Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

JENIS WALI DALAM PERNIKAHAN, SYARAT DAN URUTANNYA

Setelah kita tahu, bahwa wali merupakan syarat mutlak bagi wanita dalam akad nikah, maka penting juga untuk dengan redaksi dari Ad-Daruquthni, hadits ini dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani dalam Irwa'ul Ghalil (6/248) dan dishahihkan oleh Ibnu Katsir, lihat Kitab Nailul Author (6/142). Mengetahui siapa saja yang berhak menjadi wali nikah, lalu syarat apa yang harus terpenuhi pada diri seorang wali dan bila ada beberapa orang yang berhak menjadi wali, siapa yang harus didahulukan?

A. Jenis Wali Dalam Pernikahan

Ada beberapa sebab yang menjadikann seseorang berhak menjadi wali, berikut pengurutkannya berdasarkan yang banyak digunakan oleh masyarakat, yaitu :
1. Wali karena hubungan kekerabatan, khusus yang Ashabah.
Inilah sebab perwalian yang paling kuat, sehingga jika masih ada wali dari pihak kerabat, yang memenuhi syarat perwalian dan bersedia menjadi wali, maka wali dari sebab lainnya tidak boleh menggantikan karena sebenarnya wali dari sebab lainnya hanyalah sebagai penggantinya. Dalilnya adalah firman Allah : "Orang-orang yang memiliki hubungan kerabat itu sebagiannya tebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut Kitabullah. Sungguh Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (Q.S. Al-Anfal 8 : 75).

2. Wali Perwakilan.
Maksudnya adalah seseorang yang dijadikan wakil dalam akad nikah oleh wali yang berasal dari kerabat yang masih hidup dan biasanya banyak yang memilih tokoh agamis dalam masyarakat, karena mereka dipandang lebih tahu hukum dan lebih bertaqwa, dalil bolehnya mewakilkan akad nikah adalah ijma' (kesepakatan) para Ulama. (Lihat Al-Wilayatu fin Nikah 2/183).

3. Wali Hakim.
Wali hakim menjadi syar'i, bila si wanita tidak memiliki wali dari sebab lain, atau wali dari sebab lain tersebut menjadi wali tanpa alasan yang dibenarkan syari'at, atau tidak memenuhi syarat, dalil perwalian jenis ini adalah hadits Nabi Saw yang sangat masyhur, yaitu : "Sulthon (penguasa) adalah wali nikah bagi siapapun (wanita) yang tidak memiliki wali nikah". (H.R. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah). Maksud sulthan atau penguasa di sini adalah penguasa tertinggi kaum Muslimin yang memerintah mereka dan memiliki wilayah kekuasaan dan mereka bisa diwakili wakilnya atau qadhi atau hakim atau siapapun yang ditugasi oleh mereka dalam perwalian nikah.

4. Wali Karena Memerdekakan Budak.
Maksudnya adalah perwalian yang dikarenakan dia memerdekakan budak perempuannya, karena wanita itu adalah mantan budaknya, maka otomatis ia menjadi seperti putrinya disebabkan pemerdekaan yang dilakukannya terhadap wanita tersebut dan karena ia
seperti putrinya sendiri, maka dia berhak menjadi wali nikahnya. Rasulullah Saw pernah bersabda : "Wala' (hubungan karena memerdekakan budak) adalah kerabat seperti kerabat dari nasab, tidak bisa dijual dan tidak bisa dihibahkan".

B. Syarat Yang Harus Terpenuhi Pada Seorang Wali

Karena wali mempunyai tanggung jawab yang besar dalam akad nikah, oleh karenanya harus memenuhi beberapa syarat berikut :

1. Mukallaf (baligh dan berakal), berdasarkan sabda Nabi Saw, yaitu : "Pena (pencatat amal) diangkat dari 3 orang, yakni dari orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak kecil hingga
baligh dan dari orang gila hingga dia berakal. Bila amalan dari dirinya saja tidak dianggap, sehingga pena diangkat darinya, bagaimana anak kecil dan orang gila akan mengemban tanggung-jawab terhadap orang lain.

2. Laki-laki. Sebagaimana sabda Nabi Saw yang telah lalu : "Janganlah seorang wanita menikahkan wanita lainnya, jangan pula seorang wanita menikahkan dirinya sendiri". Oleh karena itu, orang yang belum jelas laki-lakinya juga tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah.

3. Merdeka, karena seorang yang statusnya budak atau hamba sahaya tidak memiliki dirinya sendiri, bagaimana dia boleh menjadi wali bagi orang lain.

4. Islam, karena Allah telah melarang kaum Mukminin untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai walinya, sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya : "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan kaum kafir sebagai wali-wali kalian, selain kaum
Mukminin..." (Q.S. an-Nisa/4 : 144). Dan wali nikah tentunya masuk juga dalam ayat ini.
Oleh karenanya, Imam Syafi’i mengatakan, "Seorang kafir, tidak boleh menjadi walinya Muslimah walaupun dia putrinya. (Oleh karenanya) Anaknya Sa'id bin Al-Ash telah menikahkan Ummu Habibah dengan Nabi Saw, padahal Abu Sufyan (ketika itu) masih hidup, karena Ummu Habibah ketika itu Muslimah dan anaknya Sa'id juga Muslim, aku tidak tahu ada seorang Muslim yang lebih dekat kepada ummu Habibah selainya. Abu Sufyan ketika itu tidak berhak menjadi wali, karena Allah telah memutus hubungan antara muslim dengan musyrik dalam perwalian, hak waris, diat dan yang lainnya". (Al-Umm, 5/15).

5. Amanah, sebagaimana di jelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin : "Sebagian Ulama madzhab memandang bahwa 'Sifat Adil' bukanlah syarat dalam perwalian nikah, yang menjadi syarat adalah 'sifat amanah', yakni pantas dan amanah terhadap putrinya, dia hanya rela untuk putrinya lelaki yang selevel dengannya. Dan inilah pendapat
yang benar. Betapa banyak orang yang kelihatannya shalih, tapi terhadap putrinya, dia tidak memikirkan kecuali 'dirham (harta) yang banyak' saja, sehingga dia mengambil 'dirham yang banyak' tersebut dan menikahkan putrinya dengan orang yang paling fasik sekalipun tanpa peduli. Maka, orang seperti ini hakikatnya tidak layak menjadi wali dan penghianatan
dia terhadap putrinya menafikan 'sifat adil'-nya". (Asy-Syarhul Mumti', 12/79).

6. Halal (tidak sedang berihram), hal ini telah ditegaskan oleh Nabi Saw dalam sebuah sabdanya, yaitu : "Orang yang sedang berihram, tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan orang lain (yakni menjadi walinya) dan tidak boleh khitbah (melamar)." (H.R. Imam Muslim).

C. Urutan Wali Nikah
Wali nikah yang telah kita ketahui di atas, seringkali ada lebih dari satu, sehingga kita harus mengetahui urutan wali nikah, agar kita tidak bingung untuk menentukan siapa yang
paling berhak dalam menikahkannya, secara global, wali dari nasab atau kerabat harus
didahulukan, begitu pula wali karena 'memerdekaan budak' bila yang menikah adalah mantan budak perempuannya, lalu wali perwakilan dari mereka, bila mereka ingin mewakilkannya. Apabila mereka tidak ada, atau tidak memenuhi syarat, atau menolak tanpa alasan yang sesuai syariat, maka baru bisa berpindah kepada wali hakim.

Selanjutnya bila kita melihat wali dari nasab atau kerabat, kita juga seringkali akan mendapati mereka lebih dari satu orang, maka kita juga harus mengetahui urutannya, yaitu :
  1. Ayahnya.
  2. Lalu kakek dari jalan ayah dan terus ke atas.
  3. Lalu saudara sekandung, jika tidak ada, maka saudara seayah.
  4. Lalu anak saudara sekandung, jika tidak ada maka anak saudara seayah.
  5. Lalu paman sekandung dari garis ayah, lalu paman seayah dari garis ayah.
  6. Lalu anak paman sekandung dari garis ayah, kemudian anak paman seayah dari garis ayah.
  7. Lalu ashabah selain mereka sebagaimana dalam bab warisan. (Lihat Kitab Al-Umm: 5/14, Minhajut Thalibin, hlm. 376)

Posting Komentar untuk "JENIS WALI DALAM PERNIKAHAN, SYARAT DAN URUTANNYA"