Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

KOREKSI TERHADAP PENGUASA ADALAH FARDHU BAGI KAUM MUSLIM

Melakukan koreksi terhadap penguasa adalah fardhu bagi tiap-tiap muslim.

Koreksi terhadap penguasa hukumnya fardlu dan makna ketaatan kepada mereka itu sekalipun mereka berbuat dzalim dan merampas hak rakyat, bukan berarti harus mendiamkan mereka, tetapi mentaati mereka hukumnya tetap wajib, sedangkan melakukan koreksi terhadap mereka atas perilaku dan tindakan-tindakan yang mereka lakukan itu juga sama-sama wajib. Allah telah mewajibkan kepada kaum muslimin untuk melakukan koreksi terhadap penguasa mereka dan sifat perintah kepada mereka agar merubah para penguasa tersebut bersifat tegas, apabila mereka merampas hak-hak rakyat, mengabaikan kewajiban-kewajiban rakyat, melalaikan salah satu urusan rakyat, menyimpang dari hukum-hukum Islam, atau memerintah dengan selain hukum yang diturunkan oleh Allah.

Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Umi Salamah, bahwa Rasulullah Saw bersabda : "Akan ada para pemimpin, lalu kalian akan mengetahui kema' rufannya dan kemunkarannya, maka siapa saja yang membencinya dia akan bebas dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tetapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka). Mereka bertanya : "Tidakkah kita akan memerangi mereka?" Beliau Saw bersabda : "Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam)."

Dalam riwayat lain : "Maka, siapa saja yang membencinya, dia akan bebas dan siapa saja yang mengingkarinya, dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikuti (akan celaka)."

Riwayat ini menjelaskan maksud riwayat di atas, bahwa Rasulullah Saw telah memerintah agar mengingkari seorang penguasa, bahkan wajib mengingkarinya dengan sarana apapun yang bisa dia pergunakan, baik dengan tangan, tetapi dengan catatan tidak membunuh atau menggunakan pedang, ataupun dengan lisan, yaitu dengan ucapan, apapun ujudnya, maupun dengan hati, apabila tidak mampu menggunakan tangan dan lisan, sehingga orang yang tidak mengingkarinya, dianggap ikut berdosa sama seperti penguasa tersebut, karena beliau menyatakan : "Siapa yang rela dengan apa yang mereka lakukan, serta mengikutinya, maka dia tidak bebas dan tidak selamat dari dosa.

Dalil-dalil tentang perintah pada kema'rufan serta menolak kemunkaran itu merupakan dalil-dalil yang mewajibkan muhasabah kepada seorang penguasa, karena, dalil-dalil itu bersifat umum yang mencakup penguasa maupun yang lain. Dimana Allah telah memerintahkan amar ma'ruf dan nahi munkar itu dengan perintah yang tegas, dalam hal ini Allah berfirman : "Hendaknya ada di antara kalian, sekelompok umat yang mengajak kepada kebaikan serta menyeru pada kema'rufan dan mencegah dari kemunkaran." (Q.S. Ali Imran: 104).

"Kalian adalah sebaik-baik umat yang dihadirkan untuk seluruh umat manusia, maka kalian (harus) menyeru pada kema'rufan dan menolak kemunkaran." (Q.S. Ali Imran: 110). "Yaitu orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan kemunkaran dan melarang mereka dari yang munkar." (Q.S. Al A'raf: 157).

"Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji Allah, yang melawat (untuk mencari ilmu dan sebagainya), yang ruku' dan sujud yang menyeru berbuat ma'ruf dan mencegah perbuatan munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu." (Q.S. At Taubah: 112).

Di dalam semua ayat itu, Allah telah memerintahkan amar ma'ruf dan nahi munkar dan Allah menyertai perintah itu dengan qarinah (indikasi) yang menunjukkan adanya suatu keharusan (jazman) yaitu pujian bagi orang yang melakukannya, dengan firman-Nya : "Mereka adalah orang-orang yang beruntung." (Q.S. Ali Imran : 104). "Kalian adalah sebaik-baik umat." (Q.S. Ali Imran: 110).

"Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu." (Q.S. At Taubah : 112). Dan seterusnya, maka, indikasi tersebut merupakan sebuah indikasi yang menunjukkan bahwa perintah itu merupakan perintah yang bersifat tegas, dan itu berarti hukumnya fardlu, sedangkan melakukan koreksi terhadap penguasa itu tidak lain hanyalah memerintahkannya berbuat ma'ruf dan mencegahnya berbuat munkar, sehingga muhasabah itu hukumnya fardlu.

Banyak hadits yang menjelaskan perintah pada kema'rufan dan mencegah perbuatan munkar, dari Hudzaifah Al-Yaman, bahwa Rasulullah Saw bersabda : "Demi dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, hendaknya kalian benar-benar memerintahkan pada kema'rufan, serta mencegah dari perbuatan munkar, atau sampai Allah betul-betul akan memberikan siksa untuk kalian dari sisi-Nya, kemudian kalian dengan sungguh-sungguh berdo'a kepada-Nya, niscaya Dia tidak akan mengabulkan (do'a) kalian."

Dari Abi Sa'id Al-Khudri yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda : "Siapa saja di antara kalian yang melihat kemunkaran, maka hendaknya dia merubahnya dengan tangannya, apabila tidak mampu, maka dengan lisannya, apabila tidak mampu, maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman."

Dari Adi Bin Umairah yang menyatakan: "Aku mendengarkan Rasulullah Saw bersabda : "Sesungguhnya Allah tidak akan mengadzab orang-orang secara massal, karena perbuatan orang tertentu (di antara mereka), kecuali kalau mereka melihat kemunkaran di depan mata mereka, dimana mereka sanggup untuk menolaknya, lalu tidak menolaknya, apabila mereka melakukannya, niscaya Allah akan mengadzab orang (yang melakukan) tadi beserta semua orang (yang ada) secara massal."

Hadits-hadits ini menunjukkan hukum wajibnya menegakkan amar ma'ruf dan nahi munkar, karena itu, hadits-hadits ini juga menunjukkan hukum wajibnya memerintah penguasa untuk melakukan kema'rufan serta mencegahnya dari perbuatan munkar, jelaslah bahwa maksudnya adalah mengoreksi tindakan-tindakan penguasa tersebut, hanya saja, di sana banyak hadits yang menyatakan tentang penguasa secara khusus, yang berarti ta'kid (penguatan) bagi kewajiban melakukan muhasabah, sehingga melakukan koreksi terhadap seorang penguasa, serta memerintahnya agar berbuat ma'ruf dan mencegahnya dari perbuatan munkar itu adalah sesuatu yang sangat penting. Dari Umu 'Atiyah dari Abi Sa'id yang menyatakan : "Rasulullah Saw bersabda : "Sebaik-baik jihad adalah (menyatakan) kata-kata yang haq di depan penguasa yang dlalim."

Dari Abi Umamah yang menyatakan : "Ada seorang laki-laki, pada saat melakukan jumrah ula (melempar batu kerikil yang pertama), bertanya kepada Rasulullah Saw : "Wahai Rasulullah, jihad apa yang paling baik?" Beliau Saw diam, maka ketika melakukan jumrah tsaniyah (melempar batu yang kedua), dia bertanya lagi dan beliau pun diam dan ketika melakukan Jumrah Aqabah (melempar batu yang terakhir), lalu beliau memasukkan kaki beliau ke pelana kuda untuk menaikinya, beliau bertanya : "Mana orang yang tanya tadi?" Dia menjawab: "Aku (di sini) wahai Rasulullah." Beliau menjawab: "(sebaik-baik jihad adalah) kata-kata haq yang disampaikan di depan penguasa yang dlalim."

Ini merupakan nash yang ditujukan kepada seorang penguasa, serta kewajiban untuk menyampaikan kata-kata yang haq kepadanya, atau mengoreksinya, maka perjuangan untuk menentang para penguasa yang merampas hak-hak rakyat, atau mengabaikan kewajiban-kewajiban mereka kepada rakyat atau melalaikan salah satu urusan mereka itu hukumnya fardlu, karena Allah telah memfardlukannya, bahkan menganggapnya seperti jihad, malah sebaik-baik jihad, hingga seakan-akan beliau Saw bersabda : "Sebaik-baik jihad di sisi Allah adalah perjuangan menentang penguasa yang dlalim", dalil ini saja sebenarnya cukup untuk membuktikan, bahwa mengoreksi para penguasa hukumnya itu hukumnya wajib.

Rasulullah Saw telah mendorong agar menentang para penguasa yang dlalim, apapun ancaman yang akan terjadi dalam rangka melakukannya, hingga mengakibatkan terbunuh sekalipun, diriwayatkan dari Nabi Saw yang menyatakan bahwa : "Penghulu para syuhada' adalah Hamzah, serta orang yang berdiri di hadapan seorang penguasa yang dlalim, lalu menasihatinya, kemudian dia dibunuh."

Hadits ini merupakan bentuk pengungkapan yang paling tegas, yang mendorong agar berani menanggung semua resiko, sekalipun resiko mati, dalam rangka melakukan koreksi terhadap para penguasa, serta menentang mereka yang dlalim itu.

Wajib Memerangi Penguasa Yang Jelas-jelas Kafir

Sebagaimana perintah ketaatan di atas telah dikecualikan dari satu hal, yaitu dari perintah untuk melakukan kemaksiatan, maka demikian halnya keharaman untuk memisahkan diri dari kekuasaan seorang penguasa, serta mengangkat senjata dalam rangka menentangnya, juga dikecualikan dari satu hal, yaitu adanya kekufuran yang nyata, kalau kekufuran yang nyata itu nampak, maka wajib diperangi, karena adanya nash-nash yang menjelaskan tentang keadaan semacam ini, sehingga pengecualinya berdasarkan nash.

Auf Bin Asyja'i berkata: "Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda : "Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai, dan mereka pun mencintai kalian; mereka mendo'akan kalian dan kalian pun mendo'akan mereka. Seburuk-buruk pemimpin kaian adalah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian; kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian." Ditanyakan kepada Rasulullah Saw, yaitu : "Wahai Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka itu?" Beliau menjawab: "Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam) di tengah-tengah kamu sekalian."

Yang dimaksud dengan "menegakkan shalat" di atas adalah "memerintah dengan Islam", yaitu menerapkan hukum-hukum syara'. Jadi pemakaian ungkapan "menegakkan shalat" adalah termasuk dalam katagori "Itlaqul juz'i wa iradatul kulli" (menyebut bagian tertentu dengan maksud keseluruhan). Seperti firman Allah, yaitu : "Maka, merdekakanlah budak." (Q.S. Al Mujadalah: 3). Yang dimaksud adalah memerdekakan budak secara keseluruhan, bukan hanya raqabah (budak mukatab) saja.

Dalam hadist itu, Rasulullah Saw menyatakan : "Ma Aqaama Fiikum As Shalat" (selagi mereka masih menegakkan shalat), yang dimaksud oleh pernyatakan beliau itu adalah menegakkan seluruh hukum syara', bukan hanya menegakkan shalat saja. Hal ini merupakan pembahasan Majaz (figurative language; bahasa kias) yaitu "Itlaqul juz'i wa iradatul kulli" (menyebut bagian tertentu dengan maksud keseluruhan).

Diriwayatkan dari Umi Salamah; bahwa Rasulullah Saw bersabda : "Akan ada para pemimpin, lalu kalian akan mengetahui kema'rufannya dan kemunkarannya, maka siapa saja yang membencinya dia akan bebas, dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat. Tetapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka). Mereka bertanya: "Tidakkah kita akan memerangi mereka?" Beliau Saw bersabda: "Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam)."

Yang dimaksud dengan pernyataan di atas adalah selagi mereka masih menegakkan hukum-hukum syara', yang antara lain adalah hukum shalat. Dimana pembahasan itu merupakan pembahasan "Itlaqul juz'i wa iradatul kulli" (menyebut bagian tertentu dengan maksud keseluruhan).

Diriwayatkan pula dari Ubadah Bin Shamit yang menyatakan bahwa : "Kami diseru oleh Nabi Saw, lalu kami membai'at beliau." Dia melanjutkan: "Beliau Saw mengambil janji dari kami, agar kami membai'atnya dengan mendengarkan dan mentaati (semua perintahnya), baik dalam keadaan lapang muupun terpaksa; baik ketika sedih maupun gembira, serta dalam keadaan yang tidak menyenangkan kami, juga agar kami tidak merebut urusan (pemerintahan) dari yang berhak, kecuali kalau (kata beliau) : "Kalian menemukan kekufuran yang nyata dan kalian sanggup membuktikannya di hadapan Allah.'"

Tiga hadits di atas, yaitu hadits dari Auf Bin Malik, hadits Umi Salamah, hadits Ubadah Bin Shamit itu tema sentralnya adalah memisahkan diri dari kekuasaan imam, dimana hadits-hadits tersebut semuanya berupa larangan memisahkan diri dari kekuasaan imam, dengan larangan yang tegas : "Tidakkah kita perangi saja mereka dengan pedang." Beliau Saw menjawab: "Jangan." Tidakkah kita perangi saja mereka itu?" Beliau Saw menjawab: "Jangan." Dan hendaknya kami tidak merebut urusan (kekuasaan) tersebut dari yang berhak."

Semuanya tiu melarang memisahkan diri dari kekuasaan seorang penguasa, dengan larangan yang tegas. Sebab, kalau ada suatu larangan kemudian larangan tersebut disertai dengan kecaman bagi yang memisahkan diri, seperti dalam hadits, yaitu : "Siapa saja yang memisahkan diri dari suatu ketaatan, serta memisahkan diri dari jama'ah, (lalu mati) maka matinya adalah seperti mati jahiliyah."

Larangan itu berarti larangan yang tegas atau bermakna haram, sebab mengklaim matinya orang yang memisahkan diri dari kekuasaan seorang imam, dengan klaim mati jahiliyah itu menjadi indikasi yang menunjukkan adanya larangan dengan tegas, karena itu, hadits-hadits ini menjadi dalil atas keharaman memisahkan diri dari seorang imam.

Akan tetapi larangan diatas dikecualikan dari satu keadaan, yang dinyatakan oleh dua hadits yang pertama, yaitu tidak mendirikan shalat dan tidak melaksanakan shalat, kemudian hal itu dipertegas dengan pernyataan hadits ketiga dengan adanya kekufuran yang nyata.

Tidak menegakkan shalat dan tidak melaksanakan shalat, maksudnya adalah tidak memerintah dengan hukum yang diturunkan oleh Allah atau memerintah dengan hukum-hukum kufur, sehingga penampakan kekufuran tersebut tidak meragukan lagi, kufrul bawwah (kekufuran yang nyata) adalah kata yang maknanya umum, karena kata itu merupakan kata yang menunjukkan jenis yang masih bersifat umum, sehingga kata tersebut merupakan kata yang bermakna umum.

Jadi, maksudnya adalah apabila kekufuran yang nyata tersebut benar-benar nampak, maka hukum memisahkan diri dari kekuasaannya adalah wajib. Baik dia memerintah dengan hukum-hukum kufur, seperti kalau dia memerintah dengan selain hukum yang diturunkan oleh Allah, atau tidak memerintah dengan hukum-hukum kufur, seperti membiarkan orang-orang murtad dari Islam, padahal orang-orang murtad itu menunjukkan kekufurannya secara terang-terangan, ataupun yang lain, fakta-fakta ini semua merupakan fakta kekufuran yang nyata, yaitu umum mencakup semua kekufuran, inilah keadaan yang mengecualikan, yaitu nampaknya kekufuran yang nyata, sehingga ketika kekufuran yang nyata itu benar-benar nampak, maka wajib memisahkan diri.

Ketentuan makna di dalam hadits-hadits yang mewajibkan memisahkan diri dari kekuasaan seorang penguasa di atas dengan satu keadaan itu adalah karena Rasulullah Saw mencegah agar tidak menentang mereka, memerangi dan merebut kekuasaan dari tangan mereka, kemudian beliau mengecualikan semuanya itu dari satu keadaan, pengecualian memisahkan diri yang sebelumnya merupakan larangan itu berarti diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang dikecualikan, sehingga mafhum hadits-hadits tersebut menunjukkan adanya perintah untuk menentang seorang penguasa, memerangi dan merebut kekuasaan dari tangannya, apabila keadaan (kekufuran yang nyata) itu terjadi, karena makna mafhum sama sama seperti makna mantuq, dilihat dari segi hujjah, sehingga makna mafhum itu juga bisa menjadi dalil yang menunjukkan, bahwa Allah memerintah menentang para penguasa serta memerangi dan merebut kekuasaan dari tangan mereka, apabila kekufuran yang nyata tersebut telah terlihat.

Sedangkan qarinah yang menunjukkan bahwa perintah itu bermakna wajib, adalah tema sentral perintah itu sendiri yang disertai ta'kid (penegasan) terhadap perintah itu, sehingga memerintah dengan hukum-hukum Islam itu jelas telah diwajibkan oleh Allah dan bukannya disunahkan, sedangkan nampaknya kekufuran yang nyata, sebaliknya, telah diharamkan oleh syara', dan bukanya dimakruhkan, maka, tema sentral perintah tersebut menjadi qarinah yang menunjukkan bahwa perintah tersebut merupakan perintah yang tegas. Sehingga memisahkan diri dari kekuasaan seorang penguasa dalam keadaan yang dikecualikan itu, tidak bisa dinilai hanya mubah, tetapi jelas fardlu bagi kaum muslimin.

Akan tetapi harus difahami, bahwa yang dimaksud dengan nampaknya kekufuran yang nyata itu adalah kekufuran yang bisa dibuktikan dengan dalil yang pasti, bahwa ia jelas-jelas kufur. Karena Rasulullah Saw tidak hanya menyatakan sampai di situ; "Kufran Bawwahan." melainkan beliau melanjutkan dengan sabda beliau berikutnya: "Dimana kalian memiliki bukti di hadapan Allah (tentang kekufuran tersebut)." Dan kata Burhan, tidak biasa dipergunakan selain untuk menunjukkan dalil yang tegas (qath'i). Oleh karena itu, adanya dalil yang qath'i menjadi salah satu syarat memisahkan diri, apabila masih ada bukti yang masih kabur; apakah kufur atau tidak, atau hanya dengan bukti yang bersifat dugaan (dhanni) bahwa ia telah kafir, sekalipun bukti tersebut benar, maka tetap tidak diperbolehkan untuk memisahkan diri, karena memisahkan diri tidak diperbolehkan, selain apabila ada bukti yang pasti bahwa ia telah benar-benar kafir.

Oleh karena itu, yang dimaksud dengan kekufuran yang nyata, adalah orang yang tidak lagi diragukan kekafirannya, serta orang yang bisa dibuktikan dengan bukti yang pasti (qath'i) bahwa dia benar-benar kafir, apabila seorang penguasa memerintah melakukan suatu perbuatan atau tindakan, yang diliputi kesamaran bahwa dia tidak kafir, maka tidak boleh memisahkan diri dari kekuasaannya, dengan alasan kekufuran yang nyata, karena adanya kesamaran tadi, misalnya kalau seorang penguasa memerintah mempelajari teori dialektika di perguruan tinggi, atau mempelajari aqidah-aqidah kufur, padahal kita yakin bahwa mempelajari aqidah kufur bisa menyebabkan kekufuran, maka anda tetap wajib mentaatinya dan kita tetap harus mempelajari aqidah-aqidah kufur yang diperintahkan untuk dipelajari tersebut.

Kita juga tidak boleh memisahkan diri dengan alasan terlihatnya kekufuran yang nyata, karena dia pun memiliki alasan yang membolehkan untuk mempelajari akidah-akidah kufur, sebagaimana yang ada di dalam Al-Qur'an, dimana Allah paparkan semuanya kemudian semuanya dikantor.

Dengan demikian, setiap seuatu yang mempunyai dalil, atau syubhatud dalil (dalil yang masih diperselisihkan) yang menyatakan bukan termasuk kufur, sedangkan di sisi lain ada dalil atau syubhatud dalil yang menyatakan termasuk Islam, maka perintah seorang penguasa untuk melakukannya, atau dia melakukannya sendiri, tetap tidak bisa diklaim dengan hukum-hukum kufur, juga tidak boleh diklaim dengan status menampakkan kekufuran yang nyata, sehingga tidak termasuk dalam pengecualian. Oleh karena itu, tidak boleh memisahkan diri dengan alasan tersebut. Malah tetap wajib mentaatinya.

Posting Komentar untuk "KOREKSI TERHADAP PENGUASA ADALAH FARDHU BAGI KAUM MUSLIM"