Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

ANTARA DO’A DAN DIAM, MANAKAH YANG LEBIH UTAMA?

Kadang kala adab itu mendorong untuk meninggalkan permohonan atau tidak berdo’a kepada Allah, di sebabkan bersandar kepada pembagiannya Allah yang telah di tetapkan melalui takdir-Nya, bersikap sedemikian dengan hujjah ia menyibukkan diri hanya untuk berdzikir kepada-Nya hingga tidak sempat memohon kepada-Nya (berdo’a). Dalam al-Qur’an, kita dapati dua ratus tiga ayat yang menyebutkan kata-kata tentang do’a atau permohonan, yang di situ artinya bermacam-macam, yaitu seperti ibadah, memanggil, memuji, memohon percakapan dan lain-lain.
Adapun do’a yang di maksud di sini adalah memohon dan mengharap sesuatu dari Allah, memang di perintahkan oleh Allah untuk berdo’a kepada-Nya, akan tetapi adakalanya ia tidak mau berdo’a lantaran terdorong oleh rasa kesopanan dan sungkan, kemudian ia meninggalkan memohon kepada Allah, tidak lagi meminta-minta kepada-Nya, yang demikian ini bagi orang yang tenggelam dalam dzikir dan ia rela dengan apa yang berlaku bagi dirinya atas kekuasaan Allah dan tahu sepenuhnya bahwwa itu adalah murni kehendak dan ketentuan dari Allah bagi dirinya.

Begitu juga soal dzikir, manusia juga di perintahkan, mengenai dzikir, perlu juga di bicarakan di sini. Dzikir adalah menyebut nama (Asma Allah), seperti mengucap Subhanallah, Laa ilahaa illallaah, Allahu’Akbar dan lain sebagainya sebagaimana banyak yang di ajarkan oleh Rasulullah melalui sabdanya (Hadist).

Menurut asal katanya dzikir adalah bermakna mengingat sesuatu di dalam hati atau akal yang dapat di lakukan melalui hati ataupun secara lisan. Dzikir Qauli adalah dzikir yang di ucapkan secara lisan, namun hendaknya di usahakan bias membekas dalam hati, jika bias membekas maka jadilah ia istiqamah melakukan dzikir, juga kesannya berlaku pada tingkah laku sehari-hari, misalnya ia jadi berakhlak baik dan sopan santun serta menjaga kewajiban beribadah kepada Tuhannya, maka Allahpun akan menyayanginya dan makin dekat kepadanya, bahkan selalu.

Untuk memberikan bekas yang mendalam dari dzikir qauli (lisan) ini hendaknya di lanjutkan dengan Dzikir Fi’il, seperti bertaubat (menghentikan perbuatan dosa atau maksiat),selalu belajar memperdalam ilmu agama untuk kesempurnaan pelaksanaan ibadah, berusaha dan bekerja dalam mencari rizki secara halal yang di sertai dengan tulus ikhlas, memenuhi kewajiban serta segala urusan yang menyangkut dengan Tuhan. Pendeknya segala kegiatan yang di lakukan dengan keyakinan bahwa kita dalam perhatian dan pengamatan oleh Allah.

Adapun dzikir yang sangat bagus adalah mentafakkuri makhluk-makhluk Allah dan segala ciptaan-Nya yang ada di sekitar kita, karena itulah orang-orang yang arif (sufi) di sebut sebagai orang yang senantiasa berdzikir dalam kesempatan dan dalam keadaan kapanpun juga, artinya konsisten dan berketatapan hatinya senantiasa berdzikir terhadap Tuhannya.

Jadi kalua di ringkas dan jelasnya dzikir itu ada dua cara :
1. Dzikir dengan hati;
2. Dzikir dengan lisan.

Masing-masing keduanya terbagi pula menjadi dua bagian :
1. Dzikir dalam arti ingat dari yang tadinya lupa,
2. Dzikir dalam arti kekal ingatannya kepada sang pencipta.

Dzikir (ingat) kepada Allah dapat di lakukan dengan lisan dan hati :
a. Dzikir dengan lisan berarti mengulang-ngulang menyebut nama-Nya, sifat-sifat-Nya atau pujian-pujian kepada-Nya. Untuk dapat kekal dan biasa melakukannya, hendaknya di biasakan atau di laksanakan berkali-kali dan berulang-ulang, misalnya tiap habis ibadah shalat, sehingga tercipta istiqamah (konsisten) dalam melakukannya, biasanya hal karena rutinitas melaksanaakaan dzikir inilah yang menjadi cikal bakal ingat (dzikir) kepada Allah dalam hatinya secara terus menerus dalam keadaan apapun dan di manapun juga.

b. Dzikir kepada Allah dalam hati adalah menghadirkan kebesaran dan keagungan-Nya di dalam hati dan jiwanya sendiri, sehingga mendarah daging, hal ini karena di picu dari kebiasaan melaksanakan dzikir seperti yang tertulis pada point (a). Tak ada yang di ingatnya kecuali hanya Tuhannya, taka da tiap nafas yang terlewat kecuali sesuai tarikannya dengan ingat (dzikir) kepada Allah, demikianlah yang di lakukannya sampai pada pada akhir hayatnya, sehingga ini salah satu jalan untuk mencapai khusnul khatimah.

Adapula pula jenis dikir nafas, yaitu kerjasama antara lisan (lidah) dan qalbiy (hati) dalam melaksanakan dzikir, ini adalah dzikir yang sangat baik tatkala selesai ibadah wajib (shalat), bilamana seseorang telah disiplin mengamalkannya dan melakukannya, dengan sendirinya akan meningkat menjadi Dzikir A’dha, artinya seluruh anggota badannya akan terpelihara dari berbuat maksiat, karena kebiasaan ia berdzikir secara konsisten (istiqamah).

Tentang dzikir, banyak hadist-hadist yang mendorong dan menggemarkan hamba-Nya untuk melakukan dzikir, baik sendirian maupun berjama’ah, hamba-hamba seperti Allah sangat dekat dengan mereka. Dalam Al-Qur’an, banyak sekali ayat-ayat yang menunjukkan dan menyuruh melakukan dzikir dan menerangkan ketinggian orang-orang yang melakukan dzikir, antara lain Allah berfirman : “Ingatlah sebanyak-banyak kepada Tuhanmu dan ucapkan tasbih pada waktu sore dan pagi.” (Q.S. Ali Imran Ayat 41). “Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa.” (Q.S. Al-Kahfi Ayat 24).

Adapun orang yang berdzikir melulu hingga meninggalkan berdo’a, terjadi perbedaan pendapat dalam masalah ini, sebagian ulama ada yang berpendapat lebih utama berdo’a, karena berdo’a itu termasuk dalam rangkaian ibadah sebagaimana Rasulullah bersabda : “Do’a itu adalah otaknya ibadah.” Jadi berkesimpulan adalah melaksanakan ibadah itu lebih utama daripada meninggalkannya, karena berdo’a selesai ibadah itu adalah otak ibadah sebagaimana yang di katakana Rasulullah.

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa diam dengan menyerah kepada kepastian atau ketentuan Allah itu lebih sempurna dan lebih di ridhai, sebab apa yang telah lebih dahulu di pilihkan Allah itu lebih utama daripada usaha seseorang dalam hal mengolah tata cara beribadah dan ingat kepada Allah. Allah berfirman kepada Rasulullah (Hadist Qudsi : “Barangsiapa yang sibuk dzikir kepada-Ku, hingga tidak sempat memohon kepada-Ku, pasti Aku akan memberinya yang lebih utama daripada apa yang di berikan kepada orang-orang yang memohon kepada-Ku.”

Dan yang lain lagi berpendapat, bahwa waktu itu berbeda-beda, adakalanya lebih utama di gunakan untuk berdo’a dan adakalanya lebih utama diam atau tidak berdo’a, maksudnya adalah apabila hati itu sedang condong untuk berdo’a, maka berdo’alah, begitupun sebaliknya, maka apabila tidak condong untuk berdo’a maka berdzikirlah jika itu yang di kehendaki, Wallaahu A’lam.

Posting Komentar untuk "ANTARA DO’A DAN DIAM, MANAKAH YANG LEBIH UTAMA?"