Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Adab dan Aturan Terhadap Pekerja Dalam Islam

Adab Atau Aturan Mempekerjakan Orang Dalam Islam

Kadang kala seseorang berhajat untuk menyewa tenaga orang lain, satu ataupun lebih atau mempekerjakannya untuk suatu pekerjaan tertentu, baik karena memang ia membutuhkannya maupun karena ia tidak mampu melakukan pekerjaan itu seorang diri, maka ketika itu, ia harus mengetahui adab-adab lslami dan bimbingan yang berkaitan dengan ijaarah (mempekerjakan orang), kita akan menyebutkan sebagiannya menurut apa yang kami ketahui dengan pertolongan Allah Ta’ala, di antaranya adalah :

1. Hendaknya Bagi Muslim Mempekerjakan Seorang Muslim, bukan Orang di Luar Islam
Wajib bagi kaum Muslimin untuk tidak mempekerjakan seseorang kecuali seorang Muslim, tidak boleh ia mempekerjakan orang musyrik. Sesungguhnya Nabi Saw telah bersabda : "...Aku tidak akan meminta bantuan kepada orang musyrik." (H.R. Imam Muslim (1817) dari 'Aisyah Ra).

Umar ibnul Khaththab Ra sangat marah ketika Abu Musa Al-Asy'ari Ra menyewa seorang juru tulis Nasrani pada masa kepemimpinannya di Kufah, terkecuali jika memang ia tidak menemukan seorang Muslim hingga ia terpaksa mengupah orang musyrik, dengan syarat tidak memberikan kekuasaan kepada orang tersebut atas aset-aset kaum Muslimin.

Allah Ta'ala berfirman : "...Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman." (Q.S. An-Nisaa'/4: 141).

2. Hendaknya Mempekerjakan Seorang yang Kuat lagi Terpercaya
Hendaknya seorang Muslim mempekerjakan untuk hajatnya seorang yang ada pada dirinya sifat amanah, bagus agamanya, kuat, dan layak, hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala : "... Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." (Q.S. Al-Qashash/28: 26).

Sebab, orang yang memiliki sifat-sifat seperti ini akan mampu melaksanakan tugas dan lebih bertakwa kepada Allah dalam tugasnya. Adapun orang yang hanya memiliki sebagian sifat di atas dan tidak memiliki sebagian yang lain akan menyebabkan kekacauan sehingga pekerjaan tersebut tidak akan sempurna hasilnya sebagaimana yang diharapkan.

Disebutkan dalam satu riwayat bahwa 'Umar Ibnul Khaththab Ra, ia berkata: "Ya, Allah, aku mengadukan kepada-Mu kelemahan orang yang amanah dan pengkhianatan orang yang kuat."

3. Kemudahan dalam Muamalah
Yang dimaksud adalah muamalah antara majikan dan pekerja yang diwarnai dengan kemudahan, kelembutan dan penuh kerelaan hati, sesungguhnya Islam sangat menganjurkan kemudahan dalam semua bentuk muamalah.

Rasulullah Saw bersabda : "Allah merahmati orang yang mudah jika menjual, membeli dan menagih." (H.R. Al-Bukhari (2076) dari Jabir Ra).

4. Kesepakatan
Maksudnya adalah kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya, yakni tentang pekerjaan yang diminta, penjelasan karakter dan perinciannya, serta upah yang pantas sehingga tidak merugikan salah satu pihak.

Kesepakatan ini akan memutuskan sebab-sebab perselisihan, menutup pintu masuk syaitan, serta mencegah kecurangan dan penipuan. Sebagaimana pula majikan tidak boleh memanfaatkan kefakiran pekerja atau memaksanya mengerjakan sesuatu hingga merugikan haknya atau memberinya upah yang tidak pantas dan tidak sesuai dengan pekerjaan.

Dalil disyari'atkannya kesepakatan dan penetapan upah adalah sabda Rasulullah Saw ketika ditanya tentang pekerjaan beliau menggembala kambing. Beliau Saw bersabda : "Aku menggembala kambing untuk penduduk Makkah dengan upah beberapa qirath." (H.R. Al-Bukhari (2262) dari Abu Hurairah).

Yang dimaksud dengan qirath adalah bagian dari dinar atau dirham. Satu qirath (4/6 dinar) sama dengan setengah daniq (1/4 dirham) dan satu dirham sama dengan enam daniq ddan sebagian perawi hadits berpegang dengan tafsir ini, sebagaimana yang dipilih oleh Ibnu Hajar.

5. Tidak Boleh Mempekerjakan Seseorang untuk Perkara yang Haram
Seorang pekerja tidak boleh menerima pekerjaan yang didalamnya terkandung kemarahan Allah Ta'ala, misalnya menjaga toko yang menjual barang-barang haram, seperti rokok, minuman keras, majalah dan CD-CD porno dan lain sebagainya.

Janganlah ia menerima kecuali pekerjaan yang diperbolehkan hingga upah yang ia terima itu halal dan baik, demikian juga bagi majikan, janganlah ia mempekerjakan seseorang untuk membantunya melakukan pekerjaan yang haram, hal demikian akan menambah dosa pada dosanya yang pertama, yaitu melakukan perbuatan haram, dengan dosa baru, yaitu mengikutsertakan orang lain dalam perkara haram tersebut.

Pada asalnya, ia juga tidak boleh melakukan hal itu, mempekerjakan seseorang untuk perkara haram adalah suatu yang bathil dan tidak dibenarkan, sebagaimana tidak boleh seorang majikan memaksa buruh mengerjakan sesuatu yang mendatangkan kemurkaan Allah Ta’ala.

6. Amanah dalam Melaksanakan Tugas dan Pekerjaan 

Sudah selayaknya seorang pekerja melaksanakan tugasnya dengan penuh amanah dan tidak berkhianat, hendaknya ia bertakwa kepada Allah Ta’ala, bahkan ketika majikan tidak ada dan ia harus tetap muraqahah (merasa dalam pengawasan) dengan Rabbnya dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Sesungguhnya ini merupakan sifat amanah.

Allah Ta'ala berfirman : "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya..." (Q.S. An-Nisaa'/4: 58).

7. Menyerahkan Hasil Keuntungan kepada Majikan 
Seorang pekerja hendaknya menyerahkan keuntungan kepada majikannya karena hal itu merupakan bentuk penunaian amanah.
Rasulullah Saw bersabda : "Seorang bendahara yang amanah, yang menunaikan apa yang diperintahkan kepadanya dengan senang hati, termasuk orang yang bershadaqah." (H.R. Al-Bukhari (2260) dan Imam Muslim (1023) dari Abu Musa Ra).

Tidak boleh ia mengambil sesuatu pun untuk dirinya karena itu merupakan pengkhianatan, sebagaimana ia juga tidak boleh menyerahkan keuntungan kepada selain majikannya, sesungguhnya itu adalah kezhaliman, demikian juga hendaknya ia bersikap wara’ (berhati-hati) dalam menerima hadiah yang diserahkan kepadanya disebabkan posisinya pada jabatan itu.

8. Berbelas Kasih kepada Pegawai
Hendaknya seorang majikan tidak membebani pegawai dengan pekerjaan di luar kemampuan atau memikulkan kepadanya pekerjaan yang tidak sanggup ia kerjakan, terkecuali jika majikan turut membantunya mengerjakan tugas yang berat itu.

Rasulullah Saw bersabda : "Janganlah kalian membebani mereka dengan sesuatu yang mereka tidak mampu, jika kalian membebankan sesuatu kepada mereka, maka bantulah." (H.R. Al-Bukhari (30) dan Imam Muslim (1661) dari Abu Dzarr).

9. Menunaikan Hak Pekerja
Hendaknya seorang majikan menunaikan hak-hak pekerja yang telah disepakati sebelumnya, segera setelah ia menyelesaikan tugasnya, berdasarkan sabda Rasulullah Saw : "Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya." (H.R. Ibnu Majah (2443) dari Ibnu 'Umar).

Janganlah ia berusaha untuk menunda-nunda penyerahannya atau merugikan sedikit pun darinya, yakni, dengan menahan upah tanpa alasan dan yang semisalnya, sebab, perbuatan itu termasuk kategori memakan harta orang secara bathil, maka selayaknya setiap majikan menyadari, bahwasanya memakan hak pekerja merupakan dosa yang sangat besar.

Rasulullah Saw bersabda : "Allah Ta'ala berfirman; 'Ada tiga macam orang yang langsung Aku tuntut pada hari Kiamat: orang yang membuat perjanjian atas nama-Ku lalu ia langgar; orang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil penjualannya; dan orang yang mempekerjakan orang lain, yang orang itu telah menyempurnakan pekerjaannya, tetapi ia tidak memberikan gajinya (upahnya)." (H.R. Al-Bukhari (2127).

10. Menjaga Hak-Hak Pekerja yang Pergi (Tidak Hadir)
Hendaknya seorang majikan tetap menjaga hak-hak pekerja jika pekerja itu pergi sebelum ditunaikan haknya, baik karena sakit, pergi tiba-tiba atau sebab lainnya, seandainya upah pekerja itu bergabung dengan harta majikan dan terus bertambah keuntungannya ketika si pekerja pergi, hendaknya majikan menyerahkan upah itu berikut keuntungannya.

Ini merupakan amal shalih dan bentuk penunaian amanah. Rasulullah Saw bersabda mengisahkan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua : "Orang yang ketiga berkata: 'Ya, Allah, aku pernah mempekerjakan beberapa orang pekerja. Aku pun menyerahkan upah mereka masing-masing, kecuali upah satu orang yang ia pergi sebelum aku menyerahkan upahnya. Kemudian, aku mengusahakan upah itu hingga berkembang menjadi harta yang banyak, Setelah berlalu beberapa waktu, ia pun mendatangiku seraya berkata: 'Wahai, hamba Allah, serahkanlah upahku kepadaku!' Aku berkata kepadanya: 'Semua yang engkau saksikan berupa unta, sapi, kambing, dan budak ini adalah upahmu.' Dia berkata: 'Wahai, hamba Allah, janganlah engkau bergurau denganku.' Aku berkata: 'Aku tidak bergurau'. Maka dia pun mengambil seluruh harta itu, menuntunnya, dan tidak menyisakannya sedikit pun. Ya, Allah, jika aku melakukan semua itu semata-mata karena mengharap wajah-Mu, maka keluarkanlah kami dari tempat ini, Batu itu pun bergeser hingga mereka bertiga dapat berjalan keluar. " (H.R. Al-Bukhari (3465) dan Imam Muslim (2743) dari Ibnu 'Umar Ra).

Seandainya pekerja itu telah mati sebelum ia menerima upah, hendaknya majikan menyerahkan upah itu kepada ahli warisnya dengan segera, sebab, mereka lebih berhak atas upah tersebut, inilah merupakan bentuk penunaian.

Jika majikan sudah berusaha mencari ahli waris pekerja itu namun tidak juga menemukannya, hendaknya ia bersedekah senilai upah itu atas nama pekerja tersebut. Allaahu a'lam.

Posting Komentar untuk "Adab dan Aturan Terhadap Pekerja Dalam Islam"