Interaksi Ruhaniah Manusia
Ketika sebagian besar kalangan mengartikan "mati' sebagai batas perpisahan antara alam kehidupan (alam hayat) dengan alam kematian (alam maut), yang satu hidup dengan bebas di dunia dan satunya mati, kembali menjadi tanah untuk selama-lamanya, sehingga sejak itu kedua alam itu sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi.
Tidak bisa saling memberikan kemanfaatan dan kegembiraan, tidak bisa saling berucap salam, sehingga segala ucapan shalawat dan salam kepada Nabi Saw yang sudah wafat berarti sia-sia, mendo‘akan orang mati yang bukan orang tuanya berarti batal dan tidak sampai.
Tawasul dan ziarah kubur dianggap perbuatan syirik, maka barangkali seperti itulah pemahaman orang kafir yang mereka lahirkan melalui pertanyaan yang mereka lontarkan kepada Tuhannya.
Allah mengabadikan pertanyaan itu dengan firman-Nya : "Dan mereka berkata : "Apakah bila kami telah lenyap (hancur) di dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru? Bahkan (sebenarnya) mereka ingkar akan menemui Tuhannya." (Q.S. As-Sajadah : 32/10).
Sebagian teman seagama mengira, setelah orang mati, maka tidak ada lagi hubungan dengan orangorang yang masih hidup didunia,… selesai dan bahkan orang yang mati itu tidak dapat dido‘akan oleh siapapun kecuali oleh anaknya sendiri yang shaleh, sedangkan bagi orang lain, sejak itu mereka sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk saudaranya yang sudah mati tersebut, sehingga kematian itu dianggap sebagai batas dari seluruh kemanfaatan hidup.
Orang tersebut memahami yang demikian itu dari apa yang telah dinyatakan oleh sebuah Hadits Nabi Saw yang sangat masyhur yang artinya : "Apabila anak Adam mati, maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang mendo‘akan kepadanya."
Oleh karena cara mengartikan hadits ini kadang-kadang dengan tujuan yang berlebih-lebihan, bahkan hanya untuk melampiaskan kebencian dan permusuhan, maka mereka terjebak kepada pemahaman yang salah.
Di dalam hadits tersebut, Rasulullah Saw menyatakan terputus amalnya (In qatha‘a 'amaluhu), bukan terputus kemanfaatannya (In qatha‘a naf‘uhu), kalau seandainya Nabi Saw mengatakan terputus kemanfaatannya, maka benar bahwa orang yang sudah mati tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan orang hidup, sehingga apapun yang dikerjakan oleh orang hidup tidak sampai kepada orang-orang yang sudah mati.
Akan tetapi Rasulullah Saw mengatakan terputus amalnya, yang artinya bahwa anak Adam yang sudah mati akan terputus amalnya, sejak itu mereka sudah tidak dapat beribadah lagi, mereka tidak dapat mencari pahala (makanan untuk ruhnya) sebagaimana saat mereka masih hidup didunia.
Jika teman-teman itu mau mencermati makna yang terkandung dalam hadits tersebut dengan hati yang selamat, sesungguhnya maksud hadits itu adalah sebagai berikut, dengan hadits itu justru Nabi Saw menganjurkan supaya orang yang masih hidup mau mendo‘akan orang yang sudah mati, karena sejak saat itu, temannya yang sudah mati itu tidak dapat mengusahakan pahala untuk dirinya sendiri, kecuali dari tiga hal yang tersebut di atas.
Itu pun, manakala orang yang sudah mati itu memiliki ketiganya, apabila tidak, maka hanya do‘a-do‘a dari temannya yang masih hidup itulah yang sangat mereka butuhkan di alam kubur, keadaan itu seperti orang yang hidup di penjara menunggu kiriman dari keluarganya yang ada di luar, seperti pasien yang mondok di rumah sakit merindukan temannya menjenguk.
Allah telah memerintahkan agar seseorang mendo‘akan orang lain dengan firman-Nya : "Dan mendo`alah untuk mereka, sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Q.S. At-Taubah : 9/103).
Ayat di atas menyatakan dengan tegas bahwa mendo‘akan orang lain, baik kepada orang yang masih hidup maupun yang sudah mati, do‘a itu pasti akan sampai kepada yang dido‘akan, yaitu berupa ketenangan di dalam batin bagi orang yang dido‘akan.
Bahkan (sudah dimaklumi) bahwa termasuk menjadi syarat syahnya shalat Jum‘at, khatib diwajibkan memohonkan ampun kepada saudara-saudara seiman, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati.
Bahkan pahala orang-orang yang sudah mati masih dapat berkurang dan bertambah, berkurang karena tapak tilas perbuatan jeleknya diikuti orang lain dan bertambah karena tapak tilas perbuatan baiknya diikuti oleh orang lain serta dari do‘a yang dipanjatkan orang lain. Bahkan dosa dan pahala itu tidak berhenti bertambah dan berkurang kecuali saat hari kiamat sudah datang, karena saat itu segala aktifitas kehidupan dunia sudah berakhir.
Allah menyatakan hal itu dengan firman-Nya : "Tiap-tiap jiwa akan merasakan mati dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu, barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung, kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan." (Q.S. Ali Imran : 3/185)
Tidak bisa saling memberikan kemanfaatan dan kegembiraan, tidak bisa saling berucap salam, sehingga segala ucapan shalawat dan salam kepada Nabi Saw yang sudah wafat berarti sia-sia, mendo‘akan orang mati yang bukan orang tuanya berarti batal dan tidak sampai.
Tawasul dan ziarah kubur dianggap perbuatan syirik, maka barangkali seperti itulah pemahaman orang kafir yang mereka lahirkan melalui pertanyaan yang mereka lontarkan kepada Tuhannya.
Allah mengabadikan pertanyaan itu dengan firman-Nya : "Dan mereka berkata : "Apakah bila kami telah lenyap (hancur) di dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru? Bahkan (sebenarnya) mereka ingkar akan menemui Tuhannya." (Q.S. As-Sajadah : 32/10).
Sebagian teman seagama mengira, setelah orang mati, maka tidak ada lagi hubungan dengan orangorang yang masih hidup didunia,… selesai dan bahkan orang yang mati itu tidak dapat dido‘akan oleh siapapun kecuali oleh anaknya sendiri yang shaleh, sedangkan bagi orang lain, sejak itu mereka sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk saudaranya yang sudah mati tersebut, sehingga kematian itu dianggap sebagai batas dari seluruh kemanfaatan hidup.
Orang tersebut memahami yang demikian itu dari apa yang telah dinyatakan oleh sebuah Hadits Nabi Saw yang sangat masyhur yang artinya : "Apabila anak Adam mati, maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang mendo‘akan kepadanya."
Oleh karena cara mengartikan hadits ini kadang-kadang dengan tujuan yang berlebih-lebihan, bahkan hanya untuk melampiaskan kebencian dan permusuhan, maka mereka terjebak kepada pemahaman yang salah.
Di dalam hadits tersebut, Rasulullah Saw menyatakan terputus amalnya (In qatha‘a 'amaluhu), bukan terputus kemanfaatannya (In qatha‘a naf‘uhu), kalau seandainya Nabi Saw mengatakan terputus kemanfaatannya, maka benar bahwa orang yang sudah mati tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan orang hidup, sehingga apapun yang dikerjakan oleh orang hidup tidak sampai kepada orang-orang yang sudah mati.
Akan tetapi Rasulullah Saw mengatakan terputus amalnya, yang artinya bahwa anak Adam yang sudah mati akan terputus amalnya, sejak itu mereka sudah tidak dapat beribadah lagi, mereka tidak dapat mencari pahala (makanan untuk ruhnya) sebagaimana saat mereka masih hidup didunia.
Jika teman-teman itu mau mencermati makna yang terkandung dalam hadits tersebut dengan hati yang selamat, sesungguhnya maksud hadits itu adalah sebagai berikut, dengan hadits itu justru Nabi Saw menganjurkan supaya orang yang masih hidup mau mendo‘akan orang yang sudah mati, karena sejak saat itu, temannya yang sudah mati itu tidak dapat mengusahakan pahala untuk dirinya sendiri, kecuali dari tiga hal yang tersebut di atas.
Itu pun, manakala orang yang sudah mati itu memiliki ketiganya, apabila tidak, maka hanya do‘a-do‘a dari temannya yang masih hidup itulah yang sangat mereka butuhkan di alam kubur, keadaan itu seperti orang yang hidup di penjara menunggu kiriman dari keluarganya yang ada di luar, seperti pasien yang mondok di rumah sakit merindukan temannya menjenguk.
Allah telah memerintahkan agar seseorang mendo‘akan orang lain dengan firman-Nya : "Dan mendo`alah untuk mereka, sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Q.S. At-Taubah : 9/103).
Ayat di atas menyatakan dengan tegas bahwa mendo‘akan orang lain, baik kepada orang yang masih hidup maupun yang sudah mati, do‘a itu pasti akan sampai kepada yang dido‘akan, yaitu berupa ketenangan di dalam batin bagi orang yang dido‘akan.
Bahkan (sudah dimaklumi) bahwa termasuk menjadi syarat syahnya shalat Jum‘at, khatib diwajibkan memohonkan ampun kepada saudara-saudara seiman, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati.
Bahkan pahala orang-orang yang sudah mati masih dapat berkurang dan bertambah, berkurang karena tapak tilas perbuatan jeleknya diikuti orang lain dan bertambah karena tapak tilas perbuatan baiknya diikuti oleh orang lain serta dari do‘a yang dipanjatkan orang lain. Bahkan dosa dan pahala itu tidak berhenti bertambah dan berkurang kecuali saat hari kiamat sudah datang, karena saat itu segala aktifitas kehidupan dunia sudah berakhir.
Allah menyatakan hal itu dengan firman-Nya : "Tiap-tiap jiwa akan merasakan mati dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu, barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung, kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan." (Q.S. Ali Imran : 3/185)
Posting Komentar untuk "Interaksi Ruhaniah Manusia"
Terimakasih atas kunjungan anda...