Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

TAFSIR ISTI'ADZAH

Tafsir Isti’adzah

Sebelum membaca Al-Qur’an, kita di perintahkan membaca isti’adzah, yaitu ucapan : "A’uudzu billaahi minasy syaithaanir rajiim, artinya : "Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman : “Apabila kamu membaca Al-Qur'an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syetan yang terkutuk.” (Q.S. An-Nahl : 98).
Maksudnya apabila kamu hendak membaca Al-Qur’an, hal ini seperti pada ayat “Idzaa qumtum ilash shalaah…dan seterusnya. (Q.S. Al-Maa’idah : 6), maksudnya apabila kamu hendak mendirikan shalat.

Adapun dalil dalam hadits yang menunjukkan demikian salah satunya adalah hadits yang di riwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah Saw apabila bangun malam, memulai shalatnya dan bertakbir, lalu mengucapkan : “Maha Suci Engkau ya Allah dan dengan memuji-Mu. Maha Suci nama-Mu, Maha Tinggi keagungan-Mu dan tidak ada Tuhan yang berhak di sembah kecuali Engkau.” Selanjutnya Beliau mengucapkan, “Laailaahaillallah.” Sebanyak tiga kali. Lalu mengucapkan : “Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari syetan yang terkutuk dari cekiknya, kesombongan dan sya'irnya.” (Di riwayatkan pula oleh pemilik Kitab Sunan yang empat, At-Tirmidzi berkata, “Ia merupakan hadits paling masyhur dalam bab ini dan ini adalah ber-isti’adzah.”

Al-Hamz dalam hadits tersebut adalah mautah, yakni cekiknya, nafkh adalah kesombongannya, sedangkan nafts adalah sya'irnya, jumhur ulama berpendapat, bahwa isti’adzah hukumnya sunat dan tidak wajib.

Ar-Raaziy menukilkan dari ‘Athaa’ bin Abi Rabaah, bahwa isti’adzah wajib di baca dalam shalat dan di luar shalat setiap hendak membaca Al-Qur’an. Ar-Raaziy berhujjah untuk ‘Atha’ dengan zhahir ayat, “Fasta’idz,” di mana ia merupakan perintah yang zhahirnya adalah wajib dan lagi karena Nabi Saw selalu merutinkannya, ia juga dapat menolak kejahatan syetan, sedangkan suatu kewajiban jika tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu yang menyempurnakan itu menjadi wajib.

Di samping itu, membaca isti’adzah itu lebih hati-hati, ucapan, “A’uudzu billaahi minasy syaithaanir rajiim,” di anggap cukup dalam beristi’adzah.

Di antara rahasia isti’adzah adalah membersihkan mulut yang sebelumnya di penuhi laghw (ucapan sia-sia) dan rafts (ucapan kotor), membuat mulut menjadi baik untuk membaca firman Allah.

Isti’adzah juga merupakan permintaan pertolongan kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala, mengakui kekuasaan-Nya dan menyadari keadaan dirinya yang lemah untuk melawan musuh yang nyata yaitu syetan, di mana untuk menghadapinya hanya dengan pertolongan Allah Subhaanahu wa Ta'aala saja.

Makna “A’udzu billahi minasy syaithaanir rajiim” adalah aku berlindung kepada Allah dari syetan yang terkutuk agar dia (syetan) tidak membahayakanku baik pada agamaku, duniaku atau menghalangiku dari mengerjakan perkara yang di perintahkan kepadaku, demikian pula agar dia tidak mendorongku untuk mengerjakan perkara yang di larang.
Syetan dalam bahasa Arab berasal dari kata “syathana” yang artinya jauh, sehingga syetan itu artinya jauh dengan tabiatnya dari tabiat wajar manusia dan jauh dengan kefasikannya dari setiap kebaikan.
Ada pula yang berpendapat, bahwa ia berasal dari kata syaatha (terbakar), karena ia di cipta dari api, ada yang berpendapat, bahwa keduanya benar, namun pendapat pertama lebih shahih. Sibawaih berkata, “Orang-orang Arab mengatakan, “Tasyaithana fulaan” apabila orang tersebut melakukan perbuatan syetan.

Kalau syetan berasal dari kata syaatha, tentu mereka mengatakan
“Tasyayyatha.” Dengan demikian setan menurut pendapat yang shahih berasal dari kata syathana yang berarti jauh, oleh karena itulah, mereka menyebut setiap yang durhaka dari kalangan jin, manusia maupun hewan dengan sebutan “syetan.”

Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman : “Dan demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi itu musuh, yaitu syetan-syetan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Q.S. Al-An’aam : 112).

Adapun hewan bisa di sebut syetan adalah seperti pada sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Akan memutuskan shalat, yaitu wanita, keledai dan anjing hitam.” Maka Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah. Mengapa anjing hitam tidak (anjing) merah atau kuning?” Beliau menjawab, “Anjing hitam adalah syetan.” (H.R. Imam Muslim).

Adapun “Rajiim” artinya marjuum, yaitu yang di rajam dan di usir dari kebaikan, keadaannya yang di rajam adalah seperti di terangkan dalam surat Ash-Shaaffaat ayat 8, yaitu : “Syetan-syetan itu tidak dapat mendengarkan (pembicaraan) para malaikat dan mereka di lempari dari segala penjuru.”

Ada pula yang berpendapat, bahwa rajim artinya raajim (yang melempar), karena ia melemparkan was-was dan tipuan kepada manusia, namun pendapat pertama lebih masyhur dan lebih shahih, jadi intinya adalah sangat lebih baik ber-isti’adzah daripada meninggalkannya, itu yang lebih utama dalam beribadah kepada Allah.

Posting Komentar untuk "TAFSIR ISTI'ADZAH"