Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

PERJALANAN TAHAP PERTAMA MENUJU ALLAH (Bagian 2)

PERJALANAN TAHAP PERTAMA MENUJU ALLAH (Bagian 2)

Allah berfirman : ِ" هَجْوَعَ الْبَحْسَيْي Majma'al Bahroini", (pertemuan antara dua lautan), kalau buah ibadah dan tawassul perjalanan yang dilaksanakan itu perjalanan darat di alam lahir, maka pertemuan antara dua lautan itu barangkali adalah pertemuan antara laut Paris dan laut Roma, namun jika yang di maksud perjalanan itu adalah pengembaraan ruhaniyah seorang hamba kepada Tuhannya, maka pertemuan dua lautan itu adalah batas antara lautan alam akal dan lautan alam hati atau ruhaniyah atau batas antara rasio dan rasa atau
batas pertemuan antara ilmu syari‘at dan ilmu hakikat.


Di dalam batas pertemuan dua alam itulah potensi interaksi ruhaniyah antara dua alam dapat terkondisi dan rahasia-rahasia Ilmu Laduni mulai dapat di cermati, karena di situlah tempat pertemuan antara dua sosok tersebut, sosok Musa dan Khidhir sebagai sosok karakter bukan sebagai sosok personal.

Karakter-karakter itu harus mampu menjadi karakter dirinya terlebih dahulu, dengan dasar karakter Musa (ilmu syari‘at yang kuat), seorang salik harus menempuh perjalanan ruhaniyah dengan Thariqat yang di jalani, sampai menemukan titik kulminasi antara dua karakter tersebut, menuju karakter Khidhir (ilmu hakikat) yang luasnya bagai samudera yang tidak bertepi adalah perjalanan dan pengembaraan ruhaniyah yang harus di jalani seorang salik, menempuh segala rintangan dan tantangan, menyelesaikan segala tahapan pencapaian.

Dari pengalaman perjalanan spiritual tersebut, dengan izin Allah Ta‘ala seorang salik mampu menemukan rahasia sumber Ilmu Laduni, oleh karena itu, seorang salik di tuntut tidak harus pandai membaca kitab kuning saja, tapi lebih dari itu, setelah dia menguasai kitab-kitab kuning tersebut yang di pejalari di Pondok pesantren dengan baik, para santri itu harus menempuh suatu
perjalanan ibadah dengan terbimbing, mereka harus menjalankan thariqat mengikuti guru mursyid yang suci lahir batin lagi mulia.

Menyelesaikan tahapantahapan pencapaian dengan bimbingan gurunya, baik secara lahir (jasmaniyah) maupun batin (ruhaniyah).
Mengamalkan ilmu syari‘at yang sudah di miliki untuk membentuk karakternya menjadi karakter Khidhir. Karakter seorang hamba yang mampu berma‘rifat kepada Tuhannya. Kalau tidak demikian, maka ilmu membaca kitab kuning tersebut, boleh jadi tidak dapat
membuahkan kemanfaatan yang berarti. Bahkan karena sudah bertahun-tahun hidup dalam gemblengan alam pondok pesantren yang khusus, setelah kembali kepada masyarakat umum yang alamnya berbeda, yang bisa diperbuat para alumnus santri itu terkadang hanya ketidak mengertian.

Mengamalkan ilmu kepada masyarakat umum ternyata jauh lebih sulit daripada mencarinya, bahkan seringkali mereka akhirnya terjebak dengan salah buah ibadah dan tawassul paham, orang lain yang latar belakang kehidupannya berbeda harus sama dengan dirinya, kalau tidak, berarti orang tersebut di anggap salah, akibatnya, ilmu-ilmu yang disampaikan kepada masyarakat kurang mendapatkan penerimaan yang baik, ilmu itu hanya membuahkan kebingungan yang berkepanjangan bagi masyarakatnya, demikianlah yang terjadi dalam fenomena, sehingga kebanyakan alumni pondok pesantren tersebut di lingkungan masyarakat yang heterogen, kadang-kadang kurang mendapatkan tempat yang terhormat di hati masyarakatnya.

Bukannya mereka gagal mendapatkan ilmu saat digembleng di pondok pesantren, tapi penerapan ilmu yang sudah di miliki kepada masyarakat umum dan awam adalah membutuhkan perangkat ilmu lagi, untuk itulah Ilmu Laduni di butuhkan, karena dengan rahasia ilmu laduni yang sudah dimiliki, seorang hamba akan mendapatkan transfer ilmu pengetahuan yang aktual dan aplikatif secara berkesinambungan sesuai yang dibutuhkan umat saat itu, dengan demikian, para Kyai muda itu akhirnya dapat diterima masyarakatnya dengan penerimaan yang baik.

Bukannya ilmu membaca kitab kuning itu tidak berguna bila diterapkan kepada masyarakat umum, akan tetapi kualitas cara menyampaikannya harus lebih ditingkatkan. Manakala isi kitab kuning itu dapat disampaikan dengan cara yang arif dan penuh rahmatan lil alamin‖, maka bagaikan mata air yang tidak berhenti memancarkan air, seorang santri akhirnya menjadi Ulama‘ yang disegani di tengah masyarakatnya. Karena kitab-kitab kuning itu hasil jerih payah Ulama salaf yang mulia adalah bagaikan gudang perbendaharaan ilmu yang tidak mungkin dapat habis untuk selama-lamanya. Apabila ilmu kitab kuning itu dipadukan dengan penguasaan rahasia Ilmu Laduni dalam hatinya, maka hasil karya yang utama itu akan menjadi relefan sepanjang zaman. Namun sebaliknya, apabila penguasaan karakter Khidhir tanpa didasari penguasaan karakter Musa dengan kuat, maka manusia cenderung berbuat semaunya sendiri karena telah merasa benar sendiri. Mereka menjadi semberono dan cenderung meninggalkan syari‘at. Seperti, sering kali timbulnya pernyataan di masyarakat, kalau shalat itu untuk dzikir (ingat) kepada Allah, seperti firman-Nya : "Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku." (Q.S. Thaha/140), maka, menurut mereka, kalau sudah dapat ingat kepada Allah, mengapa harus melaksanakan shalat lagi..?, yang demikian itu karena penguasaan ilmu hakikat tanpa dilandasi penguasaan ilmu syari‘at yang kuat.

Memang benar, tanpa mampu meninggal buah ibadah dan tawassulkan syari‘at, orang tidak mungkin dapat merasakan manisnya hakekat, karena syari‘at itu ibarat kulit dan hakekat itu adalah isinya. Seperti contoh makan durian misalnya, orang yang mau makan buah durian bukannya harus meninggalkan buah durian, tapi melepaskan tangannya dari kulit durian untuk mengambil buahnya. Jadi, untuk merasakan hakikat shalat itu tidak dengan meninggalkan shalat, tetapi melepaskan kulitnya shalat supaya orang dapat menikmati isinya shalat.

Apabila amal ibadah yang dilakukan salik tersebut tanpa mendapatkan bimbingan seorang guru mursyid yang ahlinya, maka bisa-bisa mereka malah mengaku sebagai guru mursyid padahal tidak pernah berguru kepada seorang guru mursyid secara lahir dan langsung. Katanya mereka berguru dari hasil mimpi-mimpi, yang tentunya kebenarannya kurang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah. Akibatnya, keberadaan mereka dimana-mana selalu membuat fitnah di tengah masyarakatnya, karena statemen (pernyataan) yang disampaikan selalu membingungkan orang lain. Selanjutnya, sebagaimana yang marak sekarang, aliran sesat berkembang dimana-mana. Kalau yang demikian itu dampaknya tidak segera diantisipasi dengan cermat, maka penyakit tersebut akan cepat menyebar di tengah-tengah masyarakat yang akhirnya dapat merusak aqidah masyarakat yang kurang kuat.

Sebagai umat Muhammad Saw, pelaksanaan shalat, baik yang wajib maupun yang sunnah adalah tanda-tanda dan ukuran yang mutlak, apakah pola pikir dan jalan hidup seseorang itu benar atau tidak, bahkan orang dinilai sebagai orang Islam atau orang Kafir hanya dilihat dari melaksanakan shalat atau tidaknya, meskipun seseorang telah mendapatkan kelebihan-kelebihan seperti karomah para waliyullah umpamanya, kalau dia meninggalkan shalat dengan sengaja berarti orang tersebut telah tersesat jalannya.

Orang itu telah terjebak tipu daya syetan yang terkutuk dan kelebihan-kelebihan itu hanyalah istidraj belaka. Sebab, seluruh para Nabi dan para Rasul serta para Waliyullah melaksanakan shalat, bahkan Rasulullah Muhammad Saw sebagai panutan umat manusia sepanjang zaman, beliau melaksanakan shalat berjama‘ah lima waktu bersama para sahabatnya yang mulia.

Ilmu Laduni itu tidak selalu identik dengan kelebihan-kelebihan (karomah), tapi dengan apa yang sudah didapatkan, baik ilmiyah, amaliyah maupun karomah, dengan itu bagaimana seorang hamba dapat mengenal (ma‘rifat) kepada Tuhannya, oleh karena itu, pelaksanaan thariqat yang benar adalah buah ibadah dan tawassul kebutuhan yang mutlak adanya, supaya seorang salik mampu mendapatkan Ilmu Laduni yang diharapkan.

Posting Komentar untuk "PERJALANAN TAHAP PERTAMA MENUJU ALLAH (Bagian 2)"