Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Memahami Sifat Marah Allah (Ghadhab)

Meluruskan kesalahpahaman Tentang Sifat Sifat Marah Allah (Ghadhab)

Secara umum, para ulama ahlus sunnah waljama'ah terdahulu semenjak generasi para shahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in tidak ada yang mengingkari sifat ini, di dalam memahami sifat ini pun nyaris tidak ada kontroversi di antara mereka.

Akan tetapi setelah umat Islam banyak yang terpengaruh oleh filsafat Yunani mulailah muncul kontroversi dalam memahami sifat ini. Teks-teks Al-Qur'an yang pada dasarnya sangat mudah dipahami, kini dibuat bertele-tele dan begitu rancu.

Walhasil, banyak kaum muslimin yang keliru dalam memahami sifat ghadhab Allah Ta’ala, di antara kesalahan tersebut adalah menolak sifat marah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam hal ini mereka terbagi menajdi beberapa kelompok.

Sebagian kelompok meniadakan sifat ghadhab bagi Allah Azza wa Jalla secara mutlak dan sebagian kelompok yang lain menyimpangkan makna ghadhab kepada maka yang lain, yaitu : kehendak untuk menyiksa.

Untuk menguatkan pemikiran ini, mereka membawakan beberapa alasan, yang di antaranya adalah :

1. Marah adalah sifat bagi makhluk, jika kita menetapkan sifat marah bagi Allah berarti kita menyamakan Allah dengan makhluk-Nya dan untuk menjawab kesalahpahaman seperti ini maka bisa kita jawab dari beberapa sisi :

a. Jika anda bisa mengatakan demikian, maka kami pun juga bisa mengatakan bahwa orang yang menolak sifat ghadhab bagi Allah sama artinya telah menyerupakan Allah dengan dengan benda-beda mati (seperti batu, tanah, kayu dan sebagainya) yang tidak memiliki sifat marah.

b. Kesamaan nama tidak mengharuskan kesamaan materi, sebagai contoh, Allah bersifat wujud (ada), demikian juga manusia bersifat wujud, akan tetapi eksistensi keduanya berbeda, wujud Allah Azza wa Jalla adalah wujud azali abadi, sedangkan wujud manusia adalah wujud fana dan sementara.

Demikian juga dengan sifat murka, meskipun Allah Subhanahu wa Ta’ala punya sifat marah namun amarah Allah sesuai dengan kemuliaan-Nya tidak sama dengan sifat amarah makhluk-Nya.

2. Marah adalah keadaan saat darah mendidih dalam hati dan hal itu mustahil bagi Allah, pemahaman seperti ini juga tidaklah tepat, sebab mendidihnya darah atau berubahnya warna wajah saat marah adalah merupakan sifat yang hanya terjadi pada makhluk.

Adapun terhadap Allah Azza wa Jalla, maka sifat marah-Nya tidak lazim harus seperti itu, nah... lantas bagaimana marahnya Allah? Hanya Allah–lah yang mengetahui bagaimana kaifiah-nya.
3. Menetapkan sifat marah bagi Allah sama dengan mengatakan bahwa Allah dipengaruhi oleh ciptaan dan ciptaan yang menyebabkan peristiwa kemarahan-Nya dan lain-lain, padahal Allah Azza wa Jalla tidak terpengaruh oleh apa yang kita lakukan atau oleh apa pun dalam ciptaan-Nya, karena Dia tidak membutuhkan ciptaan dengan cara atau bentuk apapun.

Untuk meluruskan kesalahpahaman ini kita bisa menjawabnya dari beberapa sisi, yaitu :

Pertama : Yang menetapkan sifat murka bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Allah sendiri, sedangkan kewajiban kita hanyalah menetapkan apa-apa yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri, sebagai hamba-Nya tentu kita tidak boleh lancang sampai berani menolak ketetapan Allah Azza wa Jalla atau menetapkan perkara yang tidak Ia tetapkan bagi diri-Nya

Kedua : Sifat murka adalah sifat ikhtiyariyah (pilihan) Allah, artinya Allah tidak dipaksa oleh siapapun dalam hal ini, semuanya terserah kepada kehendak Allah dan jika Ia menghendaki, maka Ia akan murka kepada orang yang pantas untuk dimurkai, sebagaimana Allah juga meridhai hamba-Nya sesuai dengan kehendak dan iradah-nya.

Jadi, menetapkan sifat murka bagi Allah, tidaklah berarti mengatakan bahwa Allah bergantung kepada makhluk-Nya, dengan demikian kita tidak perlu mentakwil makna ghadhab dengan “kehendak menyiksa” atau “siksaan” atau takwil-takwil lain yang menyimpang dari makna lahirnya

Posting Komentar untuk "Memahami Sifat Marah Allah (Ghadhab)"