Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

PANDANGAN TASAWUF TERHADAP IBADAH DAN AGAMA

Orang-orang tasawuf, khususnya generasi terakhir memiliki tata cara ibadah yang berbeda dari pedoman para salaf (ulama terdahulu) dan jauh meninggalkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, mereka membangun agama dan ibadah mereka berdasarkan syi'ar dan istilah yang mereka buat-buat yang tersimpul dalam keterangan sebagai berikut :


1. Mereka hanya mernbatasi pelaksanaan ibadah berdasarkan rasa cinta clan rnengabaikan sisi-sisi yang lain seperti rasa takut dan harap, sebagaimana yang di ucapkan oleh sebagian mereka,“Saya tidak beribadah kepada Allah karena mengharap syurga, bukan juga karena takut neraka”. Memang benar bahwa cinta merupakan hal yang sangat azasi untuk beribadah, akan tetapi ibadah tidak semata-mata berlandaskan cinta sebagaimana yang mereka sangka, cinta hanya merupakan satu sisi dari sekian banyak sisi, seperti rasa takut (khauf), harap (raja), menghinakan diri (Dzul), tunduk (Khudhu), do'a dan lain-lain. Ibadah adalah sebagaimana yang di ungkapkan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu : “Ungkapan yang meliputi setiap apa yang Allah cintai dan ridhai baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang zhahir (tampak) maupun yang bathin (tidak tampak)”.

Al-Allamah Ibnul Qayyim berkata : "Menyembah Allah merupakan puncak kecintaannya bersama kerendahan hamba, keduanya merupakan dua kutub dan di atas keduanya cakrawala ibadah berputar Dia tidak berputar sebelum keduanya tegak," Karena itu sebagian salaf berkata : “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan cinta semata, maka dia adalah zindiq dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan raja’ (harapan) semata, maka dia adalah murjiah dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan takut semata, maka dia adalah haruri dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan cinta, harap dan takut, maka dia adalah mu’min sejati.”

Dan Allah telah menerangkan bahwa para Nabi dan Rasul-Nya berdo'a kepada rabb mereka dengan rasa takut dan harap dan bahwa mereka mengharap rahmat-Nya dan takut terhadap azab-Nya dan bahwa mereka berdo'a kepada-Nya dengan harap dan cemas. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata : “Karena itu terdapat dalam kalangan (sufi) muta’akhirin yang berlebih-lebihan dalam masalah cinta hingga bagai orang yang kemasukan syetan serta pengakuan-pengakuan yang menafikan ibadah.”

Beliau juga berkata, “Banyak orang-orang yang beribadah dengan pengakuan kecintaannya kepada Allah menempuh jalan yang bermacam-macam karena kebodohan mereka terhadap agama, baik
dalam bentuk melampaui batasan-batasan Allah atau mengabaikan hak-hak Allah atau dengan pengakuan-pengakuan bathil yang tidak ada hakikatnya.”

Dia juga berkata, “Dan di antara mereka ada yang berlebih-lebihan dalam mendengarkan syair-syair cinta dan kerinduan, memang sesungguhnya itulah tujuan mereka, oleh karena itu Allah menurunkan ayat tentang cinta untuk menguji kadar kecintaan mereka, sebagaimana firmannya : “Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu.” (Q.S. Ali-Imran : 31).

Seseorang tidak di katakan mencintai Allah kecuali bila dia mengikuti dan ta’at kepada Rasul-Nya, hal tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan merealisasikan ibadah, masalahnya banyak di antara mereka yang mengaku cinta akan tetapi keluar dari syari'at dan sunnah Nabi Muhammad Saw, kemudian setelah itu berhujjah dengan khayalan-khayalan yang tidak cukup dalam pembahasan ini untuk menyebutkannya, hingga salah seorang di antara mereka menganggap gugurnya perintah atau menghalalkan sesuatu yang haram terhadap dirinya.”

Syaikhul Islam juga berkata, “Banyak di antara mereka yang sesat karena mengikuti perkara-perkara bid’ah seperti sikap zuhud, atau beribadah yang tidak berdasarkan ilmu dan cahaya dari A1-Qur'an dan As-Sunnah, sehingga mereka terjerumus sebagaimana terjerumusnya orang-orang Nasrani yang mengaku cinta kepada Allah tapi menyalahi syari'at-Nya dan meninggalkan mujahadah (bersungguh-sungguh) di jalan-Nya.”

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa hanya mengandalkan sisi cinta, sesuatu tidak dapat di namakan sebagai ibadah, bahkan bisa jadi, justru akan menggiring pelakunya kepada kesesatan dan keluar dari agama.

2. Kalangan sufi yang tidak memperhatikan syari'at pada umumnya tidak menempuh cara beragama yang benar, di mana mereka beribadah tidak merujuk kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah serta tidak meneladani Rasulullah Saw. Mereka justru merujuk kepada Zauq (perasaan) atau apa yang di ajarkan guru-guru mereka lewat thariqat-thariqat atau dzikir dan wirid-wirid yang penuh bid’ah, terkadang mereka berdalil dengan hikayat, mimpi atau hadits-hadits maudhu' untuk mendukung pendapat mereka, daripada berdalil dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Itulah landasan yang di bangun di atasnya “agama” sufi, sebagaimana di ketahui, bahwa sebuah ibadah tidak di katakan ibadah yang shahih (benar) kecuali jika dia di bangun di atas landasan A-lQur'an dan As-Sunnah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Mereka orang-orang sufi berpegang teguh dalam agama untuk bertaqarrub kepada Allah sebagaimana berpegang teguhnya orang-orang nasrani terhadap teks-teks yang mutasyabih (samar) atau hikayat yang tidak di ketahui kejujuran orang yang meriwayatkannya, seandainyapun benar, namun para (syaikh) bukanlah orang yang ma’shum, maka jadilah mereka pengekor dan guru-guru mereka sebagai peletak syari'at bagi agama mereka sebagaimana orang-orang Nasrani menjadikan pendeta-pendeta mereka sebagai peletak syari'at bagi agama mereka...” Karena sumber tempat mereka merujuk dalam agama dan ibadah, bukan kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka akibatnya mereka terpecah belah berkelompok-kelompok, firman Allah ta’ala : “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya...”. (Q.S. Al-An’am : 153).

Jalan Allah hanya satu, tidak terbagi dan tidak terpecah belah, selainnya berarti jalan-jalan yang terpecah belah yang akan mencerai-beraikan orang yang menempuhnya dan menjauhkannya dari jalan yang lurus (sirathal mustaqim), hal ini berlaku bagi kelompok tasawuf, karena setiap firqah (kelompok) memiliki caranya sendiri-sendiri, berbeda dari firqah yang lain, setiap firqah memiliki syaikh (guru) yang mereka namakan syaikh thariqat (guru thariqat) yang menentukan kepada mereka pedoman yang berbeda dari pedoman firqah yang lainnya dan berseberangan dengan shiratalmustaqim (jalan yang lurus).

Dan syaikh ini yang mereka sebut syaikh thariqat memiliki wewenang mutlak untuk menentukan, sedang mereka (murid-muridnya) hanya menjalankan apa yang dia ucapkan tanpa boleh membantah sama sekali, bahkan hingga mereka berkata : “Al-Murid di hadapan syaikhnya bagaikan mayat di hadapan orang yang memandikannya.” Kadang-kadang sebagian syaikh tersebut
mengaku bahwa apa yang di perintahkan kepada murid-murid dan pengikut-pengikutnya dia terima langsung dari Allah.

3. Termasuk ajaran tasawuf adalah berpegang teguh pada dzikir-dzikir atau wirid-wirid yang telah di tetapkan guru-guru mereka, menjadikannya sebagai pegangan dan sarana beribadah dengan membacanya bahkan bisa jadi mereka lebih mengutamakannya daripada membaca Al-Qur'an.

Mereka menamakannya sebagai dzikrulkhassah (dzikir untuk orang-orang khusus), sedangkan dzikir yang terdapat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah mereka namakan dengan dzikirulammah (dzikir untuk orang awam). Bagi mereka adalah dzikirulammah, sedangkan zikir khassah-nya adalah kalimat tunggal, yaitu lafaz : (Allah) dan dzikir khassatulkhassah (yang lebih khusus lagi) adalah : (Huu) "Dia."

Syaikhul Islam lbnu Taimiah berkata : “Siapa yang menyatakan bahwa hal tersebut, yaitu ucapan : Allah sebagai dzikimlammah dan "huu" dzikirulkhassah-nya adalah kata tunggal (Allah) dan dzikir yang lebih khususnya lagi (Huu) yaitu isim dhamir (kata ganti), maka dia sesat dan menyesatkan, jika mereka berdalih dengan firman Allah Ta’ala : ”Katakan : “Allah” (yang menurunkannya), kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al-Qur'an kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dengan kesesatannya.” (Q.S. Al-An’am : 91). Maka hal itu merupakan kekeliruan mereka yang paling nyata, bahkan merupakan upaya mereka yang mengubah-ubah kata dari makna yang sebenarnya, karena kata (Allah) di sebut dalam ayat tersebut sebagai jawaban atas pertanyaan dari ayat sebelumnya, yaitu firman Allah Ta’ala : “Siapakah yang menurunkan kitab Taurat yang di bawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia.” (Q.S. Al-An‘aam : 91). Hingga firman Allah Ta’ala : “Katakanlah : Allah” maksudnya Allah-lah yang menurunkan Al-Qur'an yang di bawa Nabi Musa As. Kata Allah merupakan mubtada’ (yang di terangkan) dan khabar-nya (yang menerangkan) adalah kalimat tanya tersebut.

Sebagai perbandingan misalnya jika anda bertanya : Siapa tetanggamu?, maka dia menjawab Zaid, sedangkan kata tunggal; baik kata ganti ataupun bukan, tidak dapat di katakan kalimat sempurna, bukan juga susunan kalimat yang bermakna (jumlah mufidah). Dengan demikian kata tunggal tersebut, tidak dapat di hukumi sebagai dalil yang menunjukkan keimanan dan kekufuran atau perintah dan larangan, tidak ada seorangpun dari ulama terdahulu yang menyebutkannya, tidak juga di ajarkan oleh Rasulullah Saw, tidak juga memberikan ma’rifah (pemahaman) yang bermanfaat bagi kalbu atau keadaan, jadi jika berdzikir, maka lengkapkanlah dengan ucapan "Laa Ilahaa Illallaah" tanpa ada yang terpotong, itu sesuai Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw atau yang memang di lakukan oleh Nabi Saw.

Posting Komentar untuk "PANDANGAN TASAWUF TERHADAP IBADAH DAN AGAMA"