Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

ISLAM DAN MOHAMADENISME

Antara Islam dan Mohamadenisme

Batasan Islam sebagai "Agama yang di turunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw" berusaha untuk di manipulasi oleh Orientalis H.A.R. GIBB.13, ini berangkat dari asumsi, bahwa di dalam Islam, Hadits yang merupakan pernyataan (qawl), perbuatan (fi‘l) dan diam yang menunjukkan pengakuan (taqrir) Nabi Saw, merupakan salah satu sumber ajaran Islam yang fundamental, selain Al-Qur’an itu sendiri, karena Hadits merupakan pernyataan, perbuatan dan taqrir Nabi Saw, maka dapat di simpulkan, bahwa Muhammad Saw bukan hanya Nabi yang menyampaikan ajaran, melainkan juga pendiri Islam, dari sinilah kemudian lahir istilah Mohammadenism yang dalam bahasa Arab bisa di terjemahkan dengan Muhammadiyah, yang artinya adalah paham atau ajaran yang di dirikan oleh Muhammad. Mohammadenisme di gunakan karena Muhammadlah pendirinya, klaim yang nisbat-nya di sandarkan kepada Nabi Saw.

Gagasan Mohammadenisme ini sama dengan konsep relativisme mazhab, artinya, jika orang Islam telah mengenal makna Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah, ataupun Zaydiyyah dan Ja’fariyah sebagai mazhab yang sah dan di terima oleh orang Islam dan di akui Islam itu sendiri, paham-paham tersebut di bangun oleh para pendirinya, di mana perbedaan terhadap masing-masing di benarkan, karena merupakan hasil ijtihad masing-masing mujtahidnya, jika demikian, maka Islam yang di konotasikan dengan Mohammadenisme ini adalah sama, artinya, kebenaran Islam masih bisa di perdebatkan, karena kebenaran Islam bersifat relatif, tidak mutlak, karena Islam adalah ajaran yang di dirikan oleh Nabi Muhammad Saw.

Dengan demikian konsep ini berusaha untuk menolak, bahwa Islam adalah murni dari Allah, tanpa intervensi manusia, karena itu, gagasan Mohammadenisme ini mengajukan gagasan ketidakperluan fanatik terhadap ajaran Islam.

Untuk menyanggah pandangan dan manipulasi ini ada dua hal yang dapat di gunakan: Pertama, hakikat Hadits yang menjadi sumber ajaran Islam fundamental; Kedua, kedudukan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, apakah di izinkan untuk melakukan ijtihad? Kedua standar inilah yang menjadi standar untuk menolak pandangan H.A.R. GIBB di atas untuk menghancurkan Islam dengan mengeksploitasi pandangan ulama Islam.

Pertama, mengenai kedudukan Hadits, mengenai kedudukan Hadits sebagai sumber utama Islam selain al-Qur’an, jelas tidak dapat di nafikan, banyak ayat Al-Qur’an yang secara qath’i menjelaskan kedudukan Hadits. Hadits, Sunnah ataupun Khabar adalah lafadz yang berbeda, tetapi maknanya sama, yaitu pernyataan (qawl), perbuatan (fi’l) dan pengakuan (taqrir) Nabi Saw, meskipun ini merupakan pernyataan, perbuatan dan pengakuan Nabi, tetapi sumbernya bukan dari Nabi sendiri, melainkan wahyu Allah, sehingga Hadits, Sunnah ataupun Khabar tersebut hanya berbeda dengan Al-Qur’an dari segi susunan teksnya, sedangkan isinya sama, yaitu sama-sama wahyu dari Allah sebagaimana firman Allah :
]إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى[  

"Dan apa saja yang dia (Muhammad) ucapkan itu, sesungguhnya bukan bersumber dari hawa nafsunya, melainkan wahyu yang di wahyukan (kepadanya)." (Q.S. An-Najm : 4).
]إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ[
"Aku sekali-kali tidak mengikuti selain apa yang di wahyukan kepadaku.” (Q.S. Al-An’am : 50).
]قُلْ إِنَّمَا أَتَّبِعُ مَا يُوحَى إِلَيَّ مِنْ رَبِّي[  

"Katakanlah (Muhammad): "Aku hanya akan mengikuti apa saja yang di wahyukan kepadaku oleh Tuhanku." (Q.S. Al-A’raf : 203).
]إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ[
"Aku hanya mengikuti apa yang di wahyukan kepadaku." (Q.S.Yunus :15).
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
]إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى[

"Aku hanya akan mengikuti apa yang di wahyukan kepadaku." (Q.S Al-Ahqaq : 9).
]قُلْ إِنَّمَا أُنْذِرُكُمْ بِالْوَحْيِ[
"Katakanlah (Muhammad): "Aku hanya akan memberi peringatan kepada kamu dengan wahyu." (Q.S. Al-Anbiya' : 45).

Nash-nash di atas secara tegas dan qath’i menjelaskan, bahwa apa yang di sampaikan oleh Rasul yang berupa Hadits, Sunnah ataupun Khabar, baik berbentuk pernyataan (qawl), perbuatan (fi’l), maupun pengakuan (taqrir) beliau Saw bukan bersumber dari diri beliau sendiri, tetapi bersumber dari wahyu, di sinilah letak perbedaan antara beliau dengan manusia biasa, fakta inilah yang di tegaskan oleh Allah melalui lisan beliau, yaitu :
]إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ[
أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ

"Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, di wahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan (Nya), "Katakanlah (Muhammad): "Aku adalah manusia biasa seperti halnya kamu, bedanya aku di beri wahyu (sedangkan kalian tidak).” (Q.S. Fushshilat : 6).

Kedua, kedudukan beliau Saw sebagai Nabi dan Rasul yang di klaim melakukan ijtihad sama dengan manusia biasa adalah pandangan banyak ulama, meskipun ini merupakan pendapat yang lemah, ulama yang berpendapat, bahwa Rasulullah Saw boleh berijtihad adalah mayoritas ulama ushul, antara lain, Mazhab Hanafi yang mengatakan : "Bahwa beliau Saw telah di perintahkan untuk menunggu wahyu, apabila beliau menghadapi masalah atau kasus yang di kemukakan kepada beliau, kecuali jika di khawatirkan akan hilang begitu saja, kemudian apabila beliau tidak di beri wahyu, maka beliau di perintahkan untuk berijtihad, namun, ijtihad beliau hanya sebatas "qiyas" (melakukan analogi).”

Malah sebagian besar ahli ushul berpendapat, bahwa beliau tidak perlu menunggu wahyu ketika berijtihad. Asy’ariyah dan mayoritas Mu’tazilah serta Mutakallimin berpendapat, bahwa Nabi saw. tidak di izinkan untuk berijtihad yang menyangkut hukum syara', namun, sebagian di antara mereka ada yang berpendapat, bahwa hukumnya mubah bagi beliau Saw untuk berijtihad dalalm kasus peperangan saja.

Ulama yang juga berpendapat sama, bahwa Nabi Saw di bolehkan berijtihad yang menyangkut hukum syara' adalah As-Suyuthi, termasuk ulama mutakhir, seperti Abd Al-Wahab Khallaf dan sebagainya, mereka, antara lain, menggunakan kasus penentuan tawanan perang Badar sebagai argumentasi, di mana beliau Saw membiarkan mereka hidup, kemudian beliau Saw di tegur oleh Allah, yaitu :
]مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي اْلأَرْضِ[
"Tidak layak bagi seorang Nabi memiliki tawanan sebelum dapat melumpuhkan (dalam jumlah besar) musuh-musuhnya di muka bumi." (Q.S. Al-Anfal : 67).

Juga kasus pemberian izin beliau Saw kepada dua orang mukmin untuk tidak ikut berjihad, yang kemudian di tegur oleh Allah :
]عَفَا اللهُ عَنْكَ لِمَ أَذِنْتَ لَهُمْ[
"Allah telah memaafkan kamu, mengapa kamu izinkan mereka." (Q.S. At-Taubah : 43). Termasuk kasus teguran Allah kepada beliau Saw ketika terjadi konspirasi yang di lakukan oleh Aisyah dan Hafshah terhadap beliau agar tidak mendatangi Sawdah, sebagaimana yang di nyatakan oleh Ibn Sa’ad dalam At-Thabaqat Al-Kubra mengenai istri-istri Nabi Saw, As-Suyuthi dalam Lubab An-Nuqul Fi Asbab An-Nuzul juga menukil beberapa riwayat yang berkaitan dengan kasus tersebut, ada yang sahih dan lemah, riwayat dari At-Thabrani yang sanadnya dari Abu Hurairah Ra, bahwa Nabi Saw bersabda : "Sesungguhnya madu itu haram untukku." karena ingin menyenangkan hati Aisyah dan Hafshah, kemudian Allah menurunkan surat At-Tahrim : 1 ini adalah riwayat yang lemah, adapun riwayat yang sahih adalah riwayat yang bersumber dari At-Thabrani dari Ibn Abbas yang menyatakan : Rasulullah Saw telah meminum madu di rumah Sawdah, lalu mendatangi (giliran) Aisyah. Aisyah mengatakan : "Saya mencium bau (yang tidak enak) dari mulutmu." Lalu beliau Saw mendatangi (giliran) Hafshah, dia juga menyatakan hal yang sama. Nabi Saw kemudian bersabda : "Jika demikian, mungkin karena minuman yang saya minum di rumah Sawdah. Demi Allah, saya tidak akan meminumnya.’ Kemudian turunlah ayat ini :
]يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَـلَّ اللهُ لَكَ تَبْتَغِي مَـرْضَاةَ
أَزْوَاجِكَ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ[

"“Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang di halalkan oleh Allah kepadamu, karena kamu berusaha menyenangkan hati istri kamu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. At-Tahrim :1).

Untuk menguatkan pandangan tersebut, ada beberapa hal yang harus di kemukakan, yaitu yang Pertama, mengenai batasan ijtihad. Ijtihad adalah : Usaha seorang fuqaha’ dalam mencurahkan seluruh kemampuannya untuk menggali "dhann" dari hukum-hukum syara' melalui dalil-dalil tafsili (kasus per kasus), di mana dia tidak mampu lagi untuk berbuat lebih dari apa yang telah di capainya.

Dengan demikian ijtihad mempunyai kemungkinan besar dan salah, karena sifat ijtihad sebagai usaha untuk menentukan dhann, karena itu Nabi Saw bersabda :
«إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصاَبَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا
حَكَمَ وَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاجِدٌ»

"Apabila seorang hakim memutuskan perkara, kemudian berijtihad dan benar, maka ianya mendapatkan dua pahala dan apabila berifihad dan salah, maka ianya mendapatkan satu pahala." (H.R. Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Kedua karena kedudukan Nabi Saw sebagai qudwah (teladan) yang secara mutlak wajib di teladani, jika beliau Saw melakukan ijtihad, kemudian ijtihad beliau salah, sementara beliau adalah qudwah, tentu ummat beliau akan terjerumus dalam kesalahan, maka ini mustahil terjadi pada diri Nabi Saw, sekalipun kesalahan ijtihad beliau tidak sampai menyebabkannya melakukan kemaksiatan.

Ketiga, hukum-hukum yang di tuduhkan oleh kebanyakan ulam mengenai ijtihâd beliau Saw sebenarnya bukan merupakan ijtihad, melainkan tathbiq al-ahkam (menerapkan hukum yang sudah ada) atau bukan dalam konteks tasyri’ (menetapkan hukum yang belum di nyatakan oleh Allah), padahal hukum-hukum di atas sebelumnya telah di jelaskan oleh Allah dan dalam keadaan ketika kaum muslimin telah banyak melakukan pembunuhan terhadap orang-orang kafir, di mana peperangan tersebut di menangkan oleh orang Islam, maka Rasulullah Saw menerima masukan Abu Bakar agar menawan sisa-sisa orang kafir yang masih hidup, tindakan beliau Saw mengisyaratkan, bahwa hukum menawan tersebut sebelumnya telah di terangkan oleh Allah, sebab, pandangan ini bukan hanya di miliki oleh beliau tetapi juga menjadi pandangan sahabat yang lain, seperti Abu Bakar. Hukum ini juga di kuatkan oleh surat Muhammad : 4, mengenai pembebasan tawanan (al-mann) atau menjadikan mereka sebagai tebusan (al-fida’), yang berarti sebelumnya bisa di tawan, kemudian baru di bebaskan dengan tebusan. Tindakan beliau Saw tersebut hanya menerangkan, bahwa beliau sebagai manusia bisa memilih antara A, B, dan C dalam menentukan kedudukan tawanan perang, di mana alternatif hukum tersebut telah ditetapkan oleh Allah.

Sedangkan ayat yang berisi teguran yang di tujukan kepada beliau Saw karena memberi izin untuk meninggalkan perang, yaitu surat At­-Taubah : 43, juga sama, artinya, beliau Saw tidak melakukan ijtihad sendiri, melainkan memilih salah satu alternatif hukum yang telah di tetapkan oleh Allah, beliau memilih untuk memberi izin kepada dua orang sahabat, sedangkan mereka tidak mempunyai alasan apa pun untuk tidak berjihad, karena tindakan inilah beliau Saw kemudian di tegur oleh Allah, jika ayat tersebut di hubungkan dengan surat An-Nur : 62, jelas bahwa hukum memberikan izin tadi di perbolehkan, namun dalam kasus tersebut, yaitu pada saat perang Tabuk, di mana kondisi orang Islam sangat sulit, seharusnya yang lebih utama bagi beliau untuk tidak memberikan izin kepada mereka, inilah yang di maksud oleh Allah.

Demikian juga dengan kasus ketiga, sebenarnya beliau Saw tidak mengharamkan apa yang di halalkan oleh Allah, sebagaimana dalam riwayat At-Thabari dari Ibn Abbas di atas, sebab beliau hanya bermaksud tidak meminum madu, karena ingin menyenangkan hati Aisyah dan Hafshah, yang ternyata itu merupakan konspirasi Aisyah dan Hafshah karena cemburu dengan Saudah.

Dengan demikian, jelas bahwa Rasulullah Saw tidak pernah melakukan ijtihad, apa yang beliau lakukan dalam kasus-kasus tersebut adalah tathbiq al-ahkam (menerapkan hukum yang sudah ada), yang kemudian di tegur oleh Allah karena hukum yang di terapkan bukan hukum yang lebih utama (al-awla).

Karena itu, dengan kedua argumentasi di atas, yaitu kedudukan Hadits yang sama dengan Al-Qur’an, dari segi bahwa maknanya sama-sama merupakan wahyu dari Allah, dan kedudukan beliau Saw yang secara syar’i tidak di izinkan untuk melakukan ijtihad, maka dalam konteks apa pun, Islam tidak dapat di sebut dengan istilah Mohammadenism, sebuah ajaran yang di dirikan oleh Nabi Muhammad Saw, pada dasarnya, Nabi Muhammad Saw adalah manusia biasa, tetapi beliau di lebihkan oleh Allah karena di angkat sebagai Nabi Saw dengan di berinya wahyu, sedangkan manusia yang lain tidak. Beliau juga ma’shum terhadap semua bentuk kemaksiatan, baik dosa kecil maupun besar, namun Nabi Muhammad Saw bukan pendiri Islam, melainkan hanya sebagai penyampai, karena beliau tidak bisa menambah atau mengurangi ajaran Islam. Semuanya telah di tetapkan oleh wahyu, baik berbentuk Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

Dengan demikian, jelas bahwa Islam adalah agama samawi yang di turunkan oleh Allah kepada Nabi Saw dengan membawa kebenaran mutlak, inilah yang di jelaskan oleh nash Al-Qur'an, yaitu :
]الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ[
"Kebenaran (Islam) itu dari Tuhanmu, maka sekali-kali kamu jangan menjadi orang yang ragu." (Q.S. Al-Baqarah :147), maka, menyebut Islam dengan sebutan Mohammadanism hukumnya adalah haram, sebab, dari segi makna konotatifnya jelas bertentangan dengan realias Islam, di samping lafadz tersebut berisi gagasan dan konotasi yang sengaja merusak kebenaran Islam.

Posting Komentar untuk "ISLAM DAN MOHAMADENISME"