Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Sufistisasi Religiusitas Dalam Humanisasi Syari'at

Sejarah kembali mencatat kekerasan berlatar keagamaan menyusul berbagai kekerasan politik, sosial dan kriminalitas, apakah itu termasuk SARA atau lainnya, tapi berbagai peristiwa kekerasan di negeri ini menjadi penanda persoalan seperti itu selalu bisa muncul kembali secara tiba-tiba, anehnya, saat kekerasan tersebut terjadi, semua pihak menyesali dan menyalahkan pihak-pihak lain yang tak
jelas.


Dalam dinamika global, kejadian serupa juga bisa di alami negara yang selama ini di kenal berperadaban maju serta berkemakmuran ekonomi, hal ini berkaitan dengan doktrin keagamaan formalis yang tak jarang muncul dalam bentuk ideologi eksklusif.

Akibatnya, perbedaan pandangan akan dilihat sebagai pertentangan yang mengancam eksistensi ideologi yang dianut seseorang atau sekelompok orang.

Kontradiksi pesan kemanusiaan dan doktrin ideologis di atas adalah akibat dari kurang di kembangkannya keberagamaan sufisti, kemutlakan doktrin agama dalam rumusan legal-formalistis telah mendorong pertentangan dimana sebuah ancaman sosiologis berubah di pahami sebagai ancaman teologis.

Tindakan atas nama Tuhan, mudah terperangkap dalam sikap mutlak-mutlakan, benar sendiri dan sikap arogan. Tuhan pun sering di pergunakan sebagai pembenar segala tindakan yang tak jarang melibatkan kepentingan ekonomi-politik pragmatis.

Menanggapi fenomena yang biasanya melibatkan masyarakat kelas bawah itu, lapisan elite agama tak bisa begitu saja cuci tangan, dinamika keagamaan tak jauh beda dengan sejarah peradaban yang lebih merupakan dinamika elite.keagamaan representasi hegemoni kelas yang mencerminkan kepentingan elite.

Benar-salah secara keagamaan tergantung tafsir elite agama atas sumber teks dan realitas sosial, komitmen ideologis atas doktrin keagamaan sering di ikuti sikap mengabaikan peluang semua orang mendekatiTuhan secara berbeda.

Wilayah Tuhan di pandang sebagai wilayah materiil terbatas dalam parameter positif dalam bidang dan ruang fisikal seperti tempat ibadah, hari keagamaan seperti Hari Raya, Puasa dan hari-hari lain bukan menjadi hari kemanusiaan tetapi harinya Tuhan.

Sudah semestinya kualitas keagamaan menjadi penanda penyegaran visi masa depan (akhirat) dan visi kemanusiaan seperti pesan para Rasul yang sering kurang di pahami.

Jika manusia bersedia bebas jebakan kepentingan sesaat dan personal dengan memasuki kemanusiaan universal dan kepentingan transenden serta Ilahiah, akan selalu ada harapan kehidupan penuh rahmah dan cinta kasih.

Di perlukan sikap dan cara hidup yang tidak terbatas aturan legal formal tapi hubungan dengan titik sudut ketiga metafisis dimensi Illahi, jika tidak, praktik keagamaan mudah terperangkap sebagai artikulasi kepentingan elite daripada dinamika seluruh lapisan masyarakat.

Baik-benar dalam kegamaan dan politik lebih sering menjadi monopoli elite politik dan agama, bersamaan itu masyarakat bawah menjadi martir guna membebaskan"dalang-dalang" peristiwa kekerasan atas nama keagamaan.

Dalam hubungan itulah penting untuk merenungkan kembali dimensi moral kehidupan yang memberi ruang bagi seluruh lapisan masyarakat, inilah moral ke-Tuhan-an yang bebas kepentingan politik, sehingga syurga menjadi harapan mereka yang tertindas.

Masa depan sejarah tidak semakin menjauhkan peran rakyat dalam dinamika keagamaan surgawi dan nasionalitas bangsa, tanpa kesediaan menyufikan keagamaan, "kekerasan sosial" bersimbol agama akan semakin keras.

Peneguhan visi kemanusiaan keagamaan mengalami kesulitan saat peradaban industri, lanjut mentalisasi spiritualitas bagi kebutuhan ekonomi materialis, di mana komunitas agama terperangkap di dalamnya.

Fundamentalisme sektarianistis keagamaan seperti memperoleh legitimasi kemiskinan, ketidak adilan dan aliensi akibat industrialisasi, sementara ramalan futurolog tentang penguatan posisi politik pelaku ekonomi dalam suatu jaringan multilateral dalam korporasi politik di luar kontrol negara, mendesak peran tradisi dan elite keagamaan.

Kehausan spiritual warga peradaban industrial mendorong rekayasa spiritual dalam kerangka industrialisasi, gejala ini tampak dalam penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam dinamika politik dan ekonomi seperti tema "agama dan etos kerja" atau "produktivitas kerja".

Rekayasa spiritual di atas lebih menonjol dalam praktik pembangunan, agama pun mengalami materialisasi yang dengan"terpaksa" di tempatkan sebagai bagian dari dinamika pembangunan materiil dan idustrialisasi.

Bersamaan itu, pemikiran dan pengembangan kesadaran keagamaan yang asli, parenial dan sufistis seperti terabaikan dan di biarkan berada di luar dinamika pembangunan dan industrialisasi.

Di sisi lain, rekayasa spiritual itu menumbuhkan kesadaran komunitas agama yang mulai mempergunakan kekuatannya bagi penyelesaian berbagai persoalan yang mereka hadapi yang terabaikan.

Kegagalan sekelompok komunitas agama menyelesaikan persoalan sosial, ekonomi, dan politik melalui prosedur dan logika modern industrial telah mendorong penggunaan simbol-simbol keagamaan meniru sukses berbagai kasus pembangunan.

Dalam hubungan demikian itulah kekerasan atas nama agama dan bahkan Tuhan dapat secara tiba-tiba terjadi, materialisasi spiritual akhirnya merupakan resiko sosial akibat penggunaan simbol keagamaan bagi tujuan non-agama yang terlepas dari dimensi kemanusiaan atau sebaliknya.

Di sisi lain pemikiran keagamaan kurang atau tidak menyentuh gerak dinamis peradaban modern industrial di saat peradaban penuh kesengajaan meminggirkan wilayah metafisis keagamaan.

Di tengah pergumulan kemanusiaan dan peradaban industrial demikian itulah, proses ibadah dan komitmen ideologis terhadap doktrin keagamaan perlu di jadikan momentum pencerahan keagamaan yang lebih sufistis adalah strategis untuk mengembangkan visi kemanusiaan dan keagamaan industrial melalui kritik tradisi, kesadaran keagamaan dan intelektualisme peradaban modern.

Karena itu perlu di kembangkan kesadaran keagamaan baru yang lebih sufistis lawan dari legal-formal bersama pengembangan kesadaran peradaban sintesis dan mistis antara peradaban materiil dan spiritual sebagai bagian integral kesadaran kemanusiaan industrial.

Beragama, berarti komitmen kemanusiaan yang pluralistis dan menjadi modern berarti mempertinggi ke-shaleh-an, serta sebaliknya, visi keagamaan, kemanusiaan dan peradaban industrial memerlukan kesadaran historis atas pluralitas kebenaran "keagamaan".

Perlu di sadari sepenuhnya bahwa kesatuan kebenaran doktrin agama akan dan harus tampil dalam banyak wajah dan dalam keragaman konsep, hanya dengan menempatkan sufistisasi sama pentingnya dengan fiqhisasi keagamaan (religiositas) peningkatan keimanan suatu komunitas pemeluk agama dapat memberi tempat komunitas lain yang berbeda agama dalam penuh damai dan kasih.

Pencerahan kesadaran keagamaan dan modernitas di atas merupakan tantangan dan agenda besar pengembangan pemikiran dan dakwah sebagai tanggung jawab moral dan politik elite agama.

Inilah keshalehan industrial saat teknologi menjadi wujud keshalehan berfungsi sosial, inilah wajah Tuhan dalam kehidupan duniawi yang memberi ruang semua orang untuk mengembangkan kesadaran keagamaan, kemanusiaan dan kehidupan.

Pembangunan keagamaan merupakan proyek kemanusiaan yang menyatukan seluruh lapis sosial untuk bersama menang dalam pergulatan hidup, persoalannya adalah kesediaan berbagi syurga bagi semua dan memberi sebagian kekuasaan politik dan harta benda bagi orang lain di tengah perangkap teknologi ekonomi materialis.

Kegagalan penyelesain berbagai persoalan kebangsaan di atas sering memicu munculnya tuntutan pemberlakuan syariat. "Syariat sebagai tafsir ulama atas Al-Qur'an dan Sunnah yang tersusun dalam ilmu syariat atau fiqh sering di pandang identik syari'at sebagai keseluruhan ajaran Allah dari wahyu-Nya yang tunggal."

Di sinilah perlunya di pahami bahwa wahyu Tuhan bukan hanya termaktub dalam Al-Qur'an, tetapi meliputi hukum alam (sunnatullah), baik fisik, tumbuhan, hewan dan manusia, inilah Syari'at, yang di tulis dengan "S" kapital, yang harus di bedakan dari syariat ("s" kecil) sebagai tafsir atas sebagian Syari'at tersebut.

Syari'at historis, hanyalah sebagian dari konstruksi tafsir yang tersusun dalam ilmu-ilmu yang di sebut Islamic Studies yaitu; syari'ah, kalam (tauhid), akhlak dan tasawuf, tafsir atas Syari'at sebagai keseluruhan wahyu Allah berupa Al-Qur'an dan sunnatullah, mencakup ilmu kealaman; fisika, biologi, kimia, elektro, ilmu sosial; sosiologi, antropologi, ekonomi, politik, dan ilmu humaniora; filsafat, seni, budaya, selain teknologi.

Secara keseluruhan tafsir atas Syari'at ini meliputi cabang-cabang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), Syari'at historis sebagai Islamic Stud/es-lah yang selama ini di sosialisasikan melalui pendidikan, dakwah dan khutbah-khutbah, yang di tuntut keberlakuannya secara konstitusional.

Ironinya, syari'at pada taraf ini di yakini umumnya pemeluk Islam sebagai keseluruhan ajaran Allah yang sakral, mutlak, sempurna dan mampu menyelesaikan semua masalah yang di hadapi manusia, seperti di janjikan Tuhan.

Kurang di sadari, bahwa syari'at historis yang di susun sekitar 1000 tahun yang lalu telah menimbulkan beda pendapat yang tak jarang saling bertentangan, dukungan umat atas tiap pendapat itulah yang kemudian melahirkan madzhab-madzhab atau aliran yaitu; Hanafi, Hanbali, Maliki dan Syafi'i.

Kelahiran dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu; Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama) dengan paham keagamaan yang berbeda, termasuk dalam banyak aturan syari'at, berkaitan dengan madzhab ini.

Karena itu, pemberlakuan syari'at yang di dasari pemahaman dan keyakinan di atas, akan terus mengundang perdebatan, persoalannya adalah syari'at versi madzhab mana, jalan dan tafsir mana yang bisa di jadikan media penerapan ajaran Islam itu ke dalam kehidupan sosial politik dan kenegaraan.

Selain itu, dukungan publik atas pemberlakuan syari'at historis itu pun rendah. Partai-partai yang memperjuangkan berlakunya syari'at Islam temyata belum pernah memperoleh dukungan mayoritas di sepanjang pemilu yang pernah berlangsung di negeri ini, walaupun sekitar 90 % pemilih tersebut memeluk Islam.

Memperhatikan kecenderungan di atas muncul gagasan baru tentang hakikat tujuan penerapan syariat historis atau pun yang normatif, sebagian memandang pemberlakuan syari'at historis bisa di lakukan melalui pengembangan sistem sosial-politik, perundang-undangan dan hukum publik yang menjamin praktik ekonomi, sosial politik, pemerintahan yang bersih dan adil bagi kepentingan rakyat banyak dengan cara-cara demokratis.

Prosesnya di lakukan melalui debat publik dengan melibatkan dukungan mayoritas rakyat, tujuannya adalah bagaimana membebaskan warga negara dan manusia di dunia dari kemiskinan, kebodohan, kesengsaraan dan penindasan, serta perlakuan tidak adil.

Tuntutan pemberlakuan syari'at historis adalah hak tiap warga dari sebuah negara seperti hak untuk setuju atau menolak, sesuai keyakinan dan pandangan hidupnya masing-masing, pendukung pemberlakuan syari'at historis penting memahami sikap dan pandangan lain.

Perolehan suara partai-partai Islam atau partai berbasis Islam di tiap pemilu merupakan data penting untuk memahami dukungan masyarakat atas pemberlakuan syariat tersebut, seperti itu pula dukungan anggota DPR/MPR atas amandemen UUD-1945 dalam Sidang Tahunan MPR, terutama usaha memasukkan kembali tujuh kata dari Piagam Jakarta ke dalam Pasal 29 UUD-1945.

Dukungan mayoritas anggota BPUPKI atas penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta dari Pasal 29 UUD-1945, harus di terima sebagai fakta, pendukung syari'at historis bisa berargumen, bahwa sikap mayoritas anggota BPUPKI tidak murni, karena campur tangan Pemerintah Jepang.

Demikian pula fakta tentang perolehan suara partai-partai Islam dalam pemilu 1955 dan sesudahnya, penting di ajukan pertanyaan, untuk siapa syari'at historis itu di berlakukan? Keraguan mayoritas pemeluk Islam terhadap fungsi syari'at historis di dalam memenuhi kepentingan hidup praktis, di dasari pengalaman otentik mayoritas muslim dari rakyat kebanyakan.

Selama ini, gerakan dan partai Islam kurang dan tidak memihak kepentingan mayoritas rakyat yang memeluk Islam, argumen klasik yang selalu di kemukakan adalah karena mayoritas rakyat itu cenderung kurang atau tidak mentaati aturan syari'at historis.

Mereka inilah yang sering di sebut 'abangan', sementara kemiskinan dan berbagai kesulitan hidup yang di hadapi, merupakan faktor"pemaksa"rakyat kebanyakan itu melanggar berbagai aturan syari'at historis.

Berbagai fakta sosial, ekonomi dan politik dari mayoritas rakyat kebanyakan di atas, sudah semestinya mendorong elite aktivis Islam mengembangkan gagasan baru syari'at historis yang lebih fungsional bagi kepentingan rakyat banyak dan bagi sistem pemerintahan yang mampu menjamin kesejahteraan warganya.

Proses ini bisa di tempuh dengan mendengar suara rakyat melalui sistem pemilu atau cara lain yang lebih dialogis dan demokratis. Sayangnya, proses politik seperti ini cenderung di tolak dengan argumen "hukum Tuhan tidak bisa di dialogkan dan di voting" guna mencari konsensus nasional.

Bagi pandangan seperti ini, hanya ada sebuah pilihan adalah memberlakukan syari'at sebagai keputusan elite yang di kenal dengan "ahlul halli wal aqdi" atas nama representasi mayoritas penduduk yang muslim.

Dilema pemberlakuan syari'at historis di atas, bisa di jernihkan jika para pihak menyadari substansi pewahyuan syari'at, para ulama pada umumnya sepakat, bahwa tujuan syari'at historis adalah : "...apa yang di syari'atkan Allah dengan perantaraan Nabi-Nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat."

Syari'at historis atau Syari'at sebagai keseluruhan wahyu Tuhan, bisa di tafsirkan dinamis dan dialektik untuk di susun dalam beragam teori dan sistem yang terbuka di kritik dan di susun (di tafsir) ulang.

Tafsir-tafsir seperti ini bisa sesuai dengan beragam teori dan sistem iptek yang telah ada, bisa di susun ke dalam beragam konstitusi dan perundang-undangan tanpa keharusan di beri label-label Islam atau syari'at.

Karena itu, Islam harus di pahami sebagai agama universal bagi kemanusiaan dalam kehidupan sosial yang terus berubah dan berkembang. Islam di wahyukan bukan bagi kepentingan Tuhan sendiri atau hanya bagi kepentingan umat Islam, tapi penebaran rahmat-Nya bagi seluruh umat manusia.

Untuk itu perlu di sadah tidak ada jaminan yang bisa di jadikan argumen bahwa hanya susunan aturan syari'at historis yang niscaya sesuai dengan maksud dan tujuan ketika Tuhan mewahyukan agama dan Syari'at-Nya.

Selanjutnya, perdebatan tentang pemberlakuan syari'at bisa di jernihkan dengan memahami beberapa persoalan. Pertama, keharusan membedakan Syari'at sebagai keseluruhan ajaran yang di wahyukan Allah dengan syari'at historis. Kedua, tiada keharusan pemberlakuan syari'at historis ke dalam sistem konstitusi dan perundang-undangan. Ketiga, hak bagi seluruh rakyat yang menyatakan memeluk Islam untuk mewakili diri sendiri dalam memilih konstitusi dan perundang-undangan yang akan mengatur hidupnya sebagai warga negara.

Tanpa penjernihan di atas, tuntutan pemberlakuan syari'at historis akan selalu mengundang perdebatan sengit di antara elite Islam dan umat yang membelah para pihak ke dalam belahan ekstrim hitam-putih, islami-sekuler atau daarul islam-daarul kuffar.

Fakta rendahnya dukungan terhadap tuntutan pemberlakuan syari'at hampir selalu di pandang sebagai konspirasi kekuatan anti Islam, kesediaan elite memahami kembali maksud kemanusiaan dari syari'at historis dan Syari'at sebagai keseluruhan wahyu, bisa mendorong lahirnya gagasan segar tentang sistem dan teori iptek meliputi keseluruhan bidang kehidupan manusia.

Di sini bisa di mungkinkan munculnya ide-ide baru yang bisa melampaui sistem dan teori peradaban modern yang telah usang, semangat dan etika kemanusiaan dari syari'at historis dan Syari'at sebagai keseluruhan wahyu bisa di jadikan basis pengembangan peradaban baru sebagai solusi konflik peradaban yang memproduksi ketidakadilan, pelanggaran HAM, kemiskinan, kesenjangan sosial dan ekonomi, serta kerusakan lingkungan.

Semuanya terpulang pada umat sendiri, aktivis, ulama dan pemikir yang menempatkan kesejahteraan manusia dan kedamaian dunia sebagai ideologi.

Posting Komentar untuk "Sufistisasi Religiusitas Dalam Humanisasi Syari'at"