Hukum Ikhtiari
Manusia melalui iradah dan qudrah, baik mempergunakan hati maupun nafsu, kemudian dengan akal, manusia harus menentukan pilihan hidup untuk menggerakkan anggota tubuh, maka kaki melangkah dan tangan menggapai, membuahkan amal konkrit, berbentuk keta‘atan atau kemaksiatan.
Manakala kehendak iradah disalurkan melalui hati dan akal membenarkan, maka amal yang dikerjakan manusia akan membuahkan pahala, akan tetapi apabila kehendak iradah disalurkan lewat hawa nafsu dan akal membenarkan maka perbuatan manusia mengakibatkan dosa.
Oleh karena itu akal harus mempunyai ilmu pengetahuan dan bahkan tidak cukup hanya ilmu saja, tapi juga disinari nur iman dan dikuatkan nur yakin, dengan itu supaya manusia dapat membangun amal ibadah, berjalan dengan sempurna, mengalahkan kehendak hawa nafsu, dengan itu manusia akan menjadi manusia yang beruntung.
Hal itu disebabkan, karena kebebasan semu yang didapatkan di dunia fana, akan menjadikan sebab untuk mendapatkan kebebasan hakiki yang abadi untuk selamanya di syurga.
Apabila tidak demikian, jika kehendak iradah itu hanya disalurkan lewat kehendak nafsu dan bahkan bersama-sama dengan hawanya, maka kebebasan pertamanya itu akan mengakibatkan kesengsaraan yang abadi, terpenjara dalam siksa yang berkepanjangan selamanya di neraka.
Kita memohon perlindungan dengan Allah, untuk itu, yang harus Islam bukan hanya jasadnya saja, yang cantik, yang cakap, karena jasad itu sejatinya sudah Islam terlebih dahulu, dengan segala perangkat alat mekanik yang menyertai manusia, yang diciptakan pertama kali dari tanah kemudian yang berikutnya dari saripati air mani dibungkus tulang dan daging, sesungguhnya jasad itu sudah tunduk dan patuh kepada sunnah hukum lazim.
Maka, yang seharusnya iman dan Islam, menjalani sunnah hukum ikhtiari, adalah jati diri manusia, yakni dzat yang menempati jasad kasar sebagai rumah tempat tinggal sementara selama menjalani tahapan kehidupan di alam jismul mahsusah, yaitu “nismatul 'adamiyah” atau ruh kehidupan yang menghidupi jasad kasar manusia atau juga hakikat manusia yang disebut “lathifatur rabbaniyah”.
Nismatul 'adamiyah itulah yang mendapat kesempatan memilih jalan hidup, meski sejatinya jalan hidup itu(agama) sudah disediakan baginya, dengan mengikuti agama yang sudah disiapkan itu, supaya nismah itu mampu kembali kepada Dzat yang pertama kali menciptakannya: “Dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (Q.S. Fush-Shilat : 21).
Artinya, melepaskan diri dari gravitasi alam jasad kasar yang mengurung kehidupannya di dunia, sehingga dengan agama itu kehidupan nismah itu bisa bebas kapan saja dapat bertemu dan berkomunikasi dengan Tuhannya.
Itulah yang dimaksud dengan pengembaraan ruhaniyah, hasilnya, kehidupan manusia menjadi sempurna, baik jasmani maupun ruhaninya, apabila kehidupan Nismatul adamiyah itu terkurung rapat oleh alam jismul mahsusah, maka mata hati manusia menjadi terhijab, sehingga sedikitpun sorot matahati itu tidak dapat menembus dan melihat perbendaharaan alam ghaib, yaitu urusan-urusan rahasia ketuhanan, komitmen yang sudah disepakati dan kompensasi yang dijanjikan Tuhannya.
Akibatnya, kehidupan nismah itu dipenjara oleh nafsu sahwat manusiawi yang membelenggu alam jismul mahsusah itu, itulah orang yang lalai yang akan dimasukkan ke neraka akibat kelalaiannya sendiri.
Allah berfirman: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah), mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi, mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Q.S. Al-A'raaf (7) : 179).
Supaya manusia tidak menjadi seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi, maka nismatul 'adamiyah harus mampu membebaskan diri dari gravitasi alam jasad untuk menjalankan iradah dan qudrahnya mengikuti hidayah Allah, mengatur dan menyiasati instrumen kehidupan alam jasad kasar itu, mengendalikan potensi akal untuk mengikuti kehendak ruh dan menyiasati ajakan nafsu agar tidak tergoda tipu daya syetan.
Karena dengan itu manusia akan menjadi makhluk yang mulia, menjadi khalifah bumi zamannya dengan mendapatkan segala fasilitas hidup yang sudah tersedia baginya, di antaranya mendapatkan panggilan untuk memasuki bingkai janji Allah yang tidak akan pernah teringkari, yaitu memasuki dan memanfaatkan suatu sistem yang terencana dengan cerdas, dimana alam sekitarnya terfasilitasi untuk jinak dan dijinakkan baginya.
Maka akal manusia boleh mengelola bumi akan tetapi ruhnya harus tetap bebas naik turun kelangit, dua instrumen itu harus menjalankan fungsinya masing-masing untuk memasuki sunnah yang sudah ditetapkan baginya untuk mengikuti hidayah Allah. Itulah manusia seutuhnya, insan kamil, pelita-pelita bumi sepanjang masa.
Allah berfirman: “Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. An-Nahl (16) : 97).
Amal shaleh yang dikerjakan manusia dengan landasan iman, baik dikerjakan oleh orang laki-laki maupun perempuan adalah sebab yang harus dibangun di dunia, agar dengan itu mereka mendapatkan apa yang dijanjikan Allah sebagai akibat, yaitu kehidupan yang baik.
Akan tetapi apabila orang lari dan berpaling dari mengingati Allah, maka mereka akan mendapatkan kehidupan yang sempit, sejak di dunia sampai di akhirat nanti. Allah berfirman: “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (Q.S. Thaha (20) : 124).
Ulama berbeda pendapat mengartikan kehidupan yang baik itu, pertama: Ibnu Abbas, Said bin Jabir, Atok dan Dhohak berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan kehidupan yang baik adalah rizqi yang halal.
Kedua, Al-Hasan Al-Bashri, Zaid bin Wahab dan Wahab bin Munabbih : adalah Qana‘ah atau menerima terhadap segala pemberian dan seperti itu yang disampaikan Imam Ali bin Abi Thalib.
Ketiga: yang dimaksud dengan kehidupan yang baik ialah taufiq atau pertolongan untuk menjalankan perbuatan taat yang menyebabkan mendapatkan ridha Allah dan syurga.
Imam Ja‘far Ash-Shadiq berkata: yang dimaksud dengan kehidupan yang baik ialah ma‘rifatullah dan benar dalam maqam dihadapan Allah dan juga dikatakan tidak butuh kepada makhluk dan selalu merasa fakir di hadapan Allah, serta selalu ridha terhadap takdir. (Tafsir AlQurthubi).
Allah menegaskan lagi dengan firman-Nya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-An'am (6) : 82).
Orang-orang yang hidupnya mendapat keamanan itu ialah, orang-orang yang mampu mengenal nismahnya dan menjalankan kehidupan nismah itu dengan aman, artinya kehidupan nismah itu tidak campur aduk dengan kemauan basyariyah yang dapat membelokkan arah ibadah.
Dengan itu supaya kehidupan nismah itu selamat dari cengkraman
gravitasi alam jasad yang mengurungnya, itulah tanda-tanda orang yang mendapatkan petunjuk untuk mengikuti hidayah Allah, maka yang dimaksud dengan hukum ikhtiari ialah, bahwa manusia terlebih dahulu harus menjalankan pilihan hidupnya untuk mengikuti hidayah Allah, sebelum kemudian takdir akan menunjukkan tanda-tandanya.
Yaitu, apabila ada takdir baik untuknya, berarti ia akan dimudahkan untuk sampai kepada segala tujuan, apabila seorang hamba tidak menjalankan sunnah tersebut berarti orang itu adalah orang tidak percaya kepada Tuhannya.
Allah berfirman: “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim.” (Q.S. Al-Ma'idah (5) : 45). Selanjutnya manusia hanya akan mendapatkan dari apa yang diusahakan selama hidupnya: “Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya, tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.” (Q.S. Al-Mu'min (40) : 17).
Manakala kehendak iradah disalurkan melalui hati dan akal membenarkan, maka amal yang dikerjakan manusia akan membuahkan pahala, akan tetapi apabila kehendak iradah disalurkan lewat hawa nafsu dan akal membenarkan maka perbuatan manusia mengakibatkan dosa.
Oleh karena itu akal harus mempunyai ilmu pengetahuan dan bahkan tidak cukup hanya ilmu saja, tapi juga disinari nur iman dan dikuatkan nur yakin, dengan itu supaya manusia dapat membangun amal ibadah, berjalan dengan sempurna, mengalahkan kehendak hawa nafsu, dengan itu manusia akan menjadi manusia yang beruntung.
Hal itu disebabkan, karena kebebasan semu yang didapatkan di dunia fana, akan menjadikan sebab untuk mendapatkan kebebasan hakiki yang abadi untuk selamanya di syurga.
Apabila tidak demikian, jika kehendak iradah itu hanya disalurkan lewat kehendak nafsu dan bahkan bersama-sama dengan hawanya, maka kebebasan pertamanya itu akan mengakibatkan kesengsaraan yang abadi, terpenjara dalam siksa yang berkepanjangan selamanya di neraka.
Kita memohon perlindungan dengan Allah, untuk itu, yang harus Islam bukan hanya jasadnya saja, yang cantik, yang cakap, karena jasad itu sejatinya sudah Islam terlebih dahulu, dengan segala perangkat alat mekanik yang menyertai manusia, yang diciptakan pertama kali dari tanah kemudian yang berikutnya dari saripati air mani dibungkus tulang dan daging, sesungguhnya jasad itu sudah tunduk dan patuh kepada sunnah hukum lazim.
Maka, yang seharusnya iman dan Islam, menjalani sunnah hukum ikhtiari, adalah jati diri manusia, yakni dzat yang menempati jasad kasar sebagai rumah tempat tinggal sementara selama menjalani tahapan kehidupan di alam jismul mahsusah, yaitu “nismatul 'adamiyah” atau ruh kehidupan yang menghidupi jasad kasar manusia atau juga hakikat manusia yang disebut “lathifatur rabbaniyah”.
Nismatul 'adamiyah itulah yang mendapat kesempatan memilih jalan hidup, meski sejatinya jalan hidup itu(agama) sudah disediakan baginya, dengan mengikuti agama yang sudah disiapkan itu, supaya nismah itu mampu kembali kepada Dzat yang pertama kali menciptakannya: “Dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (Q.S. Fush-Shilat : 21).
Artinya, melepaskan diri dari gravitasi alam jasad kasar yang mengurung kehidupannya di dunia, sehingga dengan agama itu kehidupan nismah itu bisa bebas kapan saja dapat bertemu dan berkomunikasi dengan Tuhannya.
Itulah yang dimaksud dengan pengembaraan ruhaniyah, hasilnya, kehidupan manusia menjadi sempurna, baik jasmani maupun ruhaninya, apabila kehidupan Nismatul adamiyah itu terkurung rapat oleh alam jismul mahsusah, maka mata hati manusia menjadi terhijab, sehingga sedikitpun sorot matahati itu tidak dapat menembus dan melihat perbendaharaan alam ghaib, yaitu urusan-urusan rahasia ketuhanan, komitmen yang sudah disepakati dan kompensasi yang dijanjikan Tuhannya.
Akibatnya, kehidupan nismah itu dipenjara oleh nafsu sahwat manusiawi yang membelenggu alam jismul mahsusah itu, itulah orang yang lalai yang akan dimasukkan ke neraka akibat kelalaiannya sendiri.
Allah berfirman: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah), mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi, mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Q.S. Al-A'raaf (7) : 179).
Supaya manusia tidak menjadi seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi, maka nismatul 'adamiyah harus mampu membebaskan diri dari gravitasi alam jasad untuk menjalankan iradah dan qudrahnya mengikuti hidayah Allah, mengatur dan menyiasati instrumen kehidupan alam jasad kasar itu, mengendalikan potensi akal untuk mengikuti kehendak ruh dan menyiasati ajakan nafsu agar tidak tergoda tipu daya syetan.
Karena dengan itu manusia akan menjadi makhluk yang mulia, menjadi khalifah bumi zamannya dengan mendapatkan segala fasilitas hidup yang sudah tersedia baginya, di antaranya mendapatkan panggilan untuk memasuki bingkai janji Allah yang tidak akan pernah teringkari, yaitu memasuki dan memanfaatkan suatu sistem yang terencana dengan cerdas, dimana alam sekitarnya terfasilitasi untuk jinak dan dijinakkan baginya.
Maka akal manusia boleh mengelola bumi akan tetapi ruhnya harus tetap bebas naik turun kelangit, dua instrumen itu harus menjalankan fungsinya masing-masing untuk memasuki sunnah yang sudah ditetapkan baginya untuk mengikuti hidayah Allah. Itulah manusia seutuhnya, insan kamil, pelita-pelita bumi sepanjang masa.
Allah berfirman: “Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. An-Nahl (16) : 97).
Amal shaleh yang dikerjakan manusia dengan landasan iman, baik dikerjakan oleh orang laki-laki maupun perempuan adalah sebab yang harus dibangun di dunia, agar dengan itu mereka mendapatkan apa yang dijanjikan Allah sebagai akibat, yaitu kehidupan yang baik.
Akan tetapi apabila orang lari dan berpaling dari mengingati Allah, maka mereka akan mendapatkan kehidupan yang sempit, sejak di dunia sampai di akhirat nanti. Allah berfirman: “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (Q.S. Thaha (20) : 124).
Ulama berbeda pendapat mengartikan kehidupan yang baik itu, pertama: Ibnu Abbas, Said bin Jabir, Atok dan Dhohak berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan kehidupan yang baik adalah rizqi yang halal.
Kedua, Al-Hasan Al-Bashri, Zaid bin Wahab dan Wahab bin Munabbih : adalah Qana‘ah atau menerima terhadap segala pemberian dan seperti itu yang disampaikan Imam Ali bin Abi Thalib.
Ketiga: yang dimaksud dengan kehidupan yang baik ialah taufiq atau pertolongan untuk menjalankan perbuatan taat yang menyebabkan mendapatkan ridha Allah dan syurga.
Imam Ja‘far Ash-Shadiq berkata: yang dimaksud dengan kehidupan yang baik ialah ma‘rifatullah dan benar dalam maqam dihadapan Allah dan juga dikatakan tidak butuh kepada makhluk dan selalu merasa fakir di hadapan Allah, serta selalu ridha terhadap takdir. (Tafsir AlQurthubi).
Allah menegaskan lagi dengan firman-Nya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-An'am (6) : 82).
Orang-orang yang hidupnya mendapat keamanan itu ialah, orang-orang yang mampu mengenal nismahnya dan menjalankan kehidupan nismah itu dengan aman, artinya kehidupan nismah itu tidak campur aduk dengan kemauan basyariyah yang dapat membelokkan arah ibadah.
Dengan itu supaya kehidupan nismah itu selamat dari cengkraman
gravitasi alam jasad yang mengurungnya, itulah tanda-tanda orang yang mendapatkan petunjuk untuk mengikuti hidayah Allah, maka yang dimaksud dengan hukum ikhtiari ialah, bahwa manusia terlebih dahulu harus menjalankan pilihan hidupnya untuk mengikuti hidayah Allah, sebelum kemudian takdir akan menunjukkan tanda-tandanya.
Yaitu, apabila ada takdir baik untuknya, berarti ia akan dimudahkan untuk sampai kepada segala tujuan, apabila seorang hamba tidak menjalankan sunnah tersebut berarti orang itu adalah orang tidak percaya kepada Tuhannya.
Allah berfirman: “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim.” (Q.S. Al-Ma'idah (5) : 45). Selanjutnya manusia hanya akan mendapatkan dari apa yang diusahakan selama hidupnya: “Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya, tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.” (Q.S. Al-Mu'min (40) : 17).
Posting Komentar untuk "Hukum Ikhtiari"
Terimakasih atas kunjungan anda...