Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Tahap Kehidupan Manusia, "Alam Dunia"

Apabila manusia berhasil menyelesaikan seleksi hidupnya dengan baik, sehingga perniagaan hari itu tidak merugi, bahkan mampu mengumpulkan laba sebanyak-banyaknya, maka sejak di ala barzah mereka tinggal menuggu pembagian keuntungannya sampai hari kiamat datang, baik dari amal perbuatannya sendiri maupun dari tapak tilas perjalanan hidupnya, selama tapak tilas kebajikan itu di ikuti oleh generasi penerusnya.

Sejak langit, bumi dan gunung-gunung enggan memikul amanat yang ditawarkan Allah kepada mereka karena mereka khawatir mengkhianatinya, sedangkan manusia justru mau menerimanya, sebagaimana yang di nyatakan Allah dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikulnya dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan manusia menerimannya, sesungguhnya manusia itu amat Dzalim dan amat bodoh.” (Q.S. Al-Ahzab (33) : 72).

Maka sejak itu Allah menggelar seluruh kehidupan makhluk di alam semesta ini, alam “Mulki Wasy-Syahadah” atau alam kasat mata, langit ditegakkan, bumi dibentangkan dan gunung-gunung ditancapkan dengan masing-masing mendapatkan jasad-jasad untuk tempat tinggal ruh (nismah) kehidupan mereka sesuai fungsi dan hikmah keberadaan mereka di dunia.

Demikian juga manusia, “nismatul adamiyah” itu dimasukkan kedalam jasadnya yang pertama kali tercipta dari debu kemudian menjadi tulang yang dibungkus dengan daging, setelah kejadian itu disempurnakan, maka dilengkapi segala perangkat kehidupan seperti pendengaran, penglihatan dan perasaan, supaya dengan itu manusia bersyukur kepada tuhannya: “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan) -Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (Q.S. As-Sajdah : 9).

Sejak manusia pertama yang terlahir di surga, dengan instrumen kehidupan yang melengkapi hidupnya itu, kemudian dijadikan darinya manusia kedua untuk istrinya yang dijadikan dari tulang rusuknya, kemudian dari keduanya ditebarkan keturunannya, baik laki-laki maupun perempuan dalam jumlah yang besar. 


Allah berfirman: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan nama)-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Q.S. An-Nisaa' (4) : 1).

Anak manusia, dengan amanat yang sudah dipikul itu, yang menjadikan dirinya mendapat predikat “Sangat zalim dan sangat bodoh” itu, dengan masing-masing karakter dan usia yang sudah ditetapkan baginya, dengan didukung sarana dan fasilitas yang telah disiapkan, mereka harus menjalankan peran hidup masing-masing di dunia.

Mereka harus mengikuti skenario yang sejatinya sudah termaktub bagaikan sebuah kalung yang teruntai di lehernya, Allah menegaskan hal itu dengan firman-Nya: yang artinya: “Tiap-tiap manusia telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya." (Q.S. (17) : 13).

Dengan peran-peran tersebut, bukannya setelah itu ditutup begitu saja tanpa ada tindak lanjutinya lagi, seperti sandiwara-sandiwara yang digelar manusia dimuka bumi, kehidupan manusia di alam dunia itu tidaklah demikian, di alam dunia ini setiap perbuatan manusia akan dicatat di dalam sebuah buku yang pada saat hari kiamat nanti, buku itu dapat dibaca sendiri oleh pemiliknya: “Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghitung bagimu, "Barang siapa berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya ia berbuat itu untuk dirinya sendiri, dan barang siapa sesat maka sesungguhnya ia tersesat bagi (kerugiannya) sendiri dan seseorang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.” (Q.S. (17) : 13-15).

Terlebih terhadap kenikmatan-kenikmatan yang sudah dinikmati selama hidupnya, di hari akhir itu manusia harus mampu mempertanggungjawabkan segala penggunaannya, kalau kenikmatan itu digunakan untuk mengabdi kepada tuhannya sesuai kehendak hikmah penciptaannya, maka manusia akan mendapat pahala, kalau tidak, maka mereka akan disiksa. Sebagaimana yang dinyatakan Allah dengan firman-Nya: “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan-kenikmatan.” (Q.S. (102) : 8).

Itulah sunnatullah yang akan berjalan sesuai ketetapan yang sudah ditetapkan sejak zaman azali, sampai saat yang sudah ditentukan oleh Allah, Sang Pencipta dan Sang Pengatur Tunggal, adapun selain-Nya, hanyalah makhluk-makhluk ciptaan-Nya, baik memahami maupun tidak, sadar maupun tidak, mereka hanyalah sekedar pelaku-pelaku yang ubun-ubunnya telah terkendalikan mengikuti arus kehendak dan takdir-Nya.

Sebagaimana firman-Nya: “Tidak ada satu binatang melatapun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya.” (Q.S. (11) : 56), manakala di alam dunia itu manusia menggunakan hak pilihan hidupnya dengan baik, mereka mampu memasuki setiap kesempatan yang ada dengan tepat, beramal mengabdi menerapkan ilmu pengetahuan untuk mengikuti hidayah Allah.

Mendaki bukit dan menuruni tebing dalam rangka menyelesaikan setiap tahapan hidup untuk mencukupi kebutuhan dalam mengembarakan ruhaniyah kepada Tuhannya, memadukan antara ilmu, iman dan amal. Antara akal dan hati, antara rasional dan spritual, antara iradah hadits dan iradah azaliyah, antara konsep bumi dan konsep langit, konsep jasmani dan konsep ruhani, maka itulah.

Iradah hadits adalah kehendak manusia yang sekarang yang hakikatnya adalah takdir (qadar) Allah.
Iradah azaliyah adalah ketetapan (qadha') Allah pada zaman azali.

Yang dimaksud dengan berbuat sesuai hidayah Allah adalah : “Barangsiapa berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya ia berbuat itu untuk dirinya sendiri.” (Q.S. (17) : 13).
Sedangkan segala keuntungan yang didapat dari perbuatan tersebut bukan untuk siapa-siapa namun semata untuk manusia itu sendiri, akan tetapi apabila manusia hanya membuka ilmu saja dan menutup rasa keimanan, mereka hanya memperturutkan kemauan akal saja dengan meninggalkan potensi hati, menggunakan kesibukan rasional saja dengan menanggalkan kejernihan spiritual, maka itulah tanda-tanda orang yang sesat jalannya.

Hal itu disebabkan, karena mereka telah jauh dari kendali konsep langit, jauh dari tambang inspirasi ruhani, dikatakan tersesat karena mereka telah jauh dari satu-satunya wadah Allah di alam “mulki wasy-syahadah” yang bagaikan telaga yang dapat menampung curahan ilham dan inspirasi dari rahasia kehidupan alam malakut, itulah potensi hati manusia, maka akibat dari perbuatan itu, tentunya manusia sendiri pula yang akan menanggungnya.

Allah telah mengabarkan keberadaan kehidupan dunia tersebut beserta konsep-konsep kehidupan yang dapat dijadikan panduan hidup bagi manusia, baik sebagai peringatan, tuntunan maupun hidayah, namun demikian, semua itu hanya akan membawa manfaat bagi orang mengimaninya.

Allah berfirman: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu, berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya.

Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Q.S. Al-Hadid (57) : 20-21).

Dan firman-Nya lagi: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu, barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung, kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Q.S. Ali-Imran (3) : 185).

Menurut ayat di atas, kehidupan dunia dengan segala instrumennya hanyalah sekedar permainan sesaat dan bahkan kesenangan yang memperdayakan, namun sungguhpun demikian, kehidupan dunia itu juga adalah sarana bagi manusia untuk menyampaikan kepada tujuan, menggapai cita dan cinta, bahkan perladangan untuk akhirat, yaitu untuk menggapai ridha Allah, baik di dunia maupun disurga.

Apabila kehidupan dunia itu menjadi satu-satunya tempat tujuan bagi hidup manusia, berarti selama hidupnya manusia telah sampai kepada tujuan hidup yang diharapkan itu, maka di dalam kehidupan dunia itu mereka diperbolehkan menikmati segala isinya sesuai kemampuan yang dimiliki, yaitu sejak disuapi untuk yang pertama kali oleh ibunya, kemudian menyuapi seorang bayi dari anak dan cucunya, sampai kemudian disuapi lagi untuk yang terakhir kali menjelang ajal kematiannya.

Akan tetapi, oleh karena tujuan hidup itu hanya dunia, yang tentunya segala kenikmatan itu hanya dinikmati sekedar mengikuti dorongan nafsu syahwat belaka, maka di akhirat nanti, setelah hari kematiannya di dunia, sejak di alam barzah mereka harus mempertanggungjawabkan segala kenikmatan itu dengan siksa api neraka.

Akan tetapi apabila tujuan hidup itu adalah hari akhir, maka kehidupan dunia itulah satu-satu sarana untuk menyampaikannya kepada kebahagian yang abadi di surga, oleh karenanya, tahapan kehidupan dunia adalah tahapan amal sebagaimana firman Allah di atas: “Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya, itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar." (Q.S. (57) : 20).

Berlomba-lomba dengan amal pertaubatan untuk menuju ampunan Allah, artinya adalah bertaubat dari segala kesalahan dan dosa, hal itu bisa dilakukan manakala orang tersebut merasa salah dan mempunyai dosa, bukan orang yang merasa benar dan sok suci, dengan bertaubat itu supaya orang dapat merontokkan kerak dosanya dan menyepuh ruhaniyah, agar yang kotor menjadi bersih dan suci, kembali kepada fithrah.

Supaya dengan itu orang mendapatkan kembali surga yang telah ditinggalkannya dahulu, dari sekian tahapan kehidupan yang harus dijalani manusia, tahapan kehidupan dunia adalah satu-satunya kesempatan untuk membentuk dan membangun jati diri mereka.

Terserah manusia itu sendiri, menjadikan dirinya makhluk yang mulia atau hina, menuju kebahagiaan atau terjerumus kepada kesengsaraan, sampai kepada keridhaan Allah atau kemurkaan-Nya, masuk surga atau terjerumus jurang neraka.

Oleh karena itu, dimana saja, dalam keadaan apa saja, dan dengan apa saja, selagi masih mampu, sepanjang hidupnya, manusia harus beramal shaleh, hal itu dilakukan sampai datangnya ajal kematian menuju suatu kepastian: “Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam untuk diperlihatkan amal mereka, maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun niscaya ia akan melihatnya dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun ia akan melihatnya pula.” (Q.S. (99) : 6-8).

Dengan amal shaleh itu, yaitu memadukan antara ilmu, iman dan amal untuk melaksanakan amar makruf nahi mungkar, supaya “nismatul 'adamiyah” yang dibungkus jismul mahsusah (manusia secara basyariyah) itu mendapatkan “nismatul 'ubudiyah” yaitu sirr dari amal shaleh yang dilakukan tersebut yang juga disebut dengan “khususiyah”.

Dengan adanya nismatul 'ubudiyah itu, maka kehidupan manusia akan menjadi terang benderang, mereka tidak akan merasa ragu lagi baik dalam menentukan pilihan maupun dalam merealisasikannya, meski jalan hidup tidak selalu mulus dan baik-baik saja.

Seperti bumi di siang hari ketika ufuknya menjadi terang benderang, keadaan tersebut bukan karena bumi memancarkan cahaya terang tapi sinar matahari saat itu sedang menampakkan senyuman, yang dimaksud dengan bumi adalah isi dada manusia dan matahari itu adalah hidayah Allah buah amal shaleh yang dilakukan manusia.

Ketika di dalam dada itu ada hidayah, maka yang semestinya gelap gulita menurut pandangan orang, dengan matahati yang tembus pandang itu, maka yang gelap akan menjadi terang benderang, manusia (nismatul adamiyah), meskipun sudah melengkapi dirinya dengan ilmu dan amal namun tanpa dibarengi kekuatan iman (nismatul ubudiyah) ia bukan sebagai sesuatu yang berharga di hadapan Sang Pencipta Alam, bahkan hanya sebagai sejelek-jelek binatang.

Allah menegaskan hal itu dengan firman-Nya: “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk disisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman.” (Q.S. Al-Anfal (8) : 55).

Hal itu disebabkan, karena sesungguhnya manusia telah terlepas jauh dari hikmah penciptaannya (hasiatul insaniyah), karena ia telah terputus dari sumber inspirasi yang hakiki yaitu hidayah dari Tuhannya.

Akibatnya, keadaan mereka bagaikan pohon yang akarnya putus, sehingga meski masih ada kehidupan di dalam jiwanya, kehidupan itu tidak dapat membuahkan kemanfaatan, bahkan menambah kemudharatan, menjadi seperti benalu yang hanya membebani kehidupan orang lain dan bahkan menjadi hama penyakit dan racun bagi kehidupan sekitarnya.

Jadi, “nismatul 'adamiyah” haruslah selalu dipancari iman dan yakin yang hakikatnya adalah “Nur di atas Nur” yang dipancarkan dari sumber asalnya yaitu “Nur Muhammad”, yang disebut “nismatul 'ubudiyah”.

Kalau tidak demikian maka manusia itu belum dapat disebut sebagai makhluk yang sempurna, sebabnya adalah, tanpa nismatul 'ubudiyah, manusia tidak lain hanyalah sekedar tulang dan daging yang tidak hidup dan tidak mati, karena didalamnya tidak disinari ruh ketuhanan.

Allah berfirman: “Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan, mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (Q.S. Al-Hujaraat (49) : 7).

Mengambil makna secara filosofis dari ayat tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan “Rasulullah” dalam ayat tersebut adalah karakter atau akhlak sebagaimana akhlaknya Rasulullah Saw, yang bersemayam di dalam jiwa (Kamu) orang beriman.

Akhlak tersebut berupa prinsip keimanan dan kepemimpinan yang teguh dan tidak mudah goyah oleh pengaruh keadaan, itulah prinsip yang harus diikuti orang-orang beriman, yakni teguh dalam pendapat dan tidak mudah dipengaruhi pendapat banyak orang lain, sebabnya apabila karakter seorang pemimpin tidak teguh, bisanya hanya mengikuti pendapat orang lain, maka hal tersebut pasti akan menjadi penyebab fitnah.

Prinsip kepemimpinan tersebut dikandung didalam suatu konsep: “Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.” (Q.S. (49) : 7), itulah tanda-tanda orang yang hatinya hidup karena mereka selalu mendapatkan petunjuk Tuhannya untuk mengikuti jalan yang harus ditempuh.

Posting Komentar untuk "Tahap Kehidupan Manusia, "Alam Dunia""