Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Hijab Cahaya (Nur) Yang Kedua Adalah Istiqamah

Abu Hurairah Ra berkata : Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, Allah Azza Wa Jalla berfirman (hadits qudsi) :
ؼَلُبّ مإِبْنُ مآَدَمَ ماظِّػَّْ م موَأَغَا ماظِّػُّْ م مبَقََّى ماظؾّقْلُ موَاظـِفَارُ. مرواهم
اظؾكارىمموعلؾمم. م "Anak Adam mencela masa, padahal Akulah masa, di tangan-Ku malam dan siang." (H.R. Bukhari dan Muslim).


Ketika seorang salik menjaga wirid-wirid yang di istiqamahkan, dia berazam untuk bertadarrus (membaca Al-Qur‘an) setiap hari selama setahun penuh tanpa putus, di laksanakan setiap habis shalat maghrib sampai datangnya waktu shalat isya‘, misalnya.

Meski dengan sebab apa saja, sakit sekalipun, kalau istiqamah itu sampai terputus, walau sekali, berarti istiqamah yang di azami setahun itu gagal, demikianlah aturan secara syar‘i, namun demikian, kenyataanya sering terjadi kejadian yang tidak di duga.

Di dalam waktu yang sudah di tetapkan tersebut, ternyata si salik menderita sakit hingga istiqamah itu terpaksa putus, di dalam menyikapi peristiwa seperti itu, orang sering salah dalam menentukan sikap, si salik tersebut menyalahkan sakit yang datang itu dan ia kecewa, sebab, ia merasa gagal dalam melaksanakan azam istiqamah yang sudah di laksanakan.

Yang demikian itu boleh jadi benar dalam aspek lahirnya dan orang boleh mencari penyebabnya, barangkali salah makan atau begadang malam yang berlebihan sehingga dia menjadi sakit, namun kalau orang hanya mampu melihat yang lahir saja sehingga yang di salahkan hanya sakit, dia tidak mampu melihat bahwa sakit itu adalah takdir yang sudah di tetapkan Allah Ta‘ala, berarti salik itu terhijab dari Allah Ta‘ala dengan istiqamahnya, maka itulah yang di maksud dengan hijab nur atau hijab terang.

Seharusnya salik itu paham, bahwa istiqamah adalah kehendak makhluk yang sifatnya ikhtiariyah (sebatas usaha manusia), sedang sakit itu, meski penyebabnya adalah kesalahan manusia, hakikatnya adalah ketetapan Allah Ta‘ala, maka tinggal bagaimana ketajaman mata hati seorang hamba dalam menangkap isyarat di balik kejadian tersebut.

Sebab di balik kehendak azaliah tersebut (sakit) boleh jadi ada mutiara yang di tunggu, yaitu memang saatnya istiqamah itu harus terputus untuk kemudian si salik menerima anugerah yang di harapkan sebagai buah amal yang di lakukan.

Adapun terputusnya azam sebelum waktunya itu, boleh jadi juga merupakan keringanan yang di turunkan Allah Ta‘ala baginya, demikianlah cara menyikapi suatu kejadian yang murni bukan kehendak manusia, bukankah tidak ada seorang pun yang mengharapkan sakit?, kalau sakit itu bukan kehendak manusia, lalu kehendak siapa lagi kalau bukan kehendak Allah Ta‘ala ?.

Maka seharusnya manusia tidak hanya mengedepankan amalnya secara ikhtiariyah, namun juga memberikan porsi yang lebih luas terhadap ketetapan Allah yang kadang-kadang datangnya tidak terduga.

Dengan meletakkan dasar berbaik sangka yang kuat, maka tidak akan ada waktu yang tertunda bagi peningkatan pencapaian yang di tetapkan Allah Ta‘ala bagi dirinya.

Kalau penyebab putusnya istiqamah itu tamu yang datang misalnya, maka seperti itu pula caranya menyikapinya, secara syar‘i, memutus azam adalah salah dan setiap kesalahan berarti dosa, namun demikian, apabila cara melihat peristiwa itu dengan mata hati, yaitu meski tamu itu adalah manusia, datangnya tamu itu sejatinya juga kehendak Allah.

Maka ketika pilihan itu harus mengutamakan tamu yang datang dengan memutuskan istiqamah, yang berarti juga dia telah berbuat dosa, namun boleh jadi dosa itu adalah ibarat hijab gelap yang akan menghapus hijab terang, artinya supaya manusia tidak lebih mengutamakan istiqamah daripada Allah Ta‘ala yang di sembah dengan istiqamah itu, maka istiqamah itu harus di putus.

Yang demikian itu boleh jadi adalah bagian tarbiyah azaliah yang datangnya sering kali dengan cara yang rahasia. Tujuannya, supaya seorang hamba selalu wushul kepada Allah dengan ibadah yang di lakukan.

Ini adalah bagian kecil dari ilmu hikmah, yang dasar sudut pandangnya bukan ilmu syari‘at, tapi ilmu hakikat, adapun barometernya adalah ketajaman rasa (mata hati) yang ada dalam hati seorang hamba, maka hanya seorang hamba yang mata hatinya cemerlang yang mampu menentukan pilihan tersebut dengan benar, sedangkan orang lain silahkan memilih antara dua pilihan itu dengan ilmunya sendiri.

Adalah keyakinan hati yang kuat, akan membantu kekuatan seorang hamba dalam bermusyahadah (menyaksikan) terhadap kehendak Allah Ta‘ala di balik setiap kejadian yang sedang terjadi, sehingga seorang hamba tidak salah persepsi di dalam menyikapi segala sesuatu, sebab, di balik segala sesuatu itu, sejatinya hanya Allah yang menakdirkannya.

Demikian pula, ketika Nabi Khidir As melakukan suatu perbuatan yang salah menurut pandangan Nabi Musa As Nabi Khidhir As bukannya menyuruh Nabi Musa As untuk mengikuti perbuatan tersebut, tapi tidak boleh di tanyakan.

Maksudnya supaya perbuatan itu di lihat saja dan di jadikan pertimbangan dalam hatinya, kemudian ketika saatnya telah tiba, rahasia di balik perbuatan tersebut akan di jelaskan kepada Nabi Musa As, namun oleh karena ilmu Nabi Musa As adalah ilmu syari‘at, ketika Nabi Musa As melihat bahwa perbuatan Nabi Khidir As tersebut secara syari‘at salah, maka di tegurnya.

Sejatinya teguran itu tidak salah apabila sebelumnya tidak ada kesepakatan antara mereka berdua, oleh karena sebelum perbuatan itu di lakukan sudah ada kesepakatan, maka teguran murid kepada gurunya itu hukumnya menjadi salah.

Demikian pula ketika seorang murid telah melaksanakan perjanjian (bai‘at) kepada guru mursyidnya, maka landasan hukum selanjutnya adalah atas asas kesepakataan (bai‘at) tersebut, adalah gambaran tentang pelaksanaan ilmu syari‘at dan ilmu hakikat yang telah di tampilkan di dalam peristiwa sejarah yang telah di abadikan Allah Ta‘ala di dalam Al-Qur‘an tersebut.

Pelaksanaan dua jenis ilmu yang berbeda itu ada aturannya sendiri-sendiri, tidak boleh di campur aduk, ilmu syari‘at harus di terapkan di dalam wilayah syari‘at (lahir) terhadap orang syari‘at dan ilmu hakikat juga di terapkan di wilayah hakikat (batin) kepada orang hakikat, kecuali sebelumnya ada kesepakatan khusus antara seorang murid dengan guru mursyidnya.

Seperti kesepakatan berdua antara Nabi Musa As dengan Nabi Khidir As, konon, suatu saat seorang guru hakikat mengajak tiga muridnya yang pilihan berjalan-jalan di tempat pelacuran, ketika sang murid melihat gurunya mencium salah satu perempuan yang ada di tempat itu, murid-murid itu juga ikut mencium, demikian kejadian itu sampai berulang tiga kali, pulangnya, sebelum sampai di rumah, sang guru mengajak ketiga muridnya singgah di tempat seorang pandai besi.

Gurunya mengambil besi yang membara dari dalam tungku pembakaran dengan tangannya kemudian besi membara itu di cium tiga kali, selanjutnya ketiga murid tersebut di suruh mencium besi yang membara itu seperti yang sudah di lakukannya.

Tentunya ketiga murid itu tidak berani melakukan, maka gurunya berkata : "Mengapa di tempat pelacuran tadi kamu berani mengikuti perbuatanku, sedangkan di sini tidak?, dengan ketakutan yang sangat ketiga murid itu diam tidak menjawab, maka gurunya meneruskan : "Oleh karena itu, selama kalian belum mengerti ilmunya, maka jangan sekali-kali mengikuti perbuatan orang yang secara syari‘at jelas-jelas salah."

Demikianlah, kalau ada seorang guru yang meninggalkan syari‘at di hadapan murid-muridnya, dia meninggalkan shalat jum‘at misalnya, kemudian dia mengaku sudah shalat jum‘at di Makkah, padahal muridnya tidak dapat melihat kejadian tersebut dengan mata kepala, berarti perbuatan itu (meninggalkan shalat jum‘at) adalah salah dan pengakuan itu bohong, kecuali kalau guru itu memang mampu bersama-sama muridnya shalat jum‘at di Makkah, sehingga muridnya mengetahui walau tanpa ada pengakuan tersebut.

Yang demikian itu, sang guru itu kadang-kadang hanya memanfaatkan keawaman dan kepatuhan murid-murid dan pengikut-pengikutnya, supaya dia di anggap oleh murid-murid dan pengikutnya sebagai seorang yang sakti mandraguna, di anggap seorang wali yang mempunyai karamah.

Padahal pengakuan itu hanya untuk menutupi sifat malasnya dan bahkan untuk tujuan penipuan, demikian pula, murid-murid dan pengikut yang patuh itu, baru sadar menjadi korban penipuan ketika harta bendanya sudah habis-habisan di bawa lari.

Orang mengaku menemukan kuburan, kemudian kuburan itu di bangun dan di katakan kepada masyarakat kuburannya wali, kemudian masyarakat di ajak meng-keramatkan kuburan itu, padahal tidak ada seorangpun yang mengetahui dan mendengar bahwa di lokasi itu pernah ada kuburan.

Walau seandainya penemuan itu benar menurut ilmunya, namun ketika kuburan itu di syari‘atkan secara umum tanpa terlebih dahulu ada pembuktian yang konkrit, maka perbuatan itu adalah salah dan menyesatkan.

Kecuali apabila di lokasi itu, ketika orang menggali tanah, kemudian menemukan jenazah yang masih utuh, padahal semula tidak ada tanda-tanda ada kuburan di situ atau memang di situ sudah ada kuburan tapi orang tidak mengerti itu kuburan siapa.

Kemudian jenazah dan kuburan itu oleh orang yang ahli di yakini kuburan wali, kemudian di ziarahi, bukan di keramatkan, maka itu boleh-boleh saja, asal di kuburan itu orang tidak berbuat syirik.

Seperti orang mengaku mimpi berjumpa dengan Rasulullah Saw, di dalam mimpi itu, katanya, ia mendapat perintah untuk shalat tujuh waktu misalnya, tidak lima waktu sebagaimana yang sudah di syari‘atkan sebelumnya, walau seandainya yang demikian itu benar, asal perintah itu di lakukan sendiri, maka itu tidak menjadi soal, namun apabila perintah itu di syari‘atkan secara umum atau masyarakat di ajak melaksanakan shalat tujuh waktu seperti yang di perintahkan dalam mimpi itu, maka mengajak orang lain untuk mengikuti mimpinya itu adalah perbuatan yang salah, bahkan perbuatan itu dapat merusak syari‘at yang sudah ada dan sudah sempurna di sampaikan dan di ajarkan oleh Rasulullah Saw.

Posting Komentar untuk "Hijab Cahaya (Nur) Yang Kedua Adalah Istiqamah"