Peran Nafsu Untuk Kebaikan Manusia
Manusia sebagai makhluk yang sempurna, mempunyai nafsu, akal dan hati, sehingga dapat memilih jalan hidup mengikuti kehendaknya, tidak seperti malaikat yang tidak memiliki nafsu, sedangkan akal dan hatinya telah di program sesuai fungsi hidup yang harus dijalani, sehingga sedikit pun malaikat tidak mempunyai kesempatan untuk memilih jalan hidup selain yang ditentukan baginya, meskipun fungsi nafsu selalu mengajak manusia mengikuti jalan kejelekan, namun dengan menggunakan lahan akal sebagai tempat perbendaharaan ilmu, dengan mendapatkan pancaran nur iman dari hati seharusnya manusia mampu memilih jalan hidup dengan benar.
Mereka harus melangkah maju membangun tatanan kehidupan dengan mengikuti hidayah Allah, mampu menyikapi segala kejadian dengan benar dan tepat, senang maupun susahnya, bahagia maupun deritanya, karena keduanya sejatinya adalah ujian hidup yang diciptakan Allah baginya.
Namun ternyata kenyataannya tidaklah demikian, sebagian besar manusia itu malah berpaling dari Tuhannya, mengingkari kenikmatan yang dianugerahkan kepadanya sehingga mereka menjadi makhluk yang hina.
Barangkali disitu ada yang perlu dikaji kembali, dimana letak kesalahan itu, ketika akal dan nafsu seringkali berhasil menyeret hati manusia untuk berbuat kesalahan yang amat fatal tersebut.
Resepnya adalah apa yang sudah disampaikan Asy-Syaikh Ahmad Ibnu Athailah Askandari didalam Kitab Al-Hikam-nya yang masyhur dan beliau berkata: “Seandainya tidak ada lahan bagi nafsu, pasti tidak jelas perjalanan orang menuju Allah, oleh karena tidak ada jarak antara engkau dengan Allah Ta'ala yang dapat ditempuh dengan kendaraan, dan tidak ada pemutusan engkau dengan Allah, kecuali hubunganmu sendiri yang menghapuskannya.”
Maksudnya, betapapun nafsu adalah musuh utama manusia yang sering kali dijadikan syetan kendaraan untuk menghancurkan manusia.
Caranya, ketika nafsu mengajak manusia kepada kejelekan, maka akal dengan ilmu minta bantuan hati untuk memancarkan nur iman ke dalam akal, ajakan jelek itu tidak diperturutkan, tapi diperangi dan dikalahkan.
Itulah yang disebut “jihad akbar” yang akan mampu mendongkrak derajat kemuliaan manusia di hadapan Tuhannya, apabila tidak ada lahan nafsu tersebut maka kesempatan untuk melaksanakan, jihad akbar itu selamanya tidak mungkin dapat terbuka.
Jadi, yang memalingkan manusia dari Tuhannya sejatinya bukan kehidupan dunia, tapi bagaimana lahan akal dan lahan nafsu menyikapi kehidupan dunia tersebut, dalam ayat yang lain Allah berfirman: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (Q.S. An-Nahl : 16/78).
Manusia yang asalnya tidak ada menjadi ada, yang asalnya mati menjadi hidup, adalah Allah yang menciptakannya, yang mengeluarkan dari perut ibunya saat kelahirannya dan menjadikan baginya pendengaran, penglihatan dan perasaan.
Yang asalnya tidak tahu menjadi tahu, yang asalnya tidak mengerti menjadi mengerti, yang asalnya tidak kenal menjadi kenal, namun dengan tujuan supaya manusia mampu menjadi hamba yang bersyukur kepada-Nya.
Allah Maha Mengetahui kepada manusia, sejak manusia pertama yang diciptakan-Nya dari sebutir debu, demikian juga ketika manusia berada dalam rahim ibunya.
Allah juga mengetahui amal perbuatan manusia, tentang keihlasannya, tentang kemunafikannya, tentang imannya, tentang kafirnya dan Allah juga kuasa menyampaikan balasan terhadap amal perbuatan tersebut, baik dengan kemuliaan maupun kehinaan, baik dengan kebahagiaan maupun penderitaan.
Sebabnya, karena sesungguhnya: “Hanya kepunyaan Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga), (yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu, maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa.” (Q.S. (53) : 31-32).
Maka yang dimaksud kalimat “bersyukur” dalam ayat di atas bukan sekedar mengucapkan alhamdulillah, namun dengan tujuan supaya rizqinya mendapatkan tambahan, meski itu adalah janji Allah, sehingga mendorong hati seseorang untuk selalu berusaha mengumpulkan harta benda hingga lupa bahwa semakin hari dirinya semakin dekat kepada rumah masa depan yang luasnya hanya 1 x 2 meter persegi.
Kalimat tersebut sejatinya adalah sebuah istilah untuk suatu maksud, yaitu sikap mental spiritual yang harus dijalani anak manusia didalam menyikapi segala yang sudah dijalani maupun yang akan terjadi.
Yaitu “Merasa senang kepada Sang Pemberi atas sebuah pemberian bukan semata-mata karena pemberian itu akan tetapi karena pemberian itu diberikan oleh-Nya.”
Sikap mental itu kemudian dijadikan landasan dan kendaraan hidup dalam rangka melaksanakan pengabdian secara lahir, baik vertikal maupun horizontal, supaya seorang salik mampu memancarkan pengembaraan ruhaninya secara batin.
Yaitu melahirkan rasa syukur dan ridha atas segala karunia yang diaktualkan dalam bentuk ibadah lahir supaya seorang salik mendapatkan ridha Tuhannya dan syurga.
Itulah “derajat syukur” yang apabila sudah menjadi landasan hidup yang istiqamah, maka syetan jin tidak akan mempunyai kekuatan lagi untuk menggoda anak manusia.
Pernyataan tersebut telah diketengahkan iblis sendiri dihadapan Allah sebagaimana yang telah diabadikan Allah di dalam firman-Nya: “Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at).” (Q.S. Al-A'raf : 17).
Artinya, supaya seorang hamba tidak dapat bersyukur kepada Tuhannya, maka jalan menuju “derajat syukur” itu dihadang iblis dan balatentaranya dari empat jurusan.
Untuk mencapai derajat yang utama itu, peran nafsu dan syetan adalah penggoda, hal tersebut adalah sistem ujian yang diadakan Allah di dunia supaya anak manusia yang mengaku beriman itu teruji imannya.
Dengan godaan itu supaya setiap pengabdian yang dilakukan seorang hamba mempunyai nilai kwalitas yang tinggi, itulah nilai positifnya nafsu, karena hanya dengan itu manusia akan mencapai derajat yang tinggi di hadapan Tuhannya, baik di dunia maupun di syurga nanti.
Maka dengan konsep ini, meski nafsu adalah bagian yang negatif bagi manusia, keberadaannya juga harus disyukuri, karena kalau tidak ada yang negatif itu maka yang positif tidak akan mampu melipatkan daya guna.
Selanjutnya, apabila yang negatif saja sudah mampu disyukuri manusia dengan benar, apalagi yang positif, itulah sarana latihan yang sangat efektif untuk mendewasakan jiwa atau jati diri manusia.
Sebabnya, apabila manusia mampu mensyukuri yang negatif itu dengan benar selanjutnya tidak ada lagi bedanya bagi mereka, baik yang menyenangkan maupun yang menyusahkan, keduanya pasti akan mampu disyukuri pula.
Itulah maqam syukur yang sangat diidam-idamkan oleh para salik di jalan Allah, karena dengan maqam itu syetan jin bahkan menjadi takut meski hanya sekedar dekat kepada manusia, sehingga perjalanan ibadah menjadi aman dan menyenangkan.
Mereka harus melangkah maju membangun tatanan kehidupan dengan mengikuti hidayah Allah, mampu menyikapi segala kejadian dengan benar dan tepat, senang maupun susahnya, bahagia maupun deritanya, karena keduanya sejatinya adalah ujian hidup yang diciptakan Allah baginya.
Namun ternyata kenyataannya tidaklah demikian, sebagian besar manusia itu malah berpaling dari Tuhannya, mengingkari kenikmatan yang dianugerahkan kepadanya sehingga mereka menjadi makhluk yang hina.
Barangkali disitu ada yang perlu dikaji kembali, dimana letak kesalahan itu, ketika akal dan nafsu seringkali berhasil menyeret hati manusia untuk berbuat kesalahan yang amat fatal tersebut.
Resepnya adalah apa yang sudah disampaikan Asy-Syaikh Ahmad Ibnu Athailah Askandari didalam Kitab Al-Hikam-nya yang masyhur dan beliau berkata: “Seandainya tidak ada lahan bagi nafsu, pasti tidak jelas perjalanan orang menuju Allah, oleh karena tidak ada jarak antara engkau dengan Allah Ta'ala yang dapat ditempuh dengan kendaraan, dan tidak ada pemutusan engkau dengan Allah, kecuali hubunganmu sendiri yang menghapuskannya.”
Maksudnya, betapapun nafsu adalah musuh utama manusia yang sering kali dijadikan syetan kendaraan untuk menghancurkan manusia.
Menguasai akal dan hati sehingga sebagian manusia menjadi budak hawa nafsunya sendiri, namun demikian seandainya di dalam diri manusia tidak ada lahan negatif itu, maka tidak ada kemanfaatan bagi lahan positif akal untuk berkarya.Oleh karena itu, lahan nafsu itu akan menjadi penting bagi manusia manakala lahan akal mampu diperdayakan dengan semestinya, yaitu menyiasati nafsu dan menjadikannya sebagai pendorong semangat untuk mengabdi dan berlomba-lomba di dalam kebajikan.
Caranya, ketika nafsu mengajak manusia kepada kejelekan, maka akal dengan ilmu minta bantuan hati untuk memancarkan nur iman ke dalam akal, ajakan jelek itu tidak diperturutkan, tapi diperangi dan dikalahkan.
Itulah yang disebut “jihad akbar” yang akan mampu mendongkrak derajat kemuliaan manusia di hadapan Tuhannya, apabila tidak ada lahan nafsu tersebut maka kesempatan untuk melaksanakan, jihad akbar itu selamanya tidak mungkin dapat terbuka.
Jadi, yang memalingkan manusia dari Tuhannya sejatinya bukan kehidupan dunia, tapi bagaimana lahan akal dan lahan nafsu menyikapi kehidupan dunia tersebut, dalam ayat yang lain Allah berfirman: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (Q.S. An-Nahl : 16/78).
Manusia yang asalnya tidak ada menjadi ada, yang asalnya mati menjadi hidup, adalah Allah yang menciptakannya, yang mengeluarkan dari perut ibunya saat kelahirannya dan menjadikan baginya pendengaran, penglihatan dan perasaan.
Yang asalnya tidak tahu menjadi tahu, yang asalnya tidak mengerti menjadi mengerti, yang asalnya tidak kenal menjadi kenal, namun dengan tujuan supaya manusia mampu menjadi hamba yang bersyukur kepada-Nya.
Allah Maha Mengetahui kepada manusia, sejak manusia pertama yang diciptakan-Nya dari sebutir debu, demikian juga ketika manusia berada dalam rahim ibunya.
Allah juga mengetahui amal perbuatan manusia, tentang keihlasannya, tentang kemunafikannya, tentang imannya, tentang kafirnya dan Allah juga kuasa menyampaikan balasan terhadap amal perbuatan tersebut, baik dengan kemuliaan maupun kehinaan, baik dengan kebahagiaan maupun penderitaan.
Sebabnya, karena sesungguhnya: “Hanya kepunyaan Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga), (yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu, maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa.” (Q.S. (53) : 31-32).
Maka yang dimaksud kalimat “bersyukur” dalam ayat di atas bukan sekedar mengucapkan alhamdulillah, namun dengan tujuan supaya rizqinya mendapatkan tambahan, meski itu adalah janji Allah, sehingga mendorong hati seseorang untuk selalu berusaha mengumpulkan harta benda hingga lupa bahwa semakin hari dirinya semakin dekat kepada rumah masa depan yang luasnya hanya 1 x 2 meter persegi.
Kalimat tersebut sejatinya adalah sebuah istilah untuk suatu maksud, yaitu sikap mental spiritual yang harus dijalani anak manusia didalam menyikapi segala yang sudah dijalani maupun yang akan terjadi.
Yaitu “Merasa senang kepada Sang Pemberi atas sebuah pemberian bukan semata-mata karena pemberian itu akan tetapi karena pemberian itu diberikan oleh-Nya.”
Sikap mental itu kemudian dijadikan landasan dan kendaraan hidup dalam rangka melaksanakan pengabdian secara lahir, baik vertikal maupun horizontal, supaya seorang salik mampu memancarkan pengembaraan ruhaninya secara batin.
Yaitu melahirkan rasa syukur dan ridha atas segala karunia yang diaktualkan dalam bentuk ibadah lahir supaya seorang salik mendapatkan ridha Tuhannya dan syurga.
Itulah “derajat syukur” yang apabila sudah menjadi landasan hidup yang istiqamah, maka syetan jin tidak akan mempunyai kekuatan lagi untuk menggoda anak manusia.
Pernyataan tersebut telah diketengahkan iblis sendiri dihadapan Allah sebagaimana yang telah diabadikan Allah di dalam firman-Nya: “Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at).” (Q.S. Al-A'raf : 17).
Artinya, supaya seorang hamba tidak dapat bersyukur kepada Tuhannya, maka jalan menuju “derajat syukur” itu dihadang iblis dan balatentaranya dari empat jurusan.
Untuk mencapai derajat yang utama itu, peran nafsu dan syetan adalah penggoda, hal tersebut adalah sistem ujian yang diadakan Allah di dunia supaya anak manusia yang mengaku beriman itu teruji imannya.
Dengan godaan itu supaya setiap pengabdian yang dilakukan seorang hamba mempunyai nilai kwalitas yang tinggi, itulah nilai positifnya nafsu, karena hanya dengan itu manusia akan mencapai derajat yang tinggi di hadapan Tuhannya, baik di dunia maupun di syurga nanti.
Maka dengan konsep ini, meski nafsu adalah bagian yang negatif bagi manusia, keberadaannya juga harus disyukuri, karena kalau tidak ada yang negatif itu maka yang positif tidak akan mampu melipatkan daya guna.
Selanjutnya, apabila yang negatif saja sudah mampu disyukuri manusia dengan benar, apalagi yang positif, itulah sarana latihan yang sangat efektif untuk mendewasakan jiwa atau jati diri manusia.
Sebabnya, apabila manusia mampu mensyukuri yang negatif itu dengan benar selanjutnya tidak ada lagi bedanya bagi mereka, baik yang menyenangkan maupun yang menyusahkan, keduanya pasti akan mampu disyukuri pula.
Itulah maqam syukur yang sangat diidam-idamkan oleh para salik di jalan Allah, karena dengan maqam itu syetan jin bahkan menjadi takut meski hanya sekedar dekat kepada manusia, sehingga perjalanan ibadah menjadi aman dan menyenangkan.
Posting Komentar untuk "Peran Nafsu Untuk Kebaikan Manusia"
Terimakasih atas kunjungan anda...