Syarah Hadist Tentang Wali
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, shalawat dan salam buat Nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, semoga selawat dan salam juga terlimpahkan buat keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu, ia berkata : telah bersabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam : “Sesungguhnya Allah telah berfirman : "Barangsiapa yang memusuhi Wali-Ku, maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-Ku pasti Aku akan memberinya dan jika ia memohon perlindungan dari-Ku pasti Aku akan melindunginya.” (Hadits ini dirawikan Imam Bukhari dalam kitab shahihnya, hadits no: 6137).
Hadits ini disebut juga hadits Qudsi, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam meriwayatkannya langsung dari Allah, adapun perbedaan antara hadits Qudsi dengan hadits biasa ada beberapa pendapat, yang masyhur di kalangan para ulama adalah bahwa hadits Qudsi lafaz dan maknanya datang langsung dari Allah adapun hadits biasa lafaznya dari nabi, sedangkan maknanya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kemudian apa perbedaan antara hadits Qudsi dengan Al-Qur'an? Karena keduanya sama-sama datang dari Allah, baik lafazd maupun makna? Sebagian ulama menyebutkan: perbedaannya adalah Al-Qur'an mendapat pahala dalam segi membaca dan hal-hal lainnya, adapun hadits Qudsi mendapat pahala dengan memahami dan mengamalkannya.
Namun sebagian ulama meninggalkan dari mencari-cari perbedaan tersebut takut akan terjerumus kepada persoalan yang berlebih-lebihan yang akhirnya akan menyebabkan berbicara dalam agama tanpa ilmu. Wallahu a'lam bissawaab.
Sahabat yang merawikan hadits ini dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam adalah Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Nama beliau adalah Abdurrahman bin Shakhar Addausy, masuk Islam pada saat perang khaibar tahun ke 7 H dan meninggal dunia pada tahun 57 H.
Mengapa beliau sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits?
Pertama, berkat do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam kepadanya, agar setiap hadits yang ia dengar langsung hafal dan tidak lupa untuk selamanya.
Kedua, ia selalu bersama nabi semenjak berjumpa dengan beliau, ia tidak punya kesibukan lain kecuali mengambil ilmu dari nabi adapun para sahabat yang lain mereka mempunyai kesibukan untuk mengurus keluarga dan harta mereka.
Imam Az-Dzahaby Rahimahullah menyebutkan dalam kitab Siyyarnya, “Seseorang bertanya kepada Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu'anhu: kenapa Abu Hurairah lebih banyak mengetahui hadits dari kalian? Kami mendengar darinya apa yang tidak kami dengar dari kalian? Apakah ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan Rasulullah? Jawab Thalhah: adapun tentang ia mendengar sesuatu yang tidak kami dengar, saya tidak meragukannya, saya akan menerangkan hal tersebut padamu, kami memiliki keluarga, binatang ternak dan pekerjaan, kami datang menemui Rasululllah hanya pada dua penghujung hari (pagi dan sore).
Sedangkan ia (Abu Hurairah) adalah orang yang miskin, sebagai tamu dipintu rumah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, tangannya selalu bersama tangan Rasulullah, maka kami tidak meragukan apa yang ia dengar sekalipun kami tidak mendengarnya dari Rasulullah, engkau tidak akan menemukan seseorang akan tetap baik bila ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.”
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu sendiri pun telah menjelaskan tentang hal tersebut ketika berita seperti ini dari seseorang sampai kepadanya: aku datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pada saat perang khaibar, umurku saat itu sudah melewati 30 tahun. Aku tetap tinggal bersamanya sampai beliau meninggal dunia, aku ikut bersamanya kerumah-rumah istri beliau, aku selalu membantu beliau, aku selalu ikut perang dan haji bersama beliau dan tetap selalu shalat di belakang beliau, maka oleh sebab itu (demi Allah) aku menjadi orang yang paling tahu dengan hadits-hadits beliau.
Kandungan Hadist
Hadits di atas mengandung beberapa pembahasan penting, diantaranya adalah :
Pertama:
Tentang Al-wala’ wal bara’ (loyalitas dan berlepas diri)
Dalam potongan awal dari hadits diatas disebutkan : َ"Barangsiapa yang memusuhi Wali-Ku, maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya.” Maksud dari memusuhi dalam hadits ini adalah memusuhi karena alasan agama dan iman bukan karena urusan duniawi, adapun pertikaian yang disebabkan oleh urusan duniawi selama tidak sampai pada puncak kebencian tidak mendapat ancaman yang disebutkan Allah dalam hadits ini.
Karena perselisihan dan pertikaian juga terjadi dikalangan sebahagian para sahabat, sebab mereka adalah manusia biasa yang juga memiliki kesalahan dan kealpaan, tapi pertikaian tersebut tidak sampai pada tingkat kebencian, bahkan secepatnya mereka saling memaafkan, sebagaimana yang pernah terjadi antara Abu bakar Radhiyallahu 'anhu dan Umar Radhiyallahu 'anhu atau pertikaian tersebut timbul karena ijtihad mereka masing-masing sebagaimana apa yang terjadi dalam perang shiffin dan jamal.
Adapun kebencian yang didasari oleh kebencian kepada agama dan keimanan adalah merupakan dosa besar dan bahkan bisa menyebabkan seseorang keluar dari Islam, sebagaimana kebencian orang-orang ahlu bid'ah kepada Ahlussunnah atau kebencian orang-orang munafikin dan kafirin kepada umat Islam.
Begitu pula setiap orang yang tidak menginginkan Islam dan sunnah tersebar dikalangan umat manusia, apalagi bila sampai pada tingkat menangkap atau menculik dan membunuh tokoh-tokoh ahlussunnah.
Orang yang paling nomor satu dalam memusuhi wali-wali Allah adalah kaum Rafidhah (Syi'ah), mereka sangat memusuhi orang-orang yang berada digaris depan dan paling mulia dari seluruh wali Allah setelah para nabi dan rasul yaitu para sahabat yang mulia.
Mereka orang-orang rafidhah mengkafirkan dan mencaci para sahabat yang telah berjuang dijalan Allah untuk tegaknya agama Islam ini dengan harta dan jiwa raga mereka.
Imam As-Sya'bi Rahimahullah mengungkapkan bahwa kebencian Rafidhah kepada para wali Allah melebihi kebencian yahudi dan nasrani kepada para wali Allah: ”Bila engkau bertanya kepada seorang yahudi siapa generasi terbaik agama kamu? Ia akan menjawab: sahabat Musa 'alaihissalam. Begitu pula bila engkau bertanya kepada seorang nasrani: siapa generasi terbaik agamamu? Ia akan menjawab: sahabat Isa 'alaihissalam. Tapi bila engkau bertanya kepada seorang syi'ah rafidhah: siapa generasi yang terburuk dalam agama ini? Ia akan menjawab: sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam.”
Oleh sebab itu Imam Abu Hatim Ar-Raazy Rahimahullah berkata, “Sebetulnya mereka itu ingin membatalkan Al-Qur'an dan Sunnah, tapi Mereka tidak mampu, maka mereka ingin mencela orang yang menyampaikan Al-Quran dan sunnah supaya bisa membatalkan Al-Qur'an dan Sunnah, tapi mereka (orang syi'ah) itu lebih berhak untuk dicela, mereka itu adalah orang-orang zindiq.”
Cara ini pulalah yang ditempuh oleh berbagai kelompok yang melenceng dari sunnah sekarang ini, kita tidak perlu menyebutkan nama mereka masing-masing, tapi cukup kita kenal ciri mereka, karena nama bisa bertukar disetiap tempat dan disetiap saat, bila kita melihat ada kelompok yang melecehkan ulama atau pengikut sunnah itulah mereka.
Kenapa mereka menempuh cara ini? Karena bila generasi dijauhkan dari ulamanya maka saat itu mereka baru bisa memasukkan ide-ide atau pemikiran mereka, oleh sebab itu mereka selalu melecehkan atau meremehkan para penegak sunnah, supaya bila label jelek ini sudah tertanam dalam benak seseorang, saat itu ia tidak akan mau lagi mendengar nasihat para ulama, maka saat itu pula berbagai pemikiran dapat dimasukkan kepada mereka.
Sekarang kita kembali kepada topik utama kita, yaitu apakah pengertian wali, siapa wali Allah itu? bermacam pandangan telah mewarnai bursa kewalian, ada yang berpandangan bila seseorang telah memiliki hal-hal yang luar biasa berarti dia telah sampai pada tingkat kewalian, seperti tidak luka bila dipukul dengan senjata tajam dan sebagainya.
Sebagian orang berpendapat bila sudah pakai baju jubah dan surban berarti sudah wali, sebagian lain berpendapat bila seseorang suka berpakaian kusut dan bersendal cepit berarti ia wali, ada pula yang berpandangan bila seseorang kerjanya berdzikir selalu berarti dia wali dan banyak lagi pendapat-pendapat tentang perwalian yang tidak dapat kita sebutkan satu persatu disini.
Maka para wali Allah tersebut memiliki perberbedaan dalam tingkat keimanan mereka, sebagaimana mereka memiliki tingkat yang berbeda pula dalam kedekatan mereka dengan Allah, maka dapat disimpulkan disini bahwa wali-wali Allah terbagi kepada dua golongan, yaitu :
Golongan Pertama: Assaabiquun Al-muqarrabuun (barisan terdepan dari orang-orang yang dekat dengan Allah). Yaitu mereka yang melakukan hal-hal yang mandub (sunnah) serta menjauhi hal-hal yang makruh disamping melakukan hal-hal yang wajib.
Sebagaimana lanjutan hadits: “Dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya.”
Golongan Kedua: Ashaabulyamiin (golongan kanan). Yaitu mereka hanya cukup dengan melaksanakan hal-hal yang wajib saja serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, tanpa melakukan hal-hal yang mandub atau menjauhi hal-hal yang makruh.
Sebagaimana yang disebutkan dalam potongan hadits diatas : "Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya.”
Kedua golongan ini disebutkan Allah dalan firman-Nya : “Adapun jika ia termasuk golongan yang dekat (kepada Allah), maka dia memperoleh ketentraman dan rizqi serta syurga kenikmatan dan adapun jika ia termasuk golongan kanan, maka keselamatan bagimu dari golongan kanan.” (Q.S. Al-Waaqi'ah/56 : 88-91).
Kemudian para wali itu terbagi pula menurut amalan dan perbuatan mereka kepada dua bagian; wali Allah dan wali syetan, maka untuk membedakan diantara kedua jenis wali ini perlu kita melihat amalan seorang wali tersebut, bila amalannya benar menurut Al-Qur'an dan Sunnah maka dia adalah wali Allah, sebaliknya bila amalannya penuh dengan kesyirikan dan segala bentuk bid'ah, maka dia adalah wali syetan.
Berikut kita akan rinci ciri-ciri dari kedua jenis wali tersebut.
Ciri-Ciri Wali Allah
Allah telah menyebutkan ciri para wali-Nya dalam firmannya, “Ingatlah; sesungguhnya para wali-wali Allah, mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa sedih, yaitu orang-orang yang beriman lagi bertaqwa.” (Q.S. Yunus/10 : 62-63).
Ciri pertama, beriman, artinya keimanan yang yang dimilikinya tidak dicampuri oleh berbagai bentuk kesyirikan, keimanan tersebut tidak hanya sekedar pengakuan tetapi keimanan yang mengantarkan kepada bertaqwa, landasan keimanan yang pertama adalah Dua kalimat syahadat, maka orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat atau melakukan hal-hal yang membatalkan kalimat tauhid tersebut adalah bukan wali Allah.
Seperti menjadikan wali sebagai perantara dalam beribadah kepada Allah atau menganggap bahwa hukum selain Islam adalah sama atau lebih baik dari hukum Islam atau berpendapat semua agama adalah benar atau berkeyakinan bahwa kenabian dan kerasulan tetap ada sampai hari kiamat bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam bukan penutup segala rasul dan nabi.
Ciri kedua, bertaqwa, artinya ia melakukan apa yang diperintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ini yaitu melakukan hal-hal yang diwajibkan agama, ditambah lagi dengan amalan-amalan sunnah, maka oleh sebab itu, kalau ada orang yang mengaku sebagai wali, tapi ia meninggalkan beramal kepada Allah, maka ia termasuk pada jenis wali yang kedua yaitu wali syetan atau melakukan ibadah-ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya, baik dalam bentuk shalat maupun dzikir dan lainnya.
Ciri-Ciri Wali Syetan
Adapun ciri wali syetan adalah orang yang mengikuti kemauan syetan, mulai dari melakukan syirik dan bid'ah sampai berbagai bentuk kemaksiatan, diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam hadits ini yaitu memusuhi wali-wali Allah.
Banyak cara setan dalam menyesatkan wali-walinya diantaranya adalah bila ada orang yang melarang berdo'a atau meminta dikuburan wali, syetan langsung membisikkan kepadanya bahwa orang ini tidak menghormati wali.
Sebagaimana Allah terangkan dalam firman-Nya, bahwa syetan juga memberikan wahyu kepada para wali-wali mereka : “Sesungguhnya syetan-syetan itu mewahyukan kepada wali-wali mereka untuk membantahmu, jika kamu mentaati mereka sesungguhnya kamu termasuk menjadi orang-orang musyrikin.” (Q.S. Al-An'aam/6 : 121).
Sesungguhnya menghormati wali bukanlah dengan berdo'a di kuburannya, justru ini adalah perbuatan yang dibenci wali itu sendiri karena telah menyekutukannya dengan Allah, manakah yang lebih tinggi kehormatan seorang wali disisi Allah dengan kehormatan seorang nabi?
Jelas nabi lebih tinggi, jangankan meminta kepada wali kepada nabi sekalipun tidak boleh berdoa, jangankan saat setelah mati diwaktu hidup saja nabi tidak mampu mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain setelah mati!.
Kalau hal itu benar tentulah para sahabat akan berbondong-bondong kekuburan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam saat mereka kekeringan atau kelaparan atau saat diserang oleh musuh, tapi kenyataan justru sebaliknya, saat paceklik terjadi di Madinah, Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu mengajak kaum muslimin melakukan shalat istikharah kemudian menyuruh Abbas bin Abdul Muthalib Radhiyallahu 'anhu berdoa, karena kedekatannya dengan nabi, bukannya Umar Radhiyallahu 'anhu meminta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.
Karena kehidupan beliau di alam barzah tidak bisa disamakan dengan kehidupan di alam dunia, kemudian bentuk lain dari cara syetan dalam menyesatkan wali-walinya adalah dengan memotivasi seseorang melakukan amalan-amalan bid'ah, sebagai contoh kisah yang amat masyhur yaitu kisah Sunan Kalijaga, kita tidak mengetahui apakah itu benar dilakukan beliau atau kisah yang didustakan atas nama beliau, namun kita tidak mengingkari kalau memang beliau seorang wali, yang kita cermati adalah kisah kewalian beliau yang jauh dari tuntunan sunnah, yaitu beliau bersemedi selama empat puluh hari ditepi sebuah sungai kemudian di akhir persemedian beliau mendapatkan karomah.
Kejanggalan pertama dari kisah ini adalah bagaimana beliau melakukan shalat, kalau beliau shalat berarti telah meninggalkan shalat berjama'ah dan shalat jum'at? Adakah petunjuk dari Rasulullah Saw untuk mencari karomah dengan persemedian seperti ini? Dengan meninggalkan shalat atau meninggalkan shalat berjamaah dan shalat jum'at.
Banyak orang berasumsi bila seseorang memiliki atau dapat melakukan hal-hal yang luar biasa dianggap sebagai wali, padahal belum tentu, boleh jadi itu adalah tipuan atau sihir, atas bantuan syetan dan jin setelah ia melakukan apa yang diminta oleh jin dan syetan tersebut.
Seperti ada orang yang bisa terbang atau berjalan diatas air atau tahan pedang atau bisa memberi tahu tentang sesuatu yang hilang, oleh sebab itu yang perlu dicermati dari setiap orang memiliki hal-hal yang serupa adalah bagaimana amalannya apakah amalannya sehari-hari menurut sunnah atau tidak?
Sebagaimana dikatakan Imam Syafi'i Rahimahullah: “Bila kamu melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang diudara, maka ukurlah amalannya dengan sunnah.” Karena syetan bisa membawa seseorang untuk terbang atau memberitahu para walinya sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain.
Sebagaimana Dajjal yang akan datang diakhir zaman memiliki kekuatan yang luar biasa, begitu pula para kaum musyrikin dapat mendengar suara dari berhala yang mereka sembah, pada hal itu adalah suara syetan dan banyak sekali kejadian yang luar biasa dimiliki oleh orang-orang yang sesat begitu pula orang yang murtad dan sebagainya.
Yang kesemuanya adalah atas tipuan syetan, sebagaimana yang diriwayatkan dalam kisah seorang nabi palsu Mukhtar bin Abi 'Ubaid, yang mengaku sebagai nabi, dia mengaku bahwa dia menerima wahyu, lalu seseorang berkata kepada Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhuma dan Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhuma : "Sesungguhnya Mukhtar mengaku diturunkan kepadanya wahyu? Dua orang sahabat tersebut menjawab: benar, kemudian salah seorang dari mereka membaca firman Allah Azza wa Jalla : “Maukah kamu Aku beritakan kepada siapa turunnya para syetan? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak dosa.” (Q.S. Asy-Syu'araa/26 : 221-222).
Dan yang lain membaca firman Allah, “Dan sesungguhnya para syetan itu mewahyukan kepada wali-wali mereka untuk membantahmu.” (Q.S. Al-An'aam/6 : 121).
Oleh sebab itu bila seseorang mendapat ilham dia tidak boleh langsung percaya sampai ia mengukur kebenarannya dengan Al-Qur'an dan Sunnah, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan dalam sebuah hadits : “Sesungguhnya dalam diri anak Adam terdapat bisikan dari syetan dan bisikan dari malaikat.” (H.R. At-Tirmizi No : 2988).
Berkata Abu Sulaiman Ad-Daraany Rahimahullah : “Boleh jadi terbetik di hatiku apa yang terbetik di hati mereka (orang-orang sufi) maka aku tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi dari kitab dan sunnah.”
Beberapa kesalahpahaman tentang kewalian yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yaitu :
1. Berasumsi bahwa seorang wali itu maksum (terbebas) dari segala kesalahan, sehingga mereka menerima segala apa yang dikatakan wali, banyak orang memahami, bahwa seseorang tidak akan pernah sampai kepada puncak kewalian kecuali ia (maksum) terbebas dari segala kesalahan, hal ini sangat menjauhi kebenaran yang terdapat dalam Islam.
Sesungguhnya para ulama telah sepakat tiada yang maksum dari umat manusia kecuali para nabi dan rasul dalam hal menyampai wahyu yang mereka terima. Nabi kita Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : “Setiap anak adam adalah pasti bersalah dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mau bertaubat.” (H.R. At-Tirmizi No : 2499).
Pemahaman seperti ini telah menyeret banyak orang kedalam kesesatan, dan lebih sesat lagi ada yang berpendapat, bahwa wali lebih tinggi derajatnya dari nabi sebagaimana pandangan orang-orang rafidhah (syi'ah) dan sebagian dari orang-orang sufi, oleh sebab itu kebanyakan mereka mengkultuskan sang kyai atau sang guru dan membenarkan kesesatan yang dilakukan oleh sang kyai atau sang guru sekalipun perbuatan tersebut nyata-nyata melanggar Al-Qur'an dan Sunnah.
Bahkan dikisahkan bila seorang murid melihat sang guru minum khamar, maka sebenarnya ia minum susu, tapi yang salah adalah penglihatan sang murid karena matanya berlumuran dosa, begitulah orang-orang sufi melakukan doktrin dalam menyebarkan kesesatan mereka.
2. Berasumsi bahwa seorang wali itu mesti memiliki karomah (kekuatan luar bisa). Bentuk kedua dari kesalah pahaman dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa mereka mesti memiliki karomah yang nyata bahkan bisa dipertontonkan kepada khalayak ramai.
Seperti tahan pedang dan sebagainya, tapi sebetulnya itu semua adalah tipuan syetan, seorang wali boleh jadi ia diberi karomah yang nyata boleh jadi tidak, tapi karomah yang paling besar disisi wali adalah istiqomah dalam menjalankan ajaran agama, bukan berarti kita mengingkari adanya karomah, tapi yang kita ingkari adalah asumsi banyak orang bila ia tidak memiliki karomah berarti ia bukan wali.
Oleh sebab itu Abu Ali Al-Jurjaani Rahimahullah berpesan : “Jadilah engkau penuntut istiqomah bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih condong untuk mencari karomah dan Tuhanmu menuntut darimu istiqomah.”
Betapa banyaknya para sahabat yang merupakan orang terdepan dalam barisan para wali tidak memiliki karomah, begitu pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai hamba yang paling mulia disisi Allah waktu berhijrah beliau mengendarai onta bukan mengendarai angin, begitu pula dalam perperangan beliau memakai baju besi, bahkan pernah cedera pada waktu perang uhud.
Karomah bukan sebagai syarat mutlak bagi seorang wali, karomah diberikan Allah kepada seseorang boleh jadi sebagai cobaan dan ujian baginya atau untuk menambah keyakinannya kepada ajaran Allah atau pertolongan dari Allah terhadap orang tersebut dalam kesulitan.
Para ulama menyebutkan seseorang yang tidak butuh kepada karomah lebih baik dari orang yang butuh kepada karomah, bahkan kebanyakan para ulama salaf bila mereka mendapat karomah justru mereka bersedih dan tidak merasa bangga karena mereka takut bila hal tersebut adalah istidraaj (tipuan).
Begitu pula mereka takut bila di akhirat kelak tidak lagi menerima balasan amalan mereka setelah mereka menerima waktu didunia dalam bentuk karomah, begitu pula bila mereka di beri karomah, mereka justru menyembunyikannya bukan memamerkannya atau berbangga diri dihadapan orang lain.
3. Berasumsi bahwa seorang wali dapat mengetahui hal-hal yang ghaib. Bentuk kesalahpahaman ketiga dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa mereka dapat mengetahui hal-hal yang ghaib.
Asumsi ini sangat bertolak belakang dengan firman Allah Azza wa Jalla, “Di sisi-Nya (Allah) segala kunci-kunci yang ghaib, tiada yang dapat mengetahuinya kecuali Dia (Allah).” (Q.S. Al-An'aam/6 : 59).
Dan firman Allah Azza wa Jalla, “Katakanlah: tiada seorangpun dilangit maupun di bumi yang dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali Allah.” (Q.S. An-Naml/27 : 65).
Termasuk para nabi dan rasul sekalipun tidak dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali sebatas apa yang diwahyukan Allah kepada mereka, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla kepada Nabi kita Shallallahu 'alaihi wasallam, “Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa disisiku gudang-gudang rizqi Allah dan akupun tidak mengetahui hal yang ghaib.” (Q.S. Al-An'aam/6 : 50).
Dan firman Allah Azza wa Jalla : “Katakanlah: aku tidak memiliki untuk diriku manfaat dan tidak pula (menolak) mudharat dan jika seandainya aku mengetahui hal yang ghaib tentulah aku akan (memperoleh) kebaikan yang amat banyak dan tidak akan pernah ditimpa kejelekkan.” (Q.S. Al-A'raaf/7 : 188).
Asumsi sesat ini telah menjerumuskan banyak manusia kejalan kesyirikan, sehingga mereka lebih merasa takut kepada wali dari pada takut kepada Allah atau meminta dan berdo'a kepada wali yang sudah mati yang mereka sebut dengan tawassul, yang pada hakikatnya adalah kesyirikan semata, karena meminta kepada makhluk adalah syirik.
Tidak ada bedanya dengan kesyirikan yang dilakukan oleh kaum Nuh Alaihissalam dan orang-orang kafir Quraisy pada zaman jahiliyah, dengan argumentasi yang sama, bahwa mereka para wali itu orang suci yang akan menyampaikan doa mereka pada Allah.
Hal inilah yang dilakukan kaum musyrikin sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firmannya : “Ingatlah milik Allah-lah agama yang suci (dari syirik) dan orang-orang mengambil wali (pelindung) selain Allah berkata: kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Q.S. Az-Zumar/29 : 3).
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu, ia berkata : telah bersabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam : “Sesungguhnya Allah telah berfirman : "Barangsiapa yang memusuhi Wali-Ku, maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-Ku pasti Aku akan memberinya dan jika ia memohon perlindungan dari-Ku pasti Aku akan melindunginya.” (Hadits ini dirawikan Imam Bukhari dalam kitab shahihnya, hadits no: 6137).
Hadits ini disebut juga hadits Qudsi, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam meriwayatkannya langsung dari Allah, adapun perbedaan antara hadits Qudsi dengan hadits biasa ada beberapa pendapat, yang masyhur di kalangan para ulama adalah bahwa hadits Qudsi lafaz dan maknanya datang langsung dari Allah adapun hadits biasa lafaznya dari nabi, sedangkan maknanya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kemudian apa perbedaan antara hadits Qudsi dengan Al-Qur'an? Karena keduanya sama-sama datang dari Allah, baik lafazd maupun makna? Sebagian ulama menyebutkan: perbedaannya adalah Al-Qur'an mendapat pahala dalam segi membaca dan hal-hal lainnya, adapun hadits Qudsi mendapat pahala dengan memahami dan mengamalkannya.
Namun sebagian ulama meninggalkan dari mencari-cari perbedaan tersebut takut akan terjerumus kepada persoalan yang berlebih-lebihan yang akhirnya akan menyebabkan berbicara dalam agama tanpa ilmu. Wallahu a'lam bissawaab.
Sahabat yang merawikan hadits ini dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam adalah Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Nama beliau adalah Abdurrahman bin Shakhar Addausy, masuk Islam pada saat perang khaibar tahun ke 7 H dan meninggal dunia pada tahun 57 H.
Mengapa beliau sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits?
Pertama, berkat do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam kepadanya, agar setiap hadits yang ia dengar langsung hafal dan tidak lupa untuk selamanya.
Kedua, ia selalu bersama nabi semenjak berjumpa dengan beliau, ia tidak punya kesibukan lain kecuali mengambil ilmu dari nabi adapun para sahabat yang lain mereka mempunyai kesibukan untuk mengurus keluarga dan harta mereka.
Imam Az-Dzahaby Rahimahullah menyebutkan dalam kitab Siyyarnya, “Seseorang bertanya kepada Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu'anhu: kenapa Abu Hurairah lebih banyak mengetahui hadits dari kalian? Kami mendengar darinya apa yang tidak kami dengar dari kalian? Apakah ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan Rasulullah? Jawab Thalhah: adapun tentang ia mendengar sesuatu yang tidak kami dengar, saya tidak meragukannya, saya akan menerangkan hal tersebut padamu, kami memiliki keluarga, binatang ternak dan pekerjaan, kami datang menemui Rasululllah hanya pada dua penghujung hari (pagi dan sore).
Sedangkan ia (Abu Hurairah) adalah orang yang miskin, sebagai tamu dipintu rumah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, tangannya selalu bersama tangan Rasulullah, maka kami tidak meragukan apa yang ia dengar sekalipun kami tidak mendengarnya dari Rasulullah, engkau tidak akan menemukan seseorang akan tetap baik bila ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.”
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu sendiri pun telah menjelaskan tentang hal tersebut ketika berita seperti ini dari seseorang sampai kepadanya: aku datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pada saat perang khaibar, umurku saat itu sudah melewati 30 tahun. Aku tetap tinggal bersamanya sampai beliau meninggal dunia, aku ikut bersamanya kerumah-rumah istri beliau, aku selalu membantu beliau, aku selalu ikut perang dan haji bersama beliau dan tetap selalu shalat di belakang beliau, maka oleh sebab itu (demi Allah) aku menjadi orang yang paling tahu dengan hadits-hadits beliau.
Kandungan Hadist
Hadits di atas mengandung beberapa pembahasan penting, diantaranya adalah :
Pertama:
Tentang Al-wala’ wal bara’ (loyalitas dan berlepas diri)
Dalam potongan awal dari hadits diatas disebutkan : َ"Barangsiapa yang memusuhi Wali-Ku, maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya.” Maksud dari memusuhi dalam hadits ini adalah memusuhi karena alasan agama dan iman bukan karena urusan duniawi, adapun pertikaian yang disebabkan oleh urusan duniawi selama tidak sampai pada puncak kebencian tidak mendapat ancaman yang disebutkan Allah dalam hadits ini.
Karena perselisihan dan pertikaian juga terjadi dikalangan sebahagian para sahabat, sebab mereka adalah manusia biasa yang juga memiliki kesalahan dan kealpaan, tapi pertikaian tersebut tidak sampai pada tingkat kebencian, bahkan secepatnya mereka saling memaafkan, sebagaimana yang pernah terjadi antara Abu bakar Radhiyallahu 'anhu dan Umar Radhiyallahu 'anhu atau pertikaian tersebut timbul karena ijtihad mereka masing-masing sebagaimana apa yang terjadi dalam perang shiffin dan jamal.
Adapun kebencian yang didasari oleh kebencian kepada agama dan keimanan adalah merupakan dosa besar dan bahkan bisa menyebabkan seseorang keluar dari Islam, sebagaimana kebencian orang-orang ahlu bid'ah kepada Ahlussunnah atau kebencian orang-orang munafikin dan kafirin kepada umat Islam.
Begitu pula setiap orang yang tidak menginginkan Islam dan sunnah tersebar dikalangan umat manusia, apalagi bila sampai pada tingkat menangkap atau menculik dan membunuh tokoh-tokoh ahlussunnah.
Orang yang paling nomor satu dalam memusuhi wali-wali Allah adalah kaum Rafidhah (Syi'ah), mereka sangat memusuhi orang-orang yang berada digaris depan dan paling mulia dari seluruh wali Allah setelah para nabi dan rasul yaitu para sahabat yang mulia.
Mereka orang-orang rafidhah mengkafirkan dan mencaci para sahabat yang telah berjuang dijalan Allah untuk tegaknya agama Islam ini dengan harta dan jiwa raga mereka.
Imam As-Sya'bi Rahimahullah mengungkapkan bahwa kebencian Rafidhah kepada para wali Allah melebihi kebencian yahudi dan nasrani kepada para wali Allah: ”Bila engkau bertanya kepada seorang yahudi siapa generasi terbaik agama kamu? Ia akan menjawab: sahabat Musa 'alaihissalam. Begitu pula bila engkau bertanya kepada seorang nasrani: siapa generasi terbaik agamamu? Ia akan menjawab: sahabat Isa 'alaihissalam. Tapi bila engkau bertanya kepada seorang syi'ah rafidhah: siapa generasi yang terburuk dalam agama ini? Ia akan menjawab: sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam.”
Oleh sebab itu Imam Abu Hatim Ar-Raazy Rahimahullah berkata, “Sebetulnya mereka itu ingin membatalkan Al-Qur'an dan Sunnah, tapi Mereka tidak mampu, maka mereka ingin mencela orang yang menyampaikan Al-Quran dan sunnah supaya bisa membatalkan Al-Qur'an dan Sunnah, tapi mereka (orang syi'ah) itu lebih berhak untuk dicela, mereka itu adalah orang-orang zindiq.”
Cara ini pulalah yang ditempuh oleh berbagai kelompok yang melenceng dari sunnah sekarang ini, kita tidak perlu menyebutkan nama mereka masing-masing, tapi cukup kita kenal ciri mereka, karena nama bisa bertukar disetiap tempat dan disetiap saat, bila kita melihat ada kelompok yang melecehkan ulama atau pengikut sunnah itulah mereka.
Kenapa mereka menempuh cara ini? Karena bila generasi dijauhkan dari ulamanya maka saat itu mereka baru bisa memasukkan ide-ide atau pemikiran mereka, oleh sebab itu mereka selalu melecehkan atau meremehkan para penegak sunnah, supaya bila label jelek ini sudah tertanam dalam benak seseorang, saat itu ia tidak akan mau lagi mendengar nasihat para ulama, maka saat itu pula berbagai pemikiran dapat dimasukkan kepada mereka.
Sekarang kita kembali kepada topik utama kita, yaitu apakah pengertian wali, siapa wali Allah itu? bermacam pandangan telah mewarnai bursa kewalian, ada yang berpandangan bila seseorang telah memiliki hal-hal yang luar biasa berarti dia telah sampai pada tingkat kewalian, seperti tidak luka bila dipukul dengan senjata tajam dan sebagainya.
Sebagian orang berpendapat bila sudah pakai baju jubah dan surban berarti sudah wali, sebagian lain berpendapat bila seseorang suka berpakaian kusut dan bersendal cepit berarti ia wali, ada pula yang berpandangan bila seseorang kerjanya berdzikir selalu berarti dia wali dan banyak lagi pendapat-pendapat tentang perwalian yang tidak dapat kita sebutkan satu persatu disini.
Pengertian Wali Dalam Islam
Wali secara etimologi berarti: dekat. Adapun secara terminologi menurut pengertian sebagian ulama ahlussunah, wali adalah orang yang beriman lagi bertaqwa tetapi bukan nabi, sebagian ulama lain berpendapat bahwa seluruh orang yang beriman lagi bertaqwa adalah disebut wali Allah dan wali Allah yang paling utama adalah para nabi, yang paling utama diantara para nabi adalah para rasul, yang paling utama diantara para rasul adalah Ulul 'azmi, yang paling utama diantara Ulul 'azmi adalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam.Maka para wali Allah tersebut memiliki perberbedaan dalam tingkat keimanan mereka, sebagaimana mereka memiliki tingkat yang berbeda pula dalam kedekatan mereka dengan Allah, maka dapat disimpulkan disini bahwa wali-wali Allah terbagi kepada dua golongan, yaitu :
Golongan Pertama: Assaabiquun Al-muqarrabuun (barisan terdepan dari orang-orang yang dekat dengan Allah). Yaitu mereka yang melakukan hal-hal yang mandub (sunnah) serta menjauhi hal-hal yang makruh disamping melakukan hal-hal yang wajib.
Sebagaimana lanjutan hadits: “Dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya.”
Golongan Kedua: Ashaabulyamiin (golongan kanan). Yaitu mereka hanya cukup dengan melaksanakan hal-hal yang wajib saja serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, tanpa melakukan hal-hal yang mandub atau menjauhi hal-hal yang makruh.
Sebagaimana yang disebutkan dalam potongan hadits diatas : "Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya.”
Kedua golongan ini disebutkan Allah dalan firman-Nya : “Adapun jika ia termasuk golongan yang dekat (kepada Allah), maka dia memperoleh ketentraman dan rizqi serta syurga kenikmatan dan adapun jika ia termasuk golongan kanan, maka keselamatan bagimu dari golongan kanan.” (Q.S. Al-Waaqi'ah/56 : 88-91).
Kemudian para wali itu terbagi pula menurut amalan dan perbuatan mereka kepada dua bagian; wali Allah dan wali syetan, maka untuk membedakan diantara kedua jenis wali ini perlu kita melihat amalan seorang wali tersebut, bila amalannya benar menurut Al-Qur'an dan Sunnah maka dia adalah wali Allah, sebaliknya bila amalannya penuh dengan kesyirikan dan segala bentuk bid'ah, maka dia adalah wali syetan.
Berikut kita akan rinci ciri-ciri dari kedua jenis wali tersebut.
Ciri-Ciri Wali Allah
Allah telah menyebutkan ciri para wali-Nya dalam firmannya, “Ingatlah; sesungguhnya para wali-wali Allah, mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa sedih, yaitu orang-orang yang beriman lagi bertaqwa.” (Q.S. Yunus/10 : 62-63).
Ciri pertama, beriman, artinya keimanan yang yang dimilikinya tidak dicampuri oleh berbagai bentuk kesyirikan, keimanan tersebut tidak hanya sekedar pengakuan tetapi keimanan yang mengantarkan kepada bertaqwa, landasan keimanan yang pertama adalah Dua kalimat syahadat, maka orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat atau melakukan hal-hal yang membatalkan kalimat tauhid tersebut adalah bukan wali Allah.
Seperti menjadikan wali sebagai perantara dalam beribadah kepada Allah atau menganggap bahwa hukum selain Islam adalah sama atau lebih baik dari hukum Islam atau berpendapat semua agama adalah benar atau berkeyakinan bahwa kenabian dan kerasulan tetap ada sampai hari kiamat bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam bukan penutup segala rasul dan nabi.
Ciri kedua, bertaqwa, artinya ia melakukan apa yang diperintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ini yaitu melakukan hal-hal yang diwajibkan agama, ditambah lagi dengan amalan-amalan sunnah, maka oleh sebab itu, kalau ada orang yang mengaku sebagai wali, tapi ia meninggalkan beramal kepada Allah, maka ia termasuk pada jenis wali yang kedua yaitu wali syetan atau melakukan ibadah-ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya, baik dalam bentuk shalat maupun dzikir dan lainnya.
Ciri-Ciri Wali Syetan
Adapun ciri wali syetan adalah orang yang mengikuti kemauan syetan, mulai dari melakukan syirik dan bid'ah sampai berbagai bentuk kemaksiatan, diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam hadits ini yaitu memusuhi wali-wali Allah.
Banyak cara setan dalam menyesatkan wali-walinya diantaranya adalah bila ada orang yang melarang berdo'a atau meminta dikuburan wali, syetan langsung membisikkan kepadanya bahwa orang ini tidak menghormati wali.
Sebagaimana Allah terangkan dalam firman-Nya, bahwa syetan juga memberikan wahyu kepada para wali-wali mereka : “Sesungguhnya syetan-syetan itu mewahyukan kepada wali-wali mereka untuk membantahmu, jika kamu mentaati mereka sesungguhnya kamu termasuk menjadi orang-orang musyrikin.” (Q.S. Al-An'aam/6 : 121).
Sesungguhnya menghormati wali bukanlah dengan berdo'a di kuburannya, justru ini adalah perbuatan yang dibenci wali itu sendiri karena telah menyekutukannya dengan Allah, manakah yang lebih tinggi kehormatan seorang wali disisi Allah dengan kehormatan seorang nabi?
Jelas nabi lebih tinggi, jangankan meminta kepada wali kepada nabi sekalipun tidak boleh berdoa, jangankan saat setelah mati diwaktu hidup saja nabi tidak mampu mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain setelah mati!.
Kalau hal itu benar tentulah para sahabat akan berbondong-bondong kekuburan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam saat mereka kekeringan atau kelaparan atau saat diserang oleh musuh, tapi kenyataan justru sebaliknya, saat paceklik terjadi di Madinah, Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu mengajak kaum muslimin melakukan shalat istikharah kemudian menyuruh Abbas bin Abdul Muthalib Radhiyallahu 'anhu berdoa, karena kedekatannya dengan nabi, bukannya Umar Radhiyallahu 'anhu meminta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.
Karena kehidupan beliau di alam barzah tidak bisa disamakan dengan kehidupan di alam dunia, kemudian bentuk lain dari cara syetan dalam menyesatkan wali-walinya adalah dengan memotivasi seseorang melakukan amalan-amalan bid'ah, sebagai contoh kisah yang amat masyhur yaitu kisah Sunan Kalijaga, kita tidak mengetahui apakah itu benar dilakukan beliau atau kisah yang didustakan atas nama beliau, namun kita tidak mengingkari kalau memang beliau seorang wali, yang kita cermati adalah kisah kewalian beliau yang jauh dari tuntunan sunnah, yaitu beliau bersemedi selama empat puluh hari ditepi sebuah sungai kemudian di akhir persemedian beliau mendapatkan karomah.
Kejanggalan pertama dari kisah ini adalah bagaimana beliau melakukan shalat, kalau beliau shalat berarti telah meninggalkan shalat berjama'ah dan shalat jum'at? Adakah petunjuk dari Rasulullah Saw untuk mencari karomah dengan persemedian seperti ini? Dengan meninggalkan shalat atau meninggalkan shalat berjamaah dan shalat jum'at.
Banyak orang berasumsi bila seseorang memiliki atau dapat melakukan hal-hal yang luar biasa dianggap sebagai wali, padahal belum tentu, boleh jadi itu adalah tipuan atau sihir, atas bantuan syetan dan jin setelah ia melakukan apa yang diminta oleh jin dan syetan tersebut.
Seperti ada orang yang bisa terbang atau berjalan diatas air atau tahan pedang atau bisa memberi tahu tentang sesuatu yang hilang, oleh sebab itu yang perlu dicermati dari setiap orang memiliki hal-hal yang serupa adalah bagaimana amalannya apakah amalannya sehari-hari menurut sunnah atau tidak?
Sebagaimana dikatakan Imam Syafi'i Rahimahullah: “Bila kamu melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang diudara, maka ukurlah amalannya dengan sunnah.” Karena syetan bisa membawa seseorang untuk terbang atau memberitahu para walinya sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain.
Sebagaimana Dajjal yang akan datang diakhir zaman memiliki kekuatan yang luar biasa, begitu pula para kaum musyrikin dapat mendengar suara dari berhala yang mereka sembah, pada hal itu adalah suara syetan dan banyak sekali kejadian yang luar biasa dimiliki oleh orang-orang yang sesat begitu pula orang yang murtad dan sebagainya.
Yang kesemuanya adalah atas tipuan syetan, sebagaimana yang diriwayatkan dalam kisah seorang nabi palsu Mukhtar bin Abi 'Ubaid, yang mengaku sebagai nabi, dia mengaku bahwa dia menerima wahyu, lalu seseorang berkata kepada Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhuma dan Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhuma : "Sesungguhnya Mukhtar mengaku diturunkan kepadanya wahyu? Dua orang sahabat tersebut menjawab: benar, kemudian salah seorang dari mereka membaca firman Allah Azza wa Jalla : “Maukah kamu Aku beritakan kepada siapa turunnya para syetan? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak dosa.” (Q.S. Asy-Syu'araa/26 : 221-222).
Dan yang lain membaca firman Allah, “Dan sesungguhnya para syetan itu mewahyukan kepada wali-wali mereka untuk membantahmu.” (Q.S. Al-An'aam/6 : 121).
Oleh sebab itu bila seseorang mendapat ilham dia tidak boleh langsung percaya sampai ia mengukur kebenarannya dengan Al-Qur'an dan Sunnah, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan dalam sebuah hadits : “Sesungguhnya dalam diri anak Adam terdapat bisikan dari syetan dan bisikan dari malaikat.” (H.R. At-Tirmizi No : 2988).
Berkata Abu Sulaiman Ad-Daraany Rahimahullah : “Boleh jadi terbetik di hatiku apa yang terbetik di hati mereka (orang-orang sufi) maka aku tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi dari kitab dan sunnah.”
Beberapa kesalahpahaman tentang kewalian yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yaitu :
1. Berasumsi bahwa seorang wali itu maksum (terbebas) dari segala kesalahan, sehingga mereka menerima segala apa yang dikatakan wali, banyak orang memahami, bahwa seseorang tidak akan pernah sampai kepada puncak kewalian kecuali ia (maksum) terbebas dari segala kesalahan, hal ini sangat menjauhi kebenaran yang terdapat dalam Islam.
Sesungguhnya para ulama telah sepakat tiada yang maksum dari umat manusia kecuali para nabi dan rasul dalam hal menyampai wahyu yang mereka terima. Nabi kita Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : “Setiap anak adam adalah pasti bersalah dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mau bertaubat.” (H.R. At-Tirmizi No : 2499).
Pemahaman seperti ini telah menyeret banyak orang kedalam kesesatan, dan lebih sesat lagi ada yang berpendapat, bahwa wali lebih tinggi derajatnya dari nabi sebagaimana pandangan orang-orang rafidhah (syi'ah) dan sebagian dari orang-orang sufi, oleh sebab itu kebanyakan mereka mengkultuskan sang kyai atau sang guru dan membenarkan kesesatan yang dilakukan oleh sang kyai atau sang guru sekalipun perbuatan tersebut nyata-nyata melanggar Al-Qur'an dan Sunnah.
Bahkan dikisahkan bila seorang murid melihat sang guru minum khamar, maka sebenarnya ia minum susu, tapi yang salah adalah penglihatan sang murid karena matanya berlumuran dosa, begitulah orang-orang sufi melakukan doktrin dalam menyebarkan kesesatan mereka.
2. Berasumsi bahwa seorang wali itu mesti memiliki karomah (kekuatan luar bisa). Bentuk kedua dari kesalah pahaman dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa mereka mesti memiliki karomah yang nyata bahkan bisa dipertontonkan kepada khalayak ramai.
Seperti tahan pedang dan sebagainya, tapi sebetulnya itu semua adalah tipuan syetan, seorang wali boleh jadi ia diberi karomah yang nyata boleh jadi tidak, tapi karomah yang paling besar disisi wali adalah istiqomah dalam menjalankan ajaran agama, bukan berarti kita mengingkari adanya karomah, tapi yang kita ingkari adalah asumsi banyak orang bila ia tidak memiliki karomah berarti ia bukan wali.
Oleh sebab itu Abu Ali Al-Jurjaani Rahimahullah berpesan : “Jadilah engkau penuntut istiqomah bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih condong untuk mencari karomah dan Tuhanmu menuntut darimu istiqomah.”
Betapa banyaknya para sahabat yang merupakan orang terdepan dalam barisan para wali tidak memiliki karomah, begitu pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai hamba yang paling mulia disisi Allah waktu berhijrah beliau mengendarai onta bukan mengendarai angin, begitu pula dalam perperangan beliau memakai baju besi, bahkan pernah cedera pada waktu perang uhud.
Karomah bukan sebagai syarat mutlak bagi seorang wali, karomah diberikan Allah kepada seseorang boleh jadi sebagai cobaan dan ujian baginya atau untuk menambah keyakinannya kepada ajaran Allah atau pertolongan dari Allah terhadap orang tersebut dalam kesulitan.
Para ulama menyebutkan seseorang yang tidak butuh kepada karomah lebih baik dari orang yang butuh kepada karomah, bahkan kebanyakan para ulama salaf bila mereka mendapat karomah justru mereka bersedih dan tidak merasa bangga karena mereka takut bila hal tersebut adalah istidraaj (tipuan).
Begitu pula mereka takut bila di akhirat kelak tidak lagi menerima balasan amalan mereka setelah mereka menerima waktu didunia dalam bentuk karomah, begitu pula bila mereka di beri karomah, mereka justru menyembunyikannya bukan memamerkannya atau berbangga diri dihadapan orang lain.
3. Berasumsi bahwa seorang wali dapat mengetahui hal-hal yang ghaib. Bentuk kesalahpahaman ketiga dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa mereka dapat mengetahui hal-hal yang ghaib.
Asumsi ini sangat bertolak belakang dengan firman Allah Azza wa Jalla, “Di sisi-Nya (Allah) segala kunci-kunci yang ghaib, tiada yang dapat mengetahuinya kecuali Dia (Allah).” (Q.S. Al-An'aam/6 : 59).
Dan firman Allah Azza wa Jalla, “Katakanlah: tiada seorangpun dilangit maupun di bumi yang dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali Allah.” (Q.S. An-Naml/27 : 65).
Termasuk para nabi dan rasul sekalipun tidak dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali sebatas apa yang diwahyukan Allah kepada mereka, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla kepada Nabi kita Shallallahu 'alaihi wasallam, “Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa disisiku gudang-gudang rizqi Allah dan akupun tidak mengetahui hal yang ghaib.” (Q.S. Al-An'aam/6 : 50).
Dan firman Allah Azza wa Jalla : “Katakanlah: aku tidak memiliki untuk diriku manfaat dan tidak pula (menolak) mudharat dan jika seandainya aku mengetahui hal yang ghaib tentulah aku akan (memperoleh) kebaikan yang amat banyak dan tidak akan pernah ditimpa kejelekkan.” (Q.S. Al-A'raaf/7 : 188).
Asumsi sesat ini telah menjerumuskan banyak manusia kejalan kesyirikan, sehingga mereka lebih merasa takut kepada wali dari pada takut kepada Allah atau meminta dan berdo'a kepada wali yang sudah mati yang mereka sebut dengan tawassul, yang pada hakikatnya adalah kesyirikan semata, karena meminta kepada makhluk adalah syirik.
Tidak ada bedanya dengan kesyirikan yang dilakukan oleh kaum Nuh Alaihissalam dan orang-orang kafir Quraisy pada zaman jahiliyah, dengan argumentasi yang sama, bahwa mereka para wali itu orang suci yang akan menyampaikan doa mereka pada Allah.
Hal inilah yang dilakukan kaum musyrikin sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firmannya : “Ingatlah milik Allah-lah agama yang suci (dari syirik) dan orang-orang mengambil wali (pelindung) selain Allah berkata: kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Q.S. Az-Zumar/29 : 3).
Posting Komentar untuk "Syarah Hadist Tentang Wali"
Terimakasih atas kunjungan anda...