Hakikat Interaksi Ruhaniah Manusia
Manusia adalah makhluk lahir batin, makhluk lahir disebut dengan manusia sebagai personal, sedangkan makhluk batin disebut manusia sebagai karakter.
“Manusia sebagai personal”, diciptakan Allah dari debu, masa hidupnya sangat terbatas, kehidupan itu hanya sebatas usia hidupnya di dunia, ketika ajal kematian tiba, maka kematian itu sedikitpun tidak dapat dimajukan ataupun dimundurkan.
Setelah matinya manusia sebagai personal akan kembali menjadi tanah, adapun “manusia sebagai karakter”, ia akan hidup untuk selama-lamanya, sejak dikeluarkan dari sulbi Nabi Adam As dialam ruh kemudian dilahirkan oleh ibunya di dunia, selanjutnya ia akan dibentuk oleh lingkungannya menjadi orang yang mulia atau orang yang hina.
Sejak hidupnya di alam ruh itu manusia sebagai karakter‘ akan hidup untuk selamanya, baik didunia, dialam barzah kemudian dialam akhirat, semasa hidupnya di dunia, manusia sendiri yang harus merubah karakternya, dengan ilmu dan amal, membentuk karakter itu supaya menjadi karakter yang mulia.
Sebagai ash-shiddiq, asy-Syuhada‘ atau ash-shalihin sebagaimana yang telah digambarkan Allah dengan firman-Nya : "Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi kenikmatan dari Allah, yaitu para Nabi, Shiddiqin, para Syuhada' dan para Shalihin dan mereka itulah teman yang baik." (Q.S. 4 Ayat 69).
Ketika ajal kematiannya tiba, manusia batin itu akan dihidupkan lagi, sejak di alam barzah sampai di akharat nanti, manakala ia mati sebagai seorang Syuhada‘ atau mati syahid, maka di alam barzah, ia akan hidup merdeka di kebun-kebun syurga dengan mendapatkan rizki dari Tuhannya dan di alam akhirat dimasukkan ke syurga bahagia untuk selama-lamanya.
Kalau ia mati sebagai orang kafir, maka kehidupan selanjutnya adalah kehidupan yang tertahan di penjara untuk selama-lamanya, baik sejak di alam barzah maupun di akhirat nantinya.
Hakikat Interaksi Ruhaniah Manusia adalah sebagai berikut : "Manusia sebagai personal mengadakan hubungan dengan manusia sebagai karakter didalam perasaan ruhaniah, bukan di dalam bayangan hayaliyah atau dengan istilah lain adalah hubungan timbal balik atau interkoneksi antara dua orang manusia sebagai karakter, antara al-mu‘minun dengan ashshiddiq, asy-Syuhada dan ash-shalihin yang diaplikasikan di dalam pelaksanaan ibadah dan mujahadah di jalan Allah.
Hubungan dua alam yang berbeda itu bisa dilaksanakan, karena ruh orang yang hidup (manusia sebagai karakter) memang berpotensi bertemu dan berkomunikasi secara ruhaniah dengan ruh orang lain (manusia sebagai karakter), baik dengan ruh orang yang masih hidup (dialam mimpi maupun di alam jaga) maupun dengan ruh orang mati (di alam barzah).
Allah menyatakan hal itu dengan firman-Nya : "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan memegang jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya, maka Dia tahanlah jiwa yang Dia telah tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir." (Q.S. Az-Zumar : 39/42).
Oleh karena ayat ini ditutup dengan kalimat : "Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tandatanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir, berarti dengan ayat di atas, seorang hamba ditantang untuk berfikir dan mengadakan penelitian dengan secermat-cermatnya, baik secara rasional, mengadakan kajian ilmiah dengan jalan memadukan antara ayat dengan ayat maupun secara spiritual dengan jalan melaksanakan mujahadah dan riyadhah di jalan Allah untuk mendapatkan pemahaman serta hidayah dari Allah.
Dengan yang demikian itu supaya orang beriman sampai kepada terbukanya hijab-hijab basyariah (futuh), sehingga mata hati mereka menjadi tembus pandang untuk memahami makna ayat secara isyari (hakiki) sesuai yang dipersyaratkan oleh para ulama‘ ahli tafsir bagi orang yang akan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‘an Al-Karim.
Allah berfirman : الله يتىفى اأوفس Allahu Yatawaffal Anfusa, (Allah memegang jiwa-jiwa) artinya adalah bahwa Allah mengumpulkan jiwa-jiwa manusia itu di dalam satu keadaan atau suatu kondisi, yaitu kondisi jiwa orang yang sudah ditetapkan kematiannya dan jiwa orang yang belum mati didalam tidurnya.
Artinya jiwa-jiwa (karakter-karakter) itu dikumpulkan dalam suatu potensi untuk bisa saling berinteraksi atau dimasukkan dalam dimensi yang sama kemudian Allah menahan jiwa orang yang sudah mati dan melepaskan kembali jiwa orang yang masih hidup dalam tidurnya sampai batas usia yang sudah ditentukan.
Di saat jiwa orang tidur dan jiwa orang mati itu sedang dikumpulkan di dalam satu dimensi tersebut, saat itu merupakan kesempatan yang terkondisi dimana kedua jiwa yang datangnya dari dimensi yang berbeda itu berpeluang untuk dapat berinteraksi secara ruhaniah.
Baik sebagai mimpi di saat manusianya sedang tidur maupun dikondisikan seperti memasuki dimensi alam mimpi di saat manusianya berada di alam jaga dengan jalan melaksanakan meditasi Islami atau mujahadah dan riyadhah di jalan Allah.
Maksudnya, ketika jasmani dan aktifitasnya sedang lemah karena manusia sedang dalam keadaan tidur, maka secara otomatis aktifitas ruh menjadi kuat, selanjutnya terjadilah pengembaraan ruhaniah.
Ruh orang yang sedang tidur itu naik ke dimensi yang lebih atas lagi, dengan izin Allah, ruh itu menembus batas-batas yang sebenarnya dibatasi oleh ruang pembatas (hijab).
Ruh itu menembus batas dua samudera yang dibatasi oleh barzah sebagaimana yang digambarkan oleh sebuah Ayat : "Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing." (QS : 55 19-20), yaitu menembus alam malakut.
Di situlah ruh orang yang tidur itu kemudian dapat dipertemukan dengan ruh orang-orang mati, selanjutnya terjadilah apa yang dapat terjadi sesuai yang dikehendaki Allah, kejadian tersebut kemudian terrekam melalui rasio di alam jasmani dan ketika manusia terbangun dari tidurnya, rekaman peristiwa tersebut dibaca kembali oleh akal manusia.
Maka peristiwa yang dibaca akal itulah yang disebut mimpi, hanya saja mimpi-mimpi seperti ini masih membutuhkan penta'wilan atau pemaknaan dari para ahlinya, sedangkan bagi hamba yang ruhaniahnya telah dihidupkan pada derajat tertentu (manusia sebagai karakter) sebagai buah dari mujahadah dan riyadhah yang dijalani, ketika pengembaraan ruhaniah itu telah melewati batas-batas yang telah ditentukan, melintasi batas antara dua samudera yang dipisahkan dengan barzah.
Yaitu batas samudera alam jasmani dan samudera alam ruhani, maka dengan izin Allah, seorang hamba akan dibukakan hijab-hijabnya,sehingga dengan mata hati (bashirah) dia dapat melihat atau merasakan secara langsung kejadian-kejadian yang terjadi di alam ruhaniah tersebut.
Manakala pengkondisian itu disengaja sebagai ibadah dan mujahadah melalui tawasul kepada guru-guru ruhaniah yang sudah lebih dulu wafat, kemudian terjadi arus balik antara dua dzikir yang berbeda, dimana yang satu menyampaikan munajat dan satunya penyampaian syafa‘at, maka demikian itulah yang dimaksud dengan Hakikat Interaksi Ruhaniah Manusia.
“Manusia sebagai personal”, diciptakan Allah dari debu, masa hidupnya sangat terbatas, kehidupan itu hanya sebatas usia hidupnya di dunia, ketika ajal kematian tiba, maka kematian itu sedikitpun tidak dapat dimajukan ataupun dimundurkan.
Setelah matinya manusia sebagai personal akan kembali menjadi tanah, adapun “manusia sebagai karakter”, ia akan hidup untuk selama-lamanya, sejak dikeluarkan dari sulbi Nabi Adam As dialam ruh kemudian dilahirkan oleh ibunya di dunia, selanjutnya ia akan dibentuk oleh lingkungannya menjadi orang yang mulia atau orang yang hina.
Sejak hidupnya di alam ruh itu manusia sebagai karakter‘ akan hidup untuk selamanya, baik didunia, dialam barzah kemudian dialam akhirat, semasa hidupnya di dunia, manusia sendiri yang harus merubah karakternya, dengan ilmu dan amal, membentuk karakter itu supaya menjadi karakter yang mulia.
Sebagai ash-shiddiq, asy-Syuhada‘ atau ash-shalihin sebagaimana yang telah digambarkan Allah dengan firman-Nya : "Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi kenikmatan dari Allah, yaitu para Nabi, Shiddiqin, para Syuhada' dan para Shalihin dan mereka itulah teman yang baik." (Q.S. 4 Ayat 69).
Ketika ajal kematiannya tiba, manusia batin itu akan dihidupkan lagi, sejak di alam barzah sampai di akharat nanti, manakala ia mati sebagai seorang Syuhada‘ atau mati syahid, maka di alam barzah, ia akan hidup merdeka di kebun-kebun syurga dengan mendapatkan rizki dari Tuhannya dan di alam akhirat dimasukkan ke syurga bahagia untuk selama-lamanya.
Kalau ia mati sebagai orang kafir, maka kehidupan selanjutnya adalah kehidupan yang tertahan di penjara untuk selama-lamanya, baik sejak di alam barzah maupun di akhirat nantinya.
Hakikat Interaksi Ruhaniah Manusia adalah sebagai berikut : "Manusia sebagai personal mengadakan hubungan dengan manusia sebagai karakter didalam perasaan ruhaniah, bukan di dalam bayangan hayaliyah atau dengan istilah lain adalah hubungan timbal balik atau interkoneksi antara dua orang manusia sebagai karakter, antara al-mu‘minun dengan ashshiddiq, asy-Syuhada dan ash-shalihin yang diaplikasikan di dalam pelaksanaan ibadah dan mujahadah di jalan Allah.
Hubungan dua alam yang berbeda itu bisa dilaksanakan, karena ruh orang yang hidup (manusia sebagai karakter) memang berpotensi bertemu dan berkomunikasi secara ruhaniah dengan ruh orang lain (manusia sebagai karakter), baik dengan ruh orang yang masih hidup (dialam mimpi maupun di alam jaga) maupun dengan ruh orang mati (di alam barzah).
Allah menyatakan hal itu dengan firman-Nya : "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan memegang jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya, maka Dia tahanlah jiwa yang Dia telah tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir." (Q.S. Az-Zumar : 39/42).
Oleh karena ayat ini ditutup dengan kalimat : "Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tandatanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir, berarti dengan ayat di atas, seorang hamba ditantang untuk berfikir dan mengadakan penelitian dengan secermat-cermatnya, baik secara rasional, mengadakan kajian ilmiah dengan jalan memadukan antara ayat dengan ayat maupun secara spiritual dengan jalan melaksanakan mujahadah dan riyadhah di jalan Allah untuk mendapatkan pemahaman serta hidayah dari Allah.
Dengan yang demikian itu supaya orang beriman sampai kepada terbukanya hijab-hijab basyariah (futuh), sehingga mata hati mereka menjadi tembus pandang untuk memahami makna ayat secara isyari (hakiki) sesuai yang dipersyaratkan oleh para ulama‘ ahli tafsir bagi orang yang akan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‘an Al-Karim.
Allah berfirman : الله يتىفى اأوفس Allahu Yatawaffal Anfusa, (Allah memegang jiwa-jiwa) artinya adalah bahwa Allah mengumpulkan jiwa-jiwa manusia itu di dalam satu keadaan atau suatu kondisi, yaitu kondisi jiwa orang yang sudah ditetapkan kematiannya dan jiwa orang yang belum mati didalam tidurnya.
Artinya jiwa-jiwa (karakter-karakter) itu dikumpulkan dalam suatu potensi untuk bisa saling berinteraksi atau dimasukkan dalam dimensi yang sama kemudian Allah menahan jiwa orang yang sudah mati dan melepaskan kembali jiwa orang yang masih hidup dalam tidurnya sampai batas usia yang sudah ditentukan.
Di saat jiwa orang tidur dan jiwa orang mati itu sedang dikumpulkan di dalam satu dimensi tersebut, saat itu merupakan kesempatan yang terkondisi dimana kedua jiwa yang datangnya dari dimensi yang berbeda itu berpeluang untuk dapat berinteraksi secara ruhaniah.
Baik sebagai mimpi di saat manusianya sedang tidur maupun dikondisikan seperti memasuki dimensi alam mimpi di saat manusianya berada di alam jaga dengan jalan melaksanakan meditasi Islami atau mujahadah dan riyadhah di jalan Allah.
Maksudnya, ketika jasmani dan aktifitasnya sedang lemah karena manusia sedang dalam keadaan tidur, maka secara otomatis aktifitas ruh menjadi kuat, selanjutnya terjadilah pengembaraan ruhaniah.
Ruh orang yang sedang tidur itu naik ke dimensi yang lebih atas lagi, dengan izin Allah, ruh itu menembus batas-batas yang sebenarnya dibatasi oleh ruang pembatas (hijab).
Ruh itu menembus batas dua samudera yang dibatasi oleh barzah sebagaimana yang digambarkan oleh sebuah Ayat : "Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing." (QS : 55 19-20), yaitu menembus alam malakut.
Di situlah ruh orang yang tidur itu kemudian dapat dipertemukan dengan ruh orang-orang mati, selanjutnya terjadilah apa yang dapat terjadi sesuai yang dikehendaki Allah, kejadian tersebut kemudian terrekam melalui rasio di alam jasmani dan ketika manusia terbangun dari tidurnya, rekaman peristiwa tersebut dibaca kembali oleh akal manusia.
Maka peristiwa yang dibaca akal itulah yang disebut mimpi, hanya saja mimpi-mimpi seperti ini masih membutuhkan penta'wilan atau pemaknaan dari para ahlinya, sedangkan bagi hamba yang ruhaniahnya telah dihidupkan pada derajat tertentu (manusia sebagai karakter) sebagai buah dari mujahadah dan riyadhah yang dijalani, ketika pengembaraan ruhaniah itu telah melewati batas-batas yang telah ditentukan, melintasi batas antara dua samudera yang dipisahkan dengan barzah.
Yaitu batas samudera alam jasmani dan samudera alam ruhani, maka dengan izin Allah, seorang hamba akan dibukakan hijab-hijabnya,sehingga dengan mata hati (bashirah) dia dapat melihat atau merasakan secara langsung kejadian-kejadian yang terjadi di alam ruhaniah tersebut.
Manakala pengkondisian itu disengaja sebagai ibadah dan mujahadah melalui tawasul kepada guru-guru ruhaniah yang sudah lebih dulu wafat, kemudian terjadi arus balik antara dua dzikir yang berbeda, dimana yang satu menyampaikan munajat dan satunya penyampaian syafa‘at, maka demikian itulah yang dimaksud dengan Hakikat Interaksi Ruhaniah Manusia.
Posting Komentar untuk "Hakikat Interaksi Ruhaniah Manusia"
Terimakasih atas kunjungan anda...