Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

PERJALANAN TAHAP PERTAMA MENUJU ALLAH (Bagian 1)

Perjalanan Tahap Pertama Menuju Allah Bagian 1

Perjalanan tahap pertama ini, yaitu tahap pencarian seorang murid untuk menemukan guru pembimbing (mursyid) dalam rangka meningkatkan kualitas ilmu yang sudah di miliki, perjalanan dua karakter tersebut (karakter Musa dan karakter Khidhir) hendaklah di jadikan sebagai i‘tibar dan muqoddimah dari sebuah perjalanan spiritual yang akan di lakukan.

Perjalanan tersebut sebagai dasar yang harus diketahui, dijadikan kajian dan landasan oleh seorang salik untuk menjadi bekal bagi usaha dan tahapan pencarian yang berikutnya. Ilmu yang sudah dimiliki adalah ilmu teori, sedangkan ilmu yang dicari adalah penerapan ilmu itu dalam menghadapi kejadian yang aktual secara aplikatif, baik untuk urusan vertikal maupun horizontal.

Tahap pertama ini, seorang murid harus mampu melaksanakan beberapa hal, yaitu :


1) Niat yang kuat dan bekal secukupnya. Seorang salik harus meninggalkan dunia yang ada di sekitarnya, mengadakan perjalanan panjang mencari guru mursyid untuk belajar Ilmu Laduni darinya, hal itu dilakukan semata atas petunjuk dan hidayah Allah Ta‘ala. Oleh karena tahap ini adalah tahap awal, maka terkadang datangnya petunjuk tersebut boleh jadi melalui mimpi-mimpi yang buah ibadah dan tawasul benar, karena mimpi yang benar adalah empat puluh lima persen bagian dari alam kenabian.

2) Perjalanan itu adalah perjalanan antara dua dimensi ilmu pengetahuan: "Hai Musa, Aku dengan ilmu dari ilmu Allah yang mengajarkannya kepadaku tapi tidak diajarkannya kepadamu sedangkan engkau dengan ilmu dari ilmu Allah yang Allah mengajarinya kepadamu akan tetapi tidak diajarkannya kepadaku." Ilmu Nabi Musa adalah ilmu syari‘at sedangkan ilmu Nabi Khidhir adalah ilmu hakikat. Hakikat perjalanan itu adalah bentuk pelaksanaan thariqat (perjalanan spiritual) yang harus dijalani oleh seorang salik. Sebab, tanpa pelaksanaan thariqat mustahil seorang hamba dapat menemukan apa-apa yang dicari dalam hidupnya.

3) Ada tempat pertemuan yang ditentukan, yaitu tempat pertemuan antara dua samudera ilmu pengetahuan. Itulah titik klimaks sebuah proses peningkatan tahapan pencapaian secara ruhaniyah, dimana saat itu hati yang sudah lama mati berkat mujahadah yang dijalani kadang-kadang menjadi hidup lagi. Adalah suatu saat, ketika kondisi seorang seperti dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar bahkan sedang tidur, atau kesadaran itu sedang diliputi oleh sesuatu padahal sesungguhnya dalam keadaan sadar : Ketika Sidrah diliputi oleh sesuatu yang meliputinya, penglihatan tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya, sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (Q.S. An-Najm/16-18).

4) Tujuan yang jelas adalah dengan ilmu syari‘at yang sudah dimiliki, Nabi Musa ingin mendapatkan ilmu hakikat melalui Nabi Khidhir, yang demikian itu adalah hakikat pelaksanaan tawasul secara ruhaniyah dari seorang murid kepada guru mursyidnya, supaya sampainya harapan kepada Allah Ta‘ala melalui guru mursyid (Nabi Khidhir As), sebab yang dinamakan ilmu Laduni itu adalah ilmu yang didatangkan dari Allah Ta‘ala bukan dari makhluk-Nya, maka fungsi guru adalah bagaimana seorang murid dapat menemukan sumber Ilmu Laduni tersebut yang ada dalam hatinya sendiri. Jalannya, yaitu dengan melaksanakan mujahadah yang dijalankan bersama.

5) Bahwa sesungguhnya, seperti juga ilmu Nabi Musa, ilmu Nabi Khidhir adalah hanya sebagian kecil daripada ilmu Allah Ta‘ala yang maha luas, air yang ada di paruh burung itu ibarat ilmu yang telah dikuasai seluruh makhluk di alam ini sedangkan air di seluruh samudera adalah ibarat ilmu Allah dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala hakikat perkara.
 

6) Fungsi Nabi Khidhir adalah sebagai guru pembimbing (guru mursyid) supaya seorang murid (Nabi Musa As) mendapatkan Ilmu Laduni yang diharapkan dari Tuhannya. Yang demikian itu, betapapun Ilmu Laduni adalah ilmu yang didatangkan dari Allah Ta‘ala langsung di dalam hati seorang hamba, tapi cara mendapatkannya haruslah melalui sebab bimbingan manusia, bahkan dari sebab diwarisi guru mursyidnya. Konkritnya, sumber Ilmu Laduni yang diharapkan dapat terbuka di dalam hati seorang salik tersebut, haruslah dibuka berkat rahasia-rahasia (siir) hati seorang hamba yang hubungannya dengan pusat sumber ilmu itu telah terlebih dahulu terbuka. Maksudnya, hati manusia tidak mungkin mendapatkan futuh (terbukanya pintu hati untuk menerima Ilmu Laduni serta rahasia ma‘rifatullah) kecuali melalui futuh guru mursyidnya.

Allah Ta‘ala mengisyaratkan yang demikian dengan firman-Nya : "Dan katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong." (Q.S. Al-Isra‘/80), juga firman-Nya : "Dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam hamba-hamba-Mu yang shaleh." (Q.S. An-Naml/19) juga firman-Nya : "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi di ridhai-Nya, maka masuklah di dalam hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam syurga-Ku." (Q.S. Al-Fajr/27-30).

Sekarang kita mengikuti ayat-ayat tersebut di atas (Al-Kahfi ayat 60 s/d ayat 82) secara tafsiriyah : "Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun, maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu, maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini" Muridnya menjawab : "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syetan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali." Musa berkata : "Itulah (tempat) yang buah ibadah dan tawasul kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak semula. (Q.S. 18/60-64).

Allah mengabarkan kepada Nabi Musa As, perihal orang Alim ini, Nabi Khidhir As, tapi tidak menunjukkan dengan jelas dimana tempat tinggalnya berada, yang demikian itu supaya Nabi Musa As mampu mencarinya sendiri. Seperti itu pula yang dialami para Ulama‘ terdahulu dalam menuntut ilmu kepada gurunya. Sebagai seorang murid mereka harus siap menghadapi segala konsekwensi yang ditimbulkan akibat usahanya dalam rangka mencari ilmu dari gurunya. Mereka melaksanakan perjalanan jauh mendatangi tempat gurunya dengan berjalan kaki. Hal itu kemudian mampu membentuk kesiapan mental ruhani yang dapat mempermudah menyerap ilmu dari guru-gurunya. Ini adalah ujian pertama yang harus dijalani, Nabi Musa As kemudian menjawab tantangan itu dan berkata: "Aku tidak akan berhenti mencarinya sampai batas pertemuan dua lautan atau bila perlu akan aku habiskan waktu dan usiaku hingga aku dapat menemuinya."

Ini adalah kesanggupan yang sangat luar biasa dari seorang Nabi Bani Isra‘il yang utama itu, Beliau meninggalkan dunia ramai dan umatnya, siap melaksanakan pengembaraan dan menjalani penderitaan yang bagaimanapun beratnya. Yang demikian itu mengandung pelajaran : Bahwa dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan, meski hanya untuk mencari suatu penyelesaian dari satu permasalahan saja, seseorang harus rela melakukan perjalanan dari arah barat ke arah timur umpamanya, yang demikian itu adalah hal wajar.

Firman Allah yang menunjukkan kesanggupan seorang murid yang luar biasa itu dalam rangka mencari guru tersebut adalah : (Laa abrohu sampai. au amdhiya huquban). lafad. “laa abrohu”, artinya tidak berhenti-henti mengikuti jarak tempat atau dimensi ruang. adapun lafad “au amdhiya huquban” artinya tidak berhenti-henti mengikuti dimensi zaman. Jadi, arti pernyataan Nabi Musa As itu adalah sebagai berikut : "Meskipun bumi sudah terlewati tapi belum juga dia menemukan orang yang dicari itu, maka umurnya yang akan dihabiskan di dalam perjalanan itu, itu mengandung suatu pelajaran bahwa untuk mendapatkan Ilmu Laduni orang harus mempunyai kemauan yang sangat keras, seakan-akan bila perlu seluruh kesempatan dan seluruh umurnya dipertaruhkan untuk itu.


Selanjutnya masih bersambung ke PERJALANAN TAHAP PERTAMA MENUJU ALLAH (Bagian 2), Insya Allah...

Posting Komentar untuk "PERJALANAN TAHAP PERTAMA MENUJU ALLAH (Bagian 1)"