Wajah Tuhan Dalam Kebudayaan
Kesadaran sufistik adalah jangkar bagi apresiasi kebudayaan dan sikap jernih atas problem sosial-politik Islam, hal ini bisa di lihat dari kegagalan partai-partai Islam memperoleh dukungan mayoritas dalam setiap pemilu di Indonesia di tengah pemilih yang mayoritas muslim, yang sulit di pahami aktivis Islam.
Demikian pula harapan-harapan politik Islam yang hampir selalu gagal di wujudkan, kesulitan ini merupakan akibat kebudayaan yang di tempatkan sebagai yang tidak mungkin di padukan dalam keshalehan.
Kebudayaan dan keshalehan bukan di pahami sebagai proses sosial yang historis, tapi realitas final yang mati, di sini pula letak kesulitan bangsa yang di kenal religius ini keluar dari multi krisis sesudah beberapa tahun berlangsung.
Kurang di sadari, bahwa kebudayaanlah sebenarnya yang memperterang wujud Tuhan dan membuat kehadiran-Nya di kenal manusia di dalam sejarah dan ironisnya, justru kebudayaan di pandang bertentangan dengan ajaran Tuhan dan yang justru bisa membuat Tuhan mati.
Kebudayaan di pandang sebagai langkah dan strategi "syetan", pandangan inilah merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan gerakan keagamaan yang konsisten, begitu kesulitan untuk peduli permasalahan aktual kemanusiaan hanya karena yang menderita itu kurang shaleh, keshalehan yang di letakkan di luar peta kebudayaan, membuat gerakan Islam gagal memperoleh dukungan signifikan dari umatnya sendiri.
Keyakinan agama sebagai ajaran Tuhan absolut benar dan yang universal tidak sama sekali terganggu ketika kebudayaan dipahami sebagai wujud empirik dan rasional ajaran Tuhan, manusia shaleh atau kafir sekali pun, tidak bisa hidup tanpa kebudayaan.
Ironinya, bagi yang shaleh, kebudayaan di pandang sebagai penyebab kesengsaraan hidup duniawi dan sesudah kematian, kebudayaan di pandang sebagai anti-tesis keshalehan, walaupun mayoritas penduduk dunia yang miskin dan melarat justru menyatakan diri sebagai pemeluk Islam yang taat.
Pengamalan ajaran Tuhan mustahil tanpa kebudayaan dan pemeluk Islam bisa mengetahui Kitab Suci Al-Qur'an dan Sunnah Rasul hanya dengan kebudayaan, hal ini mengandaikan kesalahpahaman pada kebudayaan, terhadap wahyu dan agama itu sendiri.
Kurang di sadari Tuhan hadir dengan wahyu-Nya melalui kebudayaan, hanya dengan kebudayaan pulalah manusia bisa memahami Tuhan dan ajaran-Nya, dari sini penting secara jujur di akui bahwa "kebudayaan adalah jalan mencapai Tuhan dan bahkan jalan Tuhan itu sendiri".
Masalahnya, "apakah semua kebudayaan dapat di letakkan sebagai "jalan mencapaiTuhan, ketika kebudayaan juga bisa menjadi "jalan syetan"?" Karena itu perlu di buat klarifikasi dan peta kebudayaan, sekaligus kapan agama itu dari Tuhan dan kapan ia mewujud dalam kebudayaan.
"Strategi kebudayaan Islam" hanya mungkin di susun berdasar pemahaman bahwa ajaran Tuhan itu tidak pernah bisa di sentuh manusia kecuali dalam wujud kebudayaan, walaupun menyakitkan hampir tak tertanggungkan, namun krisis yang tengah di hadapi Bangsa Indonesia, bisa menjadi laboratorium pengembangan peradaban baru dunia.
Peradaban, di mana Kitab Suci sebagai sumber inspirasi pengembangan iptek, di bidang sosial, humaniora dan kealaman, di sinilah pentingnya, di cari pola baru hubungan agama dan iptek atau kebudayaan, jika hal ini bisa di lakukan, akan lahir paradigma baru peradaban negeri seribu pulau ini di tengah perkembangan dunia global yang oleh Erich Fromm di nyatakan sedang menderita sakit akut."
Masalah di atas telah lama di hadapi masyarakat barat, sayang penyelesaiannya adhoc dan parsial dengan meletakkan agama dan iptek tanpa hubungan berarti, sekularisme memang membuat barat mencapai kemajuan iptek luar biasa penting bagi kebudayaan.
Namun, hanya menunda pemecahan masalah yang muncul sejak masa renaisans itu, jargon "kematian Tuhan" justru melahirkan jargon "kematian manusia"dalam kesemarakan"spiritualisme baru" ketika manusia bukan hanya hendak bebas dari doktrin keagamaan, juga dari segala sistem iptek.
Paradigma baru itu bisa di sebut sebagai "jalan ketiga" yang menghidupkan kembali Tuhan sekaligus manusia, "Jalan ketiga" ini signifikan sebagai fundasi penegakkan hak asasi manusia (HAM), praktis demokrasi dan pembangunan berkelanjutan bagi kesejateraan global kemanusiaan.
Buyarnya Uni Sovyet telah melunturkan supremasi politik Marxisme, sumber inspirasi Komunisme atau Sosialisme, namun tidak menjadikan teori konflik usang, tidak pula menempatkan Kapitalisme teori tanpa saingan seperti tesis Francis Fukuyama."
Peradaban global tetap berada pada alur dua kerangka teori sosial ini, ide "spiritualisme baru" dari Postmodernisme belum "mendamaikan" pertentangan Sosialisme atau Komunisme dan Marxisme di satu pihak dengan Kapitalisme di pihak lain dengan segala perkembangan pemikiran di kedua belah pihak.
Pertentangan paradigmatik dan praksis sosial kedua pandangan di atas semakin peka ketika di masukkan soal keagamaan, berbagai konflik di negeri ini mengiringi krisis nasional dan reformasi, bisa di letakkan dalam peta pertentangan keduanya, dalam pertentangan teori sosial yang dalam banyak hal juga melibatkan problem keagamaan inilah pentingnya mengkaji kembali hubungan agama dan kebudayaan.
Apakah agama itu kebudayaan, merupakan pertanyaan yang hingga kini belum pernah terjawab dengan tuntas, para elite agama-agama besar dunia, terutama Kristen dan Islam, mengklaim bahwa agama yang mereka peluk datang dari Tuhan dan karena itu menolak di sebut kebudayaan.
Sementara, para ilmuwan nampak dengan kukuh mempertahankan teorinya tentang agama sebagai kebudayaan, pandangan ilmuwan secara de facto hampir selalu berada di atas angin dan semakin memperoleh dukungan luas.
Hal ini nampak dari "teknologi kloning" yang menjadi perdebatan luas awal tahun 1990-an seiring temuan spekulatif Stephen Hawking tentang asal muasal dunia dan waktu, selain itu, konsep Darwin tentang asalmuasal manusia yang hingga kini tetap menjadi dasar filosofi ilmu biologi, belum bisa di gugurkan elite agama.
Walaupun, ilmuwan pula yang selalu menjadi korban klaim-klaim kebenaran keagamaan, kisah dramatis dapat di lihat dari apa yang di alami Socrates, Galile-Galileo, Al-Hallaj atau Syaikh Siti Jenar dalam kasus Indonesia yang harus tewas menghadapi kekerasan klaim elite agama yang memegang hegemoni politik.
Masalah ini menimbulkan berbagai tragedi kemanusiaan yang hingga kini belum pernah di temukan jalan penyelesaian yang berarti, masalah ini pula yang kini tengah kita saksikan sedang berlangsung di negeri ini sebagai suatu perubahan kehidupan yang sulit di mengerti.
Dalam lingkup kenasionalan inilah prediksi akan munculnya benturan peradaban bisa di lihat yang antara lain bersumber dari problem masalah hubungan agama dan kebudayaan (baca; termasuk iptek) tersebut.
Memperhatikan mayoritas warga Indonesia memeluk Islam, menjadi penting melihat masalah tersebut sebagai masalah hubungan Islam sebagai agama dengan kebudayaan dan atau iptek.
Selama ini, Islam nampak begitu sulit mengapresiasi kebudayaan, apalagi mengembangkan kebudayaan, karena Islam yang di khutbahkan dan di pelajari, adalah "Islam yang anti kebudayaan", kurang di sadari, bahwa sebenarnya "Islam tidak bisa di pelajari, di khutbahkan dan di amalkan kecuali dengan dan dari kebudayaan itu sendiri".
Masalah itu akan terjernihkan jika elite muslim bersedia secara jujur memilah Islam yang wahyu dan Islam sebagai kebudayaan, jika kita meyakini dalam iman bahwa Islam adalah ajaran dari wahyu Tuhan, harus secara jujur di pahami, bahwa bahasa (Arab)-lah yang di pakai mendokumentasikannya ke dalam suatu narasi tekstual dan mengkomunikasikan wahyu itu oleh Tuhan sendiri kepada umat manusia melalui Rasul Muhammad Saw.
Keyakinan wahyu Tuhan itu memang absolut mutlak dalam kebenaran dan keberlakuan, tidak perlu di ganti, namun harus di sadari bahwa wahyu tekstual itu menjadi terbuka atas pemaknaan (tafsir) yang berbeda-beda sesuai pengalaman hidup dalam konteks historis dan sosiologis ulama penafsirnya.
Karena itu,konstruksi keyakinan yang di susun dari teks wahyu dan juga teks sunnah Rasul, harus diletakkan dalam peta kebudayaan yang kebenarannya harus bersifat relatif karena berdimensi historis dan sosiologis.
Dalam hubungan itu menjadi terbuka untuk menyusun ulang tentang pokok-pokok keyakinan iman dan ritual di dalam Islam yang boleh jadi sangat berbeda atau bahkan bertentangan dengan apa yang selama ini kita yakini tentang Islam.
Dari sinilah, Islam sebenarnya telah memasuki tahap kebudayaan, sehingga harus di letakkan dalam dimensi kebudayaan itu sendiri, kebudayaan (iptek) bisa di pahami sebagai bentuk atau pola tindakan yang mencerminkan proses dinamik penyadaran atas realitas.
Jika pada puncak realitas itu di yakini Tuhan berada, maka kebudayaan (iptek) adalah proses penyadaran tentang Tuhan itu sendiri, kebudayaan dan atau iptek adalah media utama menyadari dan mencapai Tuhan, dari kebudayaan pula, Tuhan berhubungan dengan manusia ketika wahyu-Nya di tuangkan dalam kebudayaan yaitu "bahasa".
Karena itu, kebudayaan adalah bentuk dan cara Tuhan berhubungan dengan manusia, juga merupakan "wahyu" itu sendiri , dari situ pula wahyu Tuhan bisa dibedakan dalam dua cara, yaitu Al-Qur'an yang di bacakan lewat teks (bahasa Arab) dan alam yang di ciptakan.
Alam sebagai wahyu kauliyah dengan sunnatullah lebih otentik dari Al-Qur'an sebagai wahyu yang di sampaikan melalui pembacaan dengan alat bahasa, di sinilah mengapa Al-Qur'an selain berkali-kali mengajarkan arti pentingnya mempelajari dan membaca alam, juga menyatakan melalui pembacaan atas alam itu, manusia bisa mencapai kesadaran tentang Tuhan.
Jika kebudayaan dalam bentuk "seni" merupakan ekspresi kesadaran paling jelas, maka seni adalah pintu paling penting bagi usaha menyadari realitas tertinggi yaitu Tuhan, berbeda dengan ilmu sebagai bentuk kebudayaan rasional tertinggi atau rasionalitas realitas dan karena itu ada proses obyektifikasi dan pengasingan, dengan kebudayaan realitas di sadari dan di hubungi secara langsung.
Dengan kebudayaan manusia menerobos segala batas untuk sampai dan berhubungan secara langsung kepadaTuhan dan Tuhan sendiri pun berhubungan dengan manusia dengan kebudayaan tersebut, dari sini, kebudayaan harus di letakkan dalam fungsinya sebagai bentuk penerobosan batas-batas realitas, sehingga Tuhan dan manusia terhubungkan dan manusia bisa mendekati Tuhan penciptanya.
Sayang, justru kebudayaan yang paling sulit di pahami dan di mengerti pemeluk Islam (juga agama lain) sebagai tahap lanjut agamanya, tak jarang pemeluk Islam dari awam hingga elite begitu konsisten menyatakan "kebudayaan" sebagai anti-tesis dan"lawan" Islam, hingga praktik Islam cenderung "anti kebudayaan".
Sementara, tidak ada pengamalan Islam yang bisa di lakukan tanpa kebudayaan, Al-Qur'an yang di baca dan di sikapi penuh hormat, kadang di dahului berwudlu' dan di bawa di atas kepala itu adalah "kebudayaan".
Hampir tidak ada ajaran Islam yang di pahami, di pelajari, di khutbahkan dan di amalkan pemeluk Islam yang bukan kebudayaan, pandangan di atas menjadi dasar bagi pengembangan keshalehan sebagai wujud kepedulian pada kemanusiaan dan dengan demikian dialog agama dan kebudayaan atau iptek menjadi mungkin.
Hal ini akan membuka peluang bagi negosiasi sosial dan politik di antara pemeluk agama berbeda dan perumusan kembali ajaran agama yang lebih memihak pemecahan masalah kemanusiaan, karena itu, kritik pada praktik keagamaan bukanlah sebuah penodaan pada kesucian Tuhan dan ajaran-Nya.
Demikian pula, kritik pada elite agama sebagai pemimpin partai atau negara (presiden) bisa di tempatkan sebagai bagian dinamika sosial-budaya, bukan sebagai kritik terhadap kebenaran agama dan dari sini, penegakan demokrasi dan HAM bisa memperoleh penguatan dalam keshalehan, bahkan keshalehan itu sendiri menjadi sebuah praktik penegakan HAM dan demokrasi.
Praktik keagamaan harus di kembangkan sebagai proses sosial di mana konsensus menjadi media pemberlakuan ajaran sesuai tahap kebudayaan dan kepentingan sosialumat pemeluk di dalam masyarakat luas dengan beragam agama, paham agama dan politik.
Sayang, doktrin "Kembali pada Al-Qur'an dan Sunnah" di pahami sebagai anti bid'ah, di terjemahkan dengan penghancuran semua tradisi yang hidup di masyarakat hanya karena tidak di temukan dalam tradisi kenabian Muhammad Saw.
Gerakan Islam yang ingin konsisten melalui jargon pemurnian, kemudian berkembang menjadi gerakan "anti tradisi rakyat" yang selama ini justru menjadi ruh kehidupan mayoritas pemeluk Islam, di masa depan, gerakan Islam bisa memainkan peran sejarahnya jika bisa bebas dari perangkap anti kebudayaan dan tradisi rakyat, tetapi mencerahi dan mengubahnya.
Strategi kebudayaan paling signifikanjika gerakan Islam secara dinamis dan dialektik mengembangkan tradisi dan kebudayaan sebagai proses bertahap penerjemahan wahyu Al-Qur'an dan Sunnah Rasul.
Misi utamanya adalah menafsir dan mem-budaya-kan ajaran Islam, sehingga benar-benar berfungsi pragmatis dalam memecahkan masalah aktual kemanusiaan, kemiskinan dan penderitaan, khususnya kaum petani dan buruh.
Dari situlah kebudayaan Islam menjadi proses transendensi menerobos segala batas sistem-sistem, kelas, etnisitas dan batas natural, di sini pula letak Al-Qur'an sebagai hudan dan furqan linnaas serta bayyinat min alhuda yang dengannya manusia atau santri tumbuh menjadi manusiawi, peduli membela yang tertindas.
Islam bukan sekedar ritual yang sibuk memuja Tuhan, tapi agama yang benar-benar mampu membebaskan manusia dari segala penderitaan dan dari segala macam berhala, kebudayaan adalah panta-rei syirath almustaqim untuk mencapai suatu titik, di mana Tuhan bersemayam sebagai sebuah aksi makrifat.
Demikian pula harapan-harapan politik Islam yang hampir selalu gagal di wujudkan, kesulitan ini merupakan akibat kebudayaan yang di tempatkan sebagai yang tidak mungkin di padukan dalam keshalehan.
Kebudayaan dan keshalehan bukan di pahami sebagai proses sosial yang historis, tapi realitas final yang mati, di sini pula letak kesulitan bangsa yang di kenal religius ini keluar dari multi krisis sesudah beberapa tahun berlangsung.
Kurang di sadari, bahwa kebudayaanlah sebenarnya yang memperterang wujud Tuhan dan membuat kehadiran-Nya di kenal manusia di dalam sejarah dan ironisnya, justru kebudayaan di pandang bertentangan dengan ajaran Tuhan dan yang justru bisa membuat Tuhan mati.
Kebudayaan di pandang sebagai langkah dan strategi "syetan", pandangan inilah merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan gerakan keagamaan yang konsisten, begitu kesulitan untuk peduli permasalahan aktual kemanusiaan hanya karena yang menderita itu kurang shaleh, keshalehan yang di letakkan di luar peta kebudayaan, membuat gerakan Islam gagal memperoleh dukungan signifikan dari umatnya sendiri.
Keyakinan agama sebagai ajaran Tuhan absolut benar dan yang universal tidak sama sekali terganggu ketika kebudayaan dipahami sebagai wujud empirik dan rasional ajaran Tuhan, manusia shaleh atau kafir sekali pun, tidak bisa hidup tanpa kebudayaan.
Ironinya, bagi yang shaleh, kebudayaan di pandang sebagai penyebab kesengsaraan hidup duniawi dan sesudah kematian, kebudayaan di pandang sebagai anti-tesis keshalehan, walaupun mayoritas penduduk dunia yang miskin dan melarat justru menyatakan diri sebagai pemeluk Islam yang taat.
Pengamalan ajaran Tuhan mustahil tanpa kebudayaan dan pemeluk Islam bisa mengetahui Kitab Suci Al-Qur'an dan Sunnah Rasul hanya dengan kebudayaan, hal ini mengandaikan kesalahpahaman pada kebudayaan, terhadap wahyu dan agama itu sendiri.
Kurang di sadari Tuhan hadir dengan wahyu-Nya melalui kebudayaan, hanya dengan kebudayaan pulalah manusia bisa memahami Tuhan dan ajaran-Nya, dari sini penting secara jujur di akui bahwa "kebudayaan adalah jalan mencapai Tuhan dan bahkan jalan Tuhan itu sendiri".
Masalahnya, "apakah semua kebudayaan dapat di letakkan sebagai "jalan mencapaiTuhan, ketika kebudayaan juga bisa menjadi "jalan syetan"?" Karena itu perlu di buat klarifikasi dan peta kebudayaan, sekaligus kapan agama itu dari Tuhan dan kapan ia mewujud dalam kebudayaan.
"Strategi kebudayaan Islam" hanya mungkin di susun berdasar pemahaman bahwa ajaran Tuhan itu tidak pernah bisa di sentuh manusia kecuali dalam wujud kebudayaan, walaupun menyakitkan hampir tak tertanggungkan, namun krisis yang tengah di hadapi Bangsa Indonesia, bisa menjadi laboratorium pengembangan peradaban baru dunia.
Peradaban, di mana Kitab Suci sebagai sumber inspirasi pengembangan iptek, di bidang sosial, humaniora dan kealaman, di sinilah pentingnya, di cari pola baru hubungan agama dan iptek atau kebudayaan, jika hal ini bisa di lakukan, akan lahir paradigma baru peradaban negeri seribu pulau ini di tengah perkembangan dunia global yang oleh Erich Fromm di nyatakan sedang menderita sakit akut."
Masalah di atas telah lama di hadapi masyarakat barat, sayang penyelesaiannya adhoc dan parsial dengan meletakkan agama dan iptek tanpa hubungan berarti, sekularisme memang membuat barat mencapai kemajuan iptek luar biasa penting bagi kebudayaan.
Namun, hanya menunda pemecahan masalah yang muncul sejak masa renaisans itu, jargon "kematian Tuhan" justru melahirkan jargon "kematian manusia"dalam kesemarakan"spiritualisme baru" ketika manusia bukan hanya hendak bebas dari doktrin keagamaan, juga dari segala sistem iptek.
Paradigma baru itu bisa di sebut sebagai "jalan ketiga" yang menghidupkan kembali Tuhan sekaligus manusia, "Jalan ketiga" ini signifikan sebagai fundasi penegakkan hak asasi manusia (HAM), praktis demokrasi dan pembangunan berkelanjutan bagi kesejateraan global kemanusiaan.
Buyarnya Uni Sovyet telah melunturkan supremasi politik Marxisme, sumber inspirasi Komunisme atau Sosialisme, namun tidak menjadikan teori konflik usang, tidak pula menempatkan Kapitalisme teori tanpa saingan seperti tesis Francis Fukuyama."
Peradaban global tetap berada pada alur dua kerangka teori sosial ini, ide "spiritualisme baru" dari Postmodernisme belum "mendamaikan" pertentangan Sosialisme atau Komunisme dan Marxisme di satu pihak dengan Kapitalisme di pihak lain dengan segala perkembangan pemikiran di kedua belah pihak.
Pertentangan paradigmatik dan praksis sosial kedua pandangan di atas semakin peka ketika di masukkan soal keagamaan, berbagai konflik di negeri ini mengiringi krisis nasional dan reformasi, bisa di letakkan dalam peta pertentangan keduanya, dalam pertentangan teori sosial yang dalam banyak hal juga melibatkan problem keagamaan inilah pentingnya mengkaji kembali hubungan agama dan kebudayaan.
Apakah agama itu kebudayaan, merupakan pertanyaan yang hingga kini belum pernah terjawab dengan tuntas, para elite agama-agama besar dunia, terutama Kristen dan Islam, mengklaim bahwa agama yang mereka peluk datang dari Tuhan dan karena itu menolak di sebut kebudayaan.
Sementara, para ilmuwan nampak dengan kukuh mempertahankan teorinya tentang agama sebagai kebudayaan, pandangan ilmuwan secara de facto hampir selalu berada di atas angin dan semakin memperoleh dukungan luas.
Hal ini nampak dari "teknologi kloning" yang menjadi perdebatan luas awal tahun 1990-an seiring temuan spekulatif Stephen Hawking tentang asal muasal dunia dan waktu, selain itu, konsep Darwin tentang asalmuasal manusia yang hingga kini tetap menjadi dasar filosofi ilmu biologi, belum bisa di gugurkan elite agama.
Walaupun, ilmuwan pula yang selalu menjadi korban klaim-klaim kebenaran keagamaan, kisah dramatis dapat di lihat dari apa yang di alami Socrates, Galile-Galileo, Al-Hallaj atau Syaikh Siti Jenar dalam kasus Indonesia yang harus tewas menghadapi kekerasan klaim elite agama yang memegang hegemoni politik.
Masalah ini menimbulkan berbagai tragedi kemanusiaan yang hingga kini belum pernah di temukan jalan penyelesaian yang berarti, masalah ini pula yang kini tengah kita saksikan sedang berlangsung di negeri ini sebagai suatu perubahan kehidupan yang sulit di mengerti.
Dalam lingkup kenasionalan inilah prediksi akan munculnya benturan peradaban bisa di lihat yang antara lain bersumber dari problem masalah hubungan agama dan kebudayaan (baca; termasuk iptek) tersebut.
Memperhatikan mayoritas warga Indonesia memeluk Islam, menjadi penting melihat masalah tersebut sebagai masalah hubungan Islam sebagai agama dengan kebudayaan dan atau iptek.
Selama ini, Islam nampak begitu sulit mengapresiasi kebudayaan, apalagi mengembangkan kebudayaan, karena Islam yang di khutbahkan dan di pelajari, adalah "Islam yang anti kebudayaan", kurang di sadari, bahwa sebenarnya "Islam tidak bisa di pelajari, di khutbahkan dan di amalkan kecuali dengan dan dari kebudayaan itu sendiri".
Masalah itu akan terjernihkan jika elite muslim bersedia secara jujur memilah Islam yang wahyu dan Islam sebagai kebudayaan, jika kita meyakini dalam iman bahwa Islam adalah ajaran dari wahyu Tuhan, harus secara jujur di pahami, bahwa bahasa (Arab)-lah yang di pakai mendokumentasikannya ke dalam suatu narasi tekstual dan mengkomunikasikan wahyu itu oleh Tuhan sendiri kepada umat manusia melalui Rasul Muhammad Saw.
Keyakinan wahyu Tuhan itu memang absolut mutlak dalam kebenaran dan keberlakuan, tidak perlu di ganti, namun harus di sadari bahwa wahyu tekstual itu menjadi terbuka atas pemaknaan (tafsir) yang berbeda-beda sesuai pengalaman hidup dalam konteks historis dan sosiologis ulama penafsirnya.
Karena itu,konstruksi keyakinan yang di susun dari teks wahyu dan juga teks sunnah Rasul, harus diletakkan dalam peta kebudayaan yang kebenarannya harus bersifat relatif karena berdimensi historis dan sosiologis.
Dalam hubungan itu menjadi terbuka untuk menyusun ulang tentang pokok-pokok keyakinan iman dan ritual di dalam Islam yang boleh jadi sangat berbeda atau bahkan bertentangan dengan apa yang selama ini kita yakini tentang Islam.
Dari sinilah, Islam sebenarnya telah memasuki tahap kebudayaan, sehingga harus di letakkan dalam dimensi kebudayaan itu sendiri, kebudayaan (iptek) bisa di pahami sebagai bentuk atau pola tindakan yang mencerminkan proses dinamik penyadaran atas realitas.
Jika pada puncak realitas itu di yakini Tuhan berada, maka kebudayaan (iptek) adalah proses penyadaran tentang Tuhan itu sendiri, kebudayaan dan atau iptek adalah media utama menyadari dan mencapai Tuhan, dari kebudayaan pula, Tuhan berhubungan dengan manusia ketika wahyu-Nya di tuangkan dalam kebudayaan yaitu "bahasa".
Karena itu, kebudayaan adalah bentuk dan cara Tuhan berhubungan dengan manusia, juga merupakan "wahyu" itu sendiri , dari situ pula wahyu Tuhan bisa dibedakan dalam dua cara, yaitu Al-Qur'an yang di bacakan lewat teks (bahasa Arab) dan alam yang di ciptakan.
Alam sebagai wahyu kauliyah dengan sunnatullah lebih otentik dari Al-Qur'an sebagai wahyu yang di sampaikan melalui pembacaan dengan alat bahasa, di sinilah mengapa Al-Qur'an selain berkali-kali mengajarkan arti pentingnya mempelajari dan membaca alam, juga menyatakan melalui pembacaan atas alam itu, manusia bisa mencapai kesadaran tentang Tuhan.
Jika kebudayaan dalam bentuk "seni" merupakan ekspresi kesadaran paling jelas, maka seni adalah pintu paling penting bagi usaha menyadari realitas tertinggi yaitu Tuhan, berbeda dengan ilmu sebagai bentuk kebudayaan rasional tertinggi atau rasionalitas realitas dan karena itu ada proses obyektifikasi dan pengasingan, dengan kebudayaan realitas di sadari dan di hubungi secara langsung.
Dengan kebudayaan manusia menerobos segala batas untuk sampai dan berhubungan secara langsung kepadaTuhan dan Tuhan sendiri pun berhubungan dengan manusia dengan kebudayaan tersebut, dari sini, kebudayaan harus di letakkan dalam fungsinya sebagai bentuk penerobosan batas-batas realitas, sehingga Tuhan dan manusia terhubungkan dan manusia bisa mendekati Tuhan penciptanya.
Sayang, justru kebudayaan yang paling sulit di pahami dan di mengerti pemeluk Islam (juga agama lain) sebagai tahap lanjut agamanya, tak jarang pemeluk Islam dari awam hingga elite begitu konsisten menyatakan "kebudayaan" sebagai anti-tesis dan"lawan" Islam, hingga praktik Islam cenderung "anti kebudayaan".
Sementara, tidak ada pengamalan Islam yang bisa di lakukan tanpa kebudayaan, Al-Qur'an yang di baca dan di sikapi penuh hormat, kadang di dahului berwudlu' dan di bawa di atas kepala itu adalah "kebudayaan".
Hampir tidak ada ajaran Islam yang di pahami, di pelajari, di khutbahkan dan di amalkan pemeluk Islam yang bukan kebudayaan, pandangan di atas menjadi dasar bagi pengembangan keshalehan sebagai wujud kepedulian pada kemanusiaan dan dengan demikian dialog agama dan kebudayaan atau iptek menjadi mungkin.
Hal ini akan membuka peluang bagi negosiasi sosial dan politik di antara pemeluk agama berbeda dan perumusan kembali ajaran agama yang lebih memihak pemecahan masalah kemanusiaan, karena itu, kritik pada praktik keagamaan bukanlah sebuah penodaan pada kesucian Tuhan dan ajaran-Nya.
Demikian pula, kritik pada elite agama sebagai pemimpin partai atau negara (presiden) bisa di tempatkan sebagai bagian dinamika sosial-budaya, bukan sebagai kritik terhadap kebenaran agama dan dari sini, penegakan demokrasi dan HAM bisa memperoleh penguatan dalam keshalehan, bahkan keshalehan itu sendiri menjadi sebuah praktik penegakan HAM dan demokrasi.
Praktik keagamaan harus di kembangkan sebagai proses sosial di mana konsensus menjadi media pemberlakuan ajaran sesuai tahap kebudayaan dan kepentingan sosialumat pemeluk di dalam masyarakat luas dengan beragam agama, paham agama dan politik.
Sayang, doktrin "Kembali pada Al-Qur'an dan Sunnah" di pahami sebagai anti bid'ah, di terjemahkan dengan penghancuran semua tradisi yang hidup di masyarakat hanya karena tidak di temukan dalam tradisi kenabian Muhammad Saw.
Gerakan Islam yang ingin konsisten melalui jargon pemurnian, kemudian berkembang menjadi gerakan "anti tradisi rakyat" yang selama ini justru menjadi ruh kehidupan mayoritas pemeluk Islam, di masa depan, gerakan Islam bisa memainkan peran sejarahnya jika bisa bebas dari perangkap anti kebudayaan dan tradisi rakyat, tetapi mencerahi dan mengubahnya.
Strategi kebudayaan paling signifikanjika gerakan Islam secara dinamis dan dialektik mengembangkan tradisi dan kebudayaan sebagai proses bertahap penerjemahan wahyu Al-Qur'an dan Sunnah Rasul.
Misi utamanya adalah menafsir dan mem-budaya-kan ajaran Islam, sehingga benar-benar berfungsi pragmatis dalam memecahkan masalah aktual kemanusiaan, kemiskinan dan penderitaan, khususnya kaum petani dan buruh.
Dari situlah kebudayaan Islam menjadi proses transendensi menerobos segala batas sistem-sistem, kelas, etnisitas dan batas natural, di sini pula letak Al-Qur'an sebagai hudan dan furqan linnaas serta bayyinat min alhuda yang dengannya manusia atau santri tumbuh menjadi manusiawi, peduli membela yang tertindas.
Islam bukan sekedar ritual yang sibuk memuja Tuhan, tapi agama yang benar-benar mampu membebaskan manusia dari segala penderitaan dan dari segala macam berhala, kebudayaan adalah panta-rei syirath almustaqim untuk mencapai suatu titik, di mana Tuhan bersemayam sebagai sebuah aksi makrifat.
Posting Komentar untuk "Wajah Tuhan Dalam Kebudayaan"
Terimakasih atas kunjungan anda...