TAWASSUL TERHADAP NABI DI SYARI'ATKAN ATAU TIDAK
Hukum tawassul kepada penghulu para Nabi, yaitu Muhammad Saw adalah untuk menjadikan beliau sebagai perantara kepada Allah mesti di rinci dulu, bila hal itu di lakukan dengan cara mengikuti beliau, mencintai, taat terhadap perintah dan meninggalkan larangan-larangan beliau serta ikhlas semata karena Allah di dalam beribadah, maka inilah yang di namakan dengan tawaassul sesungguhnya dan yang di syariatkan oleh Islam dan merupakan agama Allah yang dengannya para Nabi di utus, yang merupakan kewajiban bagi setiap mukallaf yakni orang yang di bebani dengan syariat serta merupakan sarana dalam mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. sedangkan bertawassul dengan cara meminta kepada beliau, beristighatsah kepadanya, memohon penolongan kepadanya untuk mengatasi musuh-musuh dan memohon kesembuhan kepadanya, maka ini adalah syirik yang paling besar, ini adalah agamanya Abu Jahal dan konco-konconya, semisal kaum paganis (penyembah berhala), demikian pula, bila di lakukan kepada selain beliau seperti kepada para Nabi, wali, jin, malaikat, pepohonan, bebatuan ataupun berhala-berhala.
Di samping itu, ada jenis lain dari tawassul yang di lakukan banyak orang, yaitu tawassul melalui kedudukan beliau, hak atau sosok beliau, seperti ucapan seseorang, “Aku memohon kepada-Mu, Ya Allah, melalui Nabi-Mu, hak Nabi-Mu, para Nabi-Mu dan para Wali serta orang-orang shalih.” Maka ini semua adalah perbuatan bid ’ah dan merupakan salah satu dari sarana atau unsur kesyirikan, tidak boleh melakukan hal ini terhadap beliau ataupun terhadap selain beliau karena Allah, tidak pemah mensyari'atkan hal itu, sementara masalah ibadah bersifat tawqifiyyah (bersumber kepada dalil), sehingga tidak boleh melakukan salah satu darinya kecuali bila terdapat dalil yang melegitimasinya dan syari'at yang suci ini, sedangkan tawassul yang telah di lakukan oleh seorang sahabat yang buta kepada beliau semasa hidupnya, maka yang sebenarnya yang di lakukannya adalah bertawassul kepada beliau agar berdo'a untuknya dan memohon syafa'at kepada Allah sehingga penglihatannya normal kembali. Jadi, bukan tawassul dengan melalui sosok atau kedudukan atau hak beliau.
Hal ini secara gamblang dapat di ketahui melalui jalur cerita dari hadits yang di riwayatkan oleh ‘Utsman bin Hunaif, yaitu bahwa seorang laki-laki buta datang ke hadapan Nabi seraya berkata: “Berdo'alah kepada Allah agar menganugerahiku afiat (kesehatan)." Lalu beliau bersabda: “Engkau boleh pilih, aku do'akan sekarang untukmu atau aku urungkan dan ini adalah baik bagimu.” Orang tersebut berkata: “Berdo'alah kepada-Nya sekarang.” Kemudian beliau menyuruhnya agar berwudhu’, lalu dia berwudhu’ dengan sempurna, kemudian shalat dua raka'at dan berdo'a dengan do'a ini: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammad, Nabi rahmat. Wahai Muhammad! Sesungguhnya aku menghadap kepada Rabbku melaluimu dalam hajatku ini sehingga engkau dapat memutuskannya untukku. Ya Allah, anugerahilah ia syafaat-Mu untukku." (H.R. Imam Ahmad At-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Dan melalui penjelasan yang di berikan oleh para ulama as-sunnah ketika menjelaskan hadits tersebut, syaikhul Islam, Abu Al-Abbas, Ibnu Taimiyah telah memaparkan secara panjang lebar mengenai hal itu di dalam kitab-kitabnya yang demikian banyak dan bermanfaat, di antaranya kitab yang berjudul: "Al-Qa 'idah Al-Jalilah F i at-Tawassul Wa Al- Wasilah. Ini adalah kitab yang amat bermanfaat dan pantas untuk di rujuk dan di pelajari.
Hukum tawassul seperti ini boleh, bila kepada orang-orang yang masih hidup selain beliau, seperti ucapan anda kepada saudara anda, bapak anda atau orang yang anda anggap baik, “Berdo'alah kepada Allah untukku agar menyembuhkan penyakitku!” atau “agar memulihkan penglihatanku”, “menganugerahiku keturunan” dan semisalnya. Kebolehan akan hal ini adalah berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Di samping itu, ada jenis lain dari tawassul yang di lakukan banyak orang, yaitu tawassul melalui kedudukan beliau, hak atau sosok beliau, seperti ucapan seseorang, “Aku memohon kepada-Mu, Ya Allah, melalui Nabi-Mu, hak Nabi-Mu, para Nabi-Mu dan para Wali serta orang-orang shalih.” Maka ini semua adalah perbuatan bid ’ah dan merupakan salah satu dari sarana atau unsur kesyirikan, tidak boleh melakukan hal ini terhadap beliau ataupun terhadap selain beliau karena Allah, tidak pemah mensyari'atkan hal itu, sementara masalah ibadah bersifat tawqifiyyah (bersumber kepada dalil), sehingga tidak boleh melakukan salah satu darinya kecuali bila terdapat dalil yang melegitimasinya dan syari'at yang suci ini, sedangkan tawassul yang telah di lakukan oleh seorang sahabat yang buta kepada beliau semasa hidupnya, maka yang sebenarnya yang di lakukannya adalah bertawassul kepada beliau agar berdo'a untuknya dan memohon syafa'at kepada Allah sehingga penglihatannya normal kembali. Jadi, bukan tawassul dengan melalui sosok atau kedudukan atau hak beliau.
Hal ini secara gamblang dapat di ketahui melalui jalur cerita dari hadits yang di riwayatkan oleh ‘Utsman bin Hunaif, yaitu bahwa seorang laki-laki buta datang ke hadapan Nabi seraya berkata: “Berdo'alah kepada Allah agar menganugerahiku afiat (kesehatan)." Lalu beliau bersabda: “Engkau boleh pilih, aku do'akan sekarang untukmu atau aku urungkan dan ini adalah baik bagimu.” Orang tersebut berkata: “Berdo'alah kepada-Nya sekarang.” Kemudian beliau menyuruhnya agar berwudhu’, lalu dia berwudhu’ dengan sempurna, kemudian shalat dua raka'at dan berdo'a dengan do'a ini: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammad, Nabi rahmat. Wahai Muhammad! Sesungguhnya aku menghadap kepada Rabbku melaluimu dalam hajatku ini sehingga engkau dapat memutuskannya untukku. Ya Allah, anugerahilah ia syafaat-Mu untukku." (H.R. Imam Ahmad At-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Dan melalui penjelasan yang di berikan oleh para ulama as-sunnah ketika menjelaskan hadits tersebut, syaikhul Islam, Abu Al-Abbas, Ibnu Taimiyah telah memaparkan secara panjang lebar mengenai hal itu di dalam kitab-kitabnya yang demikian banyak dan bermanfaat, di antaranya kitab yang berjudul: "Al-Qa 'idah Al-Jalilah F i at-Tawassul Wa Al- Wasilah. Ini adalah kitab yang amat bermanfaat dan pantas untuk di rujuk dan di pelajari.
Hukum tawassul seperti ini boleh, bila kepada orang-orang yang masih hidup selain beliau, seperti ucapan anda kepada saudara anda, bapak anda atau orang yang anda anggap baik, “Berdo'alah kepada Allah untukku agar menyembuhkan penyakitku!” atau “agar memulihkan penglihatanku”, “menganugerahiku keturunan” dan semisalnya. Kebolehan akan hal ini adalah berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.