Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG IMAMAH DAN KHILAFAH

Setelah terjadinya perang Sifin, umat Islam secara poitik terpolarisasi ke dalam tiga kelompok, keadaan ini menyebabkan terjadinya implikasi tehadap adanya perbedaan pendapat tentang atau mengenai Imamah dan Khilafah, yaitu :

Pertama, menurut pendapat yang lazim pada masa itu, seorang khalifah haruslah berasal dari suku Quraisy, pendapat ini di dasarkan atas hadist Rasulullah yang menyatakan bahwa (Al-Aimmatu Min Quraisyin) imam-imam itu adalah dari Quraisy.

Hadist ini secara otomatis telah menempatkan kedudukan yang lebih tinggi atas suku Quraisy di banding suku-suku lainnya, keempat khalifah yang mendapat sebutan Khulafa al-Rasyidin, kesemuanya adalah berasal dari suku Quraisy, demikian juga dengan dinasti Bani Umayyah dan dinasti Bani Abbasiyah, pendapat ini kemudian menjadi dasar teori pola ketatanegaraan yang di pakai oleh kalangan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
 

Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa jabatan kepala negara (khalifah) bukanlah hak monopoli dari suku Quraisy, pendapat ini di kemukakan oleh kaum Khawarij, kelompok yang keluar dan melepaskan diri dari Ali bin Abi Thalib Ra. Menurut kaum Khawarij, siapapun orangnya, tidak mesti harus suku Quraisy dan bahkan tidak di batasi harus pula orang Arab, berhak atas kedudukan khalifah, asal saja yang bersangkutan memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk itu, karena di hadapan Allah semua manusia itu sama dan yang membedakannya adalah tinngkat ketaqwaan saja. 

Perbedaan dengan faham dan cara yang di terapkan oleh dinasti yang berkuasa selanjutnya yang memakai sistem turun temurun (monarki) dalam pergantian khalifahnya, menurut kaum Khawarij, khalifah tidak mempunyai sifat turun temurun, artinya dengan kata lain mereka tidak setuju dengan sistem kerajaan, selanjutnya mereka berpendapat bahwa khalifah yang melanggar ajaran-ajaran agama, wajib di jatuhkan, bahkan di bunuh. Seorang tokohnya, Najdah bin Amr Al-Hanafi, berpendapat bahwa adanya kepala negara (khalifah) di perlukan hanya jika maslahat umat menghendaki yang demikian, pada hakikatnya, menurut Najdah, umat tidak memerlukan adanya khalifah atau imam untuk memimpin mereka.

Ketiga, sekelompok syiah Ali yang berpendapat bahwa jabatan kepala negara bukanlah hak tiap orang Islam, seperti di kemukakan kaum Khawarij, bahkan tidak juga merupakan hak setiap suku Quraisy, seperti di kemukakan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, dalam pendapat kaum Syi'ah, imamah (jabatan kepala negara) adalah hak monopoli Ali bin Abi Thalib Ra dan keturunannya, perlu di tegaskan pula, bahwa nama yang di pakai oleh golongan Syi'ah untuk kepala negara adalah Imam. 


Imamah yang di kedepankan oleh golongan Syi'ah ini mempunyai bentuk kerajaan dan turun-temurun dari bapak ke anak, seterusnya ke cucu dan demikian seterusnya secara berkelanjutan, dalam pendapat mereka, yang berhak menggantikan Nabi Muhammad Saw sebagai kepala negara (khalifah) adalah anak beliau, tetapi karena Nabi Muhammad Saw tidak mempunyai anak laki-laki yang hidup, maka jabatan itu seharusnya jatuh kepada anggota keluarganya yang paling dekat, yaitu Ali bin Abi Thalib Ra, adalah anak paman Nabi Saw dan yang terpenting lagi adalah sebagai menantunya, oleh karena itu, Ali-lah anggota keluarga Nabi Saw yang terdekat, dengan demikian, yang menggantikan Nabi Muhammad Saw sebagai kepala negara (khalifah) seharusnya adalah Ali bin Abi Thalib Ra dan di lanjutkan dengan anak-anak serta cucunya, bukan kepada Abu Bakar, Umar dan Usman, oleh karena itu khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman, Bani Umayah dan Abbasiyah, tidak di akui keberadaannya oleh kebanyakan golongan Syi'ah. 

Dalam perkembangan sejarahnya, kaum Syiah terpecah pula kedalam beberapa kelompok. Golongan terbesar adalah yang terkenal dengan sebutan Syi'ah Dua Belas (Al-Itsna ’Asyariyah), mereka di sebut Syi'ah Dua Belas karena mereka mempunyai dua belas imam nyata (Al-Imam Al-Dhahir). Kedua belas imam itu adalah :

1. Ali bin Abi Thalib,
2. Al-Hasan bin Ali,
3. Al-Husein bin Ali,
4. Ali Zain Al-Abidin,
5. Muhammad Al-Baqir,
6. Ja'far Al-Shidiq,
7. Musa Al-Kazim,
8. Ali Al-Rida,
9. Muhammad Al-Lawwad,
10. Ali Al-Hadi,
11. Al-Hasan Al-Askari, dan
12. Muhammad Al-Muntazar.

Pada masa kepemimpinan Muhammad Al-Muntazar, rangkaian imam tersebut terhenti, karena yang bersangkutan tidak meninggalkan keturunan, imam Dinanti adalah Al-Imam Al-Mumtazar, selama imam ini belum muncul, ia memimpin umat melalui khalifah atau ulama-ulama mujtahid Syi'ah yang memegang kekuasaan, syi'ah Dua Belas ini menjadi faham resmi di Iran semenjak permulaan abad keenam belas, yaitu pada masa dinasti Safawiyah.

Golongan Syi'ah yang Iain adalah Syi'ah Ismailiyah atau Syi'ah AI-Sab'iyah (Syi'ah Tujuh). Golongan ini mendasarkan imamahnya pada tujuh orang imam, perbedaannya dengan Syi'ah Dua Belas adalah pada rangkaian setelah imam yang keenam, Ja'far Al-Shiqid, setelah Ja'far, sebenarnya ada seorang imam yang bernama Ismail, tetapi karena yang bersangkutan meninggal lebih awal dari ]a'far, maka dalam Syi'ah Dua Belas, Ismail tidak di akui sebagai imam, berbeda dengan itu Syi'ah Ismailiyah yang tetap mengakui keabsahan keimaman Ismail, oleh karena pendiriannya ini mereka di sebut Syi'ah Ismailiyah. Syiah golongan ini pernah berkuasa di Mesir, yang di wakili oleh dinasti Fatimiyah, penganut Syiah ini juga terdapat di Libanon dan Syria, yaitu kaum Druz. 


Selanjutnya adalah Syi'ah Zaidiyah, yaitu pengikut Zaid bin Ali Zain Al-Abidin, berbeda dengan Syiah Dua Belas dan Syi'ah Ismailiyah, mereka tidak menganut teori Imam Bersembunyi atau Imam Dinanti. Dalam pandangan mereka, Imam harus Iangsung memimpin umat, jabatan Imam harus berasal langsung dari keturunan Ali dan Fatimah. Syi'ah Zaidiyah pernah membentuk kerajaan di Yaman dengan ibu kota San'a. 

Di luar tiga besar di atas, masih terdapat kelompok-kelompok aliran yang lebih kecil, seperti golongan Syi'ah Saba’iah (pengikut Abdullah bin Saba’), Syi'ah Al-Ghurabiyah, Syi'ah Kisaniah, dan Syi'ah Al-Rafidah. Sementara itu terdapat pula pandangan yang berbeda di kalangan Syi'ah mengenai imamah. Syi'ah Dua Belas dan Syi'ah Fatimiyah berpendapat bahwa sebelum meninggal Nabi Muhammad Saw telah menentukan Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya. Dalam istilah mereka Ali adalah washi Nabi Muhammad Saw. Washi selanjutnya adalah Hasan, kemudian Husein dan seterusnya kepada cucu-cucu dan cicit-cicit Nabi Saw sampai kapanpun juga (hari kiamat), karena para imam menerima washi dari Nabi Saw, maka mereka juga mewarisi sifat kekudusannya, merekapun mempunyai kekuasaan untuk membuat hukum.

Perbuatan dan ucapan mereka tidak bisa bertentangan dengan syari'at, perbedaan antara imam dan nabi hanya pada penerimaan wahyu saja, para imam tidak menerima wahyu, sehubungan dengan kesucian imam, para imam dalam pandangan mereka juga mempunyai ilmu bathin, dengan ilmu bathin itu, para imam dapat mengetahui hal-hal yang tidak dapat di ketahui manusia, apa yang salah dalam pandangan manusia biasa, tidak mesti salah dalam pandangan para imam, bahkan di kalangan Syi'ah Ismailiyah ada pendapat yang lebih ekstrim, yaitu bahwa Tuhan mengambil tempat dalam diri imam dan karena itu imam dapat di sembah, nah inikan lebih parah, salah satu di antara mereka yang menuntut demikian adalah Khalifah Fatimi Al-Hakim bin Amrillah, ia berkeyakinan bahwa dalam dirinya terdapat Tuhan. 


Berbeda dengan pendapat di atas adalah yang di kemukakan Syi'ah Zaidiyah, menurut golongan ini, imam tidaklah di tentukan orangnya oleh Nabi Muhammad Saw, melainkan hanya sifat-sifatnya. Jelasnya Nabi Saw tidak mengatakan bahwa imam sesudah beliau adalah Ali, Ali di angkat menjadi imam karena ada sifat-sifat yang melekat dalam dirinya sesuai dan cocok untuk syarat seorang imam, di antara sifat-sifat yang di maksud adalah taqwa, ilmu, kemurahan hati dan keberanian. 

Dan untuk imam sesudah Ali di tambahkan dengan sifat keturunan Fatimah Ra, sifat-sifat iu adalah sifat bagi Imam terbaik (AI-Afdlal), dalam hal tidak terpenuhi yang imam afdlal, maka boleh juga imam berasal dari orang lain yang di sebut imam mafdlul, oleh karena itu, Syi’ah Zaidiyah mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Usman, sebagai imam mafdlul. Di samping pendapat yang tersebut di atas, ada juga pendapat yang lebih ekstrim lagi tentang Ali. Syi'ah al-Saba'iyah misalnya, berpendapat bahwa Ali adalah Tuhan dan tidak mati terbunuh, tetapi naik ke langit, pendapat yang senada di kemukakan oleh Syi'ah Al-Nusairiyah. 

Syi'ah Al-Ghurabiyah berpendapat lain, bahwa wahyu sebenarnya di turunkan untuk Ali, tetapi Jibril salah dalam menganggap Nabi Muhammad Saw adalah Ali, astaghfirulllah. Di kalangan Syi'ah sendiri, aliran-aliran yang ekstrim ini tidak di akui, demikianlah sekilas perbedaan pandangan dalam hal penggantian pemerintahan sesudah Rasulullah wafat, teerlepas dari itu semua, yang paling penting bagi manusia generasi setelah Rasulullah wafat adalah senantiasa menjaga kemurnian aqidah, akhlak dan ketauhidan lainnya hanya kepada atau berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah (Hadist) Rasulullah Saw, karena beliau berpesan demikian, ia tinggalkan kepada umat dua pegangan, yakni Al-Qur’an dan Hadist (perkataan) beliau tentang agama, ikuti dua pegangan ini. 

Maka selamat dunia dan akhirat, sehingga perebutan kekuasaan menjadi khalifah (masa sekarang di sebut presiden atau raja) tidak terjadi berdasarkan hawa dan nafsu, Al-Qur’an ddan Rasulullah Saw sendiri telah mengajarkan tentang kepemimpinan dan aturan-aturannya, ikuti hal tersebut tidak akan terjadi perbedaan pendapat, lakukan dengan kebulatan musyawarah yang dingin tentang penguasa yang sesuai dengan ajaran Islam, maka tentu suasana rakyat (masyarakat) akan damai dan tenteram, Insya Allah.

Posting Komentar untuk "PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG IMAMAH DAN KHILAFAH"