Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Beberapa Pertanyaan Tentang Bid'ah

Mungkin ada di antara kita yang bertanya, bagaimanakah pendapat anda tentang perkataan Umar bin Khattab Ra setelah memerintahkan kepada Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Dari agar mengimami orang-orang di bulan Ramadhan, ketika keluar mendapatkan jama'ah sedang berkumpul dengan imam mereka, beliau berkata: "Inilah sebaik-baik bid'ah...dst."

Jawabannya:
Pertama: Bahwa tak seorangpun di antara kita boleh menentang sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun dengan perkataan Abu Bakar, Umar, 'Utsman, Ali atau dengan perkataan siapa saja selain mereka, karena Allah Ta'ala berfirman: "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan di timpa fitnah atau di timpa adzab yang pedih." (Q.S. An-Nur : 63).

Imam Ahmad bin Hambal berkata: "Tahukah anda, apakah yang di maksud dengan fitnah? Fitnah, yaitu syirik. Boleh jadi apabila menolak sebagian sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam akan terjadi pada hatinya suatu kesesatan, akhirnya akan jadi binasa."

Ibnu Abbas Ra berkata: "Hampir saja kalian di lempar batu dari atas langit. Kukatakan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, tapi kalian menentangnya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar."

Kedua: Kita yakin kalau Umar Ra termasuk orang yang sangat menghormati firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Beliaupun terkenal sebagai orang yang berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah Ta'ala, sehingga tak heran jika beliau mendapat julukan sebagai orang yang selalu berpegang teguh kepada kalamullah.

Dan kisah perempuan yang berani menyanggah perkataan beliau tentang pembatasan mahar (maskawin) dengan firman Allah, yang artinya: "Sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak..." bukan rahasia lagi bagi umum, sehingga beliau tidak jadi melakukan pembatasan mahar, sekalipun kisah ini perlu diteliti lagi tentang kesahihannya, tetapi dapat menjelaskan, bahwa Umar adalah seorang yang senantiasa berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, tidak melanggarnya.

Oleh karena itu, tak patut bila Umar Ra menentang sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata tentang suatu bid'ah: "Inilah sebaik-baik bid'ah", padahal bid'ah tersebut termasuk dalam kategori sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: "Setiap bid'ah adalah kesesatan."

Akan tetapi bid'ah yang di katakan oleh Umar Ra, harus di tempatkan sebagai bid'ah yang tidak termasuk dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, maksudnya adalah mengumpulkan orang-orang yang mau melaksanakan shalat sunat pada malam bulan Ramadhan dengan satu imam, di mana sebelumnya mereka melakukannya sendiri-sendiri.

Sedangkan shalat sunat ini sendiri sudah ada dasarnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana di nyatakan oleh Aisyah Ra, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukan qiyamul lail (bersama para sahabat) tiga malam berturut-turut, kemudian beliau menghentikannya pada malam keempat dan bersabda: "Sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut di wajibkan atas kamu, sedangkan kamu tidak mampu untuk melaksanakannya." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Jadi qiyamul lail (shalat malam) di bulan Ramadhan dengan berjama'ah termasuk sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun di sebut bid'ah oleh Umar Ra dengan pertimbangan, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah menghentikannya pada malam keempat, ada di antara orang-orang yang melakukannya sendiri-sendiri, ada yang melakukannya dengan berjama'ah dengan beberapa orang saja dan ada yang berjama'ah dengan orang banyak.

Akhirnya Amirul mu'minin dengan pendapatnya yang benar mengumpulkan mereka dengan satu imam, maka perbuatan yang di lakukan oleh Umar ini di sebut bid'ah, bila di bandingkan dengan apa yang di lakukan oleh orang-orang sebelum itu, akan tetapi sebenarnya bukanlah bid'ah, karena pernah di lakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan penjelasan ini, tidak ada suatu alasan apapun bagi ahli bid'ah untuk menyatakan perbuatan bid'ah mereka sebagai bid'ah hasanah, mungkin ada juga yang bertanya: Ada hal-hal yang tidak pernah di lakukan pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi di sambut baik dan di amalkan oleh umat Islam, seperti adanya sekolah, penyusunan buku, dan lain sebagainya.

Hal-hal baru seperti itu di nilai baik oleh umat Islam, di amalkan dan di pandang sebagai amal kebaikan, lalu bagaimana hal ini, yang sudah hampir menjadi kesepakatan kaum Muslimin, di padukan dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: "Setiap bid'ah adalah kesesatan."

Jawabannya: Kita katakan bahwa hal-hal seperti ini sebenarnya bukan bid'ah, melainkan sebagai sarana untuk melaksanakan perintah, sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya, sebagaimana di sebutkan dalam kaidah: "Sarana di hukumi menurut tujuannya".

Maka sarana untuk melaksanakan perintah, hukumnya di perintahkan, sarana untuk perbuatan yang tidak di perintahkan, hukumnya tidak di perintahkan, sedang sarana untuk perbuatan haram, hukumnya adalah haram.

Untuk itu suatu kebaikan jika di jadikan sarana untuk kejahatan, akan berubah hukumnya menjadi hal yang buruk dan jahat, firman Allah Ta'ala: "Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan."

Padahal menjelek-jelekkan sembahan orang-orang musyrik adalah perbuatan haq dan pada tempatnya, sebaliknya menjelek-jelekkan Rabbul 'Alamin adalah perbuatan durjana dan tidak pada tempatnya, namun karena perbuatan menjelek-jelekkan dan memaki sembahan orang-orang musyrik menyebabkan mereka akan memaki Allah, maka perbuatan tersebut di larang.

Ayat ini sengaja kami kutip, karena merupakan dalil yang menunjukkan bahwa sarana di hukumi menurut tujuannya, adanya sekolah-sekolah, karya ilmu pengetahuan dan penyusunan kitab-kitab dan lain sebagainya, walaupun hal baru dan tidak ada seperti itu pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, namun bukan tujuan, tetapi merupakan sarana.

Sedangkan sarana yang di hukumi menurut tujuannya, jadi seandainya ada seorang yang membangun gedung sekolah dengan tujuan untuk pengajaran ilmu yang haram, maka pembangunan tersebut hukumnya adalah haram, sebaliknya apabila bertujuan untuk pengajaran ilmu syar'i, maka pembangunannya adalah di perintahkan.

Jika ada pula yang mempertanyakan: bagaimana jawaban anda terhadap sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: "Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam, maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikutinya (meniru) perbuatannya itu..."

Jawabannya: Bahwa orang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan pula: "Setiap bid'ah adalah kesesatan" yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak mungkin sabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada pertentangan satu sama lainnya.

Sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan, kalau ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali, anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau kurang jeli dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam firman Allah atau sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi Saw menyatakan: "Man Sanna Fil Islam" yang artinya" Barangsiapa berbuat dalam Islam" sedangkan bid'ah bukan termasuk dalam Islam, kemudian menyatakan "sunnah hasanah" berarti sunnah yang baik, sedangkan bid'ah bukan yang baik.

Tentu berbeda antara berbuat sunnah dengan mengerjakan bid'ah, jawaban lainnya, bahwa kata-kata "Man Sanna" bisa di artikan pula: "Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah" yang telah di tinggalkan dan pernah ada sebelumnya.

Jadi kata "Sanna" tidak berarti membuat sunnah untuk dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah di tinggalkan, ada juga jawaban lain yang di tunjukkan oleh sebab timbulnya hadits di atas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan mereka dalam keadaan yang amat sulit, maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari harta mereka.

Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu di letakkannya di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, seketika itu berseri-serilah wajah beliau dan bersabda: "Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu..."

Dari sini dapat di pahami, bahwa arti "Sanna" adalah melaksanakan (mengerjakan) bukan berarti membuat (mengadakan) suatu sunnah, jadi arti dari sabda beliau: "Man Sanna Fil Islam Sunnah Hasanah" yaitu "Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik" bukan membuat atau mengadakannya, karena yang demikian ini di larang berdasar sabda beliau: Kullu bid'ah dhalalah.

Posting Komentar untuk "Beberapa Pertanyaan Tentang Bid'ah"