Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Konsep Langit dan Konsep Bumi

Dari Nur yang pertama itu, lalu berevolusi secara bertahap, menjadi kejadian demi kejadian sesuai proses kejadian alam yang dikehendaki Sang Pencipta Tunggal yaitu Allah.

Asalnya dari sel tunggal membelah menjadi dua dan berkembang berpasang dengan tidak terbatas, diantaranya ada yang menjadi siang dan malam, senang dan susah, sebagian ada yang menjadi surga dan neraka, menjadi malaikat dan syetan dan menjadi sepasang ruh(nismah ) seluruh anak manusia dan ruh seluruh makhluk yang lainnya, seperti ruh langit, ruh bumi dan ruh gunung-gunung serta ruh segala binatang.


Pokoknya, seluruh makhluk yang ada di alam ini, asal kejadiannya adalah dari Nur Muhammad Saw, itulah “ruh kehidupan”, mereka itu setiap saat bertasbih kepada Allah.

Selanjutnya, ketika saatnya tiba, kehidupan mereka akan dibungkus dengan jasad-jasad yang disesuaikan dengan fungsi hidup mereka. Allah firman-Nya : “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah dan tidak ada satupun melainkan bertasbih dengan memujinya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.” (Q.S. Al-Isra' (17) : 44).

Demikianlah proses awal kejadian seluruh makhluk yang ada dialam qadim atau alam azaliyah atau alam ruhaniyah, kemudian ketika Allah berkehendak menciptakan ruh seluruh keturunan anak manusia (nismatul 'adamiyah), kejadian itu diabadikan dengan firman-Nya, Q.S. Al-A‘raf ayat 172.

Allah berfirman : “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Kesaksian)” atau agar kamu tidak mengatakan : “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka, maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu? Dan demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada kebenaran)." (Q.S. (7) : 172-174).

Dengan ayat di atas, Allah telah memberikan kabar kepada hamba-Nya yang hidup di alam hadits terhadap suatu peristiwa ghaib yang telah terjadi di alam qadim, yaitu Persaksian Anak Adam yang pertama kepada Tuhannya atas “Haqqur Rubuubiyyah” bagi-Nya, artinya bahwa sesungguhnya manusia dialam qadim (Alam ruh) tersebut pernah bersaksi kepada Tuhannya, bahwa hanya Allahlah Pengatur dan Pemelihara segala kehidupan yang ada di alam ini termasuk juga kehidupan dirinya sendiri, karena memang Allah yang Menciptakan alam semesta ini.

Dengan persaksian itu, supaya di alam hadits nanti manusia tidak mengingkari akibat perbuatannya sendiri, dari berlakunya hukum sebab akibat yang terjadi, bahwa setiap pribadi akan menerima akibat perbuatannya sendiri, walau usaha itu karena mereka mengikuti pendahulunya.

Apabila usaha itu adalah amal kebajikan maka akibatnya adalah kebaikan dan apabila amal kejelekan maka akibatnya juga kejelekan, itulah sunnatullah yang sejak diciptakan-Nya tidak akan ada perubahan lagi untuk selamanya.

Dengan sunnah itu supaya masing-masing pribadi kembali kepada kebenaran yang hakiki, Imam Malik Ra menulis dalam kitabnya, Al-Muwatha‘, bahwa sesungguhnya ditanyakan kepada Sahabat Umar Bin Khathab Ra tentang ayat ini :

" وَإِذِمأَخََّمرَبٗكَمعٔنِمبَـٔيمءَادَمَمعٔنِمزُفُورِػٔمِمذُرٚؼٖؿَفُمِموَأَذِفََّػُمِمسَؾَىمأَغِػُلٔفِمِم
أَظَلًُِمبَّٔبٚؽُمِمضَوظُوامبَؾَىمذَفِِّغَومأَنِمتَؼُوظُوامؼَوِمَماظْؼٔقَوعَئمإِغٖومطُـٖومسَنِمػََّامشَوصٔؾٔينَ
"مم

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab : “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Kesaksian).”

Maka Sahabat Umar Ra berkata : "Aku mendengar telah ditanyakan kepada Rasulullah Saw tentang ayat itu, maka Rasulullah Saw bersabda :

"إِنٖ مآَ متَعَولى مخَؾَقَ مآدَمَ مثُمٖ معَلََّمزَفَِّهُ مبٔقَؿٔقِـٔهٔ مصَودِؿَكَِّجَ معٔـِهُ مذُرٚؼَيً مصَؼَولَم
خَؾَؼًُْمػَمُلاَءٔمظٔؾْفَـٖئموَبٔعَؿَلِمأَػِلِماظْفَـٖئمؼَعِؿَؾُوِنَمثُمٖمعَلََّمزَفَِّهُمصَودِؿَكَِّجَم
ٔعـِهُمذُرٚؼَيًمصَؼَولَمخَؾَؼًُْمػَمُلاَءٔمظٔؾـٖورِموَبٔعَؿَلِمأَػِلِماظـٖورِمؼَعِؿَؾُوِنَ".مصَؼَولَمرَجُلْ:م
صَػٔقِمَ ماظْعَؿَلُ؟ مضَولَ مصَؼَولَ مرَدُوِلُ مآٔ مصَؾّى مآُ مسَؾَقِهٔ موَدَؾّمَ: م"إِنٖ مآَ مإِذَا مخَؾَقَم
اظْعَؾَِّمظٔؾْفَـٖئمأدِؿَعِؿَؾْهُمبٔعَؿَلِمأَػِلِماظْفَـٖئمحَؿٖىمؼَؿُوِتُمسَؾىمسَؿَلٍمعٔنِمأَسِؿَولِم
أَػِلِماظْفَـٖئمصَقُِّخٔؾُهُماظْفَـٖيَموَإِذَامخَؾَقَماظْعَؾَِّمظٔؾـٖورِمأدِؿَعِؿَؾْهُمبٔعَؿَلِمأَػِلِماظـٖورِم
حَؿٖىمؼَؿُوِتُمسَؾىمسَؿَلٍمعٔنِمأَسِؿَولِمأَػِلِماظـٖورِمصَقُِّخٔؾُهُمآُماظـٖورَ."م

“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam, kemudian Allah mengusap sulbinya dengan Tangan kanan-Nya, maka menjadi keluar dari sulbi itu keturunannya, kemudian Allah berfirman : “Aku menciptakan ini semua untuk (Penghuni) syurga dan dengan amal ahli surga mereka beramal.”

Kemudian Allah mengusap sulbinya lagi, maka menjadi keluar dari sulbi itu keturunannya, maka Allah berfirman : “Aku menciptakan ini semua untuk penghuni neraka dan dengan amal ahli neraka mereka beramal.”

Kemudian seorang bertanya kepada Rasulullah Saw : “Dimana kedudukan amal?”. Rasulullah Saw bersabda : ”Sesungguhnya apabila Allah menciptakan seorang hamba sebagai penduduk syurga, maka ia diperjalankan dengan amal ahli syurga sehingga ia mati dengan beramal dari amal ahli syurga, kemudian dimasukkan ke dalam syurga dan apabila Allah menciptakan seorang hamba untuk penghuni neraka, maka Allah memperjalankan dengan amal penduduk neraka, sehingga ia mati dengan beramal ahli neraka kemudian dimasukkan ke neraka.” (Tafsir Qurthubi).

Apa yang diketengahkan hadits tersebut di atas adalah sebuah konsep dasar yang telah disampaikan Allah melalui Nabi-Nya Muhammad Saw, kejadian alam qadim yang dapat dijadikan dasar pijakan bagi umat manusia untuk menerapkan konsep-konsep kehidupan di alam hadits, bahwa sesungguhnya sejak pertama kali manusia diciptakan di alam ruh, mereka sudah tercipta di dalam dua golongan, yang satu menjadi calon penghuni surga dan yang satunya menjadi calon penghuni neraka.

Meskipun kedua golongan tersebut masuk syurga dan neraka di alam akhirat, namun tanda-tandanya dapat dilihat dari amal perbuatan mereka saat ini di dunia.

Penghuni syurga dengan amal ahli syurga sehingga dimasukkan surga dengan sebab amalnya itu dan penghuni neraka dengan amal ahli neraka, sehingga dimasukkan neraka dengan sebab amal perbuatannya juga.

Hal tersebut sesuai dengan dasar iman yang harus diimani oleh orang-orang yang beriman, yaitu bahwa setiap pribadi muslim wajib percaya adanya Qadha‘ dan Qadar.

Qadha‘ artinya ketetapan Allah pada zaman azali atau alam qadim dan Qadar adalah pelaksanaannya pada alam hadits, dengan konsep ghaib di atas, setiap manusia memungkinkan bisa melihat dan mengenali dirinya sendiri dengan mudah, itu dikenali dari tanda-tanda yang ada.

Dari amal perbuatan yang sudah dijalani selama hidupnya di dunia, kira-kira dari golongan yang mana dirinya berada, kalau ternyata dari golongan pertama, maka ia wajib bersyukur karena ia sudah berjalan di jalan yang benar dan selanjutnya harus berusaha untuk menjaganya agar istiqamah menjalani sampai saat ajalnya tiba dan mati dengan selamat, sehingga dimasukkan surga sebab amal perbuatan tersebut.

Bahkan jika mungkin ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitasnya, karena sebagaimana di dunia ada derajat, diakhiratpun justru derajat itu tidak terbatas luasnya, sebagaimana yang ditegaskan Allah melalui firman-Nya : “Bagi orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik dan tambahannya.” (Q.S.Yunus (10) : 26).

Namun apabila ternyata mereka dari golongan kedua, mereka harus cepat-cepat sadar dan bertaubat, hal itu disebabkan, karena selama nafas belum menyumbat tenggorokan, selama kemampuan (Qudrah) manusia masih mampu mengimbangi kemauan (Iradah), pintu taubat masih terbuka lebar-lebar bagi siapapun.

Golongan kedua itu harus segera berusaha merubah perbuatan itu, mereka terlebih dahulu harus mampu merubah ilmu dan amal agar dengan itu supaya karakter mereka menjadi berubah, yang asalnya merupakan tanda-tanda penghuni neraka, supaya bisa berubah menjadi tanda-tanda penghuni syurga.

Apabila manusia mau berusaha merubah dirinya sendiri maka Allah akan merubahnya pula, jika tidak maka : “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubahnya sendiri.” (Q.S. (13) : 11).

Yang diungkapkan oleh ayat tersebut di atas,“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubahnya sendiri.” (Q.S. (13) : 11), itu juga merupakan sunnatullah, ketetapan yang sejak diciptakan tidak akan ada perubahan lagi untuk selamanya, sunnah tersebut merupakan konsep kehidupan di alam hadits atau konsep bumi.

Konsep lahir yang harus diterapkan dalam kehidupan orang beriman, dengan memadukan dua konsep tersebut didalam satu amal, konsep langit dan konsep bumi, konsep ruhani dan konsep jasmani, berarti manusia telah mendudukkan kedudukannya diantara dua alam.

Antara alam malakut (alam qadim) dan alam mulki wasy-syahadah (alam hadits), dengan menjalani kehidupan antara dua alam tersebut, berarti manusia telah menjalani kehidupan yang seimbang, kehidupan jasmani dan ruhani.

Dengan yang demikian itu, akhirnya lambat-laun manusia akan mampu mengenali rahasia jati dirinya sendiri, mata hati mereka mendapatkan futuh dari-Nya, sehingga mereka dapat mengenali keutamaan-keutamaan yang hanya khusus diberikan Allah kepada dirinya.

Futuh adalah terbukanya mata hati buah dari ibadah yang telah dilakukan, dengan kehidupan yang seimbang tersebut, menjadikan jiwa mereka menjadi mapan, jiwa yang tidak mudah goyah oleh terpaan godaan zaman.

Tidak mudah sombong karena pujian dan tidak mudah merasa terhina karena cacian, sehingga dengan itu, manusia mampu menyiasati segala tantangan dan jebakan kehidupan, mereka mampu berkompetisi dan berlomba-lomba dalam kebajikan, sampai saat ajal kematian tiba, menuju tahapan kehidupan berikutnya, baik di alam barzah maupun alam akhirat dengan selamat sebagai orang yang tidak merugi, sungguh Maha Besar Allah dengan segala ciptaan-Nya.

Terkait dua konsep tersebut, suatu saat ditanyakan kepada Baginda Nabi Saw perihal takdir dikaitkan amal yang sedang dikerjakan manusia, para sahabat bertanya : "Wahai Rasulullah, aku saat ini sedang mengerjakan shalat, adakah amal yang aku perbuat itu merupakan urusan yang sudah rampung dan sudah ditentukan Allah pada zaman azali ataukah yang baru ditakdirkan pada saat kejadian?, maka Rasulullah Saw menjawab : "Urusan itu bahkan sudah rampung dan sudah ditentukan pada zaman azali."

Kemudian sahabat itu bertanya lagi : "Apa arti amal yang sedang aku kerjakan ini? Rasulullah Saw menjawab dengan sabdanya :

"أسِؿَؾُوِام,مصَؽُلٙمعُقَلّْٖمظٔؿَومخُؾٔقَمظَهُ"م

“Beramallah, maka sesungguhnya segala sesuatu akan dimudahkan bagi apa yang akan diciptakan baginya.”

Apabila dari golongan orang-orang yang akan mendapatkan kebahagiaan, maka ia akan dimudahkan untuk berbuat amal kebaikan dan apabila dari golongan yang celaka, maka ia akan dimudahkan untuk berbuat amal kejelekan, selanjutnya Rasulullah Saw membaca Ayat : “Adapun orang yang memberikan dan bertaqwa dan membenarkan kebaikan, maka akan Kami mudahkan kepada jalan kemudahan, adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup dan mendustakan kebaikan, maka akan Kami sukarkan dari jalan kemudahan.” (Q.S. Al-Lail (92) : 5-10).

Posting Komentar untuk "Konsep Langit dan Konsep Bumi"