Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

HAJI SEBAIKNYA JUGA SEBAGAI PENYAMBUNG PERSAUDARAAN KAUM MUSLIMIN

Pada tahun keenam Hijriah, Nabi Muhammad Saw bermaksud melakukan ibadah haji, jama'ah haji yang pertama ini berhenti dulu di Hudaibiyah untuk memulai ihram, Makkah waktu itu masih di kuasai oleh kaum musyrik, walaupun Nabi Saw menegaskan bahwa kedatangannya hanya untuk berhaji, berat bagi mereka untuk menyaksikan seorang warga yang pernah di usir datang dengan segala kebesaran, mereka memandang bahwa haji Nabi Saw bukan sekedar ritual, tetapi politis.
Melihat permusuhan yang di tampakkan oleh orang Makkah, Nabi Saw mengadakan taklimat kilat, para sahabat bersumpah setia untuk membela Nabi Saw, ini merupakan suatu komitmen politik yang penting, sumpah setia ini di kenal sebagai Bay‘atur-Ridhwan.
Ketegangan antara kedua belah pihak berakhir ketika Rasul Allah mernbuat Perjanjian Hudaibiyah, setahun kemudian, sesuai dengan perjanjian itu, Nabi Saw sekali lagi datang untuk melakukan umrah, penduduk Makkah menyingkir ke bukit-bukit sambil mengintip apa yang bakal di lakukan oleh umat Islam.
Setelah perjalanan jauh, tentu saja para sahabat memasuki Makkah dalam keadaan lelah, tetapi Nabi Saw menyuruh para sahabatnya untuk melakukan thawaf sambil berlari, ketika melakukan sa'i, para sahabat di suruh berlari juga, Nabi Saw ingin menunjukkan kekuatan umat Islam, semacam show of force, setahun setelah itu, Rasulullah Saw dan para pengikutnya memang berhasil menaklukkan Makkah tanpa perlawanan berarti, apa yang di lakukannya pada 'Umrah AI-Qadha telah berdampak politik yang besar.
Pada tahun 10 Hijriah, Nabi Muhammad Saw melakukan ibadah Haji Akbar, karena haji ini merupakan haji terakhir, ahli sejarah kemudian menyebutnya sebagai Haji Wada‘ (Haji Perpisahan), di Arafah, Nabi Saw pun berkhutbah, yang juga merupakan khutbah perpisahan, apa yang di katakan Nabi Saw dalam khutbah itu? Sama sekali tidak berkenaan dengan ibadah ritual.
Dalam khutbah itu, Nabi Saw memulainya dengan menekankan kewajiban menghormati darah dan kehormatan seseorang, sekarang, kita menyebutnya masalah hak asasi manusia, Nabi Saw meminta perhatian para jama'ah haji terhadap sistem ekonomi jahiliah yang tidak adil, yang di wujudkan dalam praktik riba, Nabi Saw juga berbicara tentang hak-hak perempuan dan berpesan kepada kaum mukmin untuk melindungi dan menghormati mereka. Jadi, khutbah Nabi Saw berkenaan dengan persoalan politik, ekonomi dan sosial.
Di Mina, pada hari penyembelihan kurban, turun ayat “Baraah", artinya, dekrit pembebasan dari ketergantungan kepada kaum musyrik. “Baraah" adalah proklamasi kemerdekaan Tanah Suci, di sana, di Bukit Mina, Ali bin Abi Thalib Ra berdiri menyampaikan dekrit Nabi Saw yang berisi, antara lain :
Orang musyrik tidak boleh mendekati Baitullah, tidak boleh thawaf sambil telanjang dan setiap perjanjian harus di penuhi. Ali juga membacakan ayat Baraah : "Dan pengumuman dari Allah dan utusa-Nya kepada manusia pada waktu haji akbar bahwa Allah berlepas diri dari kaum musyrik, begitu pula utusan-Nya." (Q.S. 9 : 3).
Tradisi ini di lanjutkan oleh para sahabat sepeninggal Nabi Saw, Umar bin Khaththab memanggil Amr bin Ash, Gubernur Mesir, pada musim haji dan memintanya untuk rnempertanggungjawabkan perbuatan anaknya seorang warga Mesir yang mengadu kepada Khalifah, bahwa anak Amr telah menjebloskannya ke penjara.
Umar menghukum anak gubernur itu dengan cambuk, bukan di hadapan para jama'ah haji, waktu itu, Umar berkata,“Hai Amr, mengapa engkau memperbudak manusia, padahal ibunya telah melahirkannya sebagai orang merdeka.” Utsman bin Affan pernah mengirim surat ke semua daerah kekuasaan Islam, ia mengimbau orang untuk mengadukan segala perilaku birokrat yang merugikan rakyat. “Bila ada yang pernah di caci maki atau di aniaya, tulis Ut‘sman, “datanglah pada rnusim haji, supaya ia dapat mengambil haknya dari aku dan dari para pejabatku." Mengomentari kedua khalifah itu, Dr. Yusuf Qardhawi dalam Al-‘Ibadah fi Al-Islam, menulis, “Para khalifah menyadari nilai musim haji internasional ini, mereka jadikan haji sebagai tempat pertemuan antara mereka dan rakyat yang datang dari sudut-sudut negeri yang jauh dan antara mereka dan para pejabat mereka dari berbagai daerah. Bila ada orang yang tertindas atau ingin mengadukan persoalannya, ia dapat menemui khalifah tanpa perantara dan tanpa penghalang. Di sanalah rakyat dapat berhadapan dengan khalifah tanpa segan atau takut. di situ yang teraniaya dan di lindungi dan hak di kembalikan, walaupun hak itu harus di ambil dari pejabat atau bahkan dari khalifah."

Menurut Al-Quran, memang ibadah haji di perintahkan agar mereka menyaksikan berbagai manfaat buat mereka dan berdzikir (menyebut nama Allah) pada hari-hari yang di tentukan (Q.S. 22 : 28). Menurut para mufasir, ayat ini menyebutkan dua dimensi haji, yaitu dimensi manfaat dan dimensi dzikir. At-Thabari, dalam tafsimya, menyebut manfaat itu meliputi dunia dan akhirat. pada waktu hajilah, bertemu para pemikir dan ilmuwan, ahli-ahli pendidikan dan kebudayaan, para negarawan dan ahli pemerintahan, ahli-ahli ekonomi, para ulama dan juga para ahli militer kaum Muslim dan sebaiknya membahas kebersamaan persaudaraan antar kaum muslimin.
Inilah konferensi umat manusia yang terbesar, sayang, belakangan ini dimensi “manfaat” itu sudah di abaikan, yang di tonjolkan, bahkan di tegaskan berkali-kali untuk selalu di ingat oleh para jamaah adalah dimensi dzikir, bila anda berangkat haji, niatkanlah hanya untuk beribadah, begitu pesan para pembimbing haji, bila anda pulang dari haji, pengalaman ruhani sajalah yang harus anda ceritakan, bagian pertama ayat Al-Hajj di atas seakan-akan sudah di coret.
Pedagang Indonesia dari berbagai daerah dulu berjualan di sekitar Masjidil Haram, sekarang tidak, dahulu, jama'ah haji berbincang tentang situasi negeri mereka dan beberapa orang di antaranya pulang ke negerinya menjadi pejuang-pejuang kemerdekaan, sekarang tidak, bila ada juga diskusi antara para jama'ah, yang di diskusikan adalah cara-cara ritual haji dan tidak jarang sambil saling menyalahkan, untunglah itu semua hanya terjadi pada masyarakat awam, ketika para menteri naik haji, kita tahu mereka berbincang dengan pejabat di Arab Saudi bukan hanya tentang haji, ketika para pemimpin Islam berkumpul di Makkah, mereka bukan melulu merundingkan prosedur umrah dan haji, tapi adalah meningkatkan ukhuwah islamiyah sesama kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia.

Posting Komentar untuk "HAJI SEBAIKNYA JUGA SEBAGAI PENYAMBUNG PERSAUDARAAN KAUM MUSLIMIN"