Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Pembahasan Singkat Tentang Dasar Dzikir Berjama'ah

Ayat-ayat Al-Qur'an yang di anggap mensyari'atkan dzikir berjama'ah.

Pada artikel kali ini kita membahas tentang adanya suatu pendapat tentang dasar dzikir berjama'ah, di katakan dasarnya ada pada tiga ayat Al-Qur'an yang di klaim sebagai dasarnya, ketiga ayat ini di katakan mengisyaratkan kepada di syari'atkannya berdzikir secara berjama'ah, ayat-ayat yang di maksud adalah:

1. Ayat pertama : "Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kalian (dengan menyebut nama) Allah dzikir yang banyak." (Q.S. Al-Ahzab : 41). "Ayat-ayat yang senada dengan ini dapat di baca dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah, yaitu ayat: 152 dan ayat 200.

Ayat 152 Surah Al-Baqarah adalah sebagai berikut: "Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu dan janganlah kamu mengingkari (ni'mat)-Ku".

Adapun ayat 200, Surah Al-Baqarah adalah sebagai berikut: "Apabila kamu telah selesai menunaikan ibadah haji kalian, maka berdzikirlah (menyebut nama) Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyang kalian atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu, maka di antara manusia ada yang berdo'a: "Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat".

2. Ayat kedua : "(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah ...". (Q.S. Ali Imran : 191).

3. Ayat ketiga : "Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah ....". (Q.S. Al-Ahzab : 35).

"Pada firman-firman Allah Subhanahu wa ta'ala di atas, yakni Q.S. Al-Ahzab ayat 41: Udzkurullah, Q.S. Ali Imran ayat 191: Yadzkurunallah dan Q.S. Al-Ahzab ayat 35: Adz Dzaakiriinallah dan Adz Dzaakiraat, di tilik dari sisi bahasa Arab, semua itu menggunakan dhamir jama'/plural (antum, hum dan hunna) bukan dhamir mufrad/singular (anta, huwa dan hiya).

Hal ini jelas mengisyaratkan bolehnya dan di anjurkannya dzikir secara berjama'ah", demikianlah kesimpulan dan pemahaman tentang dasar dzikir berjama'ah ini.

Ulama' siapa dan ulama' mana yang memiliki pemahaman seperti pemahaman ini? Dan kitab tafsir apa yang di jadikan rujukan, sehingga berkesimpulan demikian ini??!! Ini adalah pemahaman orang yang baru belajar bahasa arab, jadi untuk membuktikan kekeliruan ini, mari kita simak ayat-ayat yang menggunakan metode serupa dengan ketiga ayat ini:

1. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman: "Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim, (bilamana kalian mengawininya) maka kawinilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) oleh kalian seorang wanita saja atau budak-budak yang kalian miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya". (Q.S. An-Nisa' : 3).

Pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta'ala menggunakan dhamir jama'/plural sebagaimana yang ada pada ketiga ayat di atas, yang menjadi pertanyaan adalah: "Apakah tetap masih bersikukuh, bahwa setiap ayat yang menggunakan dhamir jama'/plural berarti ada isyarat untuk melakukannya secara berjama'ah? Bila memang demikian, apakah pada ayat ini juga di syari'atkan untuk menikah berjama'ah?

Apalagi pada akhir ayat Allah berfirman: "Nikahilah oleh kalian seorang wanita saja". Bila di katakan: Ya, berarti na'uzubillah, akan memfatwakan bolehnya kumpul kebo satu wanita di nikahi oleh seratus orang, inilah kelaziman pemahaman yang sedemikian dan inilah penerapan ilmu ushul fiqh yang akan di ikuti?

2. Pada ayat lain Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku dan sapulah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki dan jika kalian junub maka mandilah dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah muka dan tangan kalian dengan tanah itu." (Q.S. Al-Maidah : 6).

Kita ingin bertanya lagi: "Apakah ayat ini yang menggunakan dhamir jama'/plural mengisyaratkan untuk berwudhu' dengan berjama'ah? Dan apakah ayat ini juga mengisyaratkan tentang di syari'atkannya bertayamum beramai-ramai (berjama'ah), bagi yang sakit dan safar, hanya karena ayatnya menggunakan dhamir jama'? Dan apakah ayat ini juga mengisyaratkan tentang di syari'atkannya mandi janabah masal, misalnya di pemandian umum atau kolam renang umum, karena ayatnya menggunakan dhamir jama'?

3. Dalam ayat lain Allah berfirman: "Istri-istri kalian adalah (seperti) ladang (tanah bercocok tanam) kalian, maka datangilah ladang kalian itu dari sisi manapun kalian suka". (Q.S. Al-Baqarah : 223). Kita ingin bertanya lagi: "Ayat yang menggunakan dhamir jama'/plural ini, juga mengisyaratkan untuk menjalankan amalan yang di sebutkan dalamnya dengan cara berjama'ah (masal), sehingga dengan tidak langsung bapak menganjurkan para suami untuk menggauli istri-istrinya secara masal (satu ruang untuk beratus-ratus pasangan)?! Kalau demikian halnya, apa bedanya antara manusia dengan binatang?!

Kalau demikian ini pemahaman yang di anut, maka betapa jauhnya kekeliruan yang ada pada pemahaman sedemikian dan bila tidak mengatakan demikian, berarti telah meruntuhkan kaidah yang telah di bangun sendiri dengan dasar tentang kaidah dhamir jama'/plural tersebut.
Bahkan pada ayat 191 Surat Ali Imran Allah berfirman: "(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (Q.S. Ali Imran : 191).

Kita ingin bertanya lagi: "Apakah ayat ini juga mengisyaratkan bahwa di anjurkan untuk berdzikir berjama'ah sambil tiduran/berbaring? Bila ada yang bertanya: "Lalu bagaimana maksud dan pemahaman yang benar? Ketiga ayat yang di sebutkan di atas?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita harap para pembaca kembali membuka Terjemahan Al-Qur'an dan membaca arti ketiga ayat di atas dengan seksama, setelah para pembaca membaca dengan seksama arti ketiga ayat yang di sebutkan di atas, kita akan memulai mengajak pembaca untuk sedikit berkonsentrasi, karena yang akan di sebutkan berikut ini adalah beberapa kaidah penting dalam ilmu ushul fiqh.

Para ulama' ahli ilmu ushul fiqh mengatakan, bahwa untuk mengungkapkan suatu makna yang bersifat umum, di kenal apa yang di istilahkan oleh mereka dengan sebutan: shiyagh al 'umum "lafadz-lafadz yang menunjukkan akan makna yang bersifat umum".

Di antara shiyagh al umum adalah kata sambung, yang hanya di gunakan bila subyek jama'/plural dan di antara shiyagh al 'umum adalah kata-kata jama', semacam "laki-laki yang berdzikir" dan "wanita-wanita yang berdzikir".

Fungsi shiyagh al umum adalah untuk menunjukkan keumuman, sehingga kata itu mencakup seluruh orang yang memiliki kriteria seperti yang di sebut dalam ungkapan itu, misalnya pada ayat 41 dari Surat Al-Ahzab di atas, fungsi penggunaan shiyagh al 'umum, yaitu, adalah agar mencakup setiap orang yang memiliki kriteria yang di sebutkan dalam ayat ini, yaitu kriteria keimanan, dengan demikian perintah berdzikir yang di sebutkan dalam ayat ini tertuju kepada seluruh orang yang beriman.

Dan ayat 35 dari Surat Al-Ahzab, yang menggunakan adalah agar janji Allah Subhanahu wa ta'ala berupa ampunan dan pahala yang besar di dapat oleh seluruh orang yang banyak berdzikir, baik lelaki atau perempuan.

Inilah fungsi penggunaan shiyagh al' umum bukan seperti yang di sangka oleh pendapat pada pembahasan di atas.

Perintah-perintah dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, ada yang telah di perinci dan di sebutkan batasan-batasannya dengan jelas dan ada yang tidak di perinci, perintah jenis pertama di sebut dengan Al-Muqayyad dan jenis kedua di sebut dengan Al-Muthlaq, sebagai contoh jenis pertama, yaitu Al-Muqayyad adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala: "Dan tidaklah layak bagi seorang mukmin untuk membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena salah (dengan tidak sengaja) dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan tidak sengaja, maka ia harus memerdekakan seorang budak yang beriman (seorang budak mukmin) dan membayar diat yang di serahkan kepada keluarganya (orang yang terbunuh)". (Q.S. An-Nisa' : 92).

Pada ayat ini hukuman orang yang membunuh seorang mukmin dengan tidak sengaja adalah memerdekakan seorang budak mukmin dan membayat diat (denda). Kata "seorang budak yang beriman" di sebut muqayyad, karena budaknya telah di sebutkan kriterianya dengan terperinci dan jelas, yaitu budak yang beriman, dengan demikian, bila ada seorang yang membunuh orang muslim lain tanpa di sengaja, kemudian ia memerdekakan seorang budak nasrani, maka tidak sah dan belum gugur kewajibannya.

Sebagai contoh jenis yang kedua, yaitu Al-Muthlaq adalah firman Allah Subhanahu wa ta'ala: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, ......(Q.S. Al-Maidah : 6).

Pada ayat ini Allah memerintahkan kita bila kita hendak mendirikan shalat agar berwudlu' dan Allah tidak menyebutkan perincian lebih lanjut tentang shalat yang kita di perintahkan untuk berwudlu' karenanya, sehingga kata "Shalat" di sebut Muthlaq.

Setelah pembagian ini jelas bagi kita, kita akan nukilkan ucapan As-Syaukani yang menjelaskan sikap kita dalam menghadapi kedua jenis perintah ini, yaitu : "Ketahuilah, bahwa Al-Khithab (dalil-dalil) bila datang dalam bentuk muthlaq dan tidak ada yang membatasinya (merincinya), maka lazim untuk di amalkan sesuai dengan apa adanya (yaitu dalam keadaan muthlaq) dan bila datang dalam keadaan telah diberikan batasanbatasan (muqayyad), maka lazim untuk di amalkan sesuai dengan batasan-batasan itu...".

Agar lebih jelas, silahkan membaca kitab-kitab Ushul Al-Fiqh apa saja, pasti anda akan mendapatkan pembahasan dengan tema: Al-'Umum. Sebagai misal: Kitab Al-Mustasyfa oleh Imam Al-Ghazali 3/212-dst, Raudhat An-Nadlir, oleh Ibnu Qudamah 2/103-dst, Irsyad Al-Fuhul, oleh As Syaukani 1/415-dst.

Berdasarkan kedua kaidah dalam ilmu ushul fiqh ini, kita dapat memahami bahwa ketiga ayat di atas, bila di pandang dari sisi orang yang di tujukan kepadanya perintah untuk berdzikir, maka kita katakan, bahwa ketiga ayat itu bersifat umum, karena menggunakan dhamir jama'/plural sehingga mencakup seluruh orang mukmin, tanpa terkecuali, terlepas dari apakah mereka melakukannya dengan sendirian atau tidak.

Dan bila kita kita tinjau dari sisi amalan yang mereka di perintah dengannya yaitu dzikir, ketiga ayat itu di katakan ayat-ayat yang muthlaq, karena Allah Subhanahu wa ta'ala pada ketiga ayat di atas tidak memberikan batasan-batasan tertentu, baik batasan yang berkaitan dengan bentuk dzikirnya, juga yang berhubungan dengan metode dan waktu pelaksanaannya.

Pemahaman ini akan menjadi jelas bila kita membaca ayat 41, kemudian di lanjutkan dengan membaca ayat 42 Surat Al-Ahzab: "Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (menyebutlah nama) Allah, dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang." (Q.S. Al-Ahzab : 41-42).

Ayat ke-42 ini mengisyaratkan, bahwa berdzikir kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dapat di lakukan kapan saja, tanpa di batasi dengan waktu tertentu dan bila kita membaca ayat 191 Surah Ali Imran, yaitu: "(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka". (Q.S. Ali Imran : 191).

Ayat ini dengan jelas menyebutkan, bahwa berdzikir kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dapat di lakukan dalam segala situasi dan kondisi, baik di saat berdiri atau duduk atau berbaring, bahkan ayat 35 Surat Al-Ahzab secara khusus, Nabi Shallallahu'alaihiwasallam telah memberikan contoh orang-orang yang di sebut "Banyak berdzikir kepada Allah Ta'ala": "Dari Abi Sa'id dan Abi Hurairah Radhiallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Bila seorang suami membangunkan istrinya pada malam hari, kemudian keduanya shalat dua raka'at, niscaya keduanya di catat termasuk laki-laki dan wanita yang banyak berdzikir kepada Allah".

Di manakah dzikir jama'ah seperti yang di pahami dalam hadits ini? yang ada hanyalah sepasang suami istri yang mendirikan shalat malam dua raka'at. Pendek kata, tidak ada sedikitpun dalam ketiga ayat yang di sebutkan di atas yang menunjukkan di syariatkannya dzikir dengan berjama'ah dan yang menyebabkan pendapat tersebut terjatuh kedalam kesalahan fatal ini adalah, karena Al-'ujmah (kelemahan dalam penguasaan bahasa arab), sebagaimana yang di nyatakan oleh Abu 'Amr bin Al-'Ala' kepada salah seorang tokoh mu'tazilah, yaitu kelompok yang mengingkari taqdir yang bernama 'Amer bin 'Ubaid: Riwayat Abu Daud, 2/33, hadits no: 1309, Ibnu Majah 1/423, hadits no:1335 dan Al-Hakim 2/452, hadits no: 3561.

Hadits-hadits Nabi Shallallahu'alaihiwasallam yang di duga mensyari'atkan dzikir berjama'ah. "Karena Al-'ujmah (kelemahan dalam penguasaan bahasa arab) yang ada pada diri kitalah sesungguhnya yang menjadikan terjatuh dalam kesalahan hal-hal yang berkaitan dengan ibadah".

Tatkala Al-Hasan Al-Bashri di sebutkan kepadanya beberapa kesalahan sebagian Ahlil Ahwa' Wal Bid'ah, ia berkata: "Sesungguhnya mereka tersesat akibat 'ujmah yang ada pada mereka".

As-Syathibi berkata: "Di antara (sebab-sebab tersesatnya ahlul bid'ah) adalah mereka selalu berusaha mereka-reka maksud Al-Qur'an dan As-Sunnah yang keduanya menggunakan bahasa arab, sedangkan mereka tidak menguasai ilmu bahasa arab, yang dengannyalah maksud Allah dan Rasul-Nya dapat di pahami, sehingga mereka menyeleweng dari syari'at dengan pemahaman dan keyakinan mereka itu, sebagaimana mereka juga menyelisihi ulama'-ulama' yang telah mendalam ilmunya dan yang menjadikan mereka terjerumus kedalam ini semua, karena mereka terlalu percaya dengan dirinya sendiri dan menganggap bahwa mereka telah memiliki kemampuan untuk berijtihad dan menyimpulkan sesuatu hukum".


Untuk selanjutnya Insya Allah kita bahas pula hadist-hadist yang di anggap mensyari'atkan dzikir berjama'ah...

Posting Komentar untuk "Pembahasan Singkat Tentang Dasar Dzikir Berjama'ah"