Kaidah Tayammum Wudhu dan Mandi
Ketahuilah, bahwa bersuci dari hadats itu ada dua macam, yaitu :
Pertama: Bersuci menggunakan air dan itu adalah wudhu apabila hadats kecil dan mandi besar jika hadats besar.
Kedua: Bersuci menggunakan permukaan bumi dan itulah yang dinamakan tayammum.
Jadi, tayammum adalah bersuci menggunakan permukaan bumi yang suci, sebagai pengganti dari wudhu dan mandi, dengan syarat-syarat tertentu. Hal ini berdasarkan firman Allah ُ: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki dan jika kamu junub maka mandilah dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur." (Q.S. Al-Maidah [5]: 6).
Ayat ini menunjukkan pembagian di atas, yaitu wudhu dan mandi serta pengganti dari keduanya, yaitu tayammum.
Makna Kaidah
Karena tayammum adalah bersuci menggunakan permukaan bumi yang sebagai pengganti dari wudhu dan mandi yang menggunakan air, maka tayammum pun mengambil fungsi wudhu dan mandi dan mengambil hukum yang sama. Dan inilah makna dari kaidah ini.
Jadi, makna dari kaidah ini adalah bersuci dengan tayammum itu sama hukumnya dengan bersuci menggunakan air.
Dalil Kaidah
Kaidah ini didasarkan pada beberapa dalil berikut dan di antaranya adalah :
1. Firman Allah di atas (Q.S. Al-Maidah [5]: 6), Ayat tersebut menunjukkan bahwa tayammum adalah pengganti dari wudhu dan mandi jika tidak bisa menggunakan air atau tidak ada air, maka ini berkonsekuensi, bahwa hukum tayammum adalah hukum keduanya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, 'Allah menjadikan tayammum untuk bersuci sebagaimana Allah menjadikan air untuk bersuci dan Allah mengabarkan bahwa Dia menginginkan untuk menyucikan kita dengan tanah sebagaimana menyucikan kita dengan air." (Majmu' Fatawa 19/436).
2. Hadits. Di antaranya adalah dari Jabir bin Abdillah Ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda : "Dan bumi dijadikan untukku sebagai masjid dan alat bersuci." (H.R. Bukhari dan Imam Muslim).
Dari Abu Dzar Ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya tanah yang suci adalah alat bersuci bagi seorang muslim sekalipun dia tidak mendapatkan air sepuluh tahun, lalu apabila menemukan air, maka pakailah pada kulit, karena itu lebih baik." (H.R. An-Nasai: 321, At-Tirmidzi: 124, Abu Dawud: 332 dan Imam Ahmad 5/180).
At-Tirmidzi berkata, "Hadits hasan shahih" dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Ad-Daruqutni, Abu Hatim, Al-Hakim, Dzahabi, An-Nawawi sebagaimana dalam Irwa'ul Ghalil: 153 karya Al-Albani).
Imam Zarkasyi berkata, "Hadits ini menunjukkan bahwa saat tidak ada air, maka tanah adalah alat bersuci yang menggantikan posisi air. Kalau begitu maka diberi hukum air sehingga bisa menghilangkan hadats." (Syarah Zarkasyi 1/346).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Hadits ini menunjukkan bahwa tayammum itu menyucikan. Dan Rasulullah Saw tidak membatasinya dengan waktu tertentu. Beliau juga tidak mengatakan bahwa keluarnya waktu shalat membatalkan tayammum, sebagaimana beliau menyebutkan bahwa mampu menggunakan air bisa membatalkan tayammum." (Majmu' Fatawa 21/352).
Perselisihan Ulama Tentang Kaidah Ini
Masalah ini termasuk masalah yang rumit dalam fiqh bersuci, "Masalah ini termasuk masalah yang sulit, karena para ulama sepakat akan sahnya shalat menggunakan tayammum saat tidak ada air atau tidak bisa menggunakannya dan para ulama juga sepakat bahwa hadats membatalkan shalat, maka jika kita mengatakan bahwa hadatsnya orang yang tayammum tidak hilang, lalu bagaimana shalatnya bisa sah padahal dia masih punya hadats? Dan jika kita katakan bahwa shalatnya sah, lalu bagaimana kita katakan kalau hadatsnya belum hilang?" (Adhwa'ul Bayan 1/364).
Juga, jika kita katakan bahwa hadatsnya telah hilang dengan tayammum, maka bagaimana kita klaim bahwa hadatsnya balik lagi saat menemukan air atau telah hilang udzurnya? Oleh karena itu, para ulama berselisih tentang masalah ini, yaitu masalah apakah tayammum itu menghilangkan hadats ataukah hanya membolehkan shalat, namun hadatsnya masih ada?
Faedah dari perselisihan ini, jika kita katakan bahwa tayammum itu menghilangkan hadats, maka berarti hukumnya sama persis dengan wudhu dan mandi dan tidak ada yang membatalkan sucinya kecuali pembatal wudhu ditambah dengan menemukan air atau bisa menggunakan air, karena hadits Abu Dzar Ra di atas.
Namun, jika kita katakan bahwa tayammum itu tidak menghilangkan hadats dan hanya membolehkan shalat, maka berarti hadatsnya sebenarnya tidak hilang, namun diperbolehkan shalat karena kondisi darurat.
Dengan ini maka apabila datang waktu shalat berikutnya maka wajib untuk tayammum lagi, bahkan sebagian para ulama mewajibkan qadha' jika sudah bisa berwudhu.
Dan yang rajih dari kedua madzhab ini adalah bahwa tayammum menghilangkan hadats, karena ia pengganti wudhu dan mandi. Dan inilah makna yang ditunjukkan oleh kaidah di atas. Dan ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat Imam Ahmad, dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan dipilih oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dan lain-lain.
Penerapan Kaidah
Dalam pandangan para ulama yang berpendapat sesuai dengan kaidah ini dan ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, maka kaidah ini bisa diterapkan dalam banyak kondisi. Di antaranya adalah :
1. Bolehnya tayammum, meskipun sebelum masuk waktu shalat, jika diyakinkan bahwa nanti sampai datangnya waktu shalat tidak ada air. Hal ini karena tayammum itu menghilangkan hadats, maka bisa dilakukan sebelum masuk waktu shalat atau setelah masuk waktunya.
2. Sucinya orang yang bertayammum masih tetap ada, meskipun setelah keluar dari waktu shalat, sebagaimana wudhu tetap berlaku hukum bersucinya meskipun telah keluar waktu. Oleh karena itu, jika akan melakukan shalat wajib lainnya maka tidak perlu tayammum lagi apabila tidak batal.
3. Niat tayammum adalah niat wudhu, yaitu untuk menghilangkan hadats atau untuk mengerjakan shalat dan ibadah yang semisalnya. Dan setelah itu boleh melakukan ibadah apa pun yang dibolehkan dengan wudhu.
4. Bolehnya mengusap pada kedua khuf setelah tayammum, karena tayammum adalah bersuci secara sempurna seperti wudhu.
Catatan: Khuf adalah sesuatu yang dipakai di kaki yang menutupi anggota wudhu dan bisa digunakan untuk jalan lama.
5. Bolehnya orang yang bersuci dengan tayammum untuk menjadi imam bagi orang yang bersuci menggunakan wudhu, karena keduanya sama-sama menghilangkan hadats.
6. Bolehnya mengumpuli istri yang setelah berhenti haid dan bersuci dengan tayammum, karena tayammum juga pengganti dari mandi junub.
Pertama: Bersuci menggunakan air dan itu adalah wudhu apabila hadats kecil dan mandi besar jika hadats besar.
Kedua: Bersuci menggunakan permukaan bumi dan itulah yang dinamakan tayammum.
Jadi, tayammum adalah bersuci menggunakan permukaan bumi yang suci, sebagai pengganti dari wudhu dan mandi, dengan syarat-syarat tertentu. Hal ini berdasarkan firman Allah ُ: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki dan jika kamu junub maka mandilah dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur." (Q.S. Al-Maidah [5]: 6).
Ayat ini menunjukkan pembagian di atas, yaitu wudhu dan mandi serta pengganti dari keduanya, yaitu tayammum.
Makna Kaidah
Karena tayammum adalah bersuci menggunakan permukaan bumi yang sebagai pengganti dari wudhu dan mandi yang menggunakan air, maka tayammum pun mengambil fungsi wudhu dan mandi dan mengambil hukum yang sama. Dan inilah makna dari kaidah ini.
Jadi, makna dari kaidah ini adalah bersuci dengan tayammum itu sama hukumnya dengan bersuci menggunakan air.
Dalil Kaidah
Kaidah ini didasarkan pada beberapa dalil berikut dan di antaranya adalah :
1. Firman Allah di atas (Q.S. Al-Maidah [5]: 6), Ayat tersebut menunjukkan bahwa tayammum adalah pengganti dari wudhu dan mandi jika tidak bisa menggunakan air atau tidak ada air, maka ini berkonsekuensi, bahwa hukum tayammum adalah hukum keduanya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, 'Allah menjadikan tayammum untuk bersuci sebagaimana Allah menjadikan air untuk bersuci dan Allah mengabarkan bahwa Dia menginginkan untuk menyucikan kita dengan tanah sebagaimana menyucikan kita dengan air." (Majmu' Fatawa 19/436).
2. Hadits. Di antaranya adalah dari Jabir bin Abdillah Ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda : "Dan bumi dijadikan untukku sebagai masjid dan alat bersuci." (H.R. Bukhari dan Imam Muslim).
Dari Abu Dzar Ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya tanah yang suci adalah alat bersuci bagi seorang muslim sekalipun dia tidak mendapatkan air sepuluh tahun, lalu apabila menemukan air, maka pakailah pada kulit, karena itu lebih baik." (H.R. An-Nasai: 321, At-Tirmidzi: 124, Abu Dawud: 332 dan Imam Ahmad 5/180).
At-Tirmidzi berkata, "Hadits hasan shahih" dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Ad-Daruqutni, Abu Hatim, Al-Hakim, Dzahabi, An-Nawawi sebagaimana dalam Irwa'ul Ghalil: 153 karya Al-Albani).
Imam Zarkasyi berkata, "Hadits ini menunjukkan bahwa saat tidak ada air, maka tanah adalah alat bersuci yang menggantikan posisi air. Kalau begitu maka diberi hukum air sehingga bisa menghilangkan hadats." (Syarah Zarkasyi 1/346).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Hadits ini menunjukkan bahwa tayammum itu menyucikan. Dan Rasulullah Saw tidak membatasinya dengan waktu tertentu. Beliau juga tidak mengatakan bahwa keluarnya waktu shalat membatalkan tayammum, sebagaimana beliau menyebutkan bahwa mampu menggunakan air bisa membatalkan tayammum." (Majmu' Fatawa 21/352).
3. Karena tayammum adalah pengganti bersuci menggunakan air, dan hukum asalnya bahwa pengganti itu mengambil posisi yang digantikan, maka sebagaimana bersuci mutlak maka demikian juga bersuci menggunakan tayammum. (Lihat Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah 19/437, Syarah Mumti' Ibnu Utsaimin 1/375).
Perselisihan Ulama Tentang Kaidah Ini
Masalah ini termasuk masalah yang rumit dalam fiqh bersuci, "Masalah ini termasuk masalah yang sulit, karena para ulama sepakat akan sahnya shalat menggunakan tayammum saat tidak ada air atau tidak bisa menggunakannya dan para ulama juga sepakat bahwa hadats membatalkan shalat, maka jika kita mengatakan bahwa hadatsnya orang yang tayammum tidak hilang, lalu bagaimana shalatnya bisa sah padahal dia masih punya hadats? Dan jika kita katakan bahwa shalatnya sah, lalu bagaimana kita katakan kalau hadatsnya belum hilang?" (Adhwa'ul Bayan 1/364).
Juga, jika kita katakan bahwa hadatsnya telah hilang dengan tayammum, maka bagaimana kita klaim bahwa hadatsnya balik lagi saat menemukan air atau telah hilang udzurnya? Oleh karena itu, para ulama berselisih tentang masalah ini, yaitu masalah apakah tayammum itu menghilangkan hadats ataukah hanya membolehkan shalat, namun hadatsnya masih ada?
Faedah dari perselisihan ini, jika kita katakan bahwa tayammum itu menghilangkan hadats, maka berarti hukumnya sama persis dengan wudhu dan mandi dan tidak ada yang membatalkan sucinya kecuali pembatal wudhu ditambah dengan menemukan air atau bisa menggunakan air, karena hadits Abu Dzar Ra di atas.
Namun, jika kita katakan bahwa tayammum itu tidak menghilangkan hadats dan hanya membolehkan shalat, maka berarti hadatsnya sebenarnya tidak hilang, namun diperbolehkan shalat karena kondisi darurat.
Dengan ini maka apabila datang waktu shalat berikutnya maka wajib untuk tayammum lagi, bahkan sebagian para ulama mewajibkan qadha' jika sudah bisa berwudhu.
Dan yang rajih dari kedua madzhab ini adalah bahwa tayammum menghilangkan hadats, karena ia pengganti wudhu dan mandi. Dan inilah makna yang ditunjukkan oleh kaidah di atas. Dan ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat Imam Ahmad, dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan dipilih oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dan lain-lain.
Penerapan Kaidah
Dalam pandangan para ulama yang berpendapat sesuai dengan kaidah ini dan ini adalah pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, maka kaidah ini bisa diterapkan dalam banyak kondisi. Di antaranya adalah :
1. Bolehnya tayammum, meskipun sebelum masuk waktu shalat, jika diyakinkan bahwa nanti sampai datangnya waktu shalat tidak ada air. Hal ini karena tayammum itu menghilangkan hadats, maka bisa dilakukan sebelum masuk waktu shalat atau setelah masuk waktunya.
2. Sucinya orang yang bertayammum masih tetap ada, meskipun setelah keluar dari waktu shalat, sebagaimana wudhu tetap berlaku hukum bersucinya meskipun telah keluar waktu. Oleh karena itu, jika akan melakukan shalat wajib lainnya maka tidak perlu tayammum lagi apabila tidak batal.
3. Niat tayammum adalah niat wudhu, yaitu untuk menghilangkan hadats atau untuk mengerjakan shalat dan ibadah yang semisalnya. Dan setelah itu boleh melakukan ibadah apa pun yang dibolehkan dengan wudhu.
4. Bolehnya mengusap pada kedua khuf setelah tayammum, karena tayammum adalah bersuci secara sempurna seperti wudhu.
Catatan: Khuf adalah sesuatu yang dipakai di kaki yang menutupi anggota wudhu dan bisa digunakan untuk jalan lama.
5. Bolehnya orang yang bersuci dengan tayammum untuk menjadi imam bagi orang yang bersuci menggunakan wudhu, karena keduanya sama-sama menghilangkan hadats.
6. Bolehnya mengumpuli istri yang setelah berhenti haid dan bersuci dengan tayammum, karena tayammum juga pengganti dari mandi junub.
Posting Komentar untuk "Kaidah Tayammum Wudhu dan Mandi"
Terimakasih atas kunjungan anda...