Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

MENANAMKAN SEMANGAT BERJAMA'AH TERHADAP UMAT

Ketika kita berbicara tentang pemberian wala' kepada kaum Muslimin, umat Islam, ada baiknya kita juga melanjutkannya dengan pembicaraan yang berkaitan dengan urusan masyarakat dan umat, pemberian prioritas dalam tangga kemaslahatan dan tuntutannya.

Kalau kita mau memperhatikan, maka sesungguhnya syari'ah Islam ini sama sekali tidak melalaikan urusan masyarakat, dari segi ibadah, muamalah, sopan santun, dan segala hukum yang berkaitan dengannya, semua aturan itu tidak lain adalah untuk menyiapkan setiap individu agar menjadi 'bagian' dalam bangunan masyarakat, atau 'anggota tubuh' dalam struktur badan yang hidup.
 

Penggambaran seorang individu yang menjadi 'bagian' dari bangunan, atau 'anggota tubuh' dalam badan manusia, bukanlah berasal dari pemikiran kita, tapi gambaran yang pernah dikemukakan oleh Nabi Saw dalam sebuah hadits yang shahih, di riwayatkan dari Abu Musa Al-Asy'ari bahwasanya Nabi Saw bersabda : "Orang mukmin dengan mukmin yang lainnya bagaikan satu bangunan yang saling menguatkan antara satu bagian dengan bagian yang lainnya." 

Dari Nu'man bin Basyir, di riwayatkan bahwasanya Nabi Saw bersabda, Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam cinta dan kasih sayang mereka adalah bagaikan sebuah tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuhnya yang mengadu kesakitan, maka anggota tubuh yang lainnya ikut merasakannya, tidak dapat tidur dan merasa demam."  Sesungguhnya Islam, dengan Al-Qur'an dan Sunnah Nabinya, telah menanamkan dalam jiwa kaum Muslimin semangat untuk hidup berjama'ah melalui setiap hukum dan ajarannya.

Dalam shalat, kita di anjurkan shalat berjama'ah, shalat Jum'at, shalat Id, ada adzan dan ada masjid-masjid yang di bangun Rasulullah Saw tidak memberikan keringanan kepada orang buta untuk shalat di rumahnya selama dia masih dapat mendengarkan
panggilan adzan untuk melakukan shalat, beliau bahkan pernah hendak membakar rumah suatu kaum Muslimin, karena mereka meninggalkan shalat berjama'ah.


Di masjid, seorang Muslim tidak boleh shalat sendirian di belakang barisan orang yang sedang shalat berjamaah, karena hal itu menunjukkan bentuk pemisahan diri dan penyimpangan dari jama'ah, walaupun itu hanya bentuk yang tampak saja.
 

Diriwayatkan dari Wabishah bin Mu'abbad bahwasanya Rasulullah Saw melihat seorang lelaki shalat sendiri di belakang barisan orang yang sedang shalat berjamaah, kemudian beliau memerintahkannya untuk mengulangi shalatnya. Di riwayatkan dari Ali bin Syaiban Ra berkata, "Kami keluar sehingga kami berjumpa dengan Nabi Saw kemudian kami menyatakan janji setia kepadanya. Kami shalat di belakangnya, kemudian kami shalat di belakangnya shalat yang lain, kemudian shalat itu selesai, setelah itu beliau melihat seorang lelaki shalat sendirian di belakang barisan. Lalu Nabi Saw berdiri ketika beliau hendak kembali sambil bersabda, "Betulkan shalatmu, karena sesungguhnya tidak ada shalat di belakang barisan."
 

Oleh sebab itu, orang Muslim yang masuk masjid, kemudian dia menemukan ada suatu jamaah yang sedang melakukan shalat, maka
hendaklah dia mencari celah-celah di antara jama'ah itu kemudian dia masuk ke dalamnya. Jika tidak ada, maka hendaklah dia menarik salah seorang di antara mereka untuk shalat di sampingnya. Dia tidak boleh shalat sendirian, dan orang yang ditarik itu hendaklah mengikutinya, karena untuk kasus ini dia akan mendapatkan pahala tersendiri.
 

Sebagian imam mazhab mengambil pengertian lahiriah hadits-hadits tersebut, sehingga mereka menganggap batal orang yang shalat sendirian, sedangkan imam yang lainnya menganggap
bahwa hal itu hukumnya makruh. Arti dari apa yang telah kami sebutkan di atas ialah betapa gigihnya Islam hendak mewujudkan persatuan dan kesatuan, baik dari segi kandungannya maupun bentuknya, dari inti maupun penampakan luarnya.
 

Kalau ada seorang Muslim yang shalat sendirian, tidak sedang berjama'ah, maka dia di anggap mewakili kaum Muslimin dalam memanjatkan do'a kepada Tuhannya. Dia menyebut dirinya dengan
mengatasnamakan jamaah (kesatuan kaum Muslimin) sehingga dia membaca : "Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan. Berilah petunjuk kepada kami untuk meniti jalan yang lurus." (Q.S. Al-Fatihah : 5-6).
 

Dia tidak memohon pertolongan untuk dirinya sendiri bahkan memohon untuk dirinya dan jamaahnya dalam saat yang sama, pada bulan puasa, dia juga tidak berpuasa sendirian, ketika seseorang melihat bulan sabit pada akhir bulan Ramadhan, dia juga tidak berbuka sendiri, yaitu ketika dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bulan sabit yang menunjukkan kedatangan bulan Syawal itu. Dia berpuasa bersama orang-orang Muslim lainnya dan juga berbuka puasa bersama-sama dengan mereka, sebagaimana di riwayatkan dalam sebuah hadits shahih.
 

Begitu pula halnya dengan wukuf di Arafah, dia melakukan wukuf
bersama jamah kaum Muslimin yang sangat banyak, Ibn Taimiyah pernah ditanya oleh penduduk desa yang melihat bulan sabit Dzulhijjah, tetapi penguasa di Madinah tidak melihatnya. Apakah mereka boleh melakukan puasa 9 Dzulhijjah berdasarkan perhitungan orang desa itu, walaupun pada hakikatnya hari itu adalah 10 Dzulhijjah menurut pendapat penguasa mereka. Dia menjawab, "Ya, mereka boleh berpuasa pada 9 Dzulhiljah berdasarkan penglihatan mereka, walaupun menurut penghitungan penguasa hari itu 10 Dzulhijjah, karena ada hadits dari Abu Hurairah Ra yang mengatakan bahwa Nabi Saw bersabda, "Puasa kamu adalah puasa ketika kamu semua berpuasa dan hari raya kamu adalah ketika kamu semua berhari raya dan Id 'Adha-mu adalah ketika kamu semua berhari raya Id 'Adha."
 

Diriwayatkan dari 'Aisyah Ra, ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Hari raya Id Al-Fitri adalah ketika semua orang berhari raya Id Al-Fitri dan hari raya Id Al-Adha adalah ketika semua orang berhari raya Id Al-Adha."
 

Demikianlah amalan menurut pendapat para imam kaum Muslimin, karena sesungguhnya, apabila semua orang tidak tepat tarikh-nya berada di Arafah pada tanggal sepuluh Dzulhijjah, maka semua imam sepakat bahwa mereka akan tetap diberi pahala wuquf di Arafah dan itulah Hari Arafah menurut mereka.

Posting Komentar untuk "MENANAMKAN SEMANGAT BERJAMA'AH TERHADAP UMAT"