, Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat [1].”
[1] Asbabaun nuzul (sebab turunnya ayat) ini ialah berhubungan dengan persoalan seorang wanita bernama Khaulah binti Tsa´labah yang telah di zhihar oleh suaminya Aus ibn Shamit, yaitu dengan mengatakan kepada isterinya : “Kamu bagiku seperti punggung ibuku” dengan maksudnya bahwa dia tidak mau lagi menggauli isterinya, sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibunya, menurut adat jahiliyah, kalimat Zhihar seperti itu sudah sama dengan menthalak isteri (cerai), maka Khaulah mengadukan hal itu kepada Rasulullah Saw, dan Rasulullah Saw menjawab, bahwa dalam hal ini belum ada keputusan dari Allah, dan pada riwayat yang lain Rasulullah Saw juga mengatakan : “Engkau telah di haramkan bersetubuh dengan Dia.” lalu Khaulah berkata : “Suamiku belum menyebutkan kata-kata thalak.” Kemudian Khaulah berulang kali mendesak Rasulullah Saw supaya menetapkan suatu keputusan dalam hal ini, sehingga kemudian turunlah ayat ini dan ayat - ayat berikutnya yang selanjutnya akan kita kupas juga satu persatu.
Ayat di atas menyatakan dengan jelas bahwa arti “ZHIHAR” adalah “MENYERUPAKAN “ , yakni seseorang suami tidak boleh mengatakan kepada isterinya bahwa salah satu dari anggota tubuh ada yang serupa dengan ibunya, contoh seperti riwayat di atas adalah “Kamu bagiku seperti punggung ibuku” maka dengan perkataan ini berarti seorang suami telah menyamakan isterinya dengan ibunya yang berarti adalah haram untuk di jadikan isteri, contoh lain adalah seperti di katakan kepada isteri “Hidungmu atau bibirmu mirip dengan hidung atau bibir ibuku” jadi perkataan ini sama saja dengan yang di maksud pada ayat di atas, nah, begitu juga sebaliknya bagi isteri kepada suaminya adalah hukumnya sama saja berdasarkan dalil ayat di atas, ini adalah dasar turunnya hukum zihar bagi umat manusia dari Allah Swt melalui RasulNya.
HUKUM ZHIHAR
Mari pula kita lihat pada ayat ini, yaitu Al-Qur’an Surah Al-Ahzab Ayat 4, yaitu : “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar[2] itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri), yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja, dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).”
[2] Zhihar ialah Perkataan seorang suami kepada istrinya : “Punggungmu haram bagiku seperti punggung ibuku atau perkataan lain yang sama saja maksudnya sebagaimana contoh di atas.
Menjadi adat kebiasaan bagi orang Arab Jahiliyah, bahwa bila dia berkata demikian kepada isterinya, maka Isterinya itu haramnya baginya untuk selama-lamanya, tetapi setelah Islam datang, maka yang haram untuk selama-lamanya itu di hapuskan dan istri-istri itu kembali halal baginya dengan membayar kaffarat (denda).
Di sini terjadi pencerahan hukum bagi adat jahiliyah bahwa jika seseorang tidak sudi lagi pada isterinya, maka dia menceraikannya dengan jalan hukum zhihar, dan menurut aturan hukum mereka ini, apabila telah di zhihar seseorang isteri, maka menjadi haram selama-lamanya bagi dia untuk kembali lagi (ruju’), namun Allah Swt meletakkan perbaikan pada hukum zhihar dalam Islam bukanlah menjadi selama-lamanya ia bercerai dengan akibat zhihar tadi, tetapi boleh kembali lagi menjadi pasangan suami isteri setelah membayar suatu denda atau kaffarat sebagaimana ukuran yang telah di buat hukumnya oleh Allah Swt dalam Al-Qur’an, demikianlah Allah Swt meletakkan keadilanNya di muka bumi bagi kaum wanita yang teraniaya di sebabkan oleh hukum zhihar yang terjadi di tengah umat manusia pada zaman itu, namun hukum ini berlaku bukan pada umat itu saja, tetapi bagi seluruh umat pemeluk Islam.
Berikutnya kita ikuti pula ayat ketiga dalam masalah ini untuk dapat pencerahan letak situasi hukum zhihar yang tercantum dalam Al-Qur’an Surah Al-Mujaadilah Ayat 2, yaitu : "Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka, ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka, dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta, dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
Ayat di atas menyatakan bahwa apa yang mereka katakan pada isterinya dan menganggap isterinya seperti ibunya adalah sesungguhnya bagi mereka itu adalah suatu perkataan yang mungkar dan di murkai Allah Swt, tidaklah layak seorang laki-laki jika ingin menceraikan isterinya dengan memakai jalan perkataan zhihar tadi, ini merupakan suatu pendurhakaan terselubung terhadap ibunya dan dengan teganya menyerupakan isterinya dengan ibunya, sedangkan taraf ibu adalah sangat di hormati dan suatu dosa besar jika sempat menyalahinya atau berkata menyinggungnya walau sekecil apapun perkataan tersebut, lain lagi dengan perkataan zhihar ini, maka ini adalah bukanlah suatu perkataan yang mudah dan ringan, sebab jika sudah sama status seseorang ibu dengan isteri, maka sungguhlah tidak layak sikap seseorang anak sedemikian, karena kita tahu bahwasanya kedudukan seseorang isteri pada umumnya di buat oleh laki-laki sama halnya dengan budak, kalau zaman sekarang kita contohkan dengan mudah adalah sudah biasa seseorang suami menghardik isterinya, membuatnya sibuk bekerja laksana seorang pembantu saja, sering di khianati dan lain sebagainya sifat buruk yang merendahkan seorang isteri.
Allah Swt mengatakan pada ayat di atas adalah ibu merupakan orang yang melahirkan mereka dan harus di hargai dan di hormati, jika mereka telah melakukan perkataan zhihar maka adalah tergolong kepada perkataan dusta dan mungkar serta adalah dosa besar di sisi Allah Swt.
KAFFARAT (DENDA) ZHIHAR
Allah Swt mengatakan dalam Al-Qur’an pada Surah Al-Mujaadilah Ayat 3 dan 4 mengenai bagaimana hukumnya dan denda atas seseorang hamba yang telah berbuat zhihar ini agar menjadi halal lagi hubungan suatu suami dan isteri untuk membina rumah tangga kembali, berikut kita kupas pula ayat tersebut.
Ayat 3. “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang di ajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Seseorang yang telah menzhihar kemudian dia cepat sadar dan ingin segera menarik kembali perkataannya (taubat), maka Allah Swt telah membuat suatu aturan berupa denda atau kaffarat sebagai sarana penerimaan taubat bagi seseorang tersebut, yaitu hukumnya adalah “Wajib” atasnya memerdekakan seorang budak dengan catatan denda ini di tunaikan sebelum keduanya (suami dan isteri) bercampur kembali, artinya apabila telah di ucapkan suatu perkataan zhihar tersebut, maka secara otomatis tidak boleh lagi satu rumah atau seranjang selayaknya biasa kehidupan suami dan isteri sebelum denda atau kaffarat di tunaikan serta di sertai dengan mengharapkan ampunan dari Allah Swt.
Timbul dua persoalan dalam hal denda atau kaffarat ini, yaitu Allah Swt membuat aturan bahwa dendanya adalah memerdekakan seorang budak, namun persoalannya adalah pertama tidak mempunyai biaya untuk itu dan kedua adalah pada zaman sekarang tidak ada lagi perbudakan, namun lagi-lagi Allah Swt menurunkan rahman dan rahimNya atas hambaNya yang mau bertaubat dan menyadari akan kesalahannya, yaitu pada Surah Al-Mujaadilah Ayat 4, yaitu : “Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampurm, maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.”
Allah Swt memberikan keringanan bagi yang tidak mendapatkan budak untuk di merdekakan, maka boleh di ganti dengan melaksanakan ibadah puasa selama 2 (dua) bulan berturut-turut sebelum keduanya berkumpul lagi, dengaan maksud adalah apabila telah di lakukan pelanggaran dengan perkataan zhihar tersebut, maka setelah perkataan tersebut keluar maka tidak boleh lagi hidup bersama layaknya suami dan isteri sebelum membayar denda atau kaffarat dengan jalan memerdekakan seorang budak atau berpuasa selama 2 (dua) bulan berturut-turut, nah di sinilah letak kemungkaran yang cukup banyak dan populer di zaman sekarang, rata-rata pelanggaran yang mirip hukumnya dengan zhihar ini banyaak di temui dalam kehidupan lingkungan masyarakaat sehari-hari zaman sekarang ini.
Jika hal sedemikian terjadi pada lingkungan keluarga dan masyarakat, maka hendaklah di peringatkan dengan sedini mungkin, sebab jika hal ini di langgar, maka berarti sama saja hidup sebagai suami dan isteri dalam kategori zina alias kumpul kebo, karena dengan rendahnya pemahaman hukum agama dan sikap yang tidak mau belajar bagaimana kehidupan akhlak dalam lingkungan sehari-hari yang benar sesuai dengan tuntunan Islam kita selalu bergelimang dalam lumpur dosa yang tiada di sadari, tetapi sungguh besar resiko dosanya di sisi Allah Swt.
Perhatikan dalam hubungan suami dam isteri beberapa point yang mana hukumnya adalah sama dengan “Zhihar” yaitu sebagai berikut :
1) Janganlah seseorang suami mengatakan kepada isterinya sama atas sesuatunya dengan sesuatu ibunya atau bapaknya, juga atas keluarga ibunya atau keluarga bapaknya yang tidak boleh di nikahinya lagi menurut syara’, hal ini juga berlaku untuk sebaliknya, yaitu bagaimana seorang isteri pula kepada suaminya;
2) Janganlah seseorang suami memanggil isterinya dengan panggilan ibu atau mama atau yang searti dengan itu, tetapi hendaklah panggil dengan namanya saja secara langsung;
3) Sebaliknya juga seorang isteri jangan memanggil suaminya dengan ayah atau papa atau yang searti dengan itu, tetapi hendaklah panggil dengan umpamanya “Ayah si anu” kalau merasa ragu juga maka lebih baik panggil namanya saja secara langsung daripada di khawatirkan terkena pada baunya hukum zhihar yang berat resiko kaffaratnya;
Segala yang tersebut pada contoh di atas janganlah merasa kampungan atau mengatakan tidak keren dengan dalih kurang sopan dan dengan dalih alasan lain sebagainya, tetapi lebih perhatikanlah adab yang di atur oleh Allah Swt dalam Al-Qur’an daripada mengikuti cara aturan di dunia ini yang banyak sumbernya atas dasar pengaruh bisikan iblis, jin dan syaithan yang menyesatkan, walau sekalipun kelihatannya adalah baik dan tidak buruk adab tersebut, ingat, apakah sanggup untuk melaksanakan denda atau kaffaratnya yang berat tersebut baru bisa bebas dari dosa? Wallahu’alambissawwab…
Nah, jika memang seseorang tersebut menganut ajaran Islam, maka ikutilah sesuai dengan petunjuk Islam itu sendiri mengenai persoalan ini, permasalahan ini sudah mengakar tumbuh subur di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan sangat jarang di kemukakan oleh para ulama sejauh mana status hukumnya atas cara pergaulan suami dan isteri zaman sekarang ini pada masalah zhihar ini, sedangkan segala sesuatu kehidupan di dunia dan untuk di akhirat telah di atur kesempurnaan risalahnya oleh Al-Qur’an dan atas bimbingan dari RasulNya yaitu Nabi Muhammad Saw, mulai dari cara thaharah (berak dan kencing) sampai kepada haji dan umrah, rukun iman, nikah, thalaq, ruju’ hudud dan fiqh lain sebagainya untuk meraih kesempurnaan ibadah secara syar’i guna meraih keridhaan dari Allah Swt kelak di akhirat, bahkan di dunia ini terkadang Allah Swt memberikan maanfaatnya, apalagi kelak di akhirat tentu ada balasannya, walau sebesar biji dzarrah kebaikan dan walaupun sebesar biji dzarrah suatu keburukan, semuanya di perhitungkan kelak dengan seadil-adilnya.
Posting Komentar untuk "APA ITU HUKUM ZHIHAR?"
Terimakasih atas kunjungan anda...