Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Syarah Tentang Istigfar dan Taubat

"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 'Demi Allah, sesungguhnya aku minta ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dan tujuh puluh kali." (H.R. Al-Bukhari dalam Fathul Bari, (11/101), No. 6307).

Shahabat yang meriwayatkan hadits ini adalah Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu. Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata, "Aku tidak melihat orang banyak melakukan istighfar daripada yang dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam."


Para ulama berkata, "Istighfar yang diminta adalah yang sanggup memudarkan ikatan keterus-menerusan yang mengukuhkan maknanya dalam hati, dan bukan hanya sekedar lafazh dengan lisan."

"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 'Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah, sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam sehari." (H.R. Imam Muslim, (4/2076), No. 2702).

Dan Rasulullah Shallailahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 'Barangsiapa yang membaca: 'Aku minta ampun kepada Allah Yang Mahatinggi, tiada Tuhan Yang berhak disembah, kecuali Dia, Yang hidup dan terus-menerus mengurus makhluk-Nya, aku bertaubat kepada-Nya, maka Allah mengampuni dosa-dosanya, sekalipun dia pernah melarikan diri dari medan perang." (Ditakhrij Abu Dawud, (2/85), no. 1517; At-Tirmidzi, (5/569), no. 3577; dan Al-Hakim dan dia menyahihkannya yang disepakati AdzDzahabi (1/511). Juga dishahihkan Al-Albani. Lihat Shahih At-Tirmidzi, (3/182); dan Jami' Al-Ushul li Ahadits Ar-Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam, (4/389-390) dengan tahqiq oleh Al-Arnauth.

Shahabat yang meriwayatkan hadits ini adalah Zaid bin Baula (Ayah Yasar, budak Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam). Ungkapan َ'Sekalipun dia melarikan diri dari medan pertempuran'. Ath-Thibiy Rahimahullah berkata adalah pasukan tentara yang sangat banyak yang terlihat seakan-akan melarikan diri karena banyaknya."

Al-Muzhaffar Rahimahullah berkata, "Itu adalah perkumpulan pasukan tentara di hadapan pasukan lawan", dengan kata lain, dari peperangan melawan orang-orang kafir di mana tidak boleh melarikan diri."

"Dan beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 'Keadaan yang paling dekat antara Tuhan dan hambaNya adalah di tengah malam yang terakhir. Apabila kamu mampu tergolong orang yang berdzikir kepada Allah pada saat itu, lakukanlah." (Ditakhrij At-Tirmidzi, No. 3579; An-Nasa'i, (1/279); dan Al-Hakim. Lihat Shahih At-Tirmidzi, (3/183); dan Jami' Al-Ushul dengan tahqiq Al-Arnauth, (4/144).

Shahabat yang meriwayatkan hadits adalah Amr bin Abasah Radhiyallahu Anhu. Ungkapan َ'Saat Rabb paling dekat dengan hamba-Nya'. Hikmah dalam dekatnya Rabb dari seorang hamba di waktu seperti itu adalah karena waktu seperti itu adalah waktu untuk menyeru Rabb. Apakah engkau tidak melihat hadits lain,

"Rabb kita setiap malam turun ke langit dunia ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir." Pada waktu sedemikian Rabb sangat dekat kepada hamba-Nya. Tidak akan mendapatkan bagiannya yang sangat banyak, kecuali orang-orang yang memiliki kesiapan dan selalu mengintai untuk mendapatkan faidah yang sangat agung itu yang sudah barang tentu di atasnya ditegakkan banyak manfaat keagamaan dan keduniaan.

"Dan beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 'Seorang hamba berada dalam keadaan yang paling dekat dengan Tuhannya adalah di saat sujud. Oleh karena itu, perbanyaklah oleh kalian do'a." (H.R. Imam Muslim, (1/350), no. 482).

Shahabat yang meriwayatkan hadits ini adalah Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu. Ungkapan َ'Paling dekat'. Sebagian para ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwa sujud lebih utama daripada berdiri. Imam Ahmad Rahimahullah berkata, "Sesungguhnya dengan jumlahnya yang banyak lebih utama daripada lamanya berdiri, demikian yang benar."

Menurut madzhab Abu Hanifah Rahimahullah bahwa lamanya berdiri lebih utama daripada banyaknya jumlah ruku' dan sujud. Demikian juga dikatakan Asy-Syafi'i. Hal itu karena sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sebaik-baik shalat adalah yang panjang berdirinya." (H.R. Imam Muslim, no. 756).

Karena dzikir ketika berdiri adalah Al-Qur’an; dzikir ruku' dan sujud adalah tasbih. Al-Qur’an lebih utama. Sesuatu yang lama dengan Al-Qur’an itulah yang lebih utama. Ishaq Rahimahullah berkata, "Jika di siang hari, maka lebih banyak ruku' dan sujud, sedangkan di malam hari adalah lamanya berdiri. Kecuali yang memiliki kelompok majelis malam yang selalu dia datangi, maka banyaknya ruku' dan sujud dalam keadaan seperti itu lebih kusukai, karena dia datang kepada kelompoknya." At-Tirmidzi Rahimahullah berkata, "Ishaq mengatakan sedemikian karena dia menyifati shalat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pada malam hari dan menyifati berdirinya yang lama, sedangkan pada siang hari dia tidak menyifati shalatnya dengan berdirinya yang lama sebagaimana yang dia sifati pada shalatnya di malam hari."

Sedangkan makna bahwa seorang hamba lebih dekat kepada Allah Ta'ala ketika sedang sujud daripada seluruh kondisinya yang lain, karena kondisinya yang demikian menunjukkan kepada penghambaan yang paling mendalam dan pengakuan akan ubudiyah dalam dirinya serta rububiyah Rabbnya, maka menjadi sesuatu yang dianggap paling dekat dengan ijabah.

Oleh sebab itu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan agar memperbanyak do'a. Wallahu A'lam.

"Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 'Sesungguhnya hatiku terkadang lupa dan sesungguhnya aku minta ampun kepada-Nya dalam sehari seratus kali." (Ditakhrij Muslim, (4/2075), no. 2702. Lihat Jami' Al-Ushul, (4/386).

Shahabat yang meriwayatkan hadits ini adalah Al-Agharr Al-Muzani Radhiyallahu Anhu. Ungkapan َ'Sungguh terkadang lupa'. Ibnu Al-Atsir Rahimahullah berkata, َartinya 'sungguh hatiku terkadang lupa'. Sedangkan yang dimaksud di sini adalah lalai.

Karena beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam selalu dalam keadaan yang terus bertambah kuantitas dzikir dan taqarub serta kontinuitas muraqabahnya. Jika tiba-tiba beliau lupa sebagian dari semua itu pada suatu waktu, maka beliau anggap hal itu suatu dosa bagi dirinya, sehingga beliau segera bangkit untuk beristighfar."

Posting Komentar untuk "Syarah Tentang Istigfar dan Taubat"