Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Hakikat Tawakkal

Tawakkal itu sendiri, berserah diri, lalu pasrah. Orang yang tawakkal merasa tenang karena janji Allah, orang yang berserah diri cukup dengan pengetahuannya tentang Allah dan pasrah adalah ridha terhadap hukum-Nya. Tawakkal merupakan permulaan, berserah diri merupakan pertengahan dan pasrah merupakan penghabisan.

Tawakkal merupakan sifat orangorang Mukmin, berserah diri merupakan sifat para wali dan pasrah merupakan sifat muwahhidin. Tawakal merupakan sifat orang-orang awam, berserah diri merupakan sifat orang-orang khusus, dan pasrah merupakan sifat orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus.

Tawakkal adalah sifat para nabi, berserah diri adalah sifat Ibrahim, sedangkan pasrah merupakan sifat Nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam." Masih banyak pendapat-pendapat lain tentang makna tawakkal ini, yang semuanya merupakan rincian dari makna tawakkal.

Pada hakikatnya tawakkal ini merupakan keadaan yang terangkai dari berbagai perkara, yang hakikatnya tidak bisa sempurna kecuali dengan seluruh rangkaiannya, masing-masing mengisyaratkan kepada salah satu dari perkara-perkara ini, dua atau lebih. Perkara-perkara ini adalah :

1. Mengetahui Allah, sifat, kekuasaan, kecukupan, kesendirian dan kembalinya segala urusan kepada ilmu-Nya dan yang terjadi berkat kehendak dan kekuasaan-Nya. Ini merupakan derajat pertama yang menjadi pijakan kaki hamba saat berada di tempat persinggahan tawakkal. Ibnu Taimiyah berkata, "Karena itu tawakkal tidak akan menjadi benar dan sulit dibayangkan bisa dilakukan seorang filosof atau pun golongan Qadariyah, yang mengatakan bahwa di dalam kekuasaan Allah ada sesuatu yang tidak bisa dikehendak-Nya, atau dari golongan Jahmiyah yang meniadakan sifat Allah. Tawakkal macam apakah yang keluar dari orang yang meyakini bahwa Allah tidak mengetahui bagian-bagian alam atas dan alam bawah, tidak bisa berbuat menurut kehendak-Nya dan tidak didukung satu sifat pun? Siapa yang lebih mengetahui tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, maka tawakkal-nya lebih benar dan lebih kuat. Allahlah yang lebih mengetahui hal ini."

2. Menetapkan sebab dan akibat. Siapa yang meniadakan hal ini, berarti tawakkalnya ada yang tidak beres. Ini kebalikan dari pendapat yang mengatakan, bahwa menetapkan sebab bisa menodai tawakkal dan meniadakan sebab ini merupakan kesempumaan tawakkal. Ketahuilah bahwa tawakkalnya mereka yang meniadakan sebab tidak akan benar sama sekali. Sebab tawakkal termasuk sebab yang paling kuat untuk mendapatkan apa yang ditawakkali. Tawakkal ini seperti doa yang dijadikan Allah sebagai sebab untuk mendapatkan apa yang diminta dalam doa itu. Jika hamba percaya bahwa tawakkalnya tidak ditetapkan Allah sebagai sebab dalam memperoleh sesuatu, begitu pula doanya, maka sesuatu itu tetap diperolehnya, baik dia tawakkal atau tidak tawakkal, berdoa atau tidak berdoa, kalau memang hal itu sudah ditakdirkan baginya. Jika tidak ditakdirkan, maka sesuatu itu tidak akan diperolehnya, tawakkal atau tidak tawakkal. Orang-orang yang meniadakan sebab ini beralasan bahwa tawakkal dan doa adalah ubudiyah yang bersifat murni, yang manfaatnya hak-nya ubudiyah itu semata. Di antara mereka ada yang bersikap kelewat batas, dengan mengatakan bahwa doa agar tidak dihukum atas keliru dan lalai tidak memberi manfaat apa-apa. Karena sudah ada jaminan pengabulannya. Menurut sebagian di antara mereka, yang kami baca dalam buku karangannya, bahwa doa itu mengandung kesangsian terhadap pengabulannya. Sebab orang yang berdoa berada di antara ketakutan dan harapan. Kesangsian terhadap pengabulannya berarti kesangsian terhadap pengabaran Allah.
Perhatikanlah bagaimana pengingkaran terhadap sebab telah menyeret mereka ke dalam dosa yang besar, karena mereka mengharamkan doa. Padahal Allah memuji para wali dan hamba-hamba-Nya, karena mereka berdoa dan memohon kepada-Nya. Untuk menyanggah dugaan mereka yang batil, dapat dikatakan sebagai berikut: Ada bagian ketiga yang tidak kalian sebutkan dari dua bagian di atas, yaitu kenyataan. Dengan kata lain, bahwa Allah menetapkan tawakkal dan doa sebagai dua sebab untuk mendapatkan apa yang diminta, dan Allah menakdirkan perolehan sesuatu jika hamba mengerjakan sebabnya. Jika dia tidak mengerjakan sebab, maka dia juga tidak memperoleh akibatnya. Hal ini seperti ketetapan Allah untuk mendapatkan anak, jika seorang laki-laki berjima' dengan wanita yang akan mengandung anaknya. Jika dia tidak berjima' dengannya, tentu Allah tidak akan menciptakan anak baginya. Allah menetapkan kenyang jika hamba makan. Jika dia tidak makan, tentu dia tidak akan kenyang. Allah menetapkan hamba masuk syurga jika dia masuk Islam dan mengerjakan amal-amal shalih. Jika tidak melakukannya, maka selamanya dia tidak akan masuk syurga. Sekarang bandingkan dengan apa yang dikatakan orang-orang yang mengingkari sebab, yang setiap orang di antara mereka berkata, "Kalau memang sudah ditakdirkan bagiku dan sudah ditetapkan sejak awal untuk mendapatkan anak, kenyang, menunaikan haji dan lain sebagainya, tentu semua akan terjadi pada diriku, entah aku bergerak atau diam, menikah atau membujang, bepergian atau duduk-duduk saja. Tapi jika tidak ditakdirkan bagiku, maka semua itu juga tidak akan terjadi pada diriku, aku berbuat atau tidak berbuat." Apakah orang yang berkata seperti ini dianggap sebagai orang yang waras? Bukankah binatang lebih pandai daripada dia? Sebab binatang pun masih berusaha melakukan sebab sesuai berdasarkan petunjuk secara umum. Tawakkal merupakan sebab yang paling besar untuk mendapatkan apa yang diharapkan dan menyingkirkan apa yang tidak diinginkan. Siapa yang mengingkari sebab, berarti tawakkalnya tidak benar. Tapi tawakkal yang sempurna juga tidak mengandalkan sebab semata dan memutuskan hubungan hati dengannya.

3. Memantapkan hati pada pijakantauhid. Tawakkal seorang hamba tidak dianggap benar jika tauhidnya tidak benar. Bahkan hakikat tawakkal adalah tauhidnya hati. Selagi di dalam hati masih ada kaitan-kaitan syirik, maka tawakkalnya cacat. Seberapa jauh kemurnian tauhid, maka sejauh itu pula kebenaran tawakkal. Jika seorang hamba berpaling kepada selain Allah, maka hal ini akan membentuk cabang di dalam hatinya, sehingga mengurangi tawakkalnya kepada Allah karena adanya cabang itu. Berangkat dari sinilah muncul anggapan sebagian orang bahwa tawakkal tidak benar kecuali dengan menolak sebab secara total. Memang ini bisa dibenarkan. Tapi penolakan ini harus dari hati dan bukan dari anggota tubuh. Tawakkal tidak benar kecuali dengan menyingkirkan sebab dari hati dan kebergantungan anggota tubuh kepadanya. Jadi harus ada pemutusan dengan sebab dan juga harus ada hubungan dengan sebab.

4. Menyandarkan hati kepada Allah dan merasa tenang karena bergantung kepada-Nya, sehingga di dalam hati itu tidak ada kegelisahan karena godaan sebab dan tidak merasa tenang karena bergantung kepadanya. Tandanya, ia tidak peduli saat menghadapi sebab itu atau saat melepaskannya, hati tidak gelisah saat melepaskan apa yang disukai dan saat menghadapi apa yang dibenci, karena penyandarannya kepada Allah dan ketenangannya bergantung kepada-Nya, telah melindungi dirinya dari ketakutan. Keadaannya seperti orang yang berhadapan dengan musuh yang tangguh dan tak mungkin dikalahkannya, lalu tiba-tiba dia melihat benteng kokoh yang terbuka pintunya, lalu Allah memasukkannya ke dalam benteng itu dan menutup pintunya. Dia melihat musuh ada di luar benteng, sehingga hatinya tidak lagi risau karena keadaannya ini. Atau seperti orang yang diberi uang oleh raja. Tapi kemudian uang pemberian itu dicuri orang lain. Lalu raja berkata kepadanya, "Tidak perlu takut, karena aku mempunyai uang yang melimpah. Jika engkau mau datang ketempatku, akan kuberikan se-berapa pun yang engkau minta." Jika dia percaya kepada raja, yakin terhadap perkataannya dan tahu gudangnya penuh uang, tentu dia tidak akan gelisah dan takut.

5. Berbaik sangka terhadap Allah. Seberapa jauh baik sangkamu terhadap Allah, maka sejauh itu pula tawakkalmu kepada-Nya, maka sebagian ulama menafsiri tawakkal dengan baik sangka terhadap Allah. Yang benar, baik.sangka ini mengajak kepada tawakkal, sebab tawakkal tidak bisa digambarkan datang dari orang yang berburuk sangka kepada Allah atau dari orang yang tidak mengharapkan-Nya.

6. Ketundukan dan kepasrahan hati kepada Allah serta memotong seluruh perintangnya. Karena itu ada yang menafsiri tawakkal ini dengan berkata, "Hendaknya seorang hamba di hadapan Allah seperti mayat di tangan orang yang memandikannya, yang membolak-balikkan jasadnya menurut kehendaknya, dan dia tidak mempunyai hak untuk bergerak atau mengatur. Inilah makna perkataan sebagian orang, bahwa tawakkal adalah membebaskan diri dari pengaturan, atau menyerahkan pengaturan kepada Allah. Tapi ini tidak berlaku untuk perintah dan larangan, tapi untuk hal-hal yang diperbuat Allah terhadap dirimu danbukan dalam perkara-perkara yang diperintahkan-Nya agar kamu mengerjakannya.

7. Pasrah. Ini merupakan ruh tawakkal, inti dan hakikatnya, yaitu menyerahkan semua urusannya kepada Allah, tanpa menuntut dan menentukan pilihan, bukan merasa dipaksa dan terpaksa. Kepasrahannya kepada Allah seperti kepasrahan seorang anak yang lemah tak berdaya kepada ayah dan ibunya, yang menyayangi, mencintai, menangani segala keperluannya dan melindunginya. Dia melihat penanganan orang tuanya adalah penanganan yang paling baik bagi dirinya. Maka dia tidak melihat kebaikan bagi dirinya selain dari menyerahkan semua urusannya kepada orang tuanya. Jika seorang hamba sudah sampai ke derajat ini, maka dia akan beralih ke derajat lain, yaitu ridha, yang merupakan buah tawakkal, sehingga ada yang menafsiri tawakkal dengan ridha. Berarti penafsiran ini hanya melihat sisi buah tawakkal dan manfaatnya yang paling besar. Sebab siapa yang tawakkal dengan sebenar-benarnya tawakkal, tentu dia ridha terhadap apa pun yang dilakukan wakilnya. Ibnu Taimiyah berkata, "Yang menjadi ukuran adalah dua perkara : Tawakkal sebelumnya dan ridha sesudahnya. Siapa yang tawakkal kepada Allah sebelum berbuat dan ridha kepada-Nya setelah berbuat, berarti dia telah menegakkan ubudiyah." Inilah makna yang terkandung dalam sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sehubungan dengan doa istikharah, "Ya Allah, aku memohon pilihan yang terbaik kepada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kekuasaan kepada-Mu dengan kekuasaan-Mu dan aku memohon kepadaMu dari karunia-Mu yang agung." Ucapan ini mencerminkan tawakkal dan kepasrahan. Kelanjutan doa ini, "Sesungguhnya Engkau mengetahui dan aku tidak mengetahui, Engkau berkuasa dan aku tidak berkuasa, Engkau Maha Mengetahui yang gaib". Ini mencerminkan kepasrahan kepada Allah dalam masalah ilmu, daya dan kekuatan serta tawassul kepada-Nya dengan sifat-sifat-Nya, yang merupakan tawassul paling disukai orang-orang yang tawassul kepada-Nya. Kelanjutan doa istikharah ini adalah permohonan agar Allah memenuhinya jika di dalamnya ada kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Maka yang menyisa baginya hanya ridha terhadap ketetapan Allah, dengan berkata, "Tetapkanlah kebaikan bagiku apapun bentuknya, kemudian buatlah aku ridha kepadanya." Doa istikharah ini mencakup ma'rifat tentang Allah, hakikat-hakikat iman, seperti tawakkal, kepasrahan sebelum ada ketetapan dan ridha setelah ada ketetapan, yang merupakan buah tawakkal, sedangkan kepasrahan merupakan tanda kebenaran tawakkal. Jika dia tidak ridha, maka kepasrahannya tidak murni.
Dengan menyempurnakan delapan derajat ini, berarti seorang hamba telah menyempurnakan tawakkal dan pijakan kakinya sudah mantap di tempat persinggahan ini, namun banyak terjadi kerancuan dalam masalah yang terpuji dan sempurna ini dengan hal-hal yang tercela dan kurang. Ada kerancuan dalam masalah kepasrahan dengan penyia-nyiaan. Seorang hamba menyia-nyiakan bagiannya dengan anggapan bahwa itu merupakan kepasrahan dan tawakkal, padahal itu merupakan penyia-nyiaan dan penelantaran, bukan kepasrahan. Ada pula kerancuan tawakkal dengan kesantaian dan tidak mau memikul beban, lalu pelakunya mengira bahwa dia adalah orang yang tawakkal. Ada pula kerancuan melepaskan sebab dan meniadakannya. Melepaskan sebab merupakan gambaran tauhid sedangkan meniadakan sebab merupakan zindiq dan ateis. Melepaskan sebab artinya tidak menyandarkan hati kepada sebab, sedangkan meniadakan sebab berarti menyingkiri sebab itu secara total. Dan masih banyak contoh lain tentang kerancuan-kerancuan ini. Tawakkal merupakan tempat persinggahan yang paling luas dan
umum kebergantungannya kepada Asma'ul-Husna. Tawakkal mempunyai kebergantungan secara khusus dengan keumuman perbuatan dan sifat-sifat Allah. Semua sifat Allah bisa dijadikan gantungan tawakkal, maka siapa yang lebih banyak ma'rifatnya tentang Allah, maka tawakkalnya juga lebih kuat. Banyak orang yang tawakkal justru tertipu oleh tawakkalnya. Boleh jadi seseorang bertawakkal dengan sebenar-benarnya tawakkal, namun dia tertipu. Seperti orang yang mengalihkan tawakkalnya kepada kebutuhan parsial dengan mencurahkan seluruh kekuatan tawakkalnya. Padahal dia bisa mendapatkan kebutuhan itu dengan cara yang paling sederhana. Padahal seandainya dia mencurahkan hatinya untuk tawakkal dengan menambah iman dan ilmu serta menolong agama, maka ini jauh lebih baik baginya.

"Tawakkal adalah penyerahan urusan kepada yang berkuasa menanganinya dan menyerahkan kepercayaan kepada wakilnya. Ini merupakan tempat persinggahan orang awam yang paling sulit dan jalan yang paling lemah bagi orang-orang yang khusus, sebab Allah telah menyerahkan semua urusan kepada Diri-Nya dan alam tidak berkuasa terhadapnya sedikit pun." Menyerahkan kepercayaan kepada wakilnya, artinya lebih mementingkan tindakannya daripada tindakanmu dan kehendaknya daripada kehendakmu.

Menyerahkan kepercayaan ini ada dua macam: Pertama, mengangkat wakil atau kepasrahan kepadanya. Kedua, menyerahkan urusan kepada orang yang ditunjuk sebagai wakil. Hal ini bisa di lihat dari dua sisi. Allah mewakilkan kepada hamba dan menunjuknya untuk menjaga apa yang diserahkan kepadanya. Sedangkan hamba menyerahkan kepercayaan kepada Allah dan bersandar kepada-Nya. Tentang penyerahan kepercayaan Allah kepada hamba-Nya, maka Dia berfirman, "Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya." (Q.S. Al-An'am : 89).

Maksudnya, siapa yang melaksanakan apa yang diwahyukan Allah karena iman, mau melaksanakan dakwah, jihad dan memberikan pertolongan, maka mereka itulah yang akan diserahi Allah untuk mengemban kepercayaan ini. Jika engkau bertanya, "Lalu bolehkah jika dikatakan, 'Seseorang menjadi wakil Allah?" Dapat di jawab, "Tidak." Sebab yang disebut wakil adalah orang yang bertindak atas nama yang menunjuknya sebagai wakil lewat cara perwakilan. Padahal Allah tidak mempunyai wakil dan tak ada seorangpun yang menggantikan kedudukan-Nya, tapi justru Allahlah yang menjadi pengganti hamba, sebagaimana yang disebutkan dalam doa ketika hendak mengadakan perjalanan, "Ya Allah, Engkau teman dalam perjalanan dan pengganti di tengah keluarga." Sedangkan penyerahan kepercayaan hamba kepada Allah artinya kepasrahan hamba kepada-Nya dan membebaskan dirinya dari sikap tertentu dan menegakkan Rububiyah dengan ubudiyah, inilah makna Allah sebagai wakil hamba. Artinya, Allahlah yang mencukupinya, menangani segala urusan dan kemaslahatannya, sedangkan perwakilan yang diserahkan Allah kepada hamba merupakan perintah dan ubudiyah.

Posting Komentar untuk "Hakikat Tawakkal"