Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

DIA (TENTANG KETUHANAN)

Seorang shufi yang ’arif, ke mana pun menghadap, di situ ia melihat wajah (Dzat) Allah. Allah berfirman : ”Maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah.” (Q.S. 2 : 115). Semua yang ada di dunia, baginya merupakan fenomena keberadaan-Nya dan bukti keagungan asma-asma dan sifat-sifat-Nya. Seluruh pemandangan alam semesta, baginya merupakan rumus-rumus yang mengisyaratkan tentang hakikat-hakikat ketuhanan dan pengejawantahan dari asma-asma-Nya. Tak sesuatu pun di alam semesta yang dianggap sebagai hal biasa olehnya. Dalam pandangannya, semua itu mengundang rasa takjub pada dirinya. Semua alam wujud adalah keajaiban belaka dan tiap sesuatu seolah membisikkan dzikir ke hatinya, menyuguhkan hikmah dan mengungkapkan realitas sebenarnya. Karena itu, ke mana pun menoleh, ia merasa takjub dan hatinya berdegup menyatakan : Allah.... Allah....Allah....Masalahnya bukan hanya sekadar kiasan atau perumpamaan, tetapi merupakan kasyf ruhani dan nurani.

Bertalian dengan hal ini, Ibnu ’Arabi mengatakan : "Tiap apa yang kuingat tentang jejak-jejak kekasih, kampung halamannya, tempat tinggalnya dan lain-lainnya. Begitu pula awan kelam yang menurunkan hujan dan bunga-bunga ketika mengembang atau bulan purnama yang bersembunyi di dalam kemah, atau matahari, atau tumbuhan dan bintang-bintang atau kilat, atau geledek, atau angin semilir, atau angin kencang, atau arah selatan, atau langit atau wanita-wanita yang berbuah dada segar menonjol bak matahari baru terbit, atau seperti boneka."

Semua yang kuingat, seperti lazimnya sesuatu yang membawa kenangan, atau sejenisnya, bila engkau memahaminya, terbersit daripadanya rahasia-rahasia dan nur-nur Ilahi yang agung dan luhur menyatakan Allah Tuhan langit. Sifat yang suci dan luhur menyatakan bahwa kebenaran-Ku telah datang, palingkan hati dari lahiriahnya dan pandanglah batinnya hingga engkau mengenal-Nya. Al-’Arif Billah (orang yang mengenal Allah), Abu ’l-‘Azaim, berkata dalam syairnya, "Hikmah penciptaan makhluk adalah, agar tampak jelas kegaiban Allah yang Mahasuci dengan tersembunyi", atau dengan ungkapan lain, bahwa hikmah yang terkandung dalam penciptaan alam semesta, adalah supaya kegaiban Sang Pencipta Yang Mahasuci dan terselubung dapat di indera oleh mata, kemana pun seorang shufi menebarkan pandangannya pada tiap sesuatu di alam wujud ini, hati sanubarinya mengatakan dengan penuh khusyu’, "Tiada Tuhan selain-Nya. Dia tampak di alam wujud berprofilkan hasil cipta dan karya-Nya yang sarat hikmah dan membentuk kerajaan yang agung lagi nyata. 


Ke mana pun hati berpaling ke seputar bumi dan langit, semuanya merupakan rumus dan isyarat belaka, jika engkau renungkan fenomena alam semesta dengan kelembutannya yang luas menghampar, di situlah tertulis sifat-sifat keagungan-Nya, ke mana pun engkau palingkan wajah, terlihatlah di sana tanda-tanda kebesaran-Nya yang mengundang ketakjuban orang yang memiliki mata hati (bashirah), itulah nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mengungkapkan sosok-Nya dan menggugah hati dm pikiran. Imam Abu ‘Azaim bertanya pada dirinya : "Mengapa Tuhan tak tampak?“ "Bagairmma Tuhan tak tampak, sedang alam yang di atas dan bawah telah rnenampakkan contoh penampilan sosok-Nya? Segala sesuatu yang kulihat di alam semesta ini mengisyaratkan akan makna-makna keesaan-Nya secara global." Selamanya, jika diungkapkan dengan tingkah Iaku shufi akan mengatakan : ”Tiada Tuhan selain-Nya sejak awal hingga akhir, lahir dan batin, terisyaratkan di belakang hijab. Apa yang kau lihat di alam semesta ini, tak lain adalah rahasia nama-nana-Nya yang baik, yang menampakan gambaran di baliknya.” Tajalli Ilahi (penampakan Tuhan) pada tiap sesuatu ini sarna sekali membeda dengan inkamasi yang di kabarkan dan di yakini dalam agama Hindu. Berkenaan dengan hal ini, Ibnu ’Arabi berkata,"Matahari tampak di permukaan bulan." Padahal, di dalam bulan itu sendiri tidak ada matahari, sama halnya sinar matahari yang merupakan pantulan dari asma (cahaya)-Nya, dan bukan berarti Tuhan menjelma di situ. "Alam semesta beroleh anugerah kedudukan-Nya. Dia bukan ruh dan jasad, tak ada batasan yang bisa memuat-Nya. Dia senantiasa di cari dan rnenjadi tempat meminta, semua makhluk mencari-Nya, tapi tak seorang pun menemukan-Nya. Di situ Satu dan tak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya. Menyendiri dalam kesempurnaan sifaf-Nya. Tidak ada penampilan ulangan pada setiap penampilan Ilahi, meski banyak sekali di lakukan-Nya. Oleh karena tiap sesuatu milik-Nya mempunyai aspek khusus yang membeda dari sifat-sifat lain yang di miliki-Nya. Jadi, perumpamaan atau persamaan itu hanya ada pada sisi lahiriah (pada tiap sesuatu yang memantulkan keagungan sifat-Nya). Dari aspek khusus inilah terangkai hubungan antara segala sesuatu dengan Allah. Dan di situlah letak rahasia cipta Illahi, yang melaluinya terpantulkan keagungan Allah yang tak pernah berulang sosok penampilan-Nya dengan yang serupa. Memang, semua penarnpilan Allah senantiasa dalam sosok paling baru dan primordial. Selaras dengan itu, makhluk pun senantiasa dalam proses pembaruan, dalam "kamus Ilahi tidak ada yang namanya ulangan, oleh karena Allah tidak miskin. Setiap "napas Ilahi“, senantiasa mendatangkan sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang mengenal batasan-batasan, selalu dalam kerangka penciptaan yang baru. Sedang dalam masalah ini, manusia masih senantiasa bingung. Karena itu, shufi selalu dalam ketakjuban terhadap alam semesta ini. Dalam kaitan ini, ada jenis Lain yang proses kejadiannya masih dalam satu mata rantai, yaitu, sesuatu yang di ciptakan oleh rnakhluk itu sendiri melalui napasnya, berbentuk makhluk, ada yang buruk dan ada pula yang baik. Proses ini di kenal di kalangan orang India dengan nama Thought Forms (sesuatu yang di ciptakan oleh jiwa manusia, berbentuk makhluk yang tak bisa di lihat, yang juga berkarakteristik baik dan jahat). Semakin dalam Anda mengenal alam semesta, semakin mantap pula pengetahuan Anda, bahwa kesemuanya itu pada hakikatnya tidak ada. Yang ada hanyalah Allah. Apa yang tampak di sekitar Anda, semuanya adalah penampilan Ilahi belaka. Dari sini bisa di mengerti bahwa Yang Maha Benar (Allah) merupakan petunjuk bagi Diri-Nya sendiri dan bagi yang selain-Nya. Tak ada lagi sesuatu melainkan dari-Nya. Segala sesuatu selain dari Allah merupakan bayangan dari-Nya. Segala sesuatu selain dari Allah merupakan isyarat (simbol) bagi-Nya, segala sesuatu selain dari Allah merupakan hasil perbuatan-Nya. Di alam wujud ini tidak ada sesuatu selain alam barzakh. Di alam semesta ini, yang ada hanyalah hijab belaka, begitulah yang di katakan oleh Ibnu ‘Arabi atau dengan kata lain, alam semesta ini merupakan penampilan-penampilan yang bisa mengantarkan ke arah hakikat llahi, terkadang, hakikat Ilahi terhalang olehnya dan terkadang tersingkapkan. Allah tidak rnenampakkan Dzat-Nya sebagaimana keadaan-Nya, melainkan berkedokkan alam semesta. "Apabila kami melihat-Nya, Dia tampak tidak seperti keadaan yang sebenarnya, tapi, ini merupakan kasyf sebenarnya yang melintas di anganku." Alam sernesta merupakan bayangan sifat-sifat Allah yang memantul dari baliknya, yaitu sifat Yang Maha Besar yang tampak dari balik hijab sifat hamba. Ibnu ’Arabi berkata,"Semua dalam keadaan memuji Allah. 

lni merupakan ilusi dalam masalah ini. Sebab, tidak ada ketetapan bagi mereka dalam masalah ini. Semua yang kita saksikan di dunia ini hakikatnya adalah isyarat-isyarat yang membutuhkan interpretasi, Allah menampakkan Dzat-Nya melalui hakikat-hakikat alam semesta, yakni, apa yang ada di balik hakikat alam wujud ini, maka, sembahlah Dia dengannya, sebab, jika Anda hanya menyembah-Nya, maka Anda bukan seorang ‘abid (penyembah Allah). Renungkanlah hal ini, semoga Anda menjadi orang yang sadar." Berikut ini penafsiran Ibnu ‘Arabi fentang ayat yang berbunyi : Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepadu-Mu kami memohon pertolongan. Ibnu ’Arabi menafsirkan ayat ini demikian : Kami memohon pertolongan-Mu untuk beribadah kepada-Mu. Kita tidak mungkin beribadah kepada Allah melainkan hanya dengan pertolongan-Nya, sebab Allah merupakan petunjuk (dalil) bagi Diri-Nya. Jika Anda mengaku beribadah kepada Allah, maka hakikatnya Anda bukan seorang 'abid, melainkan hanya mengaku-aku saja, sebab, hakikat peribadatan kepada Allah hanyalah dengan Allah, dengan tanda-tanda dan dalil-dalil-Nya yang menunjukkan pada diri-Nya atau dengan kata lain, anda menyembah-Nya dengan berkat pertolongan-Nya. Akan halnya pemikiran Tajalli (penampilan) versi Islam, ia bukanlah kesatuan wujud menurut versi India yang penyembah berhala (Al-watsani). 

Kesatuan wujud menurut versi watsani (pantheisme) mengatakan tentang kesatuan khalik (pencipta) dengan makhluknya, pembunuh sama saja dengan yang di bunuh. Tuhan sarna dengan hambanya. Khalik sama dengan makhluknya dan orang ’arif sama dengan kearifannya, Semua itu menurut versi watsani adalah satu. Tentang hal ini, Ibnu ‘Arabi mengemukakan pendapatnya, tidak ada persamaan atau perbandingan antara asal dan duplikat. Alam semesta tidak sama dengan Dzat Ilahi, oleh karena Dzat Ilahi sama sekali terlepas dari karakteristik cabang dan segala spesifikasinya seperti, daun-daunan, buah-buahan dan bunga-bungaan, malahan sebaliknya, semua itu dari Allah. Allah dalam Dzat-Nya, Mahasuci dari kesemuanya itu. Dia tidak makan, tidak rninum dan tidak kawin. Dia memberikan segala apa yang tidak di lakukan-Nya. Dia Mahakaya dan tidak berhajat. Sedang cabang, selamanya senantiasa berhajat, dari sini tampak jelas bahwasanya tidak ada persamaan antara asal dan duplikat, karena itu, tidak bisa di katakan bahwa yang Maha Benar (Allah) sama dengan makhluk-Nya. Pada dasarnya, pemikiran tentang Tajalli ini tidak lain adalah, bahwa setiap penampilan itu merupakan simbol atau bukti dari Allah. Bertolak dari pemikiran ini, maka Ibnu ’Arabi mengatakan,"Aku berwasiat kepadamu, jangan menghina seseorang atau sesuatu dari makhluk Allah, karena Dia tidak menghinakannya ketika Dia menciptakannya." Dengan demikian bisa di katakan bahwa Ibnu ’Arabi adalah penganut paham Wihdatus Syuhud (kesatuan penyaksian) dan bukan Wihdatul ’Wujud (kesatuan wujud). Dalam pandangan Ibnu ’Arabi, dunia adalah hadhrah (media) perumpamaan, tetapi tidak ada yang serupa, juga merupakan ajang penyerupaan, tetapi tidak ada yang sepadan. Dalam Dzat-Nya, Allah menampilkan Diri-Nya melalui perumpamaan yang ada di alam semesta, karena itu, bagi yang hanya bisa memahami hingga batas perumpamaan, maka terhalang dan tersesatlah dia, tapi, bagi yang bisa melampaui batas perumpamaan lahiriah, sedang pandangannya pun bisa menembus isyarat-isyarat yang tersimpan di belakang perumpamaan, maka beroleh petunjuklah la. Pengetahuan merupakan salah satu segi milik Allah yang ada pada setiap rnakhluk dan ciptaan-Nya. Ilmu syari'at dan hakikat, keduanya merupakan manifestsasi dari asma-Nya, Azh-Zhahir dan Al-Bathin. Ilmu yang paling mulia ialah ilmu yang berkenaan dengan masalah-masalah ketuhanan. Akan halnya ilmu-ilmu lain di luar ilmu ketuhanan, maka hal itu sekedar kompensasi yang di jadikan dalih oleh orang-orang yang berhalang. Tentang mereka, Al-Qur’an menyebutkan : "Mereka hanya mengetuhui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai." (Q.S. 30 : 7). Allah menciptakan manusia dalam sosok yang selaras dengan asma-asma dan sifat-sifat-Nya, yakni, bisa mendengar, melihat, berkehendak, hidup dan dapat berbicara. Semua itu menunjukkan kepada Dzat Allah, kita mengetahui keesaan yang Maha Benar dari keesaanmu, dan kita mengetahui kesendirian-Nya dari kesendirianmu.

"Dan juga pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tiada memperhatikan?" (Q.S. 51 : 21). Kesemuanya itu adalah asma-asma Allah yang baik dan sifat-sifat-Nya yang di turunkan kepadamu selaras dengan bakat dan keahlianmu. Perbedaannya adalah, bahwa sifat-sifat Allah tersebut adalah hak milik-Nya, sedang bagi manusia hanya sekadar kiasan (pinjaman). Sifat-sifat tersebut pada asalnya milik Allah, kemudian maknawinya di turunkan kepada kita (sesuai dengan sensitifitas kejiwaan kita terhadapnya) sebagai makhluk-Nya yang memantulkan keadaan aslinya. Karena itu, tidak ada hak bagi siapa pun yang mendakwakan dirinya sebagai penyabar, pecinta atau penyayang tanpa menyadarkan bahwa hal itu terjadi berkat kemurahan Allah dan bimbingan agama. Orang yang mendakwakan demikian, pada hakikatnya sudah terlampau lalai (kepada Allah). Sebab, eksistensi seluruh akhlak tersebut pada dirinya adalah lantaran mengalirnya asma-asma dan sifat-sifat Allah Yang Maha Esa dalam dirinya. Kesemuanya itu merupakan kemurahan Ilahi, tetapi dengan sangat sederhana dan mudah, la mengingkari Allah. 


Perlu di ketahui pula, bahwa yang Maha Benar memiliki sifat khusus, yaitu Maha Kaya dan bagi hamba mempunyai sifat khusus pula yaitu, hina, butuh dan senantiasa berhajat. Sifat khusus kehambaan ini merupakan tangga penyampai yang bisa menaikkan hamba kepada yang Maha Benar. Selama seorang hamba tetap memegang erat sifat kehambaannya, maka selama itu pula akan tetap tercurahkan kepadanya berkat Ilahi (mengingat kedudukannya yang senantiasa berhajat). Berdasarkan kenyataan ini, bisa di pahami bahwasanya tidak ada sama sekali persamaan antara hamba dan Tuhannya, atau antara Khalik dan makhluk-Nya,juga tidak ada perimbangan antara Khalik dan makhluk-Nya. Tidak ada kesatuan, kemanunggalan dan penitisan. Ibnu ’Arabi berkata,“Tidak mungkin seorang hamba menjadi tuan, meski ia tampak dengan sifat ketuanannya." Dan, selamanya, kita tidak akan pernah menjadi raja sebenarnya hanya dengan berpakaian atau bersimbolkan kerajaan semata. Perlu di ingat, bahwa antara simbol den aslinya sangat jauh perbedaannya. 

Pengertiannya adalah, bahwa hal ini hanya sekadar persamaan belaka. Karena itu, pahami benar-benar  hal ini agar kita tidak terperosok ke dalam kehinaan dan kesembronoan. Allah memiliki sifat yang sesuai dengan keadaan Diri-Nya, seperti halnya hamba juga rnempunyai sifat yang selaras dengan keadaannya, karena itu, kedua sifat tadi jelas jauh berbeda, meski satu nama dan satu istilah. Satu nama tapi lain pengertian. Hamba tetap hamba dan yang Maha Penyayang tetap yang di sembah. Abu ’l-’Azaim berkata dalam syairnya,"Aku benar-benar tahu, bahwa diriku adalah hamba-Nya. 

Dan seorang hamba selamanya tetap hamba dan ini tidak bisa di elakkan lagi.” Beliau mengatakan pula bahwa Allah amat jauh sekalipun sangat dekat dan Maha Tinggi meski tampak jelas. ”Dia amat dekat bagi orang yang dekat dan amat jauh dari penemuan dan pembatasan.” Allah Maha Lahir dalam pemandangan. Jauh perbedaan antara lahir dan pemandangan adalah, bagaikan khamr dan gelasnya. Tentang hal ini, Imam Abu ’1-’Azaim berkata,”Kini, alam semesta telah menjadi gelas khamr (Maksudnya, menyerupakan keterlenaan orang yang melihat Allah dengan orang yang mabuk khamr).” Atau dengan ungkapan yang lebih jelas, alam semesta ini merupakan pemandangan dari khamr Ilahi (nur-nur sifat dan asma-Nya).

(Khamr adalah jasadku, sedang hatiku adalah gelasnya). Pengertian minum khamr sernacam ini adalah melihat Allah melalui tanda-tanda kebesaran-Nya. Pada saat Abu ’l-’Azairn mengatakan ”jasadku”, yang di maksud adalah jasad dan eksistensi segala sesuatu. Jasad sebagai khamr nur-nur Ilahi, sedang hati sebagai gelasnya. Dengan rnenggunakan analogi masa kini, bisa di katakan bahwa Azh-Zhahir dan Al-Mazhahir adalah bagaikan tabung lampu TL (neon) dan sinar yang ada di dalamnya. Tabung neon tersebut di ibaratkan sebagai mazhahir dengan segala ragam bentuk dan modelnya. 


Tiap tabung tampak memancarkan sinar khusus yang selaras dengan rancang bangun dan model masing-masing yang saling membeda-beda antara satu dan lainnya. Ada tabung yang memancarkan sinar merah, biru dan ada pula yang memancarkan sinar ultra violet. Semua warna tersebut berasal dari sinar putih dan merupakan rincian darinya. Dan sinar putih ini berasal dari komposisi aneka warna yang di sebuf Azh-Zhahir, karena itu, Abu ‘l-‘Azaim mengatakan bahwa sesungguhnya yang di sebut Tajalli adalah model analisa dari bentuk global kepada rincian. "Kami menyaksikan Nur Ilahi turun dengan begitu jelasnya dari bentuk (tingkatan) global kepada rincian." Dalam bait sya‘ir yang lain, Imam Abu ’l-’Azaim memperlihatkan ketajaman pandangan mata hatinya yang teramat langka, beliau mengatakan : "Dia menampakkan kepada kami rincian hakikat dalam kesatuan. 

Kesatuan dan rincian adalah bagaikan tunggal dan berbilang." Seperti kita ketahui, satu adalah permulaan bilangan dari semua bilangan, tiap-tiap bilangan pasti melaluinya, sedang bilangan itu sendiri merupakan perkalian dari satu tersebut. Dan bilangan-bilangan itulah yang membukakan kepada kita hipotesa-hipotesa matematik dan ilmu hitung yang menjurus kepada satu. Oleh karena itu bisa di katakan, bahwa bilangan-bilangan merupakan rincian dari sesuatu yang global, atau mengekspresikan rahasia yang tersimpan di dalamnya. Abu ’l’Azaim mengatakan tentang tidak terlihatnya (terhijabnya) Allah dalam mazhahir (penampilan-penampilan), bahwa hal itu merupakan "Pengaburan (penyamaran) satuan dalam bilangan." "Jika tidak ada pengaburan (tunakkur), maka Dia tidak akan tampak dalam apa yang terbilang (makhluk).” Dalam bait sya’ir Iainnya yang sarat dengan isyarat, beliau mengatakan : "Sesungguhnya tanakkur adalah benteng Kami dalam rahasia Kami. Jika tidak ada tanakkur, maka akan leburlah alam semesta ini." 

Hal serupa dan dalam pengertian yang sama kita temukan pada perkataan Ibnu ’Arabi yang mengatakan,“Jika pada jadi, penampilan Allah melalui alam semesta ini hanya sekadar perumpamaan dan bukan keadaan yang sebenamya, oleh karena Allah tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya. Karena Dzat Allah Maha Suci dari segala bentuk penyerupaan dan penyamaan, tidak ada bentuk kualitatif dan kuantitatif, tidak betbatas, tidak membutuhkan ruang dan waktu, maka Ibnu ’Arabi berkata kepada dirinya perihal dunia ini : ”Jika yang kami saksikan hanya merupakan bentuk kuantitatif dan kualitatif, rnaka hal itu adalah ilusi, bukan ilmu tentang keadaan Dzat Allah yang sebenarnya. Lalu, apakah Allah menampakkan Diri-Nya pada sesuatu yang membutuhkan eksistensi? Jika memang demikian, jelaslah bahwa dia bukan Allah. Tapi, kita memang harus mengenalnya melalui proses bersebut. “Allah Maha Suci dari segala bentuk, ruang, eksistensi dan sesuatu.” Apakah lantaran kata-kata kita hanya terbatas sampai di situ? Apakah di sana memang ada eksistensi yang benar‘? Jika engkau menambah-nambahi, maka hal itu hanya merupakan ilusi belaka." 

Karena itu, Ibnu ’Arabi berkata dengan gaya bahasa yang sarat dengan isyarat ma’rifat yang mendalami “Sesungguhnya alam semesta ini hanyalah khayalan belaka.” Meski pada hakikatnya alam semesta itu sendiri kenyataan, barangsiapa bisa memahami pengertian ini, maka ia telah menemukan rahasia yang mengantarkannya kepada ma'rifatuIlah (mengetahui/mengenal Allah).” Menurut Ibnu ’Arabi, alam semesta adalah khayalan dan impian yang harus di takwili (sebab, alam semesta adalah ilusi yang mengisyaratkan kepada kenyataan/hakikat). Jika alam semesta tidak mengisyaratkan gambaran tentang Allah, maka mustahil alam semesta akan berwujud. Dan jika memang demikian, dari manakah alam semesta ini memperoleh hakikat dan eksistensinya, yang kesernuanya itu hanya berasal dari Allah? 

Karena itu, Ibnu ’Arabi berkata,"Jika Allah tidak menciptakan bentuk bagi alam, maka tidak ada bentuk dan eksistensi bagi alam, mustahil sesuatu di alam semesta timbul dengan sendirinya tanpa adanya bentuk asal yang ada di sisi Allah.” Menurut pendapat Ibnu ‘Arabi, penjodohan wanita dengan lelaki, sama halnya dengan apa yang di jodohkan Allah terhadap diri kita (Allah menjodohkan Al-Ashl dengan bentuk, sehingga bentuk selalu bertaut dengan Ul-Ashl). Wanita memandang lelaki sebagai tuannya, sama halnya pandangan kita terhadap Allah, yakni kita menganggap Allah sebagai "Tuhan dan asal kita tercipta. Bukankah Allah menciptakan Hawa dari diri Adam sendiri? Allah berfirman : "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan." (Q.S. 51 : 49). Sama halnya dengan tadi ialah dalam asma-asma Allah yang genap, yang saling berlawanan. Allah bersifat yang Maha Lahir dan yang Maha Bathin, yang paling Awal dan yang paling Akhir, yang Maha Pemberi Manfaat dan yang Maha Pemberi

Kesengsaraan, yang Menahan Rizqi dan yang Memberikannya, yang Mengangkat Derajat dan yang Merendahkannya. Tiap-tiap sifat yang saling berlawanan bersebut adalah azali dan milik Allah atau, keduanya merupakan kekuasaan Allah, yang dengannya Dia menciptakan Adam. Dengan demikian, tercakup dalam diri Adam kedua sifat yang saling berlawanan itu. Jika dunia ini merupakan ajang perumpamaan dan tidak

seperti keadaan yang sebenarnya, atau ia merupakan panggung sandiwara dan bukan keadaan yang hakiki dan jika dunia ini hanya rnerupakan pentas pengemukaan contoh melalui ilustrasi-ilustrasi dan penampilam-penampilan, sedang ia merupakan isyarat melalui bentuk-bentuk lahiriah untuk mengingatkan akan adanya yang batin melalui bilangan untuk mengingatkan akan adanya satu dan melalui segala sesuatu yang bisa di saksikan untuk mengingatkan akan adanya alam gaib, lalu, itukah yang di namakan ghaib, bathin, misteri dan samar? Dia adalah…Dia adalah Dia, Dia adalah Dzat seperti yang di firmankan oleh-Nya : ”Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali (Dzat) Allah.” (Q.S. 28 : 88). Dia-lah hakikat yang sebenarnya, semua asma-Nya bermakna sama, menunjukkan kepada yang Satu. Ibnu ’Arabi mengatakan,”Jika Dia bisa di ketahui, maka berarti bukan Dia, sebab, Dia adalah yang Maha Ghaib selamanya.” Dzat-Nya adalah mutlak Maha Suci dan terbebas dari segala perumpamaan. 


Dzat-Nya hanya Dia Sendiri yang bisa melihat-Nya, seperti apa ada-Nya. Dalam hal ini, Dia Menyendiri dan sama sekali tidak ada campur tangan kita sebagai makhluk-Nya. Ibnu ’Arabi mengatakan : "Penampilan Ilahi pada fenomena-fenomena alam semesta memang terjadi, tetapi, penampilan Dzat Ilahi terjadi, hanya bisa di saksikan dan jika bisa di saksikan, maka tidak tampak dalam satu penampilan yang sama, sebab, Dia tidak pernah mengulang satu penampilan dalam penampilan-penampilan-Nya. Dia senantiasa tampil dengan penampilan baru." Keindahan Allah bisa kita saksikan, keagungan-Nya, tak seorang pun mengetahui atau menyaksikan-Nya. Sebab, ia merupakan pengaruh mutlak milik-Nya yang tak seorang pun mampu menghadapi-Nya. Sama halnya dengan sifat keagung-Nya yaitu, sifat Dzat dan keadaan-Nya. Sifat Ahadiyah merupakan kedudukan dari sifat ke-Esa-an Tuhan, maka dalam hal ini Dia tidak akan menampilkan Diri-Nya.

Posting Komentar untuk "DIA (TENTANG KETUHANAN)"