Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Hakikat Manusia Dalam Tiga Tahap Kehidupan

Untuk lebih dalam lagi menyelami rahasia keutamaan manusia, mencari hakikat jati diri manusia, sebagai mutiara utama yang tersimpan rapat dalam rahasia hidup manusia, marilah kita memasuki pembahasan yang paling dasar tentang rahasia kehidupan manusia beserta alamnya.

Manusia sebagai makhluk yang diciptakan dalam bentuk paling sempurna baik lahir maupun batin, karena: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Q.S. At-Tin : 4), namun demikian, makhluk utama itu sesungguhnya asalnya tidak ada menjadi ada.

Hakikat Manusia Dalam Tiga Tahap Kehidupan

Sebelum ada, manusia itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut sebagai sesuatu, keadaan manusia sebelum diciptakan tersebut, berarti itu merupakan masa yang ghaib bagi manusia.

Tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya Allah, untuk mengungkap rahasia tersebut, maka tidak ada jalan lain kecuali harus mengikuti petunjuk wahyu Allah.

Allah berfirman : “Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, di mana manusia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (Q.S. Al-Insan (76) : 1). Firman Allah di atas memberikan suatu ketegasan, bahwa sesungguhnya manusia bukan makhluk yang dihasilkan oleh proses evolusi alam, dari kejadian satu kepada kejadian lain sebagaimana yang diyakini oleh penganut teori Evolusi Darwin.

Atau reinkarnasi dari binatang menjadi manusia, sebagaimana yang diyakini oleh sebagian orang-orang kafir, akan tetapi manusia adalah makhluk yang asalnya tidak ada menjadi ada karena ia diciptakan, namun kemudian akan dihidupkan sebagai manusia lagi untuk selama-lamanya di dalam kehidupan nan hakiki, setelah kematian pertamanya di alam kehidupan dunia.

Jadi, manusia adalah makhluk yang memiliki awal, karena dia diciptakan dan dihidupkan pertama kali, di dunia oleh Sang Maha Pencipta, tapi tidak mempunyai akhir, karena dia harus mempertanggungjawabkan kehidupan pertamanya itu di akhirat nanti untuk selama-lamanya.

Itulah yang menjadi salah satu keutaman manusia dibanding makhluk-makhluk yang lain, seperti binatang misalnya, walau binatang mempunyai awal akan tetapi ia juga mempunyai akhir. Pada saatnya, setelah binatang itu dibutuhkan untuk sekedar proses persidangan manusia pada hari kiamat, binatang itu akan dihilangkan sama sekali kecuali anjing Ashabul Kahfi.

Konon menurut sebuah riwayat, anjing Ashabul Kahfi tersebut akan dimasukkan syurga bersama majikannya, sejak pertama kali diciptakan, manusia tidak akan dihilangkan kembali untuk selama-lamanya.

Artinya sejak pertama kali manusia hidup, ia akan mengalami kehidupan yang abadi, baik bahagia di syurga ataupun sengsara di neraka, hanya saja dalam menjalani kehidupannya itu, manusia akan mengalami beberapa tahapan kehidupan.

Tahapan pertama di ALAM RUH (Alam qodim atau alam azaliyah) dan Tahapan kedua di ALAM DUNIA (Alam hadits atau alam fana), di dalam tahapan kedua ini manusia juga akan mengalami tiga tahapan kehidupan.

Pertama di alam rahim.

Kedua dialam kehidupan dunia.

Ketiga di alam barzah.

Tahapan ketiga di ALAM AKHIRAT dan di alam akhiratpun manusia akan mengalami beberapa tahapan kehidupan, di antaranya alam mahsyar, alam hisab, alam mizan dan kemudian melintasi shirothol mustaqim baru kemudian alam akhirat yaitu alam kekal, di mana ahli surga telah menduduki syurga dan ahli neraka telah mendekam di neraka.

Dalam beberapa tahapan kehidupan tersebut manusia menjalani kehidupannya dalam dua dimensi, dan imensi pertama, disebut dimensi Jismul lathif, artinya “kehidupan manusia” itu dibungkus dengan Jismul lathif atau jasad halus, yaitu di saat manusia berada didalam alam ruh dan juga di saat manusia mengalami kehidupan setelah matinya, di alam barzah dan alam akhirat.

Dan dimensi yang kedua disebut dimensi Jismul mahsusah, artinya kehidupan manusia itu dibungkus dengan Jismul Mahsusah atau jasad kasar yang terdiri dari daging dan tulang, yaitu ketika kehidupan manusia itu berada di alam rahim dan alam kehidupan di dunia.

Jismul Latif adalah jasad halus yang membungkus ruh kehidupan manusia yang bukan terdiri dari daging dan tulang, yaitu di saat kehidupan manusia itu belum diletakkan di dalam rahim seorang Ibu dan ketika kehidupan manusia itu sedang menjalani tahapan kehidupannya di alam barzah dan alam akhirat.

Jismul latif ini adalah sesuatu yang ghaib bagi indera lahir manusia (panca indera) yang keberadaannya hanya dapat dirasakan oleh mata hati dengan kekuatan iman dan yakin yang prima.

Jismul mahsusah adalah jasad kasar yang membungkus kehidupan manusia yang terdiri dari daging dan tulang yang awalnya diciptakan dari tanah kemudian yang selanjutnya diciptakan dari saripati air mani.

Ketika manusia mengalami kematian yang pertama di dunia, Jismul mahsusah ini kemudian dikubur yang selanjutnya akan kembali menjadi tanah.

Jismul lathif (jasad halus), sebagaimana juga jismul mahsusah (jasad kasar) keduanya mempunyai ruh kehidupan, itulah yang disebut dengan: “nismatul 'adamiyah”.

Ruh kehidupan itu, sebagai jati diri manusia yang dicari, sebagaimana fithrahnya ada yang baik dan yang jelek, mempunyai anggota tubuh, mempunyai pendengaran, penglihatan, pemikiran dan perasaan.

Itulah yang dimaksud dengan “hakikat manusia” itu juga disebut “lathifatur rabbaniyyah” “Nismatul „Adamiyah” ketika sedang mengalami tahapan kehidupan pada dimensi alam jismul mahsusah, hidup di alam rahim dan di alam kehidupan dunia, maka keadaan “nismatul „adamiyah” itu mengikuti sebagaimana sunnah yang ada di dalam jismul mahsusah.

Jati diri manusia itu mengikuti hukum alam lahir dengan segala gravitasi yang ada, maka saat itu “hakekat kehidupan manusia” itu berarti sedang terkurung oleh hukum jasad kasarnya yang terdiri dari daging dan tulang dengan segala.

Yang dimaksud dengan “Nismatul „Adamiyah” adalah anak turun
Nabi Adam As yang dikeluarkan langsung dari sulbi Nabi Adam, yaitu disaat punggung Nabi Adam diusap Allah SWT. di alam ruh. Allah mengabarkan hal itu dengan firman-Nya: ”Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka." (Q.S. Al-A`raf : 172).

Ketika manusia hidup di alam dunia, baik di alam rahim maupun alam kehidupan dunia, maka “nismah” itu dibungkus dengan Jismul mahsusah dan ketika manusia hidup di alam ruh, alam bazah dan alam akhirat, “Nismah” itu dibungkus dengan Jismul Lathif.

Instrumen kehidupan yang ada, seperti nafsu dan akal beserta segala kandungan di dalamnya, meskipun demikian, jati diri manusia itu suatu saat sebenarnya mendapatkan kesempatan untuk terbang tinggi memasuki alam ghaib, yakni ketika keadaan jismul mahsusah itu sedang lemah orang sedang tidur misalnya, maka “nismatul „adamiyah” itu sedikit demi sedikit meninggalkan alam dimensi jismul mahsusah untuk memasuki alam dimensi jismul lathif.

Saat itu kadang-kadang ia memasuki dimensi alam ruh (alam malakut), menerobos sekat rahasia alam Lauh mahfudz, maka jati diri manusia yang jasadnya sedang tidur itu kadang-kadang dapat melihat keadaan yang sudah terjadi dan juga membaca situs-situs tentang keadaan yang akan terjadi.

Bahkan memasuki dimensi alam barzah, maka ia bertemu dan berdialog dengan teman-temannya yang sudah mati. Inilah bagian dari rahasia alam mimpi, sehingga disabdakan dalam sebuah hadits bahwa mimpi orang yang beriman adalah seper empat puluh alam kenabian.

Seperti contoh orang yang sedang sakit keras misalnya, dalam puncak merasakan rasa sakit itu, antara sadar dan tidak, kadang-kadang manusia seakan-akan terbang ke awang-awang, yang demikian itu sejatinya “nismatul „adamiyah” itu yang sedang terbang meninggalkan gravitasi jismul mahsusah, bahkan melewati batas titik kulminasi antara dua dimensi alam tersebut, maka orang itu mengalami sebagaimana yang dialami orang mimpi. Oleh karena itu, di dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar itu kadang-kadang orang yang sedang sakit itu dapat merasakan kehadiran makhluk-makhluk lain di sekitarnya, dan bahkan melihat orang-orang yang sudah mati yang pernah dikenal saat hidupnya.

Kalau seandainya mata hati orang yang sedang sakit itu cemerlang, penuh dengan “nur iman” dan “nur yakin”, maka dengan izin Allah ia akan mengetahui dengan pasti keadaan yang dipersiapkan untuknya setelah matinya.

Dan ketika saat itu yang dilihat adalah kebun syurga maka ia akan mati dengan tenang dan damai, mati di dalam keadaan hati yang selamat, itulah yang disebut dengan mati “husnul khotimah” (akhir yang baik), cara mati yang sangat di idam-idamkan oleh orang-orang yang beriman.

Semoga dengan pertolongan dan izin-Nya pula kita mampu menggapainya. Allahmembongkar rahasia keadaan itu dengan firman-Nya: "Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu, tapi kamu tidak melihat." (Q.S. Al-Waqi'ah : 83-85).

Demikian juga ketika kehidupan manusia (nismatul 'adamiyah) itu berada pada tahapan alam rahim ia juga mengikuti proses perkembangan keadaan janin yang ada, yang asalnya saripati air mani kemudian selama empat puluh hari menjadi segumpal darah, empat puluh hari lagi sebagai segumpal daging dan kemudian empat puluh hari lagi sebagai tulang yang dibungkus daging.

Ketika kejadian itu sudah sempurna, maka Allah memerintahkan Malaikat ruh untuk meniupkan Ruh kehidupan kepadanya, sehingga sejak saat itu “nismatul 'adamiyah” itu menjadi hidup di alam dunia sebagai janin yang kemudian akan menjadi manusia sempurna dengan dibungkus jismul mahsusah ketika janin itu sudah dilahirkan oleh ibunya ke dunia.

Ketika manusia mati untuk pertama kalinya di dunia, maka Ruh yang ditiupkan oleh Malaikat ruh didalam rahim itu dicabut kembali, namun itu bukan oleh Malaikat ruh yang pertama kali meniupkannya dialam rahim, tetapi oleh malaikat Izra‘il yang memang ditugaskan untuk mencabut nyawa manusia.

Setelah ruh tersebut dicabut, maka jasad kasar atau jismul mahsusah yang selama ini menjadi tempat tinggal "nismatul'adamiyah‟ menjadi kaku dan mati dan selanjutnya dikubur dan kembali menjadi tanah.

Adapun “nismatul 'adamiyah” tidak ikut mati tetapi tetap hidup dan berangsur-angsur masuk alam barzah kemudian alam akhirat dengan menempati jasad baru, yaitu jasad halus yang disebut dengan jismul lathif untuk mempertanggungjawabkan segala yang pernah diperbuatnya di dunia.

Walhasil, ruh yang ditiupkan Malaikat ruh dialam rahim tersebut bukan ”hakikat manusia” atau jati diri manusia yang sedang dicari para pembaca sebagaimana yang banyak diyakini oleh beberapa kalangan, melainkan sekedar ruh yang menghidupi jismul mahsusah selama di dunia.

Ruh itu seperti baterai yang menghidupkan robot, ketika baterai itu di ambil maka robot itu mati, oleh karena itu, orang yang mati disebut dicabut ruhnya, padahal keadaan yang sebenarnya tidaklah demikian, jati diri manusia itu tidak mati, melainkan pindah alam untuk melanjutkan kehidupannya yang lebih panjang.

Dengan ruh yang ditiupkan dalam rahim tersebut, janin sebagai jasad kasar pembungkus jati diri manusia, yang asalnya mati menjadi hidup, dengan hidupnya daging dan tulang itu, jati diri manusia atau nismatul adamiyah selanjutnya dapat mengaktualkan kehidupannya kepada dunia luar dengan menggunakan instrumen kehidupan seperti mata, telinga dan otak yang tersedia di dalam jasad kasar tersebut.

Allah menyatakan hal ini dengan firman-Nya: “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan) -Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (Q.S. As-Sajadah : 32/9).

Oleh karena itu, jika salah satu dari instrumen kehidupan jasad kasar itu kebetulan terlahir dalam keadaan tidak sempurna, seperti tuli misalnya, maka kehidupan manusia tersebut juga berjalan tidak
sempurna.

Hal itu disebabkan, karena nismatul adamiyah yang menghidupi daging dan tulang itu tidak mampu mengaktualkan kehidupannya secara sempurna, terkadang jasad kasar manusia itu malah dihidupi oleh makhluk jin, seperti keadaan orang yang kesurupan jin.

Hal itu bisa terjadi, karena saat itu jin sedang dapat menguasai jati diri manusia, sehingga instrumen kehidupan jasad kasar tersebut dijadikan sarana oleh jin untuk mengaktualkan kehidupannya di alam manusia.

Disaat manusia menjalani tahapan alam kehidupan dunia, maka “nismatul adamiyah” itu mengikuti sunnah yang berlaku pada alam jismul mahsusah.

Jati diri manusia itu mengikuti proses perkembangan mendewasakan hidupnya mengikuti kemampuan instrument kehidupan jasad kasar tersebut. Ketika anak manusia itu harus melengkapi dirinya dengan ilmu pengetahuan, lalu ilmu itu diamalkan, dan selanjutnya membentuk menjadi karakter, dimana seharusnya manusia saat itu mampu berma‘rifat atau mengenal, yang pertama kepada dirinya sendiri, kemudian lingkungannya dan selanjutnya supaya dapat berma‘rifat kepada Tuhannya.

Keadaan yang dialami jati diri manusia itu seperti perangkat komputer yang harus di install dengan program-program, betapa canggihnya perangkat keras computer tersebut tanpa perangkat lunak yang canggih, komputer itu tidak akan mampu membawa kemanfaatan yang berarti.

Adapun alam jismul lathif dan alam jismul mahsusah, atau alam batin dan alam lahir, kedua alam itu hakikatnya satu, hanya saja antara keduanya dibatasi dengan ruangan (barzah).

Keadaan itu bagaikan dua samudera yang dipisahkan oleh daratan, namun suatu saat dengan ilmu Allah, kedua samudera itu dibiarkan dapat bertemu atau seperti bumi yang dibatasi atmosfir, maka sunnah yang ada di dalam atmosfir itu berbeda dengan sunnah yang ada diluarnya, padahal dua ruangan itu sama-sama di dalam ruangan alam yang satu.

Allah memberikan isyarat dengan firman-Nya: “Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya.” (Q.S. Al-Anfal (8) : 24).

Dan lebih jelas lagi firman Allah : “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dapat dilampaui oleh masing-masing." (Q.S. Ar-Rahman (55) : 19-20).

Uraian tentang tiga tahap kehidupan manusia beserta rahasia alamnya, yaitu alam jismul lathif dan alam jismul mahsusah di atas, merupakan konsep dasar yang telah di ketengahkan para ulama salafush shaleh, hasil ijtihad dan mujahadah mereka, memadukan ayat yang tersurat dengan ayat yang tersirat dalam rangka beristimbat untuk mencari makna dan menta‘wilkan firman-firman Allah tersebut di atas.

Uraian tersebut hendaknya dijadikan dasar pijakan bagi para pembaca untuk menindaklanjuti uraian-uraian yang berikutnya, semoga dengan itu Allah memberikan kemudahan kepada kita semua untuk dapat memahami kandungan makna yang ada di dalam firman-firman-Nya

Posting Komentar untuk "Hakikat Manusia Dalam Tiga Tahap Kehidupan"