Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

MENGENAI Jl'ALAH

Pengertian Ji'alah 
Ji’alah atau ja'alah menurut bahasa berarti "upah” atau "pemberian”, bisa juga di sebut sebagai sayembara, menurut istilah adalah perjanjian menyerahkan (hadiah) uang atau barang kepada orang yang berhasil melaksanakan tugas (sayembara), misalnya seseorang kehilangan kuda, ia berkata : "Barang siapa yang mendapatkan kudaku dan dia kembalikan kepadaku, aku bayar sekalian."
Dasar HukumMazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali berpendapat, bahwa ji'alah boleh di lakukan dengan alasan firman Allah : "Penyeru-penyeru itu berkata : "Kami kehilangan piala raja dan siapa yang mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan seberat beban unta dan aku menjamin terhadapnya." (Q.S. Yusuf : 72).
 

Dalam hadist, di riwayatkan bahwa para sahabat pernah menerima hadiah atau upah dengan cara ji’alah, berupa seekor kambing, karena salah seorang di antara mereka berhasil mengobati orang yang di patuk kalajengking dengan cara membaca Surat Al-Fatihah, ketika mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah Saw, karena takut hadiah itu tidak halal. Rasulullah Saw pun tertawa seraya bersabda : "Tahukah anda sekaIian, bahwa itu adalah jampi-jampi (yang positif), terimalah hadiah itu dan beri saya sebagian." (H.R. Muttafaqun'alaih).

Rukun dan Syarat Ji’alah

  1. Lafadz, kalimat yang mengandung arti izin kepada yang akan bekerja, juga tidak di tentukan waktunya.
  2. Orang yang menjanjikan upahnya, orang yang menjanjikan upah tersebut boleh orang yang kehilangan itu sendiri atau orang |ain, tidak boleh membatalkan bila pekerjaanya sudah di laksanakan.
  3. Pekerjaan (mencari barang yang hilang atau lainnya).
  4. Upah, di syaratkan memberi upah dengan barang tertentu, harus jelas berwujud barang atau uang.
Yang Membatalkan Ji'alah
Masing-masing pihak boleh menghentikan perjanjian atau membatalkannya sebelum bekerja, kalau yang membatalkan orang yang bekerja, dia tidak mendapat upah, sekalipun dia sudah bekerja, tetapi jika yang membatalkan pihak yang menjanjikan upah, maka orang yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dia kerjakan.

Hikmah Ji'alah
a. Berlomba-lomba dalam kebaikan, yaitu menolong seseorang.
b. Menumbuhkan semangat berprestasi.
c. Menciptakan ukhuwah dan menghargai suatu prestasi.

Persoalan masa kini yang terkait dengan Fiqih Muamalah
Contohnya adalah soal penangkapan teroris, bagi siapa saja yang bisa menangkap baik, dalam keadaan hidup atau mati, akan mendapat imbalan, menemukan orang yang hilang bagi siapa saja yang dapat menemukan, akan mendapat imbalan.

Pendapat Beberapa Imam
Menurut Madzhab Hanafiyyah, akad Ji'alah tidak di perbolehkan karena mengandung unsur gharar di dalamnya, yakni ketidak jelasan atas pekerjaan dan jangka waktu yang di tentukan, hal ini ketika di analogkan dengan akad ijarah yang mensyari'atkan adanya kejelasan atas pekerjaan, upah dan jangka waktu, namun demikian, ada sebagian ulama Hanafiyyah yang memperbolehkan atas dasar istihsanan (karena ada nilai manfaat).

Menurut ulama Malikiyyah, Syafi'iyah dan Hambali, secara syar’i, akad Ji’alah di perbolehkan, dengan Iandasan kisah Nabi Yusuf As beserta saudaranya, yakni firman Allah pada Q.S.Yusuf : 72.


Secara Iogika, manusia membutuhkan akad Ji'alah, seperti halnya menemukan asset atau property yang hilang, melakukan pekerjaan yang tidak mampu di kerjakan pemiliknya, maka ia pasti membutuhkan akad Ji'alah. 


Dengan demikian, akad Ji'alah di perbolehkan, ketidak jelasan pekerjaan dan jangka waktu penyelesaian dalam Ji'alah, tidaklah memberi mudharat kepada pelaku, dengan alasan, akad Ji’alah bersifat tidak mengikat (ghair azim), berbeda dengan akad Ijarah yang bersifat Iazim atau (mengikat keduanya).

Akad Ji'alah bersifat one side (iradah wahidah), untuk itu Al-Ja’il (pemilik sayembara), harus mengungkapkan secara jelas keinginannya (pekerjaan) itu, menjelaskan pekerjaan yang di inginkan, besaran hadiah atau upah yang di janjikan dengan jelas. 


Jika ada seseorang mengerjakan pekerjaan itu tanpa seizinnya, atau pemilik mengatakan kepada seseorang, kemudian orang lain yang mengerjakan, maka hal itu di perbolehkan.
Akad Ji’alah bersifat umum dan upah atau hadiah akan tetap di berikan kepada seseorang yang berhasil melakukan pekerjaannya tersebut dengan baik.

Ulama memberikan beberapa syarat terkait dengan keabsyahan akad Ji’alah, yakni sebagai berikut :

  1. Orang yang terlibat Ji’alah harus memiliki ahliyah. Al-Ja’il (pemilik sayembara) haruslah orang yang memiliki kemutlakan dalam bertransaksi (baligh, berakal dan rasyid), tidak boleh di lakukan oleh anak kecil, orang gila atau orang safih. Untuk 'amil (pelaku), haruslah orang yang memiliki kompetensi dalam menjalankan pekerjaan, sehingga ada manfaat yang di hadirkan.
  2. Hadiah, upah (ja’l) yang di janjikan harus di sebutkan secara jelas jumlahnya, jika upahnya tidak jelas, maka akad Ji'alah batal adanya, karena ketidakpastian kompensasi, seperti, barang siapa yang menemukan mobil saya yang hilang, maka ia berhak mendapatkan baju, selain itu, upah yang di janjikan itu bukanlah barang haram, seperti minuman keras atau barang ghasab.
  3. Manfaat yang akan di kerjakan pelaku (‘amil) haruslah jelas dan di perbolehkan secara syar'i, tidak di perbolehkan menyewa tenaga paranormal untuk mengeluarkan jin, praktek sihir atau praktek haram lainnya, kaidahnya adalah, setiap asset yang boleh di jadikan sebagai obyek transaksi dalam akad Ji’alah.
Mazhab Syafi’iyah menambahkan, setiap pekerjaan (manfaat) yang di lakukan haruslah mengandung beban (usaha), karena tidak ada kompensasi tanpa adanya usaha.

Mazhab Malikiyyah menambahkan satu syarat, akad Ji'alah tidak boleh di batasi dengan jangka waktu, namun ulama lain mengatakan, di perbolehkan memperkirakan jangka waktu dengan pekerjaan yang ada.


Malikiyyah mensyari'atkan, jenis pekerjaan Ji'alah haruslah spesifik, walaupun berbilang, seperti menemukan beberapa unta yang hilang.
 

Ulama fiqh sepakat, bahwa akad Ji'alah di perbolehkan dan bersifat ghair lazim (tidak mengikat), berbeda dengan akad ijarah yang bersifat |azim.
 

Untuk itu, masing-masing pihak yang bertransaksi, memiliki hak untuk membatalkan akad, namun demikian, ulama berbeda pendapat tentang waktu di perbolehkannya membatalkan akad.

Mazhab Malikiyyah mengatakan, akad ji’alah boleh di batalkan ketika pekerjaan belum di laksanakan oleh pekerja (’amil), menurut Syafi'iyah dan Hambali, akad Ji'alah boleh di batalkan kapan pun, sebagaimana akad-akad lainnya, seperti syirkah dan wakalah, sebelum pekerjaan dapat di selesaikan secara sempurna, jika akad di batalkan di awal atau di tengah berlangsungnya kontrak, maka hal itu tidak masalah, karena tujuan dari akad belum tercapai.


Jika akad di batalkan setelah di laksanakannya pekerjaan, maka ’amil boleh mendapatkan upah sesuai dengan yang di kerjakan. 


Menurut Syafi'iyah dan Hambali, pemilik pekerjaan (sayembara) di perbolehkan untuk menambah atau mengurangi hadiah atau upah yang akan di berikan kepada ’amil, karena akad Ji’alah adalah akad jaiz ghair Iazim (di perbolehkan dan tidak mengikat), namun demikian, syafi'iyah memberikan catatan bahwa, hal itu di perbolehkan ketika pekerjan belum selesai di kerjakan.

Jika pekerjaan telah selesai di laksanakan, maka ’amil berhak mendapatkan upah yang di janjikan atau upah yang sepadan.


Ji’alah berarti suatu iltizaam (tanggung jawab) dalam bentuk janji memberikan imbalan upah yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat di laksanakan atau di hasilkan sesuai yang di harapkan.


Hukum Ji'alah kalau menurut Maliki, Syafi’i dan Hanbali, Ji’alah di perbolehkan, sedangkan menurut Madzhab Hanafi di larang, karena mengandung gharar (penipuan) dan rukunnya yaitu Iafadz, orang yang menjanjikan upah, pekerjaan dan upah.

Posting Komentar untuk "MENGENAI Jl'ALAH"