Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Tiga Derajat Itsar

Setelah kita membahas Pengertian Itsar, maka selanjutnya ada pula tiga derajat itsar, yaitu:

1. Kita lebih mengutamakan manusia daripada diri kita sendiri, dalam perkara yang tidak mengusik agama kita, tidak memotong jalan kita dan tidak merusak waktu kita.


Dengan kata lain, kita mendahulukan kemaslahatan mereka daripada kemaslahatan kita sendiri, seperti membuat mereka kenyang sekalipun kita harus lapar, memberikan pakaian kepada mereka sekalipun pakaian kita compang-camping, memberikan minuman kepada mereka sekalipun kita dahaga, selagi hal itu tidak berpengaruh terhadap munculnya penyimpangan yang tidak di perkenankan agama, tapi seperti itulah akhlak Nabi Saw yang semestinya kita teladani, seperti dengan memberikan seluruh harta kepada mereka, lalu engkau duduk-duduk saja dan menjadi beban bagi orang lain atau meminta-minta kepada orang lain.

Mengutamakan kemaslahatan orang lain namun justru merusak agama orang yang di utamakan, juga di cela di sisi Allah dan di tengah manusia.

Mengutamakan kemaslahatan manusia ini juga tidak boleh memutuskan perjalananmu kepada Allah, seperti mementingkan pergaulan dengan teman lalu engkau melupakan dzikir kepada Allah atau engkau sibuk mengurusi kelompokmu dan lalai ibadah kepada Allah.

Perumpamaan dirimu seperti seorang musafir yang bertemu seseorang di tengah perjalanan, lalu orang itu menghentikannya dan mengajaknya mengobrol ke sana ke mari, hingga musafir itu ketinggalan dari rombongannya.

Itsar ini dapat di lakukan dengan tiga cara, yaitu :
- Mengagungkan hak, siapa yang melihat besarnya hak yang harus di penuhi, tentu dia akan melaksanakannya, memperhatikan hak tersebut dan tidak akan menyia-nyiakannya, dia juga akan tahu bahwa jika dia tidak memenuhi hak itu sebagaimana mestinya, berarti dia belum mencapai derajat itsar.
- Membenci sifat kikir, sebab jika dia membenci kikir tentu bisa
mengutamakan kemaslahatan orang lain.
- Mencintai akhlak yang mulia, sejauh mana dia mencintai akhlak yang mulia, maka sejauh itu pula dia mengutamakan kemaslahatan orang lain.

2. Mengutamakan ridha Allah daripada ridha selain-Nya, sekalipun berat cobaannya, berat kesulitannya dan lemah usaha dan badannya. Artinya, seorang hamba harus berkehendak dan melakukan sesuatu yang di maksudkan untuk mendapatkan ridha-Nya sekalipun membuat manusia marah.

Ini merupakan derajat para Nabi, di atasnya lagi para Rasul dan di atasnya lagi Ulul-Azmi dan di atasnya lagi adalah Nabi kita Muhammad Saw, karena beliau menegakkan kehidupan untuk seluruh alam, harus memurnikan dakwah kepada Allah, menghadapi permusuhan orang-orang yang dekat dan jauh karena agama Allah. Beliau lebih mengutamakan ridha Allah daripada ridha manusia dalam segala segi, dan dalam hal ini beliau tidak peduli terhadap celaan orang-orang yang suka mencela.

Semua hasrat, kehendak dan niat semata tertuju pada ridha Allah, menyampaikan risalah-Nya, meninggikan kalimat-Nya dan memerangi musuh-musuh-Nya, sampai akhirnya agama Allah dapat mengalahkan semua agama, hujjah-Nya tegak di seluruh alam dan nikmat-Nya menjadi sempurna atas orang-orang Mukmin.

Cobaan memang besar pada awal mulanya, tapi jika tetap sabar, teguh dan maju terus, tentu cobaan itu akan berubah menjadi karunia dan rintangan berubah menjadi pertolongan, yang demikian ini seringkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari, selagi seseorang lebih mengutamakan ridha Allah daripada ridha manusia, mampu menahan diri dalam menghadapi cobaan dan sabar, niscaya Allah akan merubah cobaan dan rintangan itu menjadi kenikmatan, kegembiraan dan pertolongan, tergantung dari kadar ridhanya, merubah ketakutan menjadi rasa aman, keletihan menjadi ketenangan, ujian menjadi nikmat, kebencian menjadi cinta.

Ini merupakan sunnatullah yang tidak bisa di rubah-rubah, bahwa siapa yang lebih mengutamakan ridha manusia daripada ridha Allah, maka Allah akan murka kepadanya dan menghinakannya serta menyerahkan cobaan ke tangannya sendiri, sehingga hanya penyesalan yang akan dia dapatkan, sedangkan orang yang mengutamakan ridha Allah dengan terpaksa dan hati yang mengganjal, maka dia tidak akan meraih tujuan yang di kehendakinya dari manusia dan tidak mendapatkan ridha Allah.

Pasalnya, ridha manusia tidak terukur, tidak di perintahkan dan tidak bisa di prioritaskan, berarti ini adalah sesuatu yang mustahil kalau perlu engkau harus lebih banyak marah kepada mereka, jika mereka membencimu dan marah kepadamu, tapi engkau mendapatkan ridha Allah, maka itu lebih baik bagimu daripada mereka suka kepadamu tapi Allah tidak ridha kepadamu.

Jika engkau dihadapkan pada dua pilihan kemarahan, maka pilihlah kemarahan mereka asalkan engkau mendapatkan ridha Allah, karena boleh jadi mereka akan ridha kepadamu setelah itu.

Asy-Syafi'y pernah berkata, "Ridha manusia itu merupakan sasaran yang tidak bisa di ukur, maka ikutilah ridha yang mendatangkan kemaslahatan bagi dirimu." Sementara itu, tak ada kemaslahatan yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba kecuali dengan mementingkan ridha Allah daripada ridha selain-Nya.

3. Menisbatkan itsar kepada Allah dan bukan kepada dirimu.
Sebab orang yang terjun dalam itsar mengaku memiliki kekuasaan, kemudian dia harus meninggalkan kesaksian itsar itu, kemudian tidak merasa memiliki hak untuk meninggalkan atau mengerjakan. Artinya, Allahlah yang membuatmu bisa mengutamakan ridha Allah.

Jadi, seakan-akan engkau telah menyerahkan masalah ini kepada-Nya, jika selainmu yang engkau utamakan, berarti dialah yang lebih ber-hak dan bukan dirimu, apabila seorang hamba mengaku bisa mengutamakan selainnya, berarti dia mengaku memiliki kekuasaan, padahal kekuasaan yang hakiki adalah milik Allah dan Allahlah yang berkuasa atas segala sesuatu, jika hamba keluar dari pengakuan ini, berarti dia benar dalam itsar-nya.

Posting Komentar untuk "Tiga Derajat Itsar"