Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Mengupas Shalat Malamnya Nabi Saw

Melaksanakan shalat malam dan witir, di dalamnya ada sejumlah amalan yang termasuk petunjuk Nabi Saw.

1. Disunnahkan untuk melaksanakan shalat malam pada waktu yang utama jika ditanyakan, kapankah waktu utama untuk melaksanakan shalat malam?


Jawabannya: diketahui bahwa waktu shalat witir dimulai dari setelah shalat isya sampai terbit fajar. Dengan demikian, waktu shalat witir adalah antara shalat isya dan shalat fajar. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hadis :

a) Hadis Aisyah Radhiyallahu ‘anha, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat diantara shalat isya hingga fajar 11 rakaat, beliau salam setiap 2 rakat dan shalat witir dengan satu rakaat.”

b) Hadis Aisyah Radhiyallahu ‘anha, “Setiap malam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat witir, pada awal malam, pertengahan dan pada akhirnya. Waktu shalat witirnya berakhir pada waktu sahur.”

c) Ibnul Mundzir Rahimahullah berkata, “Dan mereka sepakat bahwa waktu shalat witir adalah antara shalat isya sampai terbit fajar.”

Adapun waktu paling utama untuk melaksanakan shalat malam adalah sepertiga malam setelah tengah malam. Maksudnya, seseorang membagi malam menjadi dua, lalu shalat pada tengah malam kedua, dan pada akhir malam ia tidur lagi. Jadi, ia bangun pada seper-enam keempat dan kelima dan tidur pada seper-enam keenam.

Hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin Amr Radhiyallahu‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya puasa yang paling dicintai oleh Allah adalah puasa Dawud, dan shalat yang paling dicintai oleh Allah juga shalat Dawud, ia tidur setengah malam, bangun pada sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya. Ia puasa satu hari dan berbuka satu hari.”

Jika seseorang ingin mengamalkan sunnah ini, bagaimana ia menghitung waktu malamnya? Waktu dihitung dari sejak terbenam matahari sampai terbit fajar, kemudian ia bagi menjadi enam bagian, tiga bagian pertama, ini yang disebut setengah pertama, ia bangun pada seperenam keempat dan kelima. Ini dihitung sepertiga. Kemudian ia tidur lagi pada seperenam terakhir. Oleh karena itu Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata, “Tidak datang kepada beliau waktu akhir malam di sisiku melainkan dalam keadaan tertidur.”

Dengan cara ini, maka seorang muslim melaksanakan shalat pada waktu yang paling utama sebagaimana dalam hadis Abdullah bin Amr Radhiyallahu ‘anhu tadi.

Apakah dengan demikian ia mendapatkan waktu turunnya Allah, yaitu pada sepertiga malam terakhir?
Jawabannya: Iya, ia mendapat seper-enam kelima. Hal itu jika malam dibagi menjadi enam bagian, seper-enam pertama dan kedua sama dengan sepertiga malam pertama, seper-enam ketiga dan keempat sama dengan sepertiga malam kedua dan seper-enam kelima dan keenam sama dengan sepertiga malam terakhir, yaitu waktu turunnya Allah. Orang yang bangun pada sepertiga malam setelah tengah malam, maka ia akan mendapati sepertiga terakhir pada seper-enam kelima.

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan kepada kita waktu ini, sebagaimana dalam hadis Abdullah bin Amr Radhiyallahu ‘anhu tadi, “Dan shalat yang paling dicintai oleh Allah adalah shalat Dawud, ia tidur setengah malam, kemudian bangun pada sepertiganya, lalu tidur pada seperenamnya.”

Beliau yang telah mengajarkan kepada kita tentang keutamaan malam terakhir, bahwa Allah turun pada waktu itu dengan cara yang layak bagi Allah. Dan mengkompromikan kedua hadis tersebut sebagaimana yang telah lalu. Bagi yang tidak mampu bangun pada waktu itu, maka ia bangun pada tingkatan yang kedua dari sisi keutamaannya, yaitu bangun pada sepertiga malam terakhir.

Ringkasannya, keutamaan dalam waktu shalat malam ada tiga tingkatan :

Tingkatan pertama: Tidur setengah malam pertama, kemudian bangun pada sepertiga malam, lalu tidur pada seper-enam malam sebagaimana perjelasan yang telah lalu. Dalilnya adalah hadis Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu yang tadi.

Tingkatan kedua: bangun pada sepertiga malam terakhir. Dalilnya hadis Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rabb kita tabaraka wa ta’ala turun setiap malam ke langit dunia saat tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman, “Siapa yang memohon kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya. Siapa yang memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya.”

Begitu pula hadis Jabir yang akan datang. Jika khawatir tidak terbangun pada akhir malam, maka berpindah pada tingkatan yang ketiga.

Tingkatan ketiga: Shalat pada awal malam, atau kapan saja pada waktu malam sesuai kemudahan. Dalilnya hadis Jabir Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang khawatir tidak bangun pada akhir malam, hendaknya ia shalat witir pada awalnya. Barangsiapa yang bertekad untuk bangun pada akhirnya, maka hendaknya ia shalat witir pada akhir malam, sesungguhnya shalat pada akhir malam itu disaksikan, dan itu lebih utama.”

Begitupun, hal ini berdasarkan wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Dzar, Abu Darda dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhum. Masing-masing dari mereka berkata, “Kekasihku mewasiatkan kepadaku dengan tiga perkara.” Diantaranya, “Dan agar aku shalat witir sebelum tidur.”

2. Disunnahkan melaksanakan shalat 11 rakaat Rakaat inilah yang paling sempurna, sebagaimana hadis Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah rakaat baik pada bulan Ramadhan atau selainnya dari 11 rakaat.”

Diriwayatkan pula bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat 13 rakaat. Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya hadis Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam 13 rakaat, melakukan witir dengan 5 rakaat darinya, beliau tidak duduk sama sekali kecuali diakhirnya.”

Terdapat pula dalam hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat pada malam itu 13 rakaat, kemudian beliau tidur.”

Para ulama berbeda pendapat dalam 2 rakaat yang dimaksud dalam riwayat-riwayat yang menyebutkan 13 rakaat, karena Aisyah Radhiyallahu ‘anham menginformasikan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah shalat lebih dari 11 rakaat, ada yang mengatakan, itu adalah shalat sunnah (setelah) Isya.
Ada yang mengatakan, itu adalah shalat sunnah fajar.
Ada juga yang mengatakan, itu adalah dua rakaat yang ringan yang dengannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka shalat malamnya, sebagaimana hal itu terdapat dalam hadis. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar Rahimahullah.

Yang lebih tepat 'wallahu a’lam adalah, bahwa ini termasuk variasi dalam shalat witir. Yang paling sering beliau lakukan adalah mewitirkan shalat dengan 11 rakaat. Namun terkadang beliau mewitirkan shalat dengan 13 rakaat. Dengan ini kita mengkompromikan antara hadis-hadis yang ada.

3. Disunnahkan untuk memulai shalat malam dengan dua rakaat yang ringan. Ini berdasarkan hadis Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun pada malam hari untuk shalat, beliau biasanya memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan.”

4. Disunnahkan membaca doa iftitah yang terdapat dalam hadis-hadis untuk shalat malam, diantaranya apa yang datang dalam hadis di Shahih Muslim dari hadis Aisyah Radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam, beliau membuka shalatnya dengan bacaan, “Allahumma rabba Jibraa`iila wa Miikaa`iila wa Israafila, faathiras-samaawaati wal ardhi, ‘aalimal ghaibi wasy syahaadati, anta tahkum baina ‘ibaadaka fimaa kaanuu fihi yakhtalifuuna, ihdinii limakh-tulifa fihi minal haqqi biidznika tahdii man tasyaa`u ilaa shiraatim-mustaqiim.”

(Ya Allah, rabb Jibril, Mikail dan Israfl, Pencipta langit dan bumi, yang Mahamengetahui urusan ghaib dan yang nampak, Engkau menghukumi hamba-hamba-Mu kelak dalam urusan yang mereka perselisihkan. Tunjukilah aku kepada kebenaran dalam urusan yang diperselisihkan, sesungguhnya Engkau yang mampu memberi hidayah (petunjuk) kepada siapa saja yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus).

Apa yang datang dalam hadis di Shahih Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat tahajjud, beliau biasanya membaca, “Allahumma lakal hamdu anta nuurus-samaawati wal ardhi, wa lakal hamdu anta qayyimus-samaawaati wal ardhi, wa lakal hamdu rabbus-samaawaati wal ardhi wa man fihinna, antal haqqu, wa wa’dukal haqqu, wa qaulukal haqqu, wa liqaa`ukal haqqu, wal jannatu haqqun, wan-naaru haqqun, wan-nabiyyuuna haqqun, was-saa’atu haqqun, Allahumma laka aslamtu wa bika aamantu, wa ‘alaika tawakkaltu, wa ilaika anabtu, wa bika khaashamtu, wa ilaika haakamtu, faghfr lii maa qaddamtu wa maa akhkhartu wa maa asrartu wa maa a’lantu, anta ilaahii laa ilaaha illaa anta.”

(Ya Allah, milik-Mu segala pujian, Engkau adalah cayaha langit dan bumi, Engkau pemilik segala pujian, Engkau pengurus langit dan bumi, Engkau pemilik segala pujian, Engkau penguasa langit dan bumi beserta segala isinya. Engkau yang Mahabenar, janji-Mu benar, Firman-Mu benar, pertemuan dengan-Mu benar, surga itu benar, neraka itu benar, para nabi itu benar dan hari kiamat itu benar. Ya Allah, hanya kepada-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku bergantung, kepada-Mu aku kembali, dengan-Mu aku berselisih, kepada-Mu aku berhukum, ampunilah dosa-dosaku yang telah lalu dan yang teakhir, yang tersembunyi dan yang nampak, Engkau sesembahanku, tidak ada yang berhak disembah selain Engkau.”

5. Disunnahkan untuk memperlama berdiri, rukuk dan sujud sehingga rukun-rukun perbuatan dalam shalat waktunya sama.

6. Melaksanakan sunnah-sunnah dalam bacaan, diantaranya:
a. Membaca dengan tenang, tidak cepat atau terlalu cepat.
b. Memotong bacaan satu ayat satu ayat. Maksudnya, tidak membaca dua ayat sekaligus atau tiga ayat tanpa berhenti. Jadi, berhenti pada setiap ayat.
c. Manakala melewati ayat tasbih, maka bertasbih. Jika melewati ayat permohonan, maka memohon. Jika melewati ayat perlindungan, maka meminta perlindungan.

Dalilnya, hadis Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam, beliau memulai surat Al-Baqarah, aku berkata dalam hati, “Mungkin beliau akan rukuk pada ayat ke 100.” Namun beliau melanjutkan. Aku berkata lagi dalam hati, “Beliau akan shalat dengan surat tersebut dalam satu rakaat.” Namun beliau melanjutkan. Aku berkata, “beliau rukuk dengannya.” Namun beliau memulai surat An-Nisaa` dan membacanya sampai tuntas, lalu membaca surat Ali Imran sampai tuntas. Beliau membaca dengan tenang, jika beliau melewati ayat yang padanya terdapat tasbih, beliau bertasbih, jika melewati ayat permohonan, maka beliau memohon, jika melewati ayat perlindungan, maka beliau meminta perlindungan. Kemudian beliau rukuk, lalu membaca, “Subhaana rabbiyal ‘adziim.” Lamanya rukuk beliau hampir sama dengan berdirinya. Kemudian beliau berkata, Sami’allaahu liman hamidah.” Lalu beliau berdiri cukup lama, hampir sama dengan ketika rukuk. Lalu beliau sujud dan membaca, Subhaana rabbiyal a’laa.” Sujud beliau hampir sama dengan berdirinya.”

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya, dari hadis Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha, ia ditanya tentang bacaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Beliau membaca ayat per ayat: bismillahir-rahmaanir-rahiim. Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin. Arrrahmaanir-rahiim. Maaliki yaumid-diin...

Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Beliau biasanya memotong-motong bacaannya, yaitu berhenti pada setiap ayat. Beliau mentartilkan bacaan surat, hingga surat yang terpanjang darinya. Beliau terkadang shalat dengan membaca satu ayat yang diulang-ulang sampai waktu subuh.” Ia juga berkata, “Beliau terkadang membaca dengan sirr dalam shalat malam, terkadang juga dengan jahar, beliau terkadang memperlama berdiri dan meringankannya, witir pada akhir malam (dan ini yang paling sering beliau lakukan), pada awalnya dan pada pertengahan malam.

7. Disunnahkan untuk salam pada setiap dua rakaat
Sebagaimana hadis Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Seseorang berdiri dan bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah shalat malam?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat malam dua-dua, dan jika engkau khawatir masuk waktu subuh, maka witirkanlah dengan satu rakaat.”

Maksud dua-dua adalah, shalat dua rakaat dua rakaat, salam setiap dua rakaat dan tidak shalat sekaligus empat rakaat. Sebagaimana dalam hadis Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang telah lalu, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa shalat antara selesai waktu isya hingga waktu fajar 11 rakaat, salam setiap dua rakaat dan witir dengan satu rakaat.”

8. Disunnahkan membaca surat tertentu pada 3 rakaat terakhir
Pada rakaat pertama membaca, “Sabbihisma rabbikal a’laa.” Pada rakaat kedua membaca, “Qul Yaa`ayyuhal kaafruun.” Pada rakaat ketiga membaca, "Qul Huwallaahu ahad.”

Dalilnya hadis Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa witir dengan sabbihisma rabbikal a’laa, qul yaa ayyuhal kaafruun dan qul huwal-laahu ahad.”

9. Disunnahkan melakukan qunut sewaktu-waktu Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kata ‘qunut’ bermakna berdiri, diam, terus-menerus beribadah, berdoa, bertasbih dan khusyuk.” Yang dimaksud disini adalah berdoa. Yaitu pada rakaat ketiga yang dibaca padanya surat al ikhlash. Qunut dalam witir hukumnya sunnah, terkadang dikerjakan terkadang tidak.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah memilih pendapat lebih utama untuk sering tidak dikerjakan. Alasannya: banyak hadis yang menerangkan tentang witir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Aisyah, Ummu Salamah, Ibnu Abbas, Hudhaifah dan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhum. Namun tidak disebutkan dalam hadis-hadis tersebut beliau melakukan qunut witir. Aisyah termasuk yang paling sering bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun demikian ia tidak menginformasikan bahwa beliau qunut dalam witirnya.

Masalah: apakah qunut valid dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau perbuatan beliau? Pendapat pertama: valid dari sabda dan perbuatan beliau. Mereka berdalil dengan,
Pendapat Pertama: dari perbuatan beliau, hadis Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut pada witir sebelum rukuk.”

Kedua: dari sabda beliau, hadis Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepadaku bacaan yang aku baca dalam witir, “Allahummah-dinii fiman hadaita, wa ‘aafnii fiman ‘aafaita, wa tawallanii fiman tawallaita, wa baarik lii fiman a’thaita, wa qinii syarra maa qadhaita, fa innaka taqdhii wa laa yuqdhaa ‘alaika, wa innahu laa yadzillu man maalaita, tabaarakta wa ta’aalaita.”

Pendapat kedua: tidak valid dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut witir baik dari sabdanya atau perbuatannya. Hadis Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu ‘anhu yang lalu, ia adalah hadis dhaif, dinilai dha’if oleh Imam Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnul Mundzir.

Hadis Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘anhu adalah hadis shahih, namun lafadz ‘qunut witir’ dalam hadis tersebut syadz, diriwayatkan ahlu sunan dari jalur Abu Ishaaq dari Buraid bin Abi Maryam dari Abul Hauraa dari Hasan.

Imam Ahmad Rahimahullah meriwayatkan hadis tersebut dari Yahya bin Sa’id, dari Syu’bah, dari Buraid bin Abi Maryam dengan lafadz, “Beliau mengajarkan kami doa ini: Allahummah-dinii fiman hadaita…” Mereka berkata, “Inilah yang mahfudz (benar dari sisi riwayat), karena Syu’bah lebih tsiqah dari semua yang meriwayatkan dari Buraid, maka riwayatkannya (Syu’bah) dikedepankan dari selainnya.

Ibnu Khuzaimah Rahimahullah berkata, “Hadis ini diriwayatkan oleh Syu’bah bin Hajjaj dari Buraid bin Abi Maryam dalam kisah tentang doa, namun tidak disebutkan qunut juga tidak disebutkan witir dan Syu’bah lebih hapal… andai hadis ini valid dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau memerintahkan untuk qunut dalam witir, atau beliau melakukan qunut dalam witir, maka tidak boleh bagiku menyelisihi hadis Nabi, Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun aku tidak mengetahui hal itu valid.”

Sebelumnya, Imam Ahmad Rahimahullah berkata, “Tidak sah dalam masalah ini satu hadis pun dari Nabi…” Pendapat yang kedua ini adalah yang lebih kuat, Wallahu a’lam. Akan tetapi valid dari para sahabat qunut dalam witir.

Atha ditanya tentang qunut, ia berkata, “Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya.” Valid dari Umar bin Khathab Radhiyallahu ‘anhu sebagaimana dalam riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi, beliau mengatakan, ‘Hadis hasan’, valid juga dari Ibnu Umar dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah.

Posting Komentar untuk "Mengupas Shalat Malamnya Nabi Saw"