Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

BIARKAN PINTU TETAP PADA TEMPATNYA

Seperti telah kita ketahui, setiap bangunan yang di dirikan selalu memiliki pintu, tak peduli apakah itu sebuah masjid, madrasah, balai desa, rumah mewah, gedung parlemen, gedung olah raga, kapal udara, kapal laut atau gubuk sekali pun, semua memiliki pintu dan pintu berfungsi sebagai media keluar atau masuknya segala sesuatu dari dan ke dalam bangunan tersebut.

Dengan adanya pintu, maka yang di luar dapat masuk dan yang di dalam dapat keluar dari bangunan tersebut, Al-Qur’anul Karim membimbing kita untuk memiliki adab yang terpuji dengan memasuki rumah melalui sesuatu yang telah di tetapkan sebagai jalannya, hal ini sebagaimana yang di sebutkan Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 189 : “Dan masuklah kerumah-rumah itu dari pintunya dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu sekalian beruntung.” (Q.S. Al-Baqarah : 189).

Ketika kita memasuki sebuah rumah, maka kita harus melalui pintu, dalam hal ini pintu merupakan media yang menjadikan kita dapat memasuki sebuah ruang atau bangunan, sementara itu, meski kita memasuki ruang/bangunan pintu sebagai media kita masuk tetap berada pada tempatnya, ia tidak bergeser ke mana pun, tetap pada posisinya semula.

Konsep yang di illustrasikan melalui pemahaman pintu akan tetap pada tempatnya adalah konsep tentang RABITHAH, Rabithah adalah perantaraan saja, ia tak lebih hanya sebagai media yang menghantarkan kita pada tujuan yang hendak di capai, semisal tangga yang di gunakan, ia hanya berfungsi sebagai media yang mengantarkan kita ke atas, sementara ia sendiri tetap pada posisinya semula.

Dalam amaliah ibadah ini juga kita jumpai, misalnya ketika kita shalat, maka secara syari'at kita harus menghadap kiblat (ka'bah yang berada di tengah-tengah Masjidil Haram di Makkah), di sini ka'bah tak lebih dari sekedar simbol yang menjadi media kita dalam menyerahkan diri kita pada-Nya, yang di baca tak hanya merupakan rukun qauliyah shalat, yang di lakukan anggota tubuh hanya merupakan rukun fi'liyah shalat.

Dalam pandangan lahiriah apa yang kita kerjakan tak lebih dari gerakan dan ucapan semata yang berbatas pada ruang dan waktu, sementara dalam pandangan batiniah, prosesi shalat adalah momen untuk menghantarkan hati kita kepada Allah, Nabi Muhammad Saw di lahirkan ke bumi ini tidak lain adalah untuk menjadi pintu untuk semua umatnya dalam menggapai hadirat Allah, beliau merupakan suri tauladan bagi segenap insan yang beriman, akhlaknya yang mulia menjadikannya terjaga dari segenap khilaf dan alfa.

Salah satu hal yang senantiasa Rasulullah Saw lakukan adalah dengan mengoptimalkan amaliah ibadah meskipun dirinya merupakan pribadi yang di sucikan Allah dengan sifat ma'sumnya, dalam sebuah riwayat di jelaskan, bahwa ibadah Rasulullah Saw beribadah tak hanya karena merupakan kewajibannya, tetapi juga sebagai rasa syukur kepada Allah.

Hal lain yang juga merupakan manifestasi syukur kita pada-Nya adalah dengan berlaku baik kepada kedua orang tua (Birrul walidain), seperti yang juga telah di ajarkan Rasulullah Saw, sebagai manusia biasa yang dalam setiap hembusan nafas tak luput dari peluang salah dan dosa maka sudah semestinya senantiasa mencontoh apa yang di laksanakan Rasululllah Saw, dalam kaitannya dengan bersyukur, Allah berfirman : ”Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.” (Q.S. Lukman : 14).

Hal yang di tekankan dalam ayat ini adalah mengenai kewajiban bersyukur kepada Allah sekaligus juga bersyukur kepada orang tua, itulah sebabnya kemudian ketika kita ingin menggapai ridha Allah maka hendaknya kita juga memiliki ridha dari orang tua. Sebaliknya, jika kita tidak diridhoi orang tua maka bagaimana mungkin kita bisa menggapai ridho Allah.

Hal yang serupa juga terjadi pada makna dua kalimat syahadat, kalimat syahadat di maknai sebagai wujud pengakuan kita bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, keyakinan akan tuhan ini juga harus di barengi dengan keyakinan kita kepada kerasulan Nabi Muhammad Saw, artinya jika kita mengaku muslim maka keyakinan kita terhadap Allah sebagai Tuhan semesta alam harus di sertai dengan keyakinan yang kuat, bahwa Nabi Muhammad Saw adalah utusan-Nya.

Pentingnya meyakini Nabi Muhammad Saw sebagai utusan Allah juga nampak dari aturan yang menyatakan bahwa tidak sah shalat seseorang jika tidak bershalawat kepadanya, setara dengan itu, Allah juga memuliakan Nabiyullah Ibrahim As sebagai hamba Allah yang shaleh yang namanya wajib di sebutkan dalam shalat, keluarga Nabi Muhammad Saw, keluarga Nabi Ibrahim As dan para
shalihin semuanya.

Shalat merupakan manifestasi dari rasa syukur kita kepada Allah serta kekhidmatan kita kepada para ambiya dan kaum shalihin, Allah menghendaki kita untuk shalat dengan sepenuh hati dan bersungguh-sungguh. Berkenaan dengan ini Allah berfirman dalam Surat Al-Hijr ayat 65 : “Daan janganlah seorang pun di antara kamu menoleh ke belakang atau ka kanan dan ke kiri dan teruskanlah perjalanan ke tempat yang di perintahkan kepadamu." (Q.S. Al-Hijr : 65).

Kala kita lapar dan dahaga, maka secara naluriah kita akan berusaha untuk mendapatkan makanan dan minuman, itu sudah menjadi ketetapan Allah, kita akan memenuhi keperluan kita dengan perantara yang telah Allah sediakan, begitu pula halnya dalam hal ubudiyah, salah satunya adalah dzikir yang juga memerlukan bimbingan dan arahan agar sesuai dengan yang telah di contohkan oleh Nabi Muhammad Saw.

Salah satu upaya kita dalam berdzikir kepada Allah dengan apa yang telah di contohkan Nabi Saw adalah dengan mengikuti ajaran para penerusnya yakni para ulama, sekali lagi, perlu di perhatikan bahwa dalam banyak hal Allah selalu menggunakan perantara dalam menyampaikan wahyu-Nya, contohnya adalah dalam hal penyampaian wahyu Allah kepada Nabi Muhammad Saw yang di lakukan melalui Malaikat Jibril As, ini bukan karena Allah tidak mampu melakukannya sendiri, melainkan untuk memberi gambaran bahwa segala sesuatu itu ada media perantaranya.

Kembali pada perantara yang dalam hal ini di gambarkan sebagai pintu-pintu yang akan menghantarkan kita kepada tujuan tertentu, maka sejenak mari kita cermat sabda Nabi Saw berikut ini : ”Semua pintu di tutup kecuali pintu Abu Bakar As-Shiddiq Ra.” (H.R. Imam Bukhari).

Apa yang di maksud dengan pintu-pintu tersebut? Semua pintu kita menuju Allah memiliki keterbatasan dan ada akhirnya, seperti shalat yang di awali dengan takbiratul ikhram dan di akhiri dengan salam, seperti halnya zakat, shaum dan haji, semuanya memiliki ketentuan terkait dengan masalah waktu dan urutan.

Fenomena ini mengajarkan kepada kita sebuah hikmah yakni bahwa umumnya manusia juga memiliki keterbatasan ihwal kemampuannya terhadap waktu, manusia tidak dapat terus menerus beribadah karena selain ia makhluk yang lemah ia juga memiliki celah untuk berbuat salah, kembali kepada masalah pintu-pintu yang di utarakan dalam hadits Nabi Saw di atas, maka yang di maksud pintu di sini adalah pintu menuju ma'rifatullah.

Hal yang mendasari argumen ini dapat kita temui dalam Kitab Miftahus Shudur Juz awal 15 sebagai berikut, ”Tidak ada sesuatu yang Allah curahkan ke dalam dadaku kecuali aku curahkan pula ka dalam dada Ahu Bakar.” Sesuatu itu adalah dzikir dalam hati, memang itulah sebenarnya yang di sebut dzikir, jika tanpa penghayatan dalam hati, maka dzikir yang di lakukan hanya sebatas dzikir lisan semata.

Dzikir yang senantiasa di lakukan bukanlah suatu penghambat dalam beraktivitas bagi seseorang yang beriman, malah justru sebaliknya dzikir inilah yang rnenjadi penyeimbang kesehatan mental, seorang yang beriman niscaya dirinya akan senantiasa ingat kepada Allah dan mengingat Allah setiap saat, di antara wujud nyata mengingat Allah adalah dengan selalu memurnikan iman dengan menghapus benih-benih kemusyrikan dengan memaknai kalimat Laa Ilaaha Illallaah dan menjadikannya sebagai qaul tszabit atau ucapan yang tetap sebagaimana yang tercantum dalam Surat Ibrahim ayat 27 : "Allah selalu menetapkan iman orang-orang yang beriman dengan ucapan yang tetap dalam kehidupan dunia dan akhirat.” (Q.S. Ibrahim : 27).

Posting Komentar untuk "BIARKAN PINTU TETAP PADA TEMPATNYA"