Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Mengenali Iradah Bersifat Laduni

Dalam rangka membangun sebab-sebab untuk mendapatkan Ilmu Laduni, bagian yang terpenting bagi seorang hamba adalah mengenali jenis iradah (kemauan) yang terbit dalam hatinya sendiri, dengan pengenalan itu supaya mereka dapat membedakan dengan pasti terhadap setiap kemauan yang terbit dari dalam hatinya itu.

Selanjutnya supaya mereka dapat memastikan pula bahwa kemauan yang terbit itu, sumbernya dari rahasia sumber Ilmu Laduni, bukan dari rekayasa akal, pikir, nafsu maupun bisikan syetan.

Untuk mengenali iradah-iradah itu, jalannya harus dengan melaksanakan latihan yang terbimbing (riyadhah). Memadukan antara dzikir dan fikir dalam pelaksanaan amal (wirid) yang di kondisikan dalam tujuan dan batasan waktu tertentu (mujahadah).


Selanjutnya mengkombinasikan ayat yang tersirat yang berupa buah pikir yang terbit dalam hati buah mujahadah dan riyadhoh yang di jalani dalam kesatuan amal yang berikutnya (tafakkur) dalam rangka mengadakan penelitian untuk mencari suatu kesimpulan di balik kejadian-kejadian yang ada dalam kehidupan yang sedang di hadapi.

Ketika hati seorang hamba telah terbiasa di tempa dengan latihan seperti tersebut diatas, yaitu melatih diri untuk meredam kemampuan basyariyah dengan kekuatan alam dzikir dan pikir, pada gilirannya buah dari latihan itu mereka akan dapat mengenali bisikan-bisikan (khatir) sebagai muassal timbulnya iradah yang selalu bergerak di dalam hatinya.

Diantara bisikan-bisikan (khatir) tersebut ada yang datangnya dari Allah Ta‘ala, yang berupa ilham spontan yang terbaca oleh matahati (bashirah), maka yang demikian itulah yang di sebut dengan sumber Ilmu Laduni. Kemudian, ketika seorang hamba semakin mengenali khatir-khatir yang di terbitkan oleh sumber Ilmu Laduni tersebut, semakin itu pula dia dapat memanfaatkan kemanfaatan hati (ruh)nya yang paling utama, yaitu sebagai tambang ilmu pengetahuan yang dinamis, aktual dan aplikatif yang memancar terus menerus tanpa pernah putus.

Itulah ilmu rasa (ilmu spiritual) yang berupa pengalaman-pengalaman pribadi secara ruhaniyah yang universal. Selanjutnya supaya potensi sumber Ilmu Laduni itu semakin berkembang dan kuat kebutuhan membaca literatur yang ada setelah yang demikian itu, baik membaca kitab maupun buku-buku, hanyalah untuk menguatkan dan mencocokkan pemahaman hati yang terlebih dahulu telah terbit di dalam hati tersebut, itu manakala pemahaman hati tersebut akan di sampaikan kepada orang lain, baik melalui tulisan maupun ucapan secara rasional ilmiyah.

Namun, apabila pemahaman hati tersebut tidak harus disampaikan kepada orang lain, maka itu merupakan kekayaan ilmiyah yang tiada tara yang akan menjadikan seorang hamba mampu berma‘rifat dengan Allah Ta‘ala. Sebab, dengan potensi sumber
Ilmu Laduni itu, matahari seorang hamba akan menjadi cemerlang sehingga mereka akan selalu mampu membaca rahasia yang ada di balik setiap kejadian yang di alami.

Adapun iradah-iradah tersebut adalah enam macam, yaitu :
1. Kemauan nafsu syahwat
2. Kemauan akal
3. Kemauan fikir
4. Kemauan hati
5. Kemauan ruh
6. Kemauan sirr atau rahasia.
Iradah-iradah itu adalah tanda-tanda kehidupan, sebab tanpa adanya iradah (kemauan) berarti orang sudah mati, dengan dorongan kemauan nafsu syahwat, seperti makan, minum dan melaksanakan hubungan suami istri, manusia mendatangi hajat kebutuhan hidup dan mengembangkan keturunan.

Dengan menggunakan akal, seperti membaca dan mendengarkan, manusia menyimpan data atau merekam ilmu pengetahuan, dengan fikir (bertafakkur) yaitu menganalisa atau memadukan ilmu yang satu dengan ilmu yang lain supaya manusia mendapatkan ilmu lagi yang baru.

Dengan hati untuk saling menyayangi sesama makhluk, dan dengan ruh untuk mencari Tuhannya, adapun yang di maksud dengan dorongan kemauan sirr atau rahasia adalah dorongan dari dalam diri manusia bagian keenam yang selain dari dorongan kemauan yang lima tersebut, yang kadang-kadang manusianya sendiri tidak banyak memahami dari mana datangnya asal sumber itu, meskipun mereka bisa merasakan keberadaannya.

Kemauan pertama sampai dengan kemauan kelima adalah indera-indera yang ada pada diri manusia, yang sejatinya asal kejadiannya adalah satu kemudian berkembang fungsi kemanfaatannya seiring dengan perkembangan hidup manusia menjadi lima, keadaan itu seperti pohon yang asal kejadiannya dari air, kemudian menjadi bibit, menjadi pohon, menjadi kembang, menjadi buah dan menjadi bibit kembali yang hakikat kejadiannya adalah dari air.

Manakala manusia masih mempergunakan lima inderanya (nafsu, akal, pikir, hati dan ruh), maka apapun yang di kerjakan manusia berarti masih berangkat dari kemauannya sendiri atau kemauan basyariyah, hanya saja kemauan itu terbit dari indera yang mana, dari kemauan nafsu atau kemauan akal atau kemauan fikir, atau kemauan hati atau kemauan ruh.

Contoh misal: Seseorang berbuat sesuatu kepada orang lain apapun bentuk perbuatannya itu, apabila perbuatan itu berangkat dari perwujudan kasih sayang kepada orang tersebut, berarti kemauan yang membangkitkan perbuatan itu adalah dorongan dari hatinya. Akan tetapi apabila kasih sayang kepada sesama tersebut atas dasar semata-mata mencari ridho Tuhannya, tidak di campuri dengan kemauan yang lain, tidak karena kepentingan urusan orang yang di sayangi maupun mengharapkan balasan kasih sayang dari orang yang di sayangi, maka yang mendorong perbuatan tersebut adalah kemauan ruh atau ruhaniyah.

Allah mengisyaratkan hal tersebut dengan firman-Nya : "Sesungguhnya kami memberi makan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan ridha Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih." (Q.S. 76/9).
Berbuat semata-mata karena ridha Allah itu bisa di laksanakan manakala seorang hamba di dalam melaksanakan amal perbuatan tersebut telah mampu meleburkan iradah haditsnya secara totalitas kepada kemauan dan urusan Allah Ta‘ala (iradah azaliah).

Artinya manusia itu telah mampu melaksanakan semacam meditasi di dalam setiap amal dan pekerjaan yang sedang di lakukan, mengembalikan kehendak dan tujuan kepada kehendak dan tujuan Allah di dalam amal sehingga tujuan amal tersebut akan menjadi sesuai dengan tujuan-Nya yang azaliah, maka selanjutnya perbuatan tersebut secara hakiki akan menjadi sesuai dengan
perbuatan-Nya yang azaliah pula, hasilnya, kemungkinan pada tingkat yang lebih dalam lagi akan menjadi sesuai pula. Yaitu kehendak perbuatan tersebut telah menyatu dengan kehendak dan
perbuatan Allah Ta‘ala yang azaliah.

Posting Komentar untuk "Mengenali Iradah Bersifat Laduni"