Bagaimana Hukum Perayaan Haul?
Menghukumi sesuatu ini boleh atau tidak bukanlah perkara yang amat mudah, tidak boleh kita gegabah dalam menghukumi, apalagi tentang permasalahan ini yang sudah mendarah daging dimasyarakat hingga saat ini.
Marilah kita tinggalkan semua fanatisme golongan, hawa nafsu dan adat yang tidak berdasar, marilah kita kembalikan semua perselisihan kepada Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, sebagaimana firman Allah : "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (Q.S. An-Nisa' [4]: 59).
Setelah kita mengembalikan masalah ini kepada Al-Qur'an dan Sunnah, ternyata tidak kita dapati satu pun dalil yang menunjukkan disyari‘atkannya perayaan ini, demikian juga kita tidak mendapati bahwa Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, para sahabat Radhiyallahu'anhum dan para ulama/imam salaf mengadakan perayaan maulid, sehingga jelaslah bagi orang yang hendak mencari kebenaran dan jauh dari kesombongan bahwa perayaan maulid Nabi adalah perbuatan yang tertolak.
Sekali lagi, janganlah standar kita adalah kebanyakan orang, tetapi jadikan standar hukum kita adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, ada beberapa argumen yang menguatkan batilnya perayaan haul ini sebagai berikut :
Pertama : Seandainya perayaan ini disyari‘atkan, tentu akan dijelaskan oleh Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam sebelum wafatnya karena Allah telah menyempurnakan agama-Nya. "Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam sebagai agamamu." (Q.S. Al-Ma'idah [5]: 3).
Kedua : Seandainya perayaan haul ini merupakan bagian agama yang disyari‘atkan tetapi Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam tidak menjelaskannya kepada umat, maka itu berarti Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam berkhianat.
Hal ini tidak mungkin karena Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam telah menyampaikan risalah Allah dengan amanah dan sempurna sebagaimana disaksikan oleh umatnya dalam perkumpulan yang besar diArafah ketika haji wada‘: Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu'anhu tentang kisah hajinya Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam (setelah beliau berkhutbah di Arafah). Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Kalian akan ditanya tentang diriku, lantas apakah jawaban kalian?" Mereka menjawab, "Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan dan menasihati." Lalu Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam mengatakan dengan mengangkat jari telunjuknya ke langit dan mengisyaratkan kepada manusia, "Ya Allah, saksikanlah, ya Allah saksikanlah, sebanyak tiga kali."
Ketiga : Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda : "Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka tertolak." (H.R. Imam Muslim : 3243).
Hadits ini dan yang semakna dengannya menunjukkan tercelanya bid‘ah dalam agama sekalipun dianggap baik oleh manusia dan perayaan haul termasuk perkara yang bid‘ah dalam agama karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya Radhiyallahu'anhum.
Seandainya perayaan haul ini baik, tentu para salaf lebih berhak mengerjakannya daripada kita karena mereka jauh lebih cinta kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam dan mereka lebih bersemangat dalam melaksanakan kebaikan.
Kelima : Perayaan haul termasuk acara selamatan kematian/tahlilan yang dilarang dalam hadits dan pendapat ulama dari berbagai madzhab. Dari Jarir bin Abdillah Al-Bajali Radhiallahu 'anhu berkata, "Kami (para sahabat) menganggap (dalam riwayat lain berpendapat) bahwa berkumpul-kumpul kepada ahli mayit dan membuat makanan setelah (si mayit) dikubur termasuk kategori niyahah (meratapi)."
Dan para ulama dari berbagai madzhab telah menegaskan tentang bid‘ahnya acara kematian, baik 7 harinya, 40 harinya, 100 harinya atau 1.000 harinya atau setahunnya. Anehnya, yang paling tegas mengingkari bid‘ahnya acara kematian tersebut adalah ulama-ulama madzhab Syafi‘i.
Di antaranya Al-Imam Asy-Syafi‘i Rahimahullah berkata: "Dan saya membenci berkumpul-kumpul (dalam kematian) sekalipun tanpa diiringi tangisan karena hal itu akan memperbaharui kesedihan dan memberatkan tanggungan (keluarga mayit) serta berdasarkan atsar (hadits) yang telah lalu." (Al-Umm: 1/318).
Ucapan Al-Imam Asy-Syafi‘i di atas sangat jelas menunjukkan bahwa beliau melarang peringatan kematian/selamatan/tahlilan/haul karena tiga alasan :
1. Mengingatkan kembali rasa kesedihan.
2. Menyusahkan diri.
3. Hadits yang menegaskan bahwa hal itu termasuk meratapi mayit.
Marilah kita tinggalkan semua fanatisme golongan, hawa nafsu dan adat yang tidak berdasar, marilah kita kembalikan semua perselisihan kepada Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, sebagaimana firman Allah : "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (Q.S. An-Nisa' [4]: 59).
Setelah kita mengembalikan masalah ini kepada Al-Qur'an dan Sunnah, ternyata tidak kita dapati satu pun dalil yang menunjukkan disyari‘atkannya perayaan ini, demikian juga kita tidak mendapati bahwa Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, para sahabat Radhiyallahu'anhum dan para ulama/imam salaf mengadakan perayaan maulid, sehingga jelaslah bagi orang yang hendak mencari kebenaran dan jauh dari kesombongan bahwa perayaan maulid Nabi adalah perbuatan yang tertolak.
Sekali lagi, janganlah standar kita adalah kebanyakan orang, tetapi jadikan standar hukum kita adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, ada beberapa argumen yang menguatkan batilnya perayaan haul ini sebagai berikut :
Pertama : Seandainya perayaan ini disyari‘atkan, tentu akan dijelaskan oleh Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam sebelum wafatnya karena Allah telah menyempurnakan agama-Nya. "Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam sebagai agamamu." (Q.S. Al-Ma'idah [5]: 3).
Kedua : Seandainya perayaan haul ini merupakan bagian agama yang disyari‘atkan tetapi Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam tidak menjelaskannya kepada umat, maka itu berarti Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam berkhianat.
Hal ini tidak mungkin karena Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam telah menyampaikan risalah Allah dengan amanah dan sempurna sebagaimana disaksikan oleh umatnya dalam perkumpulan yang besar diArafah ketika haji wada‘: Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu'anhu tentang kisah hajinya Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam (setelah beliau berkhutbah di Arafah). Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Kalian akan ditanya tentang diriku, lantas apakah jawaban kalian?" Mereka menjawab, "Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan dan menasihati." Lalu Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam mengatakan dengan mengangkat jari telunjuknya ke langit dan mengisyaratkan kepada manusia, "Ya Allah, saksikanlah, ya Allah saksikanlah, sebanyak tiga kali."
Ketiga : Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda : "Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka tertolak." (H.R. Imam Muslim : 3243).
Hadits ini dan yang semakna dengannya menunjukkan tercelanya bid‘ah dalam agama sekalipun dianggap baik oleh manusia dan perayaan haul termasuk perkara yang bid‘ah dalam agama karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya Radhiyallahu'anhum.
Keempat : Seandainya perayaan haul ini disyari‘atkan, niscaya tidak akan ditinggalkan oleh para sahabat Radhiyallahu 'anhum dan para generasi utama yang dipuji oleh Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam : "Sebaik-baik manusia adalah masaku." (H.R. Al-Bukhari:3651, Imam Muslim: 2533).
Seandainya perayaan haul ini baik, tentu para salaf lebih berhak mengerjakannya daripada kita karena mereka jauh lebih cinta kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam dan mereka lebih bersemangat dalam melaksanakan kebaikan.
Kelima : Perayaan haul termasuk acara selamatan kematian/tahlilan yang dilarang dalam hadits dan pendapat ulama dari berbagai madzhab. Dari Jarir bin Abdillah Al-Bajali Radhiallahu 'anhu berkata, "Kami (para sahabat) menganggap (dalam riwayat lain berpendapat) bahwa berkumpul-kumpul kepada ahli mayit dan membuat makanan setelah (si mayit) dikubur termasuk kategori niyahah (meratapi)."
Dan para ulama dari berbagai madzhab telah menegaskan tentang bid‘ahnya acara kematian, baik 7 harinya, 40 harinya, 100 harinya atau 1.000 harinya atau setahunnya. Anehnya, yang paling tegas mengingkari bid‘ahnya acara kematian tersebut adalah ulama-ulama madzhab Syafi‘i.
Di antaranya Al-Imam Asy-Syafi‘i Rahimahullah berkata: "Dan saya membenci berkumpul-kumpul (dalam kematian) sekalipun tanpa diiringi tangisan karena hal itu akan memperbaharui kesedihan dan memberatkan tanggungan (keluarga mayit) serta berdasarkan atsar (hadits) yang telah lalu." (Al-Umm: 1/318).
Ucapan Al-Imam Asy-Syafi‘i di atas sangat jelas menunjukkan bahwa beliau melarang peringatan kematian/selamatan/tahlilan/haul karena tiga alasan :
1. Mengingatkan kembali rasa kesedihan.
2. Menyusahkan diri.
3. Hadits yang menegaskan bahwa hal itu termasuk meratapi mayit.
Selanjutnya Kemungkaran dan Hukum Perayaan Haul...
Posting Komentar untuk "Bagaimana Hukum Perayaan Haul?"
Terimakasih atas kunjungan anda...