HENDAKLAH SUSUN SHAF SHALAT
Iqamat sesuai dengan ketentuan syari'at di awal shalat merupakan bagian pasal yang menyeru si mushalli (yang hendak shalat) menuju kepada bersatunya pikiran yang sebelumnya bercabang, agar dapat menerimanya dengan senang hati untuk menghadap serta bersimpuh di bawah kekuasaan Allah, sehingga bermuaralah segala semangat dan pikirannya dalam shalat, kemudian berdiri memenuhi shaf secara tertib serta menghadap kiblat, berbaris lurus, rapi tanpa membedakan status sosial atau pangkat maupun jabatan, kaya miskin bersatu dalam jama'ah shalat itu.
Untuk menuju suatu ketenangan, ada beberapa faktor yang harus di persiapkan, baik fisik maupun mental, yaitu menghentikan aktivitas yang tidak ada kaitannya dengan shalat, menghindari dari sikap yang tidak terpuji atau perbuatan keji dan kotor, maupun yang menyangkut hidangan atau menahan kencing dan buang air besar.
Aisyah Ra menyatakan, bahwa Rasulullah Saw bersabda : "Janganlah sekali-kali kamu melakukan shalat (sambil) menunda hidangan yang telah tersedia atau menahan buang air kecil atau besar untuk sesaat." (H.R. Imam Muslim dan Abu Dawud).
Perihal melepaskan pikiran dari kesibukan duniawi, antara lain seperti di nyatakan dalarn firman-Nya,"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan..." (Q.S. An-Nisaa‘ : 43). Betapa banyak orang yang kita lihat seakan-akan mabuk karena beban pekerjaannya, padahal mereka tidak minum alkohol (arak), sehingga mereka tidak mampu memahami apa yang mereka ucapkan di dalam shalatnya.
Adapun masalah menghadap kiblat, di jelaskan dalam firman-Nya : ”PaIingkan mukamu ke arah Masjidil Haram dan di mana saja kamu berada, palingkan mukamu ke arahnya." (Q.S. Al-Baqarah : 144). Makna semua yang di inginkan, tiada lain agar hati setiap mushalli itu hidup ketika menghadapkan wajahnya ke kiblat, menyadari bahwa ia sedang menghadapkan hatinya pada Allah melalui shalat tersebut, karena Dialah pokok dari segala yang pokok dan tempat kita mengembalikan segala urusan dan persoalan hidup.
Hati rnerupakan tempat yang selalu di lihat Allah di dalam shalatnya, oleh karena itu, hendaknya kita meluruskan niat benar-benar karena Allah, tanpa pamrih kepada siapa pun selain Allah.
Makna yang lebih tinggi lagi, yaitu agar mushalli mengetahui, bahwa seluruh urmt Islam di penjuru dunia menghadapkan wajahnya ke kiblat. Kiblat tersebut adalah Baitullah Al-Haram sebagai lambang persatuan umat dan wajib kepada seluruh kaum muslimin untuk mempersatukan tujuan dan sasaran, kesungguhan dalam menghadapi musuh-musuh Islam.
Setiap mushalli hendaknya datang ke masjid lebih awal agar menempati shaf pertama di belakang imam, ingat akan hadits terdahulu perihal keutamaan memenuhi panggilan muadzin dan mengisi shaf pertama, "Andaikan umat manusia itu mengetahui apa yang tersurat dan tersirat di dalam panggilan adzan dan shaf pertama, kemudian tak ada jalan lain untuk memperolehnya kecuali dengan memasang undian, tentulah akan mereka lakukan sistem undian itu.... ” (H.R. Imam Bukhari).
Dan Abu Hurairah Ra, ia katakan bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Sebaik-baik shaf seorang laki-laki adalah yang pertama dan yang terjelek paling belakang, adapun untuk kaum wanita yang paling baik adalah shaf paling belakang dan yang paling jelek adalah shaf terdepan." (H.R. Imam Muslim). Kemudian yang harus di ciptakan adalah suasana kerapian dalam menyusun shaf, agar betul-betul lurus, sebab Allah tidak suka melihat shaf yang bengkok. Anas Ra menyatakan, bahwa Rasulullah Saw bersabda,"Luruskan shaf-shaf kalian, sebab lurusnya shaf itu pada hakikatnya merupakan bagian dan kesempurnaan shalat." (H.R. Muttafaq'alaih).
Di dalam meluruskan shaf jama'ah shalat, terkandung maksud adanya keharusan bagi mushalli untuk menghidupkannya, yaitu dengan memperkokoh pendirian, bahwa Islam menyeru kepada ”tertibnya organisasi” (nizham atau jama'ah), dengan prinsip yang teguh sehingga mampu menghilangkan segala bentuk kekacauan atau penyelewengan-penyelewengan. Dari sinilah tercipta suatu perasaan mementingkan nizham (tertib organisasi) secara keseluruhan di dalam bentuk ”jama'ah” yang satu dan di bawah kendali seorang amir (imam) atau khalifah tunggal untuk mempersatukan kesungguhan mereka di dalam menghadapi musuh-musuh Islam.
Kerapian shaf harus melahirkan sikap kekerabatan (talhim) dan persaudaraan (ukhuwwah) dalam bentuk ikatan yang kokoh, serta meninggalkan bentuk-bentuk kompromi dengan syetan, jin ataupun manusia yang mencoba memecah belah di antara mereka, juga tidak sedikit pun memberi peluang kepada musuh-musuh Islam untuk merusak barisan umat Islam.
Sudah sepatutnya bagi mushalli ketika bersimpuh di bawah kekuasaan Allah dengan menundukkan kepala tanda merendahkan diri pada Allah, dalam hal ini di mungkinkan bangkitnya hati dengan rasa rendah dan bersahaja semata-mata untuk Allah serta memusatkan pandangan mata (ketika shalat) ke arah tempat sujud untuk mendatangkan kekhusyuan. Pada dasarnya, shalat wajib itu di lakukan dalam keadaan berdiri tegak, kecuali jika uzur syar’i, seperti sakit atau gangguan lainnya yang mengakibatkan tidak mampu berdiri. "Tidak di perbolehkan menghiasi ”sikap berdirinya” itu dengan perbuatan yang tidak patut, seperti rnemalingkan pandangan ke kanan dan ke kiri, meletakkan tangan di atas lambung, tertawa, banyak bergerak atau menggerak-gerakkan tangan di luar ketentuan syara’, melayangkan pandangan ke langit-langit.
Perkara-perkara yang demikian itu di larang Rasulullah Saw, Yazid bin Harun dari Hisyam dari Muhammad dari Abu Hurairah Ra menyatakan, bahwa Rasulullah Saw bersabda,"Telah di larang meletakkan tangan di ataslambung ketika shalat." (H.R. Muttafaq'alaih).
Jabir bin Samrah Ra menyatakan, bahwa Rasulullah Saw bersabda,“Bersikaplah tenang ketika shalat.” (H.R. Imam Muslim). Beliau juga melarang lewat di depan orang yang shalat, sebaiknya di depan yang shalat itu di letakkan penghalang (sutrah).
Bisr bin Sa’id Ra berkata,"Saya di utus Abu Juhaim, anak saudara perempuan Ubai bin Ka’ab, menuju Zaid bin Khalid Al-Juhni Ra, saya menanyakan perihal yang ia dengar tentang berjalan seseorang di depan hadapan mushalli. Ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda,"Berdiri menunggu selama 40 hari atau berbulan-bulan atau satu tahun, lebih baik baginya daripada harus melewati di depan orang yang sedang shalat." (H.R. Muttafaq’alaih).
Dari Abu Hurairah Ra, bersabda Abul Qasim (Rasulullah Saw),"Jika seseorang di antara kalian shalat, maka jadikan sesuatu sebagai batas depannya, jika tidak terdapat sesuatu itu, maka gantilah dengan tongkat, apabila tidak ada tongkat, di cukupkan dengan membuat garis dan tidak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berlalu di hadapannya." (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).
Perlu bagi mushalli mewujudkan pelaksanaan shalat yang sebaik-baiknya dengan segala persiapan kekhusyuan, upaya mempersiapkannya agar si mushalli menyambut shalatnya itu seakan-akan merupakan shalat terakhir baginya di dunia ini dan seolah-olah usianya tidak sampai mengantarkan ke shalat berikutnya, dengan demikian, ia akan berusaha untuk melakukan shalat dengan sebaik-baiknya dan sesempuma-sempumanya, sehingga, kalaupun ia harus berpisah dengan dunia, maka persiapan itu merupakan bekal yang menenteramkan hatinya.
Untuk menuju suatu ketenangan, ada beberapa faktor yang harus di persiapkan, baik fisik maupun mental, yaitu menghentikan aktivitas yang tidak ada kaitannya dengan shalat, menghindari dari sikap yang tidak terpuji atau perbuatan keji dan kotor, maupun yang menyangkut hidangan atau menahan kencing dan buang air besar.
Aisyah Ra menyatakan, bahwa Rasulullah Saw bersabda : "Janganlah sekali-kali kamu melakukan shalat (sambil) menunda hidangan yang telah tersedia atau menahan buang air kecil atau besar untuk sesaat." (H.R. Imam Muslim dan Abu Dawud).
Perihal melepaskan pikiran dari kesibukan duniawi, antara lain seperti di nyatakan dalarn firman-Nya,"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan..." (Q.S. An-Nisaa‘ : 43). Betapa banyak orang yang kita lihat seakan-akan mabuk karena beban pekerjaannya, padahal mereka tidak minum alkohol (arak), sehingga mereka tidak mampu memahami apa yang mereka ucapkan di dalam shalatnya.
Adapun masalah menghadap kiblat, di jelaskan dalam firman-Nya : ”PaIingkan mukamu ke arah Masjidil Haram dan di mana saja kamu berada, palingkan mukamu ke arahnya." (Q.S. Al-Baqarah : 144). Makna semua yang di inginkan, tiada lain agar hati setiap mushalli itu hidup ketika menghadapkan wajahnya ke kiblat, menyadari bahwa ia sedang menghadapkan hatinya pada Allah melalui shalat tersebut, karena Dialah pokok dari segala yang pokok dan tempat kita mengembalikan segala urusan dan persoalan hidup.
Hati rnerupakan tempat yang selalu di lihat Allah di dalam shalatnya, oleh karena itu, hendaknya kita meluruskan niat benar-benar karena Allah, tanpa pamrih kepada siapa pun selain Allah.
Makna yang lebih tinggi lagi, yaitu agar mushalli mengetahui, bahwa seluruh urmt Islam di penjuru dunia menghadapkan wajahnya ke kiblat. Kiblat tersebut adalah Baitullah Al-Haram sebagai lambang persatuan umat dan wajib kepada seluruh kaum muslimin untuk mempersatukan tujuan dan sasaran, kesungguhan dalam menghadapi musuh-musuh Islam.
Setiap mushalli hendaknya datang ke masjid lebih awal agar menempati shaf pertama di belakang imam, ingat akan hadits terdahulu perihal keutamaan memenuhi panggilan muadzin dan mengisi shaf pertama, "Andaikan umat manusia itu mengetahui apa yang tersurat dan tersirat di dalam panggilan adzan dan shaf pertama, kemudian tak ada jalan lain untuk memperolehnya kecuali dengan memasang undian, tentulah akan mereka lakukan sistem undian itu.... ” (H.R. Imam Bukhari).
Dan Abu Hurairah Ra, ia katakan bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Sebaik-baik shaf seorang laki-laki adalah yang pertama dan yang terjelek paling belakang, adapun untuk kaum wanita yang paling baik adalah shaf paling belakang dan yang paling jelek adalah shaf terdepan." (H.R. Imam Muslim). Kemudian yang harus di ciptakan adalah suasana kerapian dalam menyusun shaf, agar betul-betul lurus, sebab Allah tidak suka melihat shaf yang bengkok. Anas Ra menyatakan, bahwa Rasulullah Saw bersabda,"Luruskan shaf-shaf kalian, sebab lurusnya shaf itu pada hakikatnya merupakan bagian dan kesempurnaan shalat." (H.R. Muttafaq'alaih).
Di dalam meluruskan shaf jama'ah shalat, terkandung maksud adanya keharusan bagi mushalli untuk menghidupkannya, yaitu dengan memperkokoh pendirian, bahwa Islam menyeru kepada ”tertibnya organisasi” (nizham atau jama'ah), dengan prinsip yang teguh sehingga mampu menghilangkan segala bentuk kekacauan atau penyelewengan-penyelewengan. Dari sinilah tercipta suatu perasaan mementingkan nizham (tertib organisasi) secara keseluruhan di dalam bentuk ”jama'ah” yang satu dan di bawah kendali seorang amir (imam) atau khalifah tunggal untuk mempersatukan kesungguhan mereka di dalam menghadapi musuh-musuh Islam.
Allah berfirman,"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang rapi bagaikan suatu bangunan yang kokoh." (Q.S. Ash-Shaff : 4).
Kerapian shaf harus melahirkan sikap kekerabatan (talhim) dan persaudaraan (ukhuwwah) dalam bentuk ikatan yang kokoh, serta meninggalkan bentuk-bentuk kompromi dengan syetan, jin ataupun manusia yang mencoba memecah belah di antara mereka, juga tidak sedikit pun memberi peluang kepada musuh-musuh Islam untuk merusak barisan umat Islam.
Tertib shaf seharusnya tidak melahirkan sikap perbedaan antara yang kaya dan miskin, antara atasan dan bawahan, antara pejabat dan rakyatnya dalam artian musaawah (persamaan hak) dan tawadhu’ 'kepatuhan’ serta menghilangkan sifat egois, merasa lebih tinggi atau lebih besar. Keutamaan seorang hanya bergantung pada ketaqwaan, Allah berfirman,"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu...." (Q.S. Al-Hujuraat : 13). Bahkan, mungkin saja wajah seorang menteri yang sedang sujud ketika shalat jama'ah, menyentuh telapak kaki bawahannya atau rakyat jelata yang kebetulan berada di shaf depannya tanpa harus memperhitungkan prestise atau gengsi, di sinilah terdapat pendidikan kepribadian, khususnya sikap ”tawadhu” karena Allah.Mushalli seyogianya merasakan keistimewaan bersimpuh di bawah kekuasaan Allah, dengan perubahan hakiki dalam waktu sekejap bersama takbiratul ihram, dari kehidupan umum menuju suatu kehidupan khusus yang di dalamnya terdapat tuntutan-tuntutan dan konsekuensi-konsekuensi tertentu.
Sudah sepatutnya bagi mushalli ketika bersimpuh di bawah kekuasaan Allah dengan menundukkan kepala tanda merendahkan diri pada Allah, dalam hal ini di mungkinkan bangkitnya hati dengan rasa rendah dan bersahaja semata-mata untuk Allah serta memusatkan pandangan mata (ketika shalat) ke arah tempat sujud untuk mendatangkan kekhusyuan. Pada dasarnya, shalat wajib itu di lakukan dalam keadaan berdiri tegak, kecuali jika uzur syar’i, seperti sakit atau gangguan lainnya yang mengakibatkan tidak mampu berdiri. "Tidak di perbolehkan menghiasi ”sikap berdirinya” itu dengan perbuatan yang tidak patut, seperti rnemalingkan pandangan ke kanan dan ke kiri, meletakkan tangan di atas lambung, tertawa, banyak bergerak atau menggerak-gerakkan tangan di luar ketentuan syara’, melayangkan pandangan ke langit-langit.
Perkara-perkara yang demikian itu di larang Rasulullah Saw, Yazid bin Harun dari Hisyam dari Muhammad dari Abu Hurairah Ra menyatakan, bahwa Rasulullah Saw bersabda,"Telah di larang meletakkan tangan di ataslambung ketika shalat." (H.R. Muttafaq'alaih).
Jabir bin Samrah Ra menyatakan, bahwa Rasulullah Saw bersabda,“Bersikaplah tenang ketika shalat.” (H.R. Imam Muslim). Beliau juga melarang lewat di depan orang yang shalat, sebaiknya di depan yang shalat itu di letakkan penghalang (sutrah).
Bisr bin Sa’id Ra berkata,"Saya di utus Abu Juhaim, anak saudara perempuan Ubai bin Ka’ab, menuju Zaid bin Khalid Al-Juhni Ra, saya menanyakan perihal yang ia dengar tentang berjalan seseorang di depan hadapan mushalli. Ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda,"Berdiri menunggu selama 40 hari atau berbulan-bulan atau satu tahun, lebih baik baginya daripada harus melewati di depan orang yang sedang shalat." (H.R. Muttafaq’alaih).
Dari Abu Hurairah Ra, bersabda Abul Qasim (Rasulullah Saw),"Jika seseorang di antara kalian shalat, maka jadikan sesuatu sebagai batas depannya, jika tidak terdapat sesuatu itu, maka gantilah dengan tongkat, apabila tidak ada tongkat, di cukupkan dengan membuat garis dan tidak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berlalu di hadapannya." (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).
Perlu bagi mushalli mewujudkan pelaksanaan shalat yang sebaik-baiknya dengan segala persiapan kekhusyuan, upaya mempersiapkannya agar si mushalli menyambut shalatnya itu seakan-akan merupakan shalat terakhir baginya di dunia ini dan seolah-olah usianya tidak sampai mengantarkan ke shalat berikutnya, dengan demikian, ia akan berusaha untuk melakukan shalat dengan sebaik-baiknya dan sesempuma-sempumanya, sehingga, kalaupun ia harus berpisah dengan dunia, maka persiapan itu merupakan bekal yang menenteramkan hatinya.
Posting Komentar untuk "HENDAKLAH SUSUN SHAF SHALAT"
Terimakasih atas kunjungan anda...