Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Makna Sunnah Rasulullah Saw

Makna Sunnah Nabi Saw

Sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasul, baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan, sifat fsik atau sifat perangainya, secara etimologi, sunnah berarti ‘thariqah’ (jalan).

Makna ini ditunjukkan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaknya kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khulafa rasyidin yang mendapat petunjuk, pegang teguhlah dan gigitlah ia dengan gigi geraham.” (HR. Abu Dawud: 4607, At-Tirmidzi: 2676).

Demikian bunyi hadis yang diterima Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu, maka setiap hal yang selaras dengan jalan beliau, ia termasuk sunnahnya. Sunnah yang diperintahkan tersebut dapat berstatus mustahab (jika dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa) dan dapat pula berstatus wajib, tergantung kepada dalil-dalil yang menunjukkannya.

Di kalangan para ulama belakangan (mutaakhkhirin), sunnah lebih dikenal dengan arti mustahab atau mandub, terminologi ini yang banyak digunakan oleh para ulama usul dan fiqh, makna sunnah ini, adalah makna yang dimaksudkan ini.

Jika demikian, sunnah yang dimaksud disini adalah: Yang diperintahkan oleh pembuat Syariat bukan sebagai keharusan, dimana buah dari pengamalannya adalah bagi pelaksananya akan diganjar pahala dan orang yang meninggalkannya tidak akan mendapat siksa.

Beberapa contoh semangat salaf dalam sunnah:

1. Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya hadis Nu’man bin Salim, dari Amr bin Aus Radhiyallahu ‘anhuma, menceritakan kepadaku Anbasah bin Abi Sufyan berkata, aku mendengar Ummu Habibah Radhiyallahu ‘anha berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang shalat dua belas rakaat dalam satu hari satu malam, akan dibangunkan untuknya dengan rakaat-rakaat itu sebuah rumah di surga.” (HR. Imam Muslim: 1727).

Ummu Habibah berkata, “Aku tidak pernah meninggalkan rakaat-rakaat itu sejak aku mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anbasah juga berkata, “Aku tidak pernah meninggalkannya sejak aku mendengarnya dari Ummu Habibah.

Amr bin Aus juga berkata, “Aku tidak pernah meninggalkannya sejak aku mendengarnya dari Anbasah.” Nu’man bin Salim juga berkata, “Aku tidak pernah meninggalkannya sejak aku mendengarnya dari Amr bin Aus.”

2. Hadis Ali Radhiyallahu ‘anhu: Fathimah mengeluhkan bekas di tangannya akibat alat penumbuk gandum dan telah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang tawanan. Fathimah segera berangkat menemui beliau (untuk meminta seorang pembantu) namun tidak bertemu beliau, ia hanya bertemu dengan Aisyah dan menceritakannya kepada Aisyah. Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, Aisyah menceritakan perihal kedatangan Fathimah kepadanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang kepada kami saat kami telah berada di tempat tidur kami. Kami hendak bangkit, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tetaplah ditempat kalian berdua.” Beliau pun duduk di tengah-tengah kami, hingga aku dapat merasakan dinginnya kaki beliau di dadaku. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidakkah aku ajarkan kepada kalian sesuatu yang lebih baik dari apa yang kalian pinta? Jika kalian berdua hendak tidur, maka bertakbirlah 34 kali, bertasbihlah 33 kali, bertahmidlah 33 kali, itu lebih baik untuk kalian berdua daripada seorang pembantu.” (HR. Bukhari: 3705 dan Imam Muslim: 2727).

Dalam riwayat yang lain, Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak pernah meninggalkannya sejak aku mendengarnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ditanyakan kepada Ali, “Tidak juga malam perang Shifn?” Ali berkata, “Tidak, begitu juga pada malam perang Shifn.” (HR. Bukhari: 5362, Imam Muslim: 2727).

Sebagaimana diketahui bahwa malam Shifn adalah malam tragedi peperangan. Ali menjadi pemimpin pasukan dalam perang tersebut, namun demikian, ia tidak meninggalkan sunnah ini karena alasan sibuk.

3. Ibnu Umar sebelumnya biasa shalat jenazah, kemudian pergi dan tidak ikut mengantarkannya, ia menyangka bahwa seperti itulah sunnah dan ia tidak mengetahui keutamaan yang terdapat dalam perbuatan mengantarkan jenazah hingga dikebumikan, tatkala sampai kepadanya hadis Abu Hurairah, ia sangat menyesal karena telah terlewatkan sebuah sunnah. Renungkanlah apa yang dikatakannya?

Dari Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash, ia sedang duduk di sisi Abdullah bin Umar. Datanglah Khabbab dan berkata, “Wahai Abdullah bin Umar, tidakkah engkau mendengar perkataan Abu Hurairah? Ia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang pergi bersama jenazah dari rumahnya, kemudian menshalatkannya, lalu mengantarkannya sampai dikebumikan, maka pahala baginya adalah dua qirath, setiap qirath besarnya seperti gunung Uhud, adapun orang yang menshalatkannya lalu pulang, maka ia hanya mendapat pahala seperti satu gunung Uhud.”

Ibnu Umar mengutus Khabbab agar menemui Aisyah Ra untuk bertanya kepadanya perihal perkataan Abu Hurairah tersebut, lalu ia kembali kepadanya membawa kabar dari Aisyah. Ibnu Umar mengambil satu genggam tanah masjid dan membolak-balikkannya di tangannya, hingga datang sang utusan kepadanya dan berkata, “Aisyah berkata, “Abu Hurairah benar.” Seketika itu Ibnu Umar membanting tanah yang ada di tangannya, lalu berkata, “Sungguh kita telah melewatkan qirath-qirath yang banyak.” (HR. Bukhari: 1324 dan Imam Muslim: 945).

Nawawi Rahimahullah berkata, “Dalam kisah ini terdapat gambaran semangat para sahabat dalam ketaatan saat mereka mengetahuinya, dan merasa menyesal jika mereka terlewat darinya, walaupun karena sebelumnya mereka tidak mengetahui besarnya kedudukan suatu amalan tersebut.” (Al-Minhaj: 7/15).

4. Hadis Sa’id bin Jubair Radhiyallahu ‘anhu, seorang kerabat Abdullah bin Mughaffal melakukan khadzf, ia pun melarangnya seraya berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang khadzf, beliau bersabda, “Sesungguhnya ia tidak dapat melumpuhkan binatang buruan dan tidak juga dapat mengalahkan musuh, ia justru dapat memecahkan gigi atau melukai mata.” Namun kerabatnya itu tetap melakukannya lagi, sehingga Abdullah berkata, “Aku sampaikan kepadamu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal itu kemudian engkau tetap melakukan khadzf, aku tidak akan berbicara kepadamu lagi.” (HR. Bukhari: 5479 dan Imam Muslim: 1954).

Khadzf adalah: melempar dengan batu kecil atau biji kurma dan yang lainnya, biasanya diletakkan diantara dua jari telunjuk atau telunjuk dan ibu jari.

Contoh-contoh komitmen mereka terhadap sunnah dan penghormatan mereka kepadanya sangat banyak, tidak mengherankan, karena mereka adalah orang-orang yang sangat bersemangat kepada kebaikan.

Hal ini pula yang telah memberi pengaruh kepada orang-orang yang datang setelah mereka dari kalangan salaf dan generasi utama, sejarah telah mencatat untuk kita contoh-contoh yang menggugah jiwa untuk meniti jalan sunnah dari mereka yang mengikuti generasi sebelumnya dalam hal komitmen mereka terhadap sunnah.

Imam Ahmad Rahimahullah mendokumentasikan lebih dari 40.000 hadis dalam kitabnya ‘Al-Musnad’ dan ia pun telah mengamalkan semuanya. Ia berkata, “Tidaklah aku meninggalkan sebuah hadist melainkan aku telah mengamalkannya.” Tatkala ia membaca hadis, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah dihijamah dan memberi Abu Thibah (orang yang menghijamah Nabi) satu dinar, Imam Ahmad berkata, “Aku berhijamah, lalu aku beri orang yang telah menghijamahku uang satu dinar.” Satu dinar sama dengan 4 seperempat gram emas. Namun demi mengamalkan hadis, Imam Ahmad rela mengeluarkannya.

Kita memohon kepada Allah agar Dia berkenan menghidupkan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hati-hati kita, agar keutamaan, karunia dan kedekatan dengan Allah Azza wa jalla dapat teraih. Apapun sunnah Nabi-Nya yang telah ditinggalkan, maka mengikutinya akan membuat kita mendapatkan kemuliaan itiba’, cahaya hati dan kehidupannya.

Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Ibnu Atha berkata, “Barangsiapa yang membiasakan dirinya dengan adab-adab sunnah, Allah akan terangi hatinya dengan cahaya ma’rifah, tidak ada kedudukan yang lebih mulia dari mengikuti sang kekasih, dalam perintahnya, perbuatannya dan akhlaknya.” (Madariju As-Salikin: 2/644).

Ia juga berkata, “Engkau akan melihat orang yang selalu mengikuti perintah dan sunnah berbalut pakaian kehidupan dan cahaya, dengan keduanya ia mendapat kenikmatan, wibawa, kemuliaan dan penerimaan, yang tidak didapatkan oleh orang selain mereka.

Sebagaimana perkataan Hasan, “Seorang mukmin itu adalah orang yang dikaruniai kelezatan dan kewibawaan.” (Ijtima’ Al Juyusy Al-Islamiyyah: 1/8).

Posting Komentar untuk "Makna Sunnah Rasulullah Saw"