Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Khalifah Di Bumi Adalah Amanat Allah

Amanat adalah merupakan “istilah” yang disampaikan Allah melalui firman-Nya di dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 72. Istilah tersebut mengandung arti yang sangat luas dan dalam, layaknya samudera tidak bertepi sehingga hasil penafsiran dari para ahlinya menjadi sangat variatif, bahkan kadang-kadang ada yang terkesan bertolak belakang.

Demikianlah kehendak-Nya, baik dengan istilah sebagaimana “amanat” dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 72 itu maupun dengan istilah lain dalam Al-Qur‘an Al-Karim, dengan firman-Nya tersebut Allah hendak berkomunikasi dengan hamba-Nya melalui bahasa manusia, bukan bahasa makhluk lainnya, bukan pula bahasa jin dan bahasa malaikat, melainkan dengan bahasa manusia pada zamannya yaitu bahasa Arab. Demikian itu, agar supaya manusia mampu memahami apa yang dimaksud dalam firman-firman tersebut.

Manusia dengan segala kemampuan akal dan pikirnya wajib mengadakan kajian terhadap istilah seperti amanat ini maupun istilah-istilah lain yang banyak di jumpai di dalam Al-Qur‘an, mereka harus berusaha semaksimal mungkin untuk mampu menafsirkan dan menakwilkannya agar bisa mendapatkan pemahaman makna yang hakiki darinya.

Juga dengan istinbat berdasarkan ayat-ayat tersurat baik dari ayat-ayat Al-Qur`an dan Hadits Nabi Saw yang dipadukan dengan pengalaman pribadi dalam membaca sinyal yang bertebaran dalam realitas sebagai ayat-ayat yang tersirat, agar supaya manusia tidak tersesat dan salah jalan dalam mencari makna hakiki tersebut.

Oleh karena itu banyak kita dapati para ulama ahlinya kadang-kadang berbeda pendapat dalam menafsirkan istilah-istilah tersebut, perbedaan itu bukan karena mereka saling bertolak belakang dan saling bermusuhan, melainkan semata karena sangat luasnya kandungan arti dari istilah tersebut serta keterbatasan ilmu dan akal manusia dalam memahami dan mencerna maknanya : “Dan tidaklah kamu di beri pengetahuan melainkan sedikit.” (Q.S.Al-Isra' : 85).

Maka hanya seorang “Ulul Albab” yang mampu mengambil pelajaran darinya, Al-Quran Al-Karim menyebutkan : "Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan menerimanya dan mereka khawatir akan mengkhianatinya dan manusia menerimanya, sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh, sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mu'min laki-laki dan perempuan dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al-Ahzab (33); 72-73).

Dari ayat di atas memberikan pemahaman bahwa “amanat” yang diterima itu dimaksudkan agar akal manusia mendapatkan alasan ketika mereka melihat orang-orang munafik laki-laki dan orang yang mampu mendapatkan ilmu dari atsar ibadah dan tafakurnya, sehingga ilmunya dapat mendarah daging perempuan, orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan dalam mendapatkan siksaan di neraka, juga ketika Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.

Oleh karenanya, sebelum peristiwa itu terjadi, Allah terlebih dahulu menawarkan ”amanat” itu kepada manusia, dalam kaitan ayat tersebut di atas, Imam At-Tirmidzi Ra meriwayatkan sebuah hadits dari Ismail bin Nashar, dari Shaleh bin Abdillah, dari Muhammad bin Yazid, dari Ad-Dahak, dari Ibnu Abbas Ra yang berkata :

ضَولَمرَدُوِلُمآٔمصَؾّىمآُمسَؾَقِهٔموَدَؾّمَ:م(ضَولَمآُمتَعَولىمٔلآدَمَمؼَومآَدَمُمإِٔغٚيمسََّضًُِم
اَّْعَوغَيَمسَؾىماظلٖؿَوَاتٔموَاَّْرِضِمصَؾَمِمتُطٔؼْفَومصَفَلِمأَغًَِمحَوعٔؾُفَومبٔؿَومصٔقِفَومصَؼَولَم
وَعَومٔصقِفَومؼَومرَبٚمضَولَمإِنِمحَؿَؾْؿَفَومأُجِّٔتَموَإِنِمضَقٖعِؿَفَومسُّٚبًَِمصَوحِؿَؿَؾَفَومٔبمَوم
ٔصقِفَومصَؾَمِمؼَؾْؾٌمصٔيماظْفَـٖئمإِلاّمضَِّرَمعَومبَقِنَمصَلاَةٔماُّْوِلىمإِلىماظْعَصِِّمحَؿٓىمأَخَِّجَهُم
اظشٖقِطَونُمعٔـِفَو).م

“Rasulullah Saw bersabda : "Allah berfirman kepada Adam As : “Wahai Adam, sesungguhnya Aku menawarkan amanat kepada langit-langit dan bumi, mereka enggan memikulnya, maka apakah engkau mau memikulnya dengan apa yang ada di dalamnya?, Adam menjawab : "Apa yang ada di dalamnya wahai Tuhanku?, Allah menjawab : "Apabila engkau memikulnya Aku akan memberi pahala kepadamu dan apabila engkau menyia-nyiakan, Aku akan menyiksamu."

Adam As memikulnya dengan apa yang ada di dalamnya, selanjutnya Adam As tidak tinggal dalam syurga setelah itu kecuali hanya sebatas antara waktu shalat dhuhur sampai dengan waktu shalat ashar sehingga syetan kemudian mengeluarkannya dari syurga. (Tafsir Al-Qurthubi).

Amanat yang ditawarkan Allah kepada manusia itu, hakikatnya adalah hak “Hurriyah Al-Iradah” (kebebasan berkehendak), namun demikian yang dimaksud dengan “amanat” itu bukanlah bebas berkehendak semaunya sendiri, melainkan kebebasan yang bersyarat. Yakni, manusia bebas menentukan pilihan hidupnya, mereka bebas menalarkan pemikiran serta mengaktualkan pilihan itu dalam bentuk amal konkrit.

Akan tetapi mereka juga harus mengerti bahwa setiap pilihan dan perbuatan tersebut akan membawa dampak dan konsekuensi tersendiri, dengan “amanat” itu diharapkan manusia menjadi makhluk yang sempurna (Insan Al-kamil), sekaligus sebagai khalifah bumi dan sumber daya serta pengendali potensi yang ada di alam semesta.

Untuk itu, manusia membutuhkan kebebasan untuk memilih dan berkehendak, bebas menentukan jalan hidup, bebas memilih pasangan hidup dan bebas memilih tempat tinggal. Amanat bermakna kebebasan bersyarat itu, secara makro akan menunjang adanya variasi kehidupan dan secara mikro baik personal maupun kolektif akan menumbuhkan semangat dan kreatifitas yang pada akhirnya membentuk kualitas yang unggul.

Selain itu, juga akan mengarahkan pada terciptanya amal yang menunjukkan keuntungan dan kerugian, oleh karenanya, dengan amanat itu maka terbuka peluang berkompetisi antara sesama manusia, namun bukan untuk saling berbuat kerusakan di muka bumi, tetapi untuk membangun kebaikan, yaitu berlomba-lomba dalam kebajikan (fastabiqul khairat).

Bahkan tidak hanya itu saja, dengan amanat itu agar supaya tercipta sumber kebaikan dan keburukan, supaya ada ketaatan dan kemaksiatan dan supaya ada dosa dan pahala, tapi dengan catatan bahwa masing-masing pilihan itu akan membawa dampak dan konsekuensi tersendiri, apabila manusia memilih jalan kebaikan dan beramal shaleh, maka ia akan mendapatkan pahala dan syurga.

Namun sebaliknya, apabila manusia membangkang dan tidak mau beriman maka ia akan mendapatkan siksa dan neraka, untuk hikmah besar itulah maka Allah menciptakan dan menggelar kehidupan di muka bumi ini dengan segala potensi yang ada di dalamnya, semua itu sesungguhnya hanya disediakan untuk kepentingan hidup manusia.

Langit dengan segala hiasannya, bumi dengan segala kehidupan dan kandungan materi yang ada di dalamnya, seluruhnya itu dibentangkan bagi manusia dengan segala sarana kehidupan yang ada.

Namun demikian, di antara langit dan bumi itu ada suatu sistem yang terjaga, sebagai sunnah-Nya (sunnatullah) yang sejak diciptakan tidak akan pernah ada perubahan lagi untuk selamanya, sunnah itu adalah hukum sebab-akibat yang dibungkus rapi dengan rahasia kejadian alam, meski tidak banyak yang dapat mengetahui hakikatnya, tapi tanda-tandanya dapat dibaca oleh orang yang mata hatinya telah tembus pandang, maka hanya Ulul Albab yang mampu mengambil pelajaran darinya.

Demikian pula, agar supaya ketaatan dan kemaksiatan sama-sama terfasilitasi, maka : “Kepada masing-masing golongan, baik golongan ini maupun golongan itu Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi.” (Q.S. Al-Isra : 20).

Ketaatan dan kemaksiatan tersebut berjalan seiring dan saling berkompetisi, bahkan berdekatan dan berputar pada poros yang sama sehingga tidak ada satu kebaikanpun kecuali disitu juga dibayangi dampak kejelekan dan tidak ada kejahatan satupun, kecuali di situ juga ada jalan kebaikan yang masih dimudahkan.

Tidak ada kesedihan kecuali muncul dari kegembiraan dan tidak ada kegembiraan kecuali terlahir dari kesedihan, sementara itu fungsi ajaran agama secara keseluruhan ibarat jalan-jalan pilihan bagi manusia.

Kitab-kitab langit diturunkan sebagai petunjuk bagi orang yang beriman dan Rasul-rasul dan juga Nabi-nabi diutus sebagai qudwah (panutan) dan uswah (suri tauladan), dengan begitu, risalah dan nubuwah dapat tersampaikan sehingga petunjuk dan rambu-rambu perjalanan dibentangkan.

Para Nabi dan Rasul telah memberikan harapan dan peringatan kepada manusia dan memancarkan petunjuk serta hidayah bagi orang-orang yang bertaqwa.

Barangsiapa menjalankan fungsi kehidupannya dengan memanfaatkan segala fasilitas tersebut semata-mata untuk mengabdi kepada Allah dengan berpegang teguh kepada ajaran agama-Nya, berarti ia adalah orang yang benar-benar telah mendapat petunjuk pada jalan yang lurus.

Allah telah menyatakan hal itu dengan firman-Nya : “Barang siapa berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Q.S. Ali Imran ( 3) : 101).

Nabi Allah Adam As di syurga, telah mendapatkan ilmu yang luas, langsung dari Allah dan bahkan mengalahkan ilmu malaikat, dengan diajarkan-Nya nama-nama dari seluruh makhluk yang ada, sebagaimana yang telah dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat.” (Q.S. Al-Baqarah (2) : 31).

Mulanya Allah menawarkan amanat tersebut kepada langit-langit, bumi dan gunung, namun mereka enggan menerimanya, tetapi Nabi Adam As malah sanggup menerimanya, bahkan tidak hanya itu saja, dengan amanat itu Nabi Adam As ternyata tidak mampu bertahan lama tinggal di syurga, hanya beberapa saat saja, yaitu sejak waktu shalat zhuhur sampai tiba waktunya shalat Ashar.

Selanjutnya Nabi Adam As dan istrinya, Siti Hawa, harus terusir dari syurga disebabkan oleh tipu daya iblis kepadanya, betapa beratnya amanat yang harus dipikul manusia itu, padahal Nabi Adam As saat itu sudah mendapatkan pengajaran dari Allah.

Itulah pelajaran yang sangat berharga, bahwa sesungguhnya ilmu
pengetahuan saja belum cukup bagi manusia untuk menjalankan amanat yang harus dipikulnya, manusia harus melengkapi dan menyempurnakan ilmunya dengan pengalaman hidup agar ia mampu berinteraksi dengan alam dan lingkungannya.

Mereka membuka lahan dan membangun infrastruktur, menghadapi rintangan dan tantangan, berkompetisi dengan pesaing-pesaing yang ada, berlomba-lomba membangun amal untuk menggapai keridhaan tuhannya, agar supaya manusia dapat merengkuh kembali syurga yang telah ditinggalkan oleh nenek moyangnya dahulu.

Itulah sebuah i‘tibar, bahwa ilmu pengetahuan saja belum cukup bagi manusia untuk dapat menyempurnakan jati dirinya, menjadikannya manusia sempurna (Insan Al-Kamil), sebagai khalifah bumi sebagaimana hikmah penciptaannya, maka manusia harus mengamalkan ilmunya, memadukan ilmu itu dengan iman dan amal ibadah serta mengatur diri sendiri agar menjadi ilmuwan yang ahli dan pada gilirannya mampu mengatur alam sekitarnya.

Posting Komentar untuk "Khalifah Di Bumi Adalah Amanat Allah"