Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Mawarits Hukum Yang Sekarang Terabaikan

Pentingnya Ilmu Mawarits

Jika hukum-hukum syari’at, seperti Shalat, Zakat, Haji dan yang lainnya dijelaskan secara global oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala lalu diperinci oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Sunnah, sedangkan hukum mawarits diterangkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala secara terperinci di dalam Al-Qur’an.

Sebagai contoh, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Dirikanlah shalat dan tunaikan zakat…” (Q.S. Al-Baqarah/2: 43) atau ”Dan bagi Allah atas manusia untuk berhaji ke Baitullah, bagi siapa yang mampu” (Q.S. Ali Imran/3: 97), baru kemudian Sunnah menjelaskan tata caranya dengan detail.

Adapun pembagian harta warisan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan di awal dan di akhir surat An-Nisa, Allah sendiri yang langsung membagi warisan demi kemaslahatan mahluk-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan laki-laki memperoleh dua bagian dari perempuan, tidak ada seorangpun yang boleh menyangkal hukum dan peraturan-Nya, karena Dia-lah Dzat yang Maha Adil dan Bijaksana.


Sekilas Perbandingan pembagian harta Warisan Antara Adat Jahiliyah Dengan Islam

Pada zaman Arab Jahiliyah dahulu, harta warisan berpindah ketangan anak sulung si mayit atau kepada saudaranya atau pamannya sepeninggalnya, mereka tidak memberikan kepada wanita dan anak-anak.

Alasan mereka, karena wanita dan anak-anak tidak bisa memelihara keamanan dan tidak bisa berperang, sebagaimana yang berlaku pada kedua putri Sa’ad bin Rabi Radhiyallahu ‘anhu, bahwa paman mereka mengambil semua harta peninggalan ayah mereka, ketika permasalahan tersebut sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pamannya tersebut untuk memberi kemenakannya dua pertiga dan ibu mereka seperdelapan, lalu sisanya barulah dia ambil.

Ibnu Katsir Rahimahullah dalam tafsirnya berkata, “Orang-orang jahiliyah menjadikan seluruh pembagian kepada laki-laki, tidak kepada perempuan, oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka untuk berbagi sama dalam pembagian, kemudian melebihkan di antara dua kelompok dengan menjadikan laki-laki memperoleh dua bagian perempuan. Hal itu, karena laki-laki menanggung biaya nafkah, tanggungan, beban bisnis dan usaha, serta menanggung kesusahan, maka, layak dia memperoleh dua kali lipat dari bagian perempuan.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/433).
Pada sebagian suku di Indonesia, terutama yang mengambil nasab kepada ibu, misalnya di Minangkabau, mereka memberlakukan pembagian harta warisan kepada perempuan, karena tugas yang semestinya diemban oleh laki-laki, ternyata harus dibebankan kepada perempuan, mulai dari pengasuhan orang tua ketika lanjut usia, sampai pada pemberian uang saku untuk kemenakan dan famili.

Karena itu, suami dianjurkan (baca : diharuskan) tinggal di rumah orang tua perempuan dan merupakan aib bagi suami, jika ia tinggal satu rumah dengan orang tuanya sendiri, jika memang terpaksa harus tinggal di rumah orang tua, bahkan di sebagian daerah Minang, laki-laki dibeli dengan uang sebagaimana dibelinya barang.

Setelah itu, sang suami harus lebih banyak bertandang ke rumah orang tua isteri dari pada ke rumah orang tuanya sendiri, fakta seperti ini berlawanan dengan adat jahiliyah Arab yang menempatkan laki-laki sangat dominan dan diuntungkan dan sebaliknya, pada adat Minang ini, laki-laki selalu dirugikan.

Dikatakan oleh seorang ulama Minang, Buya Hamka Rahimahullah dalam salah satu karangannya: ”Jika ada laki-laki yang paling sengsara, maka dialah laki-laki Minang, bagaimana tidak, sewaktu dia masih kecil yang seharusnya dia mendapatkan nasihat dan keputusan dari orang tuanya dalam semua urusannya dari sekolah hingga menikah, itu semua diambil alih oleh mamaknya (paman dari pihak ibu), ketika dia telah menikah dia menjadi semenda dirumahnya sendiri, yang duduk harus di bawah dan di tepi-tepi, ketika sudah tua renta dan mulai pula sakit-sakitan, dia harus siap-siap untuk menyingkir karena pembagian rumah dan harta hanya untuk anak perempuan, maka terpaksalah dia tidur di surau dan kalau makan harus pergi ke lapau (kedai nasi).”

Ada pula pemikiran yang menyimpang, dengan mengusung isu persamaan gender yang awalnya didengungkan para orientalis barat, kemudian di negeri kita dikembangkan oleh orang-orang Islam sendiri yang sekulit dan satu bahasa dengan kita, pendapat aneh tersebut ialah, tentang pembagian mawarits harus disama ratakan antara laki-laki dan perempuan.

Perbedaan pembagian waris antara laki-laki dan perempuan, menurut mereka tidak adil, pendapat seperti ini telah lama dan banyak dilontarkan tokoh-tokoh Islam yang terkontaminasi oleh pemikiran orientalis, yang kemudian diikuti dan dikembangkan oleh kelompok yang menamakan diri Jaringan Islam Liberal.

Tentu saja, anggapan aneh seperti diatas tidak terbukti, karena syari’at Islam memberlakukan keadilan dan keseimbangan, dia sampaikan semua hak kepada pemiliknya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi setiap yang mempunyai hak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (Hadis Riwayat Abu Daud 3565, At-Tirmidzi 2/16, Ibnu Majah 2713 dan Al-Baihaqi 6/264).
Jika adat jahiliyah di luar syariat Islam hanya melihat kemaslahatan orang-orang kuat, maka Islam menjaga kemaslahatan orang-orang lemah, karena mereka yang layak dikasihi dan dilindungi, seperti disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya engkau lebih baik meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, daripada engkau biarkan mereka miskin meminta-minta kepada manusia.” (Hadist Riwayat Bukhari, Bab Wasiat/2 dan pada Imam Muslim, Bab Wasiat/5).

Islam juga tidak mengabaikan orang-orang kuat dan tidak menyia-nyiakan yang lemah, setiap orang yang telah memenuhi semua syarat dan tidak ada penghalang yang menghalanginya, maka dia berhak memperoleh warisan, baik dia besar maupun kecil, laki-laki maupun perempuan, lemah maupun kuat.

Jika adat jahiliyah hanya mendahulukan kepentingan orang yang dapat memberikan manfaat, tidak akan mendapatkan warisan kecuali yang ikut serta dalam berperang dan menjaga kehormatan atau yang menjaga orang tua dan yang menjaga tanah persukuan, maka dalam Islam tidak menapikan andil yang lain, bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan, ayah-ayah kalian dan anak-anak kalian tidak akan mengetahui mana yang lebih banyak manfaatnya. (Lihat An-Nisa ayat 11).

Dari paparan sekilas ini, kita dapat membuat kesimpulan dari ciri-cir khas tentang pembagian mawarits dalam Islam sebagaimana berikut ini :

1. Ketetapan warisan merupakan peraturan yang bersifat sosial dan mengikat bagi siapa saja yang telah bersaksi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb-nya dan Muhammad sebagai Rasul.

2. Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menempatkan setiap pemilik hak pada posisinya yang layak.

3. Dengan pembagian yang adil sesuai syariat tersebut, berarti Islam telah berusaha memperkuat jalinan persaudaraan dan memperkokohnya dengan tali silaturrahim, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : ”Dan orang-orang yang punya jalinan darah sebagian mereka lebih berhak dari sebagian yang lainnya, merupakan ketetapan dalam Kitab Allah.” (Lihat Al-Qur’an surat Al-Anfaal ayat 75).

4. Islam sangat mempedulikan kepemilikan individu, sehingga mendorong seseorang untuk berusaha sekuat tenaga, dengan harapan orang-orang yang dia cintai akan ikut merasakan manisnya hasil usahanya tersebut dan hal seperti ini tidak didapatkan pada masa jahiliyah Arab dan hukum adat lainnya.

5. Pembagian harta waris berdasarkan kebutuhan, semakin seseorang membutuhkan kepada harta warisan, semakin banyak pula dia memperolehnya, oleh karena itu, laki-laki memperoleh bagian lebih besar, karena laki-laki lebih membutuhkannya daripada perempuan.

Wallahu a'lam...

1 komentar untuk "Mawarits Hukum Yang Sekarang Terabaikan"

Terimakasih atas kunjungan anda...