Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

KEDUDUKAN AKHLAK DALAM ISLAM

Kedudukan Akhlak dalam Islam

Banyak ulama telah mengklasifikan Islam menjadi tiga bagian, yaitu : Aqidah, Syari'ah dan Akhlak, namun ada juga ulama yang hanya mengklasifikan ajaran menjadi dua bagian, yaitu aqidah dan syari'ah atau dengan kata lain aqidah dan sistem.

Bagaimana sebenarnya kedudukan akhlak dalam ajaran Islam? Dalam pandangan Islam, akhlak bukan hanya sekedar sifat baik­ buruk, sehingga ketika berupa sifat baik, di sebut akhlaq mahmudah dan di sebut akhlaq madzmumah ketika berupa kebalikannya. Akhlak memang sifat perbuatan, tetapi persoalan sifat tersebut tidak sesederhana itu, sebab, sifat perbuatan baik dan buruk tersebut tidak muncul dengan sendirinya dari perbuatan itu sendiri, misalnya duduk. Duduk tidak bisa di nilai baik atau buruk semata-mata karena substansi duduknya itu sendiri, karena substansi duduk adalah sama, tidak ada bedanya antara satu dengan yang lain, demikian halnya dengan membunuh, juga tidak dapat di nyatakan baik atau buruknya berdasarkan substansi membunuhnya itu sendiri, melainkan harus di lihat dari aspek lain.

Iktikaf di masjid adalah duduk, yang di nilai baik karena di perintahkan oleh Allah, bukan karena substansi duduknya, membunuh orang murtad di perintahkan sebagai bentuk sanksi hukum atas kemurtadannya jelas baik, bukan karena substansi membunuhnya, melainkan karena Allah telah menetapkan hukum bunuh untuk mengganjarnya, berbeda dengan membunuh orang yang haram darahnya (ma’shum ad-damm), seperti orang Islam atau kafir dzimmi jelas buruk, karena di haramkan oleh Allah, karena itu ini merupakan perbuatan tercela.

Dengan demikian yang menentukan sifat perbuatan baik dan buruk bukan perbuatan itu sendiri, melainkan aspek di luar perbuatan, yaitu:

  1. Tujuan perbuatan, untuk apa perbuatan tersebut di lakukan? Apakah mencari ridha Allah atau bukan?
  2. Standar dan balasan perbuatan, apakah perbuatan yang di lakukan sesuai dengan hukum syara’ atau tidak? Apakah perbuatan tersebut mengakibatkan pahala atau dosa, termasuk syurga dan neraka?
Dengan demikian, akhlak bukan sekedar sifat baik atau buruk, tetapi lebih dari itu, akhlak merupakan hukum syara’ yang menyangkut sifat perbuatan, jujur, amanah, khianat dan sebagainya, misalnya, tidak bisa dilihat hanya sebagai sifat baik, tetapi harus di lihat sebagai hukum syara’ yang memang wajib di laksanakan, orang yang melakukan atau meninggalkannya bukan hanya di anggap melakukan perbuatan baik atau buruk, tetapi harus di anggap melakukan kewajiban, kesunahan atau keharaman dan kemakruhan.

Ketika akhlak di nilai melalui paradigma baik atau buruk saja, tentu akhlak akan berubah-ubah mengikuti pandangan temporal manusia terhadap sifat tersebut, karena itu, kebaikan dan keburukan harus di ukur dengan standar yang jelas, yaitu hukum syara’. Contohnya, jujur kadang baik, dan kadang buruk, jujur menjadi tidak baik ketika seseorang di tawan musuh kemudian di interograsi agar membocorkan rahasia pasukannya, jujur dalam konteks seperti ini tidak baik, ketika berbohong alias tidak jujur justru di bolehkan, karena alasan terpaksa, kasih sayang juga demikian tidak selamanya berarti baik, kadang harus bersikap tegas dan tidak mengenal kasih sayang kepada orang lain. Contohnya orang yang mencintai saudara sesama muslim adalah baik, tetapi mencintai orang non-muslim justru sebaliknya. Belas kasihan kepada orang yang di kenai sanksi, misalnya, adalah sifat yang tidak baik.

Karena itu, akhlak di definisikan dengan sifat-sifat yang di perintahkan oleh Allah kepada seorang muslim agar menjadi identitasnya pada saat melakukan aktivitas, akhlak adalah bagian dari hukum Islam, maka, akhlak merupakan perintah dan larangan Allah yang berhubungan dengan sifat, seperti jujur, sabar, lemah-lembut ketika berdiskusi dengan orang lain, mengutamakan orang lain di banding dengan dirinya dalam hal kebaikan, bersikap adil ataupun khusyu' dalam shalat dan sebagainya.

Semuanya ini merupakan hukum syara’ yang berkaitan dengan sifat, baik wajib, sunnah, haram maupun makruh, dengan demikian, akhlak sebagai bagian dari ajaran Islam tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari hukum syara’ yang lain, karena itu, akhlak tidak dapat di pisahkan dengan hukum syara’ yang lain, sebab, sifat tersebut tidak menonjol pada seseorang, kecuali ketika melaksanakan aktivitas tertentu, karena itu, orang yang melaksanakannya bukan hanya mendapatkan kemuliaan di mata manusia, tetapi juga mendapat pahala dari Allah, sehingga ketika Nabi Saw di tanya :
«تَقْوَى اللهِ وَحَسُنَ الْخُلُقِ»
"Apa yang paling banyak mempengaruhi seseorang agar bisa masuk syurga? Beliau Saw menjawab : "Taqwa kepada Allah dan akhlak yang mulia."

Sedangkan identitas ketaqwaan seseorang terlihat ketika dia melaksanakan seluruh hukum Allah dan meninggalkan semua larangan­-Nya atau dengan bahasa yang tegas, taqwa adalah tindakan menjaga diri dari siksa neraka sebagai konsekuensi ketika melaksanakan atau meninggalkan perbuatan, inilah makna taqwa yang sesungguhnya, dengan demikian, sebenarnya ketaqwaan dan akhlak tersebut sama-sama merupakan hasil implementasi dari hukum syara'.

Posting Komentar untuk "KEDUDUKAN AKHLAK DALAM ISLAM"