Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

ITTIHAD DAN HULUL

Apa itu Ittihad dan Hulul?

Islam sebagai agama yang lengkap dan utuh yang memberikan tempat sekaligus kepada segala jenis penghayatan keagamaan secara eksoterik, yang bersifat lahiriah dan jenis penghayatan esoteric, yang bersifat batiniah. 

Dalam perkembangan pemikiran Islam, jenis penghayatan keagamaan yang bersifat batini berkembang menjadi ilmu tersendiri yang dinamakan tasawuf. 

Tasawuf mempunyai segi-segi yang luas, inti ajaran tasawuf
berlainan, selain mengajak kaum muslimin untuk memperhatikan persoalan kesucian jiwa, mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat-dekatnya dan merasakan kehadiran Allah serta melihat-Nya dengan mata hati, bahkan merasakan persatuan dengan Allah. 


Dalam tasawuf, ada suatu cara yang dirumuskan dalam bentuk Ittihad dan Hulul.

Ittihad adalah kesatuan, ittihad dapat di artikan sebagai tingkatan dalam tasawuf, di mana seorang sufi setelah mencapai tingkat kefanaan, merasa dirinya bersatu dengan Tuhan (Al-ittihad). 


Hulul, bisa berarti Tuhan mengambil wadah dalam diri manusia atau dua ruh bertempat dalam sebuah tubuh, dengan menempatkan Al-Qurb sebagai ujung sufisme, Imam Al-Ghazali menolak konsep ittihad dan hulul bila kedua paham itu diartikan sebagai bersifat hakiki.
 

Penolakannya terhadap konsep ini bukan saja didasarkan pada argument-argumen rasional, tetapi juga argument teologis, singkatnya argumen itu adalah, bahwa ittihad dan hulul hakiki itu keberadannya di mustahilkan oleh akal sehat, dan bahkan bertentangan dengan prinsip ketauhidan dalam aqidah Islam, tapi, secara implisit, tampaknya Imam Al-Ghazali tidak menolak dan ia menerima keberadaan ittihad dan hulul, kalau keduanya hanya di pahami sebagai sifat majadzi atau kiasan semata. 

Kesan ini muncul setelah ia menyatakan bahwa mukasyafah, terbukanya tabir antara manusia dan Tuhan lebih baik di sembunyikan.

Posting Komentar untuk "ITTIHAD DAN HULUL"