Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

PILAR-PILAR MUHASABAH

Siapa pun yang mengadakan perjalanan kepada Allah tidak lepas dari empat persinggahan, yaitu Al-Yaqzhah, Al-Bashirah, Al-Fikrah dan Al-Azm, empat persinggahan ini tak ubahnya pilar bagi suatu bangunan, perjalanan tidak akan sampai kepada-Nya kecuali dengan melewati empat persinggahan ini, tak ubahnya perjalanan secara nyata yang harus melewati beberapa etape, orang yang hanya menetap di kampung halamannya, tidak berpikir untuk mengadakan perjalanan kecuali dia sadar dari kelalaiannya untuk mengadakan perjalanan, jika sudah memiliki kesadaran, maka dia harus mengetahui segala urusan tentang perjalanannya, bahaya, manfaat dan kemaslahatannya, kemudian dia berpikir untuk mengadakan persiapan dan mencari bekal, kemudian dia harus memiliki tekad yang bulat, jika tekad dan maksudnya sudah bulat, maka dia mulai beralih ke persinggahan muhasabah atau memilah antara bagiannya dan kewajibannya, dia boleh mengambil apa yang menjadi bagiannya dan harus melaksanakan kewajibannya, sebab dia akan mengadakan perjalanan dan tidak akan kembali lagi.
Dari muhasabah dia beralih ke taubah, sebab jika dia sudah menghisab dirinya, tentu dia akan mengetahui hak yang harus dia penuhi, lalu keluar untuk memberikan hak itu kepada yang berhak menerimanya, inilah hakikat taubat, tapi dengan mendahulukan muhasabah akan menjadi lebih baik, kalaupun mendahulukannya juga tidak apa-apa, karena muhasabah tak bisa di lakukan kecuali setelah ada taubat yang sebenarnya, yang pasti, taubat itu ada di antara dua muhasabah, yaitu muhasabah sebelum taubat yang hukumnya wajib dan muhasabah sesudah taubat yang hukumnya harus tetap di jaga

Taubat akan tetap terjaga jika berada di antara dua muhasabah ini, sebagaimana yang di tunjukkan firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok akhirat." (Q.S. Al-Hasyr : 18). Maksud "Memperhatikan" dalam ayat ini adalah memperhatikan kelengkapan persiapan untuk menyongsong hari akhirat, mendahulukan apa yang bisa menyelamatkannya dari siksa Allah, agar wajahnya menjadi bersih di sisi Allah. Umar bin Al-Khaththab pernah berkata, "Hisablah diri kalian sebelum kalian di hisab, timbanglah diri kalian sebelum kalian di timbang dan berhiaslah kalian untuk menghadapi hari penampakan yang agung."

Ada tiga pilar yang menopang muhasabah, yaitu :
1. Membandingkan antara nikmat Allah dan kejahatanmu Maksudnya, kita harus membandingkan apa yang berasal dari Allah dan apa yang berasal dari diri kita, dengan begitu kita akan mengetahui letak ketimpangannya dan kita juga akan mengetahui bahwa di sana hanya ada ampunan dan rahmat Allah di satu sisi dan di sisi lain adalah kehancuran dan kerusakan, dengan membandingkan seperti ini kita bisa mengetahui bahwa Allah adalah Allah dalam pengertian yang sebenarnya dan hamba adalah hamba dalam pengertian yang sebenarnya, kita juga akan mengetahui hakikat jiwa dan sifat-sifatnya, keagungan Rububiyah Allah, hanya Allahlah yang memiliki kesempurnaan, setiap nikmat berasal dari-Nya sebagai karunia dan siksaan juga berasal dari-Nya yang di timpakan secara adil. Jika kita tidak membuat perbandingan seperti ini, tentu kita tidak akan bisa mengetahui hakikat diri kita sendiri dan Rububiyah Pencipta jiwa kita, jika kita membuat perbandingan seperti ini, maka kita akan tahu, bahwa jiwa adalah sumber segala kejahatan dan kekurangan, sedangkan hukum yang di milikinya adalah kebodohan dan kezhaliman, andaikan tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya yang mensucikan jiwa itu, tentu ia tidak akan menjadi suci sama sekali, kemudian kita juga bisa membandingkan antara kebaikan dan
keburukan, sehingga dengan membandingkan ini kita bisa mengetahui mana yang lebih banyak dan mana yang lebih dominan di antara keduanya, perbandingan yang kedua ini merupakan perbandingan antara perbuatan kita dan apa yang datang dari diri kita secara khusus, seseorang tidak bisa membuat perbandingan ini jika dia tidak memiliki tiga indikator, yaitu :

  1. Cahaya hikmah.
  2. Buruk sangka terhadap diri sendiri.
  3. Membedakan antara nikmat dan ujian.
Cahaya hikmah merupakan cahaya yang di susupkan Allah ke dalam hati orang-orang yang mengikuti para Rasul, dengan kata lain, cahaya hikmah adalah ilmu yang di miliki seseorang sehingga dia bisa membedakan antara yang haq dan batil, petunjuk dan kesesatan, mudharat dan manfaat, yang sempurna dan yang kurang, yang baik dan yang buruk.

Dengan cahaya hikmah ini, seseorang bisa melihat tingkatan-tingkatan amal, mana yang harus di pentingkan dan mana yang tidak di pentingkan, mana yang harus di terima dan mana yang di tolak, jika cahaya ini kuat, maka muhasabah juga akan kuat dan sempurna, buruk sangka terhadap diri sendiri amat di perlukan, sebab baik sangka terhadap diri sendiri akan menghalangi koreksi dan kerancuan, sehingga dia melihat keburukan sebagai kebaikan, aib sebagai kesempumaan.

Membedakan nikmat dari ujian, artinya membedakan nikmat yang di lihatnya sebagai kebaikan dan kasih sayang Allah serta yang bisa membawanya kepada kenikmatan yang abadi dan membedakannya dengan nikmat yang hanya sekedar sebagai tipuan, sebab berapa banyak orang yang tertipu dengan nikmat, sementara dia tidak menyadarinya, tertipu oleh pujian orang-orang bodoh, terpedaya oleh limpahan Allah dan justru kebanyakan manusia termasuk dalam kelompok yang kedua ini.

Tiga indikator ini merupakan tanda kebahagiaan dan keselamatan, jika tiga hal ini di laksanakan secara sempurna, maka seseorang bisa mengetahui nikmat Allah yang sebenarnya, selain itu ada ujian yang berupa nikmat atau cobaan berupa limpahan pemberian, maka hendaklah setiap orang mewaspadai hal ini, sebab dia berada di antara anugerah dan hujjah dan banyak orang yang timpang dalam membedakan dua hal ini.

2. Membedakan antara bagian dan kewajiban
Harus ada pemilahan antara hak-hak yang harus kita penuhi, seperti kewajiban-kewajiban ibadah, ketaatan dan menjauhi kedurhakaan dan hak yang menjadi bagian kita, apa yang menjadi bagian kita adalah mubah menurut ketetapan syari'at dan apa yang menjadi kewajiban kita harus kita penuhi dan kita harus memberikan hak kepada siapa pun yang berhak menerimanya, banyak orang yang mencampur aduk antara kewajiban dan hak-nya, sehingga dia sendiri menjadi kebingungan antara mengerjakan dan meninggalkan, banyak orang yang sebenarnya dia boleh mengerjakan sesuatu, namun dia justru meninggalkannya, seperti orang yang rajin beribadah dengan meninggalkan apa yang sebenarnya boleh dia kerjakan, seperti meninggalkan hal-hal yang mubah, karena dia mengira bahwa hal itu tidak boleh dia kerjakan, begitu pula sebaliknya, orang yang rajin beribadah dengan mengerjakan sesuatu yang sebenarnya harus dia tinggalkan, karena dia mengira hal itu merupakan haknya.

Yang pertama seperti orang yang rajin beribadah dengan tidak mau menikah, tidak mau memakan daging, buah-buah, makanan yang lezat dan pakaian yang bagus, karena kebodohannya dia mengira bahwa semua itu merupakan larangan baginya, sehingga dia harus meninggalkannya, atau dia berpendapat bahwa dengan meninggalkannya akan membuat ibadahnya bertambah afdhal.

Dalam Ash-Shahihain di sebutkan, pengingkaran Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap beberapa sahabat yang tidak mau menikahi wanita, terus-menerus berpuasa dan shalat malam, yang kedua seperti orang yang rajin beribadah, namun bid'ah, dia melihat cara ibadahnya itu benar, karena begitulah yang banyak di lakukan orang.

3. Tidak ridha terhadap ketaatan yang di lakukan
Kita harus tahu, bahwa setiap ketaatan yang kita ridhai, akan menjadi beban dosa bagi kita dan setiap kedurhakaan yang di tuduhkan saudara kepada kita, maka terimalah tuduhan itu dan anggaplah bahwa memang itulah yang benar, sebab keridhaan seorang hamba terhadap ketaatan dirinya merupakan bukti baik sangka terhadap diri sendiri dan kebodohannya terhadap hak-hak ubudiyah serta tidak tahu apa yang di tuntut Allah darinya, lalu akhirnya melahirkan takabur dan ujub, yang dosanya lebih besar dari dosa-dosa besar yang nyata, seperti zina, minum khamr, lari dari medan peperangan dan lain-lainnya, orang-orang yang memiliki bashirah justru lebih meningkatkan istighfar setelah mengerjakan berbagai macam ketaatan, karena mereka menyadari keterbatasannya dalam melaksanakan ketaatan itu dan merasa belum memenuhi hak-hak Allah sesuai dengan keagungan-Nya, Allah juga memerintahkan agar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam senantiasa memohon ampunan dalam setiap kesempatan dan sehabis melaksanakan tugas-tugas risalah atau setelah melaksanakan suatu ibadah. Dalam surat terakhir yang di turunkan, Allah juga tetap memerintahkan beliau untuk memohon ampunan, yaitu : "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat." (Q.S. An-Nashr : 1-3). Maka Umar bin Al-Khaththab dan Ibnu Abbas memahami turunnya surat ini sebagai isyarat telah dekatnya ajal beliau, seakan-akan Allah hendak memberitahukan hal ini kepada beliau, dengan memerintahkan agar beliau memohon ampunan sehabis mengerjakan setiap tugas, dengan kata lain, surat ini semacam pemberitahuan, yaitu : Engkau telah rampung mengerjakan kewajibanmu dan tidak ada lagi kewajiban yang menyisa setelah itu, maka jadikanlah istighfar sebagai kesudahannya.

Posting Komentar untuk "PILAR-PILAR MUHASABAH"