Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Zuhud dan Pengertiannya

Inilah cerita Hanzhalah bin Al-Kalib, salah seorang penulis Nabi Muhammad Saw : "Kami sedang berada bersama Nabi Saw, ia mengingatkan kami kepada syurga dan neraka, begitu jelasnya, sehingga seakan-akan aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, tapi ketika aku kembali ke keluargaku dan anak-anakku, aku tertawa dan bergembira, segera aku ingat apa yang terjadi tadi bersama Nabi Saw, aku keluar dan berjumpa dengan Abu Bakar Ra : “Aku munafik," kataku. Abu Bakar Ra bertanya : “Mengapa begitu?" “Aku berada bersama Nabi Saw, ia mengingatkan kami kepada syurga dan neraka, seakan-akan aku melihatnya, ketika aku meninggalkan Nabi Saw dan lalu bercengkerama dengan istri, anak dan urusan dunia lainnya, lupalah aku pada apa yang di sampaikan Nabi Saw."

Abu Bakar berkata : “Kami pun seperti itu." Aku mendatangi Nabi Saw dan menyebutkan apa yang kualami kepadanya, Rasulullah Saw bersabda : “Wahai Hanzhalah, seandainya kalian di tengah keluargamu sama seperti kalian berada bersamaku, malaikat akan bersalaman dengan kamu di tempat tidurmu dan di jalanan. Wahai Hanzhalah, sewaktu-waktu saja "sa‘atan sa'atan" (waktu tersingkapnya kegaiban atau mukasyafah)."

Riwayat ini bersama riwayat-riwayat lain yang sejenis di tulis dalam bab “Hasil Zuhud" (Tsamarat Az-Zuhd), kitab Mizan Al-Hikmah 4 : 261, bila kita merasakan kehidupan akhirat dan tidak terpukau dengan kehidupan dunia, seperti yang di rasakan oleh sahabat-sahabat Nabi Saw di hadapannya, para malaikat akan turun menyertai kita.

Tirai kegaiban akan di singkapkan, mereka akan menyalami kita, seraya berkata, "Kami akan melindungi kalian di dunia dan akhirat.” (Q.S. 41 : 31).

Alangkah indahnya pengalaman itu! Kita percaya kepada para malaikat (rukun iman kedua), tetapi tidak pernah menyaksikannya, tidak merasakan kehadirannya, apalagi memperoleh bantuannya. Malaikat itu makhluk gaib, ada tetapi tidak terasa, keterikatan kita dengan materi telah menyebabkan kita terlepas dari pengalaman gaib, lingkungan kita terbatas pada apa yang dapat kita amati, yang dapat kita ukur, yang dekat dengan kita.

Salah satu buah dari zuhud adalah memperluas lingkungan kita, zuhud membawa kita melintas alam syahadah dan memasuki alam gaib, zuhud menambah sahabat-sahabat kita, jauh lebih banyak dari onggokan materi di sekitar kita, dengan menggunakan istilah para sufi, zuhud mengantarkan kita pada alam mukasyafah.

Tetapi zuhud juga menghasilkan buah yang lain, kepada Abu Dzar, Ali bin Abi Thalib Ra berkata, “Barang siapa yang zuhud dalam dunia, tidak sedih karena kehinaannya dunia dan tidak ambisius untuk memperoleh kemuliaannya, Allah akan memberinya petunjuk tanpa melewati petunjuk makhluk-Nya. Dia akan mengajarinya ilmu tanpa ia mempelajarinya.

Allah mengukuhkan hikmah dalam hatinya dan mengeluarkan hikmah itu melalui lidahnya" (Al-Bihar 78: 63). Ali dalam riwayat ini menyebutkan ilmu yang di berikan Allah langsung, tanpa perantara makhluk-Nya, para sufi menyebutnya ilmu laduni.

Dalam epistemologi Islam, kita dapat memperoleh ilmu lewat pengamatan empiris (seperti sains) atau lewat perenungan rasional (seperti filsafat) atau melalui ajaran guru-guru kita, semua ilmu itu kita peroleh tentu saja pada hakikatnya dari Allah melalui makhluk-Nya, tapi kita juga dapat memperoleh ilmu langsung dari Dia Yang Maha Tahu.

Dia mengilhamkannya langsung ke dalam hati kita, ilmu itulah yang membuat seorang ibu gelisah dan merasakan anaknya dalam situasi yang berbahaya, tanpa seorang pun memberi tahunya, ilmu itu juga yang dapat menjelaskan mengapa orang-orang suci bisa tahu sebelum di beri tahu, di antara orang-orang yang di anugerahi ilmu laduni adalah mereka yang zuhud.

“Bila kalian zuhud," kata Ali bin Abi Thalib dalam riwayat lainnya (Ghurar Al-Hikam), "Kalian akan di bebaskan dari penderitaan dunia dan memperoleh kebahagiaan di kampung yang kekal (akhirat). "Apakah kita menderita hari ini? Apakah hidup kita terasa sesak, pedih dan kelabu, apakah kita gelisah, risau karena memikirkan banyak masalah, baik yang nyata maupun yang khayal, real or imagined, kita akan di bebaskan dari semuanya melalui zuhud, tapi apakah zuhud itu sebenarnya? Kata zuhud ini seperti yang di katakan oleh lbn Al-Qayyim'Al-Jawziy yang mendaftar sejumlah definisi tentang zuhud dari para ulama (Lihat Madarij Al-Salikin 2: 9-13), tidak mungkin kita memerinci semua definisi itu, marilah kita memerhatikan beberapa saja di antaranya.

Ali bin Abi Thalib Ra menjelaskan : “Zuhud tersimpul dalam dua kalimat dalam Al-Quran, supaya kamu tidak bersedih karena apa yang lepas dari tanganmu dan tidak bangga dengan apa yang di berikan kepadamu." Ini sesuai dengan yang di maksudkan Al-Qur'an (Lihat pada Q.S. 57 : 23), siapa yang tidak bersedih karena apa yang luput darinya dan tidak bersuka ria karena apa yang di milikinya, ia adalah orang yang zuhud."

Dari tafsir ayat yang di kemukakan sahabat yang di sebut Nabi Saw sebagai “pintu kota ilmu" ini, kita dapat melihat dua karakteristik orang yang zuhud (zahid).

Pertama, “zahid tidak menggantungkan kebahagiaan hidupnya pada apa yang di milikinya." Para psikolog eksistensialis bercerita tentang dua pola hidup, pola memiliki dan pola menjadi, bila kita bahagia karena kita memiliki mobil bagus, rumah mewah, kedudukan basah, status sosial tinggi dan kita menderita ketika kita kehilangan itu (sebagian atau apalagi seluruhnya).

Bila kita memilih pola memiliki, kita tidak berbeda dengan anak kecil yang mernbeli petasan. la menyuruh kawannya untuk membakar petasan itu. Ia menutup telinganya ketika petasan itu meledak, tapi ia senang, karena petasan itu rniliknya, kepunyaannya. Kawan saya mempunyai rumah besar di sebuah perbukitan yang indah. Ia sendiri tinggal di Jakarta, ia hanya mengunjungi rumahnya itu hampir sekali setahun. Ia jarang menggunakannya yang mendiami rumah itu, yang mandi di kolam renangnya setiap hari, yang mempergunakan semua fasilitas di dalamnya adalah pembantunya (yang di bayarnya untuk menikmati semua kesenangan itu), tapi kawan saya tetap berbahagia, karena ia bisa berkata, “Rumah megah itu kepunyaanku.” Baginya yang menjadi persoalan bukan penggunaan tetapi pemilikan, ada sepasang suami-istri yang hidup sederhana, ketika keduanya meninggal, barulah keluarganya tahu, bahwa mereka memiliki deposito di bank dalam jumlah ratusan juta, mereka tidak pernah menggunakan uang itu, juga bunganya kecuali untuk keperluan yang mendesak, mereka sesungguhnya dapat melancong ke luar negeri, menghabiskan masa tuanya untuk menikmati kehidupan atau mereka dapat memberikan hartanya untuk membantu orang-orang yang menderita, memberikan beasiswa bagi anak-anak cerdas yang tidak mampu atau melakukan amal-amal sosial lainnya, sehingga hidup mereka bermakna, mereka tidak melakukan itu, mereka menyimpan uang berikut bunganya di bank.

Kenikmatan mereka bukan pada penggunaan tetapi pada pemilikan, inilah pola memiliki, inilah lawan sifat zuhud, zuhud adalah pola "hidup menjadi." Zahid tidak memperoleh kebahagiaan dari pemilikan, alangkah rendahnya kehidupan bila kebahagiaan bergantung pada benda-benda mati , alangkah rentannya kita pada berbagai persoalan, bila hati kita di letakkan pada benda-benda yang kita miliki, kita marah ketika mobil kita tergores oleh tukang becak, kita sakit hati ketika deposito kita tidak dapat kita tarik, kita bermuram-durja ketika keluarga kita menjauhi kita, berpendirian bahwa, kalau sesuatu atau seseorang tidak kita miliki, maka kita menderita kemalangan, kebahagiaan kita sangat di tentukan oleh apa-apa yang di luar kita, bukan oleh kita sendiri, diri kita sekarang menjadi robot yang sepenuhnya di tentukan oleh lingkungan.

Seorang zahid tidaklah membuang semua yang di milikinya, tetapi ia menggunakan semuanya itu untuk mengembangkan dirinya, kebahagiaannya tidak terletak pada benda-benda mati, tetapi pada peningkatan kualitas hidupnya (psikologis dan spiritual), ia bahagia karena ia berhasil menjadi apa yang ia dapat menjadi, He is happy because he becomes what he is capable of becoming Kedua, “kebahagiaan seorang zahid tidak lagi terletak pada hal-hal yang material, tetapi pada dataran spiritual."

Bila kita mempelajari psikologi perkembangan, kita akan melihat, bahwa manusia menyenangi hal-hal yang berbeda sesuai dengan pertumbuhan kepribadiannya.

Sigmund Freud bercerita tentang tiga fase dalam pertumbuhan anak, pada fase pertama, anak memperoleh kesenangan melalui mulutnya (fase oral). Ia memperoleh kesenangan ketika mengisap susu ibunya, juga ketika memasukkan benda-benda ke dalam mulutnya.

Pada fase kedua, ia memperoleh kesenangan ketika mengeluarkan apa saja dari anusnya (fase anal). Anak dapat berlama-lama di kamar mandi, karena di situ ia memperoleh kenikmatan. Pada fase ketiga, ia memperoleh kesenangan dari permainan dengan alat kelaminnya (fase genital), soal ini anda boleh setuju atau tidak dengan teori Freud, tapi ia menunjukkan adanya perkernbangan dalam tingkat kesenangan manusia, makin tinggi tingkat perkembangan kepribadian, makin non fisikal sifat kesenangannya, kita makin dewasa bila kita memperoleh kebahagiaan dari hal-hal spiritual seperti memperoleh ilmu, beramal untuk hari akhirat atau mendekati yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Orang zahid menemukan kebahagiaan pada hal-hal yang ruhaniah, pada tingkat kepribadian yang tinggi, sekarang, di manakah kita berada? Lihat saja di mana terletak kebahagiaan kita, di manakah terletak kebahagiaan kita? Will Durant, penulis puluhan jilid The Story of Civilization, mencoba rnenjawab pertanyaan ini dengan mengunjungi perpustakaan-perpustakaan dunia, dengan tekun ia menelaah tulisan para filosof dan orang-orang bijak, bertahun-tahun ia tidak menemukan di mana kebahagiaan itu, sampai ia menyaksikan peristiwa yang sangat menggetarkan hatinya, waktu itu ia baru saja kembali dari perjalanan jauh. la keluar dari bandara bersama banyak orang lain.

Di seberang jalan ia melihat seorang perempuan dengan bayi kecil dalam dekapannya melambaikan tangan. Seorang laki-laki berteriak, menyeruak di tengah orang banyak dan melesat menyeberangi jalan. Ia sama sekali tidak menghiraukan lalu-lintas yang padat. la tidak mendengar bunyi klakson mobil yang memperingatkannya. la lari menuju perempuan itu, mula-mula ia mengecup istrinya, kemudian memeluk dan menciumi bayi merah itu. Pada wajah sepasang suami-istri itu, Will Durant melihat ekskpresi indah yang tidak terlukiskan. “Sekarang aku menemukan di mana letak kebahagiaan itu" kata Durant dengan kepuasan, Archimides ketika meneriakkan “Eureka!” (Aku sudah menemukannya).

Bagi Durant, kebahagiaan terletak pada pertemuan di antara orang-orang yang saling mencinta, bagi Haram, salah seorang qari (pembaca Al-Qur'an) Rasulullah Saw, kebahagiaan tidak terletak di situ. Pada suatu hari Abu Bara’, pemimpin sebuah kabilah di Nejed, datang ke Madinah. Nabi Saw mengajaknya masuk Islam, dengan halus ia menolak tawaran Nabi Saw, tetapi memohon agar Nabi Saw mengirimkan para qari-nya untuk mengajari mereka Al-Qur'an.

Tujuh puluh orang sahabat pilihan di kirim ke Nejed, di Bir Ma‘unah para sahabat berhenti, Haram mulai berdakwah, la menyampaikan ayat-ayat Al-Qur'an dengan begitu bersemangat, sehingga ia tidak menyadari bahwa orang-orang Nejed telah mengepungnya. Tiba-tiba tubuhnya tersentak. Ia melihat ujung tombak keluar dari rongga dadanya. Darah membersit. Haram menyauk darah itu dengan kedua telapak tangannya dan mengusapkannya ke wajahnya seraya berkata,“Fuztu wa Rabbi! Ka ‘bah ” (Alangkah bahagianya aku, demi Tuhan yang Memelihara Ka‘bah). Bagi Haram, kebahagiaan terletak dalam kematian karena menegakkan keyakinan, puluhan tahun kemudian, Husain, cucu Rasulullah Saw, bersimbah darah di Padang Karbala. Sebelum maut menjemputnya, ia berkata, "Aku tidak melihat kematian kecuali sebagai kebahagiaan."

Bila Durant menganggap kebahagiaan terletak pada pertemuan dengan keluarga setelah perjalanan jauh, Husain dan Haram menemukan kebahagiaan dalam berpisah dengan dunia untuk berjumpa dengan Allah Swt.

Walaupun kasih-sayang pada keluarga mempunyai nilai yang lebih tinggi dari kecintaan pada benda-benda, kebahagiaan Durant masih terletak di dataran rendah dunia, sedangkan Imam Husain dan Haram, kebahagiaan sudah tidak lagi terikat pada dunia, kebahagiaan kini berada pada dataran tinggi ruhani, sesungguhnya pandangan kita tentang kebahagiaan mencerminkan tingkat keruhanian kita sendiri, demikianlah sekelumit arti, makna dan definisi zuhud yang di maksudkan dalam ilmu tasawuf atau sufi.

Ulama yang lain berkata, "Dunia dan akhirat adalah dua keadaan batiniah hati anda, yang lebih mendekatkan dan berkaitan dengan kehidupan sebelum mati adalah dunia."

Apa-apa yang berkaitan dengan kehidupan sesudah mati adalah ‘akhirat’, jadi, apa saja yang memberikan kesenangan, kenikmatan dan pemenuhan kepuasan sebelum mati adalah ‘dunia‘ bagimu." Walhasil, orang zahid adalah orang yang hidup di dunia, tetapi tidak meletakkan hatinya di dunia, mereka bekerja di dunia untuk akhirat, Ali bin Abi Thalib Ra berkata, “Orang-orang zahid adalah mereka yang berada di dunia, tetapi tidak mendunia."

Posting Komentar untuk "Zuhud dan Pengertiannya"