Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

SEKILAS TENTANG ILMU LADUNNY

Apa itu ilmu ladunny?

Ilmu ladunny adalah yang didukung dalil yang benar, yang datang
dari sisi Allah lewat lisan para Rasul-Nya, selain itu, maka berasal dari diri manusia, yang darinya berasal dan kepadanya kembali, bendungan ilmu ladunny bisa saja meluber dan nilainya menjadi sangat murah, sehingga setiap golongan bisa membuat pengakuan bahwa ilmunya adalah ilmu ladunny, hingga siapa pun yang bicara tentang hakikat iman, perjalanan, masalah asma' dan sifat seperti yang dikehendaki dan menurut bisikan syetan di dalam hatinya, mengatakan bahwa apa yang dimilikinya adalah ilmu ladunny.


Orang-orang ateis dan zindiq juga menyatakan bahwa ilmu yang dimilikinya adalah ilmu ladunny, begitu pula para teolog, sufi dan para filosof, masing-masing membuat pernyataan yang sama, diantara mereka ada yang benar dan ada pula yang dusta, kata ladunny berasal dari ladun, yang berarti inda.

Seakan-akan mereka juga bisa menyebutnya ilmu indy, dengan mengabaikan makna yang lebih detail dari inda atau ladun, yang penting adalah keadaan orangnya, sementara Allah menyampaikan celaan yang tegas terhadap orang yang menisbatkan kepada-Nya sesuatu yang sama sekali bukan berasal dari sisi-Nya, seperti firman-Nya sebagai berikut : "Mereka mengatakan, "ia dari sisi Allah", padahal ia bukan dari sisi Allah, mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui." (Q.S. Ali-Imran : 78).




Ilmu yang katanya diperoleh tanpa adanya kesaksian dan dalil, maka sama sekali tidak bisa dipercaya dan tidak bisa disebut dengan ilmu, ilmu yang diperoleh dengan kesaksian dan dalil bisa
menguat dan bertambah, sehingga ilmu yang dikuasai bisa seperti sesuatu yang disaksikan, yang gaib seperti nyata, ilmul-yaqin seperti ainul-yaqin.
 

Pada awal mulanya berupa rasa, kemudian pelaksanaan, dugaan, ilmu, ma'rifat, ilmul-yaqin, ainul-yaqin, lalu haqqul-yaqin, kemudian setiap martabat melebur ke martabat di atasnya, rentetan inilah yang dikatakan benar.
 

Jika ada yang mengaku mendapatkan ilmu tanpa sebab dari pencarian dalil, maka sama sekali tidak benar, sebab Allah mengaitkan pemberian ma'rifat dengan sebab-sebabnya, sebagaimana Dia mengaitkan semua unsur alam dengan sebab-sebabnya, seorang hamba tidak bisa mendapatkan ilmu kecuali dengan dalil yang menunjukkannya. Allah telah mendukung para Rasul-Nya dengan berbagai macam dalil dan bukti keterangan yang menunjukkan kepada mereka bahwa apa yang mereka bawa berasal dari sisi Allah, bukti keterangan ini merupakan dalil dan kesaksian bagi para Rasul itu serta umatnya, dalil dan kesaksian yang mereka miliki merupakan dalil dan kesaksian yang paling agung. 

Allah mempersaksikan kebenaran mereka dengan menegakkan kesaksian, semua ilmu yang tidak dilandaskan kepada dalil hanya sekedar bualan yang tidak memiliki bukti pendukung dan merupakan hukum yang tidak memiliki bukti keterangan, jika begitu keadaannya, berarti itu bukan merupakan ilmu, apalagi ilmu ladunny yang berasal dari samping Allah. 

Siapa pun yang mengatakan," Ilmu ini datang dari sisi Allah", maka dia adalah seorang pendusta dan dia layak mendapat celaan, yang seperti ini banyak disebutkan di dalam Al-Qur'an, orang yang mengatakan, "Ini ilmu ladunny", padahal dia tidak tahu betul bahwa ilmunya benar-benar berasal dari sisi Allah dan tanpa didukung bukti keterangan dari Allah bahwa ia berasal dari sisi-Nya, maka dia adalah seorang pendusta, lancang terhadap Allah dan orang yang paling zhalim di antara orang-orang yang zhalim.

Syaikh juga berkata, "Al-Jam'u adalah tujuan kedudukan orang-orang yang melakukan perjalanan dan merupakan satu tepian dari lautan tauhid." Dengan kata lain, selagi seseorang masih berada di dalam perjalanannya, berarti dia harus memisahkan diri dengan penuntutan dalil dan pencarian kesaksian, jika sudah tiba di kedudukan ma'rifat dan hasratnya hanya berupa satu hasrat, yaitu Allah, maka dia akan singgah dipersinggahan al-jam'u dan siap mengarungi lautan tauhid, yang di dalamnya segala sesuatu selain Allah melebur, jadi al-jam'u menurut syaikh merupakan kesudahan atau akhir perjalanan orang-orang yang berjalan kepada Allah.

Anggapan seperti ini tidak bisa diterima secara mutlak, sebab tujuan kedudukan orang-orang yang mengadakan perjalan kepada Allah adalah taubat, yang sekaligus merupakan permulaan persinggahan mereka, boleh jadi siapa saja menolak pendapat ini ini, sambil mengatakan misalnya, "Ini adalah ucapan orang yang tidak mengenal sedikit pun jalan golongan ini.", bahkan banyak orang yang sependapat denganmu dalam hal ini, sambil berkata, "Lalu di mana kami? Di mana kami berjalan? Sementara kami sudah melewati persinggahan taubat dan antara kami dan taubat itu sudah terlewatkan seratus persinggahan, lalu apakah kami kembali lagi ke seratus persinggahan dan menjadikan taubat itu sebagai tujuan kedudukan orang-orang yang berjalan kepada Allah?

Jangan terburu ber-apriori dan tergesa-gesa dalam menyanggah, bukalah pikiran untuk mengenal siapa diri, hak-hak Rabb, apa yang harus dan telah dipenuhi dari hak-hak-Nya, kemudian kaitkanlah amal-amal dan keadaan diri serta persinggahan-persinggahan yang telah disinggahi dan kedudukan yang telah ditempati, yang semuanya dilakukan karena Allah dan bersama Allah, jika kita melihat hak-hak Allah itu sudah dipenuhi semua, begitu pula hak setiap orang yang mempunyai hak, berarti engkau tidak memerlukan taubat.

Kembali kepada taubat, ini adalah merupakan perjalanan dari kedudukan yang tinggi ke bawah, kembali dari tujuan kepermulaan, tentu saja hal ini jauh dari gambaran orang-orang yang menisbatkan diri dengan masalah ini, namun jika kita melihat semua amal kita, keikhlasan, tawakal, kebergantungan, zuhud, ibadah, sama sekali tidak mampu memenuhi hak sedikit pun yang semestinya kita penuhi, padahal hak Allah jauh lebih besar lagi, maka ketahuilah, bahwa taubat merupakan kesudahan setiap orang yang arif dan tujuan setiap orang yang mengadakan perjalanan.

Kedudukannya sebagai permulaan sama dengan kedudukannya sebagai kesudahan, kebutuhan kepada taubat ini pada kesudahannya jauh lebih besar daripada kebutuhan kepadanya pada permulaannya, bahkan merupakan sesuatu yang sangat urgen, sekarang simak apa yang difirmankan Allah kepada Rasul-Nya pada kesudahan urusan Islam dan bagaimana akhir hayat Rasulullah Saw yang justru lebih banyak memohon ampunan. Allah berfirman : "Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka." (Q.S. At-Taubah : 117).

Ayat ini diturunkan seusai perang Tabuk dan merupakan peperangan terakhir yang diikuti Rasulullah Saw, Allah memberikan ampunan kepada mereka semua, seakan-akan sebagai ungkapan terima kasih atas apa yang mereka perbuat, yaitu jihad. Allah juga berfirman pada akhir wahyu yang diturunkan kepada beliau, yaitu Surat An-Nashr, yaitu : "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. 


Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat." Di dalam Ash-Shahih disebutkan, bahwa setelah turun surat ini, maka beliau tidak pernah ketinggalan mengucapkan seusai shalat, "Mahasuci Engkau Ya Allah, Rabb kami dan segala puji-Mu, Ya Allah, ampunilah aku." Itulah yang terjadi pada kesudahan urusan beliau dan pada masa-masa akhir hayat beliau, maka para ulama dari kalangan sahabat, seperti Umar bin Al-Khaththab, Abdullah bin Abbas dan lain-lainnya memahami, bahwa ini merupakan pertanda kedekatan ajal yang diberitahukan kepada beliau.

Allah memerintahkan agar beliau memohon ampunan pada saat-saat itu, apa pun keadaan dan kedudukan beliau, di samping itu, ucapan terakhir yang sempat didengar saat beliau menghadap Rabb adalah, "Ya Allah, ampunilah aku, pertemukanlah aku dengan Penyerta Yang Maha Tinggi."

Beliau juga mengakhiri setiap amal dengan istighfar, seperti puasa, shalat, haji dan jihad, beliau juga mensyari'atkan penutup majelis dengan istighfar, sekalipun itu majelis untuk kebaikan dan ketaatan, begitu pula yang harus dilakukan hamba ketika mengakhiri amal kesehariannya, saat hendak tidur, sebaiknya dia mengucapkan, "Aku memohon ampunan kepada Allah, yang tidak ilah selain Dia, Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri. Aku bertaubat kepada-Nya."

Posting Komentar untuk "SEKILAS TENTANG ILMU LADUNNY"